Menciptakan Pembangunan
Dan Memelihara Adat Istiadat
Oleh Naim Emel Prahana
MEMANG tidak semua kampung tua itu selalu terbengkalai. Namun,
kenyataannya memang banyak kampung-kampung (desa) tua terbengkalai dan terjadi
kemunduran di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Tentu saja faktor ekonomi
menjadi persoalan klasik yang sulit dipecahkan oleh masyarakat kampung itu
sendiri.
Ekonomi masyarakat mempengaruhi aspek lainnya, seperti sosial, seni
budaya – adat istiadat, pendidikan, pertanian dan akhirnya faktor pembangunan
kampung menjadi terhambat akibat pola pikir yang berubah drastis sebagai akibat
pengaruh global teknologi informasi dan lainnya.
Salah satu kampung tua di daerah legenda Lebong provinsi Bengkulu
adalah Desa Kotadonok. Kampung ini semula bernama kutei Donok (bahasa Rejang berarti kampung/desa yang berada di
tengah-tengah daerah lain). Kampung itu diperkirakan sudah berdiri pada abad 7
M ketika menyimak sejarah dan asal usul masyarakat Rejang di Lebong.
Pada zaman dahulu kala, kampung-kampung di daerah Lebong satu dengan
kampung lainnya mempunyai jarak yang disebut dengan sawangan. ‘Sawangan’ itu diartikan sebagai kawasan/wilayah/daerah
antara suatu tempat (kampung) dengan tempat lainnya yang ada penduduknya.
Berbeda dengan kata sawang yang
berarti berdekatan. Misalnya dalam
obrolan masyarakat tercetus kata, “ sawah pak A itu sawang dengan sawahnya pak
B” dan seterusnya.
Umeak Peken
Seperti kampung lainnya, pada awal berdiri Kotadonok dapat ditelusuri
melalui jenis, bentuk dan ukuran rumah penduduknya. Rumah-rumah lama di
Kotadonok berada di kawasan yang sampai sekarang masih disebut umeak peken. Nama umeak peken diambil
karena di daerah kampung Kotadonok itu ada kegiatan pasar (pekan) seminggu
sekali. Tepatnya pada hari Rabu setiap minggunya.
Umeak Peken Kotadonok dulunya berdiri dua bangunan besar. Bangunan
pertama membujur dari Timur – Barat yang panjang bangunannya sekitar 30 – 40
meter. Sementara bangunan kedua dengan bentuk dan ukuran yang sama membujur
dari Selatan – Utara.
Dalam bangunan itu dibuat lapak-lapak (meja besar) berukuran antara
lebar 2 meter dan panjang sekitar 3 meter. Kemudian dalam bangunan yang terbuka
(umeak peken) itu ada gang – gang tempat lalulalang para pembeli setiap hari peken (pekan) untuk membeli kebutuhan
sandang dan pangan.
Gambar: rumah-rumah panggung berusia tua
di kawasan Umeak Peken Kotadonok
(FOTO: Naim EP)
Bangunan Umeak peken Kotadonok yang pertama membujur dari Timur ke
Barat itu, dulu khusus untuk para pedagang bahan lauk pauk, barang pecah belah,
tembakau, peralatan pertanian, peralatan pertukangan dan lainnya. Dalam
perkembangannya, bangunan pertama tersebut, di dalamnya (bagian pinggir)
dibuatlah beberapa warung (kios) permanen.
Warung yang terkenal saat itu adalah Warung Makan (WR) Sudi Mampir
milik keluarga Yantut dan warung milik keluarga Naif. Kedua bangunan itu dibuat
di pinggir sebelah timur (wr Sudi Mampir) dan sebelah Barat adalah warung milik
Naif. Sedangkan bangunan umeak peken kedua, tidak ada bangunan warung. Semuanya
terdiri dari lapak-lapak (kios) terbuka yang khusus menjual sandang; kebutuhan
pakaian.
Gambar: Bangunan Umeak Peken yang berusia tua
kini sudah tidak ada karena dihancurkan kemudian
di bangun sebuah SD Negeri dan dua buah rumah
penduduk (FOTO: Naim EP)
Namun, dalam perkembangan berikutnya di ujung sebelah Utara bangunan
umeak peken kedua dipinjam pakai oleh keluarga Ramli (eks TNI) untuk
dibangunkan rumah tokoh. Walaupun ada perjanjian khususnya dengan pemerintahan
desa (kampung). Namun, sampai saat ini keluarga (alm) Ramli tidak mau pindah
dari lokasi umeak peken. Akibatnya menjadi buah bibir masyarakat.
Para pedagang yang menggelar dagangannya di umeak peken Kotadonok pada
umumnya adalah pedagang berasal dari suku Padang (Minangkabau) dan orang-orang
Bengkulu. Sementara itu, hasil perkebunan, pertanian, perikanan dan makan
ringan dijajakan di sekitar kedua bangunan umeak peken tersebut. Terutama
sepanjang jalan raya Kotadonok.
Bangunan umeak peken dan kawasannya dulunya jika malam hari atau siang
adalah tempat bermainnya anak-anak kampung Kotadonok usai pulang sekolah atau
usai dari mengaji di rumah Ninik Bulek (Haji Abdullah).
Bangunan Dihancurkan
Sekitar tahun 1975 bangunan kedua umeak peken sudah dirubuhkan dan
diganti dengan bangunan rumah penduduk yang berdampingan dengan rumah keluarga
alm Ramli. Sementara bangunan umeak peken pertama akan didirikan SDN Kotadonok.
Praktis dengan keadaan demikian umeak peken di Kotadonok yang dulunya megah dan
sangat ramai. Sudah tidak ada lagi.
Padahal peken Kotadonok adalah satu-satunya pasar mingguan yang ada di
Bermani Jurukalang. Wajar kalau hari peken suasananya ramai sekali. Para
pedagang dan pembeli berdatangan dari Topos, Tlang Blau, Tlang Donok, Plabuak
(Talangratu), Tes, Taba Anyar sampai Turun Lalang. Semua ke peken Kotadonok.
Sebagai kampung (desa) tua di daerah Lebong, bahkan di Bengkulu,
Kotadonok banyak menyimpan peninggalan yang ada kaitannya dengan pemerintah
Sumatera Bagian Selatan dan zaman kolonial Hindia Belanda. Beberapa peninggalan
sejarah berbentuk bangunan rumah, antara lain:
1. Rumah
Pangeran Kotadonok
Rumah besar Pangeran Kotadonok, kediaman keluarga
besar Muhammad Husin (Husen) mantan Gubernur Sumatera Selatan diperkirakan
dibangun pada abad ke 17 atau 18. Letaknya berada di tengah kampung Kotadonok.
Rumah tersebut menghadap ke Utara, persis di depannya Jalan Raya Kotadonok ke
Muara Aman.
Gambar: Rumah Keluarga Pangeran Kotadonok
(FOTO: Naim EP)
Rumah bercat putih berarsitektur Rejang itu sudah
lama sekali tidak dihuni. Bahkan cerita dari mulut ke mulut, rumah keluarga
Pangeran Kotadonok itu banyak misterinya. Rumah bersejarah itu menyatu dengan
sebuah rumah bagian Baratnya dan menyatu pula dengan rumah kediaman mantan
pemberang (kepala Desa) M Yusuf.
Antara tahun 1968 – 1970 rumah yang berada di
tengah antara rumah keluarga pangeran Kotadonok dan M Yusuf dijadikan tempat
tinggal seorang guru bernama Thamrin yang menikahi gadis desa Kotadonok bernama
Rusma. Dan, rumah itu dijadikan tempat mengaji anak-anak desa. Sebelum,
akhirnya guru Thamrin membuat rumah di dekat Pacua Telai (pancuran besar). Dan,
akhirnya karena tugas, guru Thamrin pindah ke Kota Curup.
Rumah pangeran Kotadonok memang tidak ada yang
membukanya. Rumah tersebut terdiri banyak kamar, ruang pertemuan, ruang dapur
dan berdiri di atas pondasi semen. Di belakang rumah sejarah itu, sekitar 5 – 8
meter terdapat danau baru yang disebut dengan nama Tawen Blau – yang menyatu
dengan Danau Tes.
2. Rumah
M Husein
Rumah peninggalan sejarah ini dibuat saat gubernur
Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu, Lampung, Jambi dan Sumatera Selatan) dijabat
oleh putra asli Kotadonok, M. Husein. Lokasi rumah mantan gubernur Sumbagsel
itu berada di depan rumah keluarga pangeran Kotadonok. Namun, berada di lereng
tebing di seberang rumah keluarga pangeran Kotadonok.
Gambar: Rumah Gubernur Sumatera Bagian Selatan
, M Husein di Kotadonok, Lebong (FOTO: Naim EP)
Bangunan yang terbuat dari tembok itu sudah berarsitektur
modern seperti rumah-rumah para pembesar zaman tempoe doeloe. Rumah itu
menghadap ke arah Selatan ke sebagian kawasan danau Tes, Bukit Barisan dan di
belakang bukit itu ada kampung tua bernama Topos.
3. Kubua
Lai
Kubua Lai atau bahasa Indonesianya Makam Besar
terletak tidak jauh dari Pacua Telai sekitar 150 meter – berada di belakang
rumah keluarga dr Juni. Makam Besar tersebut menurut cerita dari mulut ke mulut
sejak dulu merupakan makam para tokoh kampung Kotadonok (Kuteidonok). Namun,
tidak ada yang tahu persis, siapa yang dimakamkan di Makam besar itu. Karena,
tidak ada batu nisan. Hanya berupa tanah gundukan berdiamter cukup besar.
Di makam Besar itu sering sekali orang berziarah –
merekapun tidak tahu persis siapa yang dikuburkan dalam Makam Besar Kotadonok
itu.
4. Pacua
Telai
Desa Kotadonok yang panjangnya sekitar 6 kilometer itu
banyak sekali ditemukan air sungai kecil, yang disebut Bioa Tik (Air Kecil).
Ada dua sungai besar, yaitu Bioa Tiket dan Bioa Tamang. Selebihnya hanya Bioa
Tik, salah satunya adalah Bioa Tik yang berada di deket Umeak Peken Kotadonok.
Gambar: Pacua Telai (tidak nampak) tidak jauh
dari warung Amin (yang ada spanduknya itu)
(FOTO: Naim EP)
Konon cerita, di Bioa Tik itu sejak zaman pangeran
Kotadonok sudah dibangun tempat permainan umum yang disebut Pacua Telai (Pancuran besar). Pacua
Telai berupa tempat mandi yang dibuat dari semen terdiri dari dua ruang. Ruang
mandi sebelah Barat untuk kaum pria dan ruang mandi sebelah Timur untuk kaum
perempaun. Kedua ruang itu dibatasi oleh tembok setinggi 2 meter.
Setiap pagi dan sore jika kita berkunjung ke Desa
Kotadonok dapat melihat warga setempat mendatangi Pacua Telai, untuk mandi dan
mencuci pakaian. Airnya memang jernih karena berasal dari atas pegunungan.
5. Meriam
dan Peluru Besi di Tepat Taukem
Daerah kramat ini disebut oleh masyarakat
Kotadonok, Lebong dengan nama Tepat Taukem (Kramat Taukem – Rukam). Letaknya di
atas bukit jalan raya antara Kotadonok dan Tes. Posisi Tepat Taukem ini persis
menghadap ke Danau Tes.
Hal itu, ada kemungkinan besar berkaitan dengan
sejarah asal usul suku bangsa Rejang di Lebong. Di daerah itu berdasarkan
sejarah adalah pusat kerajaan Bermani.
Sayangnya, lokasi Tepat Taukem tidak terurus.
Termasuk peninggal meriam besi kuno dan pelurunya. Mungkin, perlu perhatian
pemerintah Kabupaten Lebong untuk menganggarkan dalam APBD anggaran perawatan
dan pemeliharaan peninggalan sejarah yang tersebar di daerah Lebong.
Konon ceritanya di Tepat Taukem itu, soal peluru
meriam berbentuk besi bundar itu sangat misteri. Bagi anak yang dilahirkan
karena hamil sebelum nikah atau bahasa Rejangnya anok haram. Peluru besi tak bisa diangkat. Tapi, bagi mereka yang
bukan masuk anok haram, peluru besi itu tidaklah terlalu berat untuk digenggam
dan diangkat.
6. Tlapok
Kramat
Tlapok Kramat (telapak sakti) itu berupa bekas telapak kaki
berukuran besar di lereng Tebo Diding
seberang Desa Kotadonok atau di jalan menuju ke Topos pada zaman dulu. (jalan kaki).
Bekas telapak kaki tersebut diduga adalah bekas
telapak kaki seorang raja tempoe doeloe, apakah dari Juru Kalang atau dari
Bermani atau dari daerah lainnya. Bekas telapak itu memang tidak ditumbuhi
rumput. Disitulah keanehannya. Semua warga di Kotadonok dan sekitar desa
Kotadonok percaya kalau bekas telapak kaki besar yang masih ada sekarang ini
adalah bekas telapak kaki orang sakti zaman dulu.
Di samping peninggalan sejarah itu, di Kotadonok banyak sekali cerita
misteri, seperti Dung Ulau Tujuak, Butau Gesea, Smat belkat, Siamang Bioa,
Sebei Seblekeu, kan mas lai, buwai kotong dan sebagainya.
Desa (Kampung) Kotadonok perlu direhabilitasi dengan pembangunan
infrastrukturnya dengan memelihara adat istiadatnya yang termasuk adat istiadat
sukubangsa Rejang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (Naim Emel Prahana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar