Lama & Baru Tetap Kapolri
KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pengganti Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri konon kabarnya sudah diajukan oleh Presiden SBY ke DPR. Beberapa nama mencuat, namun beberapa nama tenggelam. Sebelum kepastian, tentunya kjabar selalu saja bersimpang ‘siaur’ jalan. Hal itu, di negeri kita ini adalah sangat wajar dan lumrah. Para pengamatpun menggelitik sana-sini. Seperti halnbya masalah pengganti Jaksa Agung. Bedanya, kalau posisi Jaksa Agung bisa dijabat orang dari luar Kejaksaan. Akan tetapi, jabatan Kapolri sepertinya harus dari internal Polri.
Polri yang dikatakan sudah menanggalkan atribut militernya, juga sudah berganti-ganti peraturan maupun jenjang kepangkatan yang ada. Polri tetaplah ‘polri” yang dikenal sebagai polisi. Zaman Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada wacana jabatan Kapolri hingga Kapolda, Kapolres atau Kapolsek bisa dijabat oleh sipil beneran. Artinyanya di luar dari internal Polri. Tapi, sampai saat ini ide kontoversial namun cemerlang dari Gus Dur itu belum sempat dilaksanakan, keburu Gus Dur digulingkan oleh MPR.
Atau wacana demi wacana membuka perjalanan (sejarah) polri di Indonesia, termasuk pergantian istilah jenjang kepangkatan dan baju seragam. Polri paling banyak melakukan perubahan-perubahan. Akan tetapi, perubahan yang mana yang diharapkan oleh masyarakat terjadi ditubuh polri? Atau perubahan yang mana yang dirasakan masyarakat polri sendiri, untuk mengembalikan harkat dan martabatnya di depan dan di tengah masyarakat? Tentunya, banyak pertanyaan-pertanyaan tidak terlontar, karena pertanyaan-pertanyaan yang akandilontar sudah diketahui pasti jawabannya tetap ‘klasik’.
Banyak alasan pada akhirnya rakyat tidak mau menjadi saksi berbagai kasus, apalagi dipersidangan. Semua akibat citra polri yang betul-betul jatuh di mata masyarakat. Kapolri atau Jaksa Agung yang sekarang akan diganti, jika tidak mendapat gugatan sengit dari mantan Menhankum, Yusril Ihza Mahendra. Mungkin SBY akan tetap menggunakan kedua petinggi tersebut. Apalagi, SBY saat ini dikelilingi staf khusus, staf ahli dan jubir, rata-rata berusia muda yang punya kepentingan dalam komunitas-komunitas masing-masing sebelumnya.
Kembali kepada sebentar lagi akan adanya Kapolri baru, kabarnya antara Nana Soekarna dan Imam Soedjarwo, menunggu keputusan DPR-RI—yang juga sangat kental aroma politik dan kepentingan masing-masing. Memang, di tubuh Polri banyak perwira tinggi (pati) yang perjalanan karier mereka banyak yang menonjol dan berhasil. Tetapi, kembali kepada kepentingan, kekuasaan dan siapa yang memback up semua kekuasaan, itulah yang akan memenangkan pertarungan kepentingan tersebut.
Setiap pergantian rezim (presiden, red), pasti berganti pula cukong yang ada di belakangnya. Politik yang dijalankan oleh penguasa pada akhirnya dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Atau oleh kaum kapitalism. Kita ingat bagaimana berkuasa dan ditakutinya Om Liem (Liem Siong Liong), bagaimana ketakutan masyarakat terhadap nama dan jaringan Bob Hasan dan pengusaha hitam (istilah menyebut pengusaha asal India), bagaimana kekuasaan Tommy Winata (TW) dan lain sebagainya.
Suatu bukti, bahwa sejarah dalam pergantian pucuk pimpinan loembaga tinggi negara selalu berseteru kepentingan-kepentingan komunitas para kapitalis dan partai politik. Di situlah kelemahan sistem yang ada di Indonesia. Sehingga siapapun pengganti Kapolri, tetaplah menjadi Kapolri dengan pola yang sama. Hanya nama Kapolrinya saja yang berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar