Kolom Naim Emel Prahana
MELIHAT sepak terjang pemerintah melalui organ-organ pemerintahan yang ada menanggapi, memperhatikan, menangani menindak lanjuti berbagai persoalan bangsa selalu pada posisi ‘membenarkan’ diri sendiri dan menuntaskan berbagai kasus dengan pola “mati suri”. Jelas para penguasa di negeri ini yang diback up partai politik (parpol) pemenang pemilu, mengarahkan sistem pemerintahan Indonesia masa depan adalah otoriter.
Otoriter yang biasanya dikuasai para militer, dikhawatirkan akan memporak-porandakan sistem demokrasi Indonesia yang sedang tumbuh subur mencari jatidiri demokrasinya. Dan itu, kelak akan menjadi persoalan rakyat dan kemungkinan munculnya berbagai aliran dan kelompok rakyat untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran, terjadi di mana-mana. Karakter pemerintah yang akan tumbuh seperti itu harus dicegah sedini mungkin, jika mau bangsa dan negara ini tetap utuh dalam pangkuan negara kesatuan dan persatuan yang disimbolkan dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Saat ini dapat disaksikan secara nyata, bagaimana para politisi membela dan membenarkan diri sendiri terhadap kasus-kasus bangsa yang menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Kasus yang dibenarkan para elite politik ternyata oleh kader-kader dan pengurus parpol sampai tingkat desa semakin ‘dibenarkan’ dengan pola show power dan berbagai bentuk manuver.
Misalnya menjadi mediator pelepasan para penjahat, bentrok antar warga, penundaan kasus penahanan para anggota keluarga pejabat dan mantan pejabat atau pengusaha maupun para tokoh publik. Itu semua bertujuan untuk menguatkan status kekuatan parpol dan penguasa. Sementara rakyat pencari keadilan dan kebenaran sejati, ditinggalkan begitu saja berhadapan dengan oknum aparat penegak hukum yang selalu melanggar hukum dalam penegakan hukumnya.
Pemerintah melalui aparat penegak hukum dekade sekarang ini terus menanamkan, bahwa pejabat, penguasaha dan elite politik adalah warga yang benar. Pernyataan dan kenyataan hidup mereka adalah benar. Sehingga, jika mereka tersandung kasus. Harusnya dilepaskan, ditangguhkan penahanannya (bahasa halus melepaskan tahanan dari jeratan hukum).
Negosiasi soal hukum ternyata sudah sangat tebal dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Begitu dahsyatnya UU Lalulintas yang baru, ternyata di lapangan negosiasi itu sangat penting. Dan, pemasukan juga sangat penting. Dua kepentingan dijadikan satu di balik bungkus UU Lalulintas yang baru.
Demikian masalah yang lain yang kerap terjadi di tengah masyarakat kita. Adalah suatu kesulitan besar untuk menciptakan rasa aman, damai, adil dan tentram di tengah masyarakat saat ini. Itu semua berawal dari ‘kepentingan’ lebih besar kekuasannya dibandingkan hukum. Di mana-mana, persoalannya sama, aspek kehidupan apa saja tetap sama. Seperti di dunia pendidikan, apalagi politik. Semua terjadi bukan hanya begitu saja. Ada yang membuat skenario besar di balik itu semua.
Untuk sekarang atau lima tahun ke depan, protype pemimpin bangsa yang benar-benar negarawan, masih sulit dicari dan mungkin baru dilahirkan di muka bumi ini. Itu adalah gambaran nyata peta para tokoh bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar