Studi Kasus Pasirah Di Rejang Lebong Abad XX
Oleh Siti Rohanah, Ajisman, Ernatip, dan Jumhari. Padang
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.
Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya.. Sidik Abdullah (1980: 120) menyebutnya sebagai pimpinan suatu wilayah yang disebut marga. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun (proatin)
Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Terbentuknya sistem pasirah dengan sendirinya menghapus sistem bupati di wilayah Bengkulu secara keseluruhan. Alasannya, karena pada masa kepemimpinan bupati (regent) tidak terlalu disukai oleh rakyat karena sikap dan kepemimpinannya yang dianggap tidak dapat mengayomi dan melindungi segala kepentingan masyarakat.
Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan masyarakat umum. Faktanya tidak jarang terjadi saling sikut-menyikut di antara para regent bahkan muncul kecendrungan menjilat ke atas dan menendang ke bawah. Oleh karena itu Belanda berpendapat masyarakat pribumi lebih menyukai kepemimpinan kolonial Belanda ketimbang bupati yang notabene adalah sesama pribumi.
Dalam kasus ini, dapat dikaji lebih dalam lagi karena kemungkinan besar hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Belanda dan mengandung unsur politis. Dengan dihapuskannya sistem regent otomatis daerah Bengkulu berada di bawah kekuasaan Belanda secara keseluruhan sebagai penguasa tunggal. Sebagai gantinya, maka setiap daerah dibentuk semacam marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.
Sistem pemerintahan marga yang dipimpin oleh kepala marga yang disebut pasirah muncul pertama kali pada sekitar tahun 1862. Sistem pemerintahan marga berlaku di seluruh wilayah Bengkulu setelah adanya pergantian pemerintah dari Kolonial Inggris ke Belanda. Pada masa pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan yang diterapkan adalah kabupaten dan dikepalai oleh seorang bupati. Setelah pergantian pemerintahan maka sistem pemerintahan pun berganti dan sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan baru. Penyerahan jajahan Inggris atas daerah Bengkulu kepada pemerintahan Kolonial Belanda terjadi pada tanggal 6 April 1825 berdasarkan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824.
Seorang kepala marga, diberi hak dan kewenangan dalam pemerintahan marga untuk mengatur pemerintahan dan adat. Di samping itu dia juga bertindak sebagai hakim dalam memutuskan perkara jual beli, pelanggaran adat, pengatur pajak dan pengeluaran keuangan dan belanja marga Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pasirah atau kepala marga merupakan wakil Belanda dalam marga. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa antara kepala marga dengan Belanda mempunyai hubungan yang dekat.
Pasirah selain berfungsi sebagai kepala marga, juga menjadi penghubung yang kuat antara masyarakat dan Belanda. Oleh sebab itu, kepala marga/pasirah digaji dan berada di bawah pengawasan Belanda. Pendapatan (gaji) dari pemberian Belanda adalah penghasilan pokok bagi pasirah di luar pendapatan lain, seperti hasil pembayaran denda pelanggaran adat maupun hak-hak penguasaan tanah ulayat.
Berkaitan dengan kedekatan hubungan keduanya maka kolonial Belanda mencari cara dan teknis untuk memanfaatkan hal tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kepala marga/pasirahu lebih berkreatif untuk menghasilkan pendapatan kas Belanda. Cara-cara yang dilakukan oleh kolonial Belanda adalah pemberian gelar kehormatan dan kenaikan pendapatan bagi setiap pasirah yang dianggap berprestasi. Cara dan teknis seperti ini cukup menguntungkan karena jika seorang kepala marga telah mendapatkan gelar kehormatan tersebut maka mau tidak mau statusnya menjadi lebih tinggi dari yang lainnya bahkan selevel dengan Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka.
Pada tahun 1970 pemerintahan Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang dan peraturan pemerintah yang menghapus undang-undang pemerintahan adat di seluruh Indonesia dan otomatis dengan dikeluarkannya peraturan baru maka hukum adat tidak berlaku lagi di daerah-daerah karena hukum yang berlaku adalah hukum peradilan nasional. Artinya, pihak-pihak hukum adat mulai dari tingkat yang paling kecil (kampung), desa hingga marga berakhir menjadi hukum nasional. Denda dan kurungan adat serta ganjaran lain yang bersifat adat menjadi keputusan hakim secara nasional bukan daerah. Begitu juga bentuk hukuman berubah sesuai dengan undang-undang peradilan nasional. Proses hukum dari hasil rapat dan musyawarah untuk memutuskan sangsi apa yang dijatuhkan berubah menjadi sistem atau cara peradilan nasional yang sifat dan kesanya lebih panjang dari proses adat.
Pada tahun 1979 dikeluarkan pula oleh pemerintah pusat untuk mengubah pemerintahan marga menjadi sistem desa. Marga menjadi hilang dan terhapus berganti menjadi desa dengan kepala desa sebagai pemimpinnya. Kepala Marga berubah statusnya dan dipilih ulang, orang-orang yang akan menggantikan menjadi Kepala Desa. Dalam satu marga terdiri dari beberapa desa artinya beberapa orang yang harus dipilih dan diangkat menjadi kepala desa dalam wilayah bekas marga tersebut. Akan tetapi ada juga kepala desa yang terpilih langsung, dari seorang pasirah artinya pasirah tersebut berubah fungsi menjadi dengan kerja keras dan jatuh bangun, akhirnya mampu berbuah dan menjadi berkat bagi gereja dan Negara. Proficiat untuk Paroki St. Yohanes Penginjil Bengkulu. Tuhan memberkati setiap langkah dan usaha kita.
Bumi Rafflesia, Penghujung April 2008
Ant. Dwi Putranto, SCJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar