Oleh Gilng Helindro
Rumah
Gadang itu memiliki gonjong lima.
Sebagian lantai dan dindingnya sudah rapuh. Ketika kaki satu persatu menginjak
anak tangga terdengar suara berderik dari sela-sela papan itu. Rumah ini sama
dengan rumah gadang lainnya. Ornament khas minang kabau sangat kental menghiasi
sekelilingnya. Hanya saja dinding sebelah kiri tidak terbuat dari papan yang
mendominasi, tapi dari anyaman banbu yang juga terlihat lusuh. Rumah ini di
bangun tahun 1936. Ukurannya kira-kira 18 x 11 meter. Dulunya rumah ini di huni
oleh Tan Malaka, salah satu pahlawan nasional yang kontroversial dalam sejarah
bangsa Indonesia. Sekarang rumah ini dijadikan rumah baca dan museum Tan Malaka,
di Desa
Kampuang Patai, Kenagarian Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh. Kabupaten
Lima Puluh Kota. Propinsi Sumatera Barat.
Bagian
dalam banyak terpajang foto Tan Malaka bersama Presiden Soekarno. Koleksi
buku-buku sejarah tentang perjuangan tersusun rapi di rak. Ada juga ranji-ranji
keturunan Tan Malaka. Di ruang utama sedikitnya 34 koleksi foto Tan Malaka
berjejer menghiasi dinding dengan berbagai momentum. Salah satunya foto ketika
ia membuka buku berjudul Gerilya, Politik
dan Ekonomi di Yogyakarta. Di lemari kaca sudut ruangan juga dipenuhi buku
hasil pemberian para peneliti dan sejarawan tentang dirinya. Kurang lebih ada
28 judul. Beberapa diantaranya yaitu Gerakan
Kiri Minangkabau dan Dari Penjara Ke
Penjara.
Kini yang menunggu rumah
itu adalah Indra Ibnu Ikatama, cicitnya Tan Malaka. Ia juga mewakili Hengky
yang sekarang sudah berdomisili di Jakarta. “Mengenai rumah, diresmikan sejak
tahun 2008 sebagai museum dan rumah baca. Sayangnya tak ada perhatian serius
dari pemerintah setempat” katanya.
Renovasi
kecil dilakukan keluarga ketika sejarawan dari belanda berkunjung. Selama
peresmian rumah sebagai museum dan rumah baca Tan Malaka. Belum pernah
sekalipun direnovasi. “Kami pihak keluarga tidak terlalu berharap dana renovasi.
Tapi sepatutnya Pemda dan Dinas Periwisata memperhatikan,” tambahnya.
***
Tan
Malaka dilahirkan di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat, dengan nama Ibrahim. Belum ada data pasti ihwal tanggal
kelahiran Tan Malaka. Banyak yang menyebut ia dilahirkan pada 19 Februari 1896,
namun ada pula yang merunut bahwa angka lahir Ibrahim Tan Malaka tanggal 2 Juni
1897.
Ayahnya
bernama Rasad, berasal dari marga Chaniago. Sedangkan ibunya bernama Sinah,
berpuak Simabur. Konon, leluhur ibunda Ibrahim berasal dari Kamang, Bukittinggi.
Sedangkan moyang sang ayah datang dari Bonjol, utara Payakumbuh,
yang melarikan diri ketika Perang Paderi meletus.
Ayah
Ibrahim adalah seorang pegawai rendahan, bekerja sebagai manteri suntik dan
petugas yang mengatur distribusi garam di kampungnya. Gaji sang ayah yang hanya
belasan gulden, masih sulit untuk membiayai keluarga. Karena keterbatasan
itulah, Rasad hanya mampu menyekolahkan Ibrahim ke sekolah dasar Kelas Dua,
sekolah milik pemerintah colonial Belanda untuk anak rakyat kebanyakan.
Berkah
bagi Ibrahim, meski dikenal agak nakal, otaknya cukup cemerlang. Karena itu lah
guru-guru di sekolahnya merekomendasikan agar ia melanjutkan pendidikan ke
sekolah guru negeri untuk guru-guru Bumiputera di Fort de Kock (sekarang
Bukittinggi). Sekolah ini satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan sekolah
Kelas Dua setelah menempuh pendidikan selama lima tahun.
Kesempatan
ini justru menjadi buah pikiran tersendiri bagi Rasjad, mengingat kondisi
ekonomi yang pas-pasan. Sekolah di Fort de Kock itu terkenal dengan sebutan
“Sekolah Raja.” Artinya hanya anak-anak dari kalangan bangsawan mengenyam pendidikan. Untungnya Ibrahim salah
satu murid kesayangan di sekolah sebelumnya, dan mereka terus berjuang agar
Ibrahim dapat diterima di “Sekolah Raja.”
Segala
cara dimaksimalkan agar tujuan mulia itu bisa terlaksana. Asal-usul keningratan
ibunda Ibrahim ternyata dianggap cukup untuk alasan mendaftar. Moyang sang ibu
adalah salah satu pendiri Pandam Gadang dan juga membawahi beberapa datuk.
Peluang Ibrahim terbuka bukan karena itu, tapi karena kecerdasannya yang menjadi
nilai lebih. Meski Ibrahim terkadang berlaku bandel, ia sangat gemar
menghabiskan waktunya untuk bermain sepakbola.
Ibrahim
berhasil diterima menjadi siswa di Sekolah Raja. Inilah perantauan pertama Tan
Malaka keluar dari kampung halamannya. Di lingkungan yang baru, Ibrahim
berkenalan dengan budaya bangsa yang menjajah negerinya. Ia mulai mendalami
bahasa Belanda. Ibrahim juga menyibukkan diri dengan bergabung menjadi anggota
orkes sekolah yang dipimpin oleh Gerardus Hendrikus Horensma, seorang keturunan
Belanda yang menjadi guru di Sekolah Raja.
Setahun
sebelum ia menyelesaikan pendidikan. Ibrahim dipanggil pulang ke tanah
kelahirannya sekitar tahun 1913, umurnya pun belum genap 17 tahun. Keluarga
punya rencana lain. Diadakan rapat adat untuk memilih Ibrahmi sebagai datuk. Ia
merupakan anak lelaki tertua keluarga Simabur, itu berarti ia harus
bersiap-siap memangku gelar datuk sebelum ayahnya wafat. Sebagai datuk,
nantinya Ibrahim memimpin tiga marga keluarga yaitu Simabur, Piliang dan
Chaniago.
Kaum
tetua adat dibuat gusar karena Ibrahim dengan tegas menolak penobatan itu. Sampai
akhirnya ia diberi pilihan sulit, menolak gelar atau menikah. Takut menikah
diusia muda, Ibrahim angkat tangan dan terpaksa menerima gelar tertinggi dalam
adat Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Pesta
penobatannya digelar besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam.
Namun,
pesta suka cita itu ternyata berujung perpisahan. Ibrahim alias Tan Malaka
harus segera meninggalkan tanah kelahirannya untuk hijrah ke negeri Belanda, meneruskan
pendidikan sekolah guru di Harleem, pasca kelulusannya dari Sekolah Raja.
Ia
dapat beasiswa atas jasa baik G Horensma. Sebelumnya, upaya Ibrahim untuk bisa
pergi ke Belanda terbentur masalah biaya. Padahal orang sekampung sudah patungan
kumpulkan uang, tetap saja tak cukup.
Ternyata
ini lah kisah awal berkelana Tan Malaka. Dari Nagari Pandam Gadang, Tan Malaka
beringsut ke Bukittinggi untuk kemudian siap mengepakkan sayap menjelajahi
semesta. Tujuan Tan pertama adalah Harleem University.
Sebagai bentuk penghargaan atas
jasa-jasa Tan Malaka kepada bangsa ini, maka tanggal 21 Februari 2008 rumah tua
Tan Malaka diresmikan menjadi museum Tan Malaka
oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Rencananya,
pihak keluarga dan panitia akan mendirikan monumen Tan Malaka di Payakumbuh serta
Pusat Studi Pelatihan dan Pendidikan yang diberi nama “Tan Malaka Institutes”
di Pandam Gadang tempat desa kelahirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar