Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Februari 2016

KHUTBAH JUM’AT



PENGERTIAN KHUTBAH JUM’AT
memahami-hadis-tentang-imam-dan-khatib
Secara etimologis (harfiyah), khuthbah artinya : pidato, nasihat, pesan (taushiyah). Sedangkan menurut terminologi Islam (istilah syara’); khutbah (Jum’at) ialah pidato yang disampaikan oleh seorang khatib di depan jama’ah sebelum shalat Jum’at dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun tertentu, baik berupa tadzkiroh (peringatan, penyadaran), mau’idzoh (pembelajaran) maupun taushiyah (nasehat).
Berdasarkan pengertian di atas, maka khutbah adalah pidato normatif, karena selain merupakan bagian dari shalat Jum’at juga memerlukan persiapan yang lebih matang, penguasaan bahan dan metodologi yang mampu memikat perhatian.
Selain khutbah Jum’at, ada pula khutbah yang dilaksanakan sesudah sholat, yaitu: khutbah ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha, khutbah sholat Gerhana (Kusuf dan Khusuf). Sedangkan khutbah nikah dilaksanakan sebelum akad nikah. Dalam makalah ini yang akan dikaji adalah khusus tentang khutbah Jum’at.

B. DALIL-DALIL TENTANG KHUTBAH JUM’AT
Firman Allah SWT dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at (shalat Jum’at), maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah urusan jual beli (urusan duniawi). Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Jumu’ah : 9)
Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a.:
“Adalah Nabi SAW. berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, kemudian beliau duduk dan lalu berdiri lagi sebagaimana dijalankan oleh orang-orang sekarang”.
Riwayat Bukhari, Nasai dan Abu Daud dari Yazid bin Sa’id r.a.: “Adalah seruan pada hari Jum’at itu awalnya (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, hal demikian itu berlaku pada masa Rasulullah SAW. hingga masa khalifah Umar r.a. Setelah tiba masa khalifah Usman r.a. dan orang semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga (karena adzan dan iqomah dipandang dua seruan) di atas Zaura (nama tempat di pasar), yang mana pada masa Nabi SAW. hanya ada seorang muadzin”.
Riwayat Muslim dari Jabir r.a.:
      “Pada suatu ketika Nabi SAW. sedang berkhutbah, tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Nabi bertanya kepadanya: Apakah Anda sudah shalat? Hai Fulan! Jawab orang itu : Belum wahai Rasulullah! Sabda beliau: Berdirilah! Shalatlah lebih dahulu (dua raka’at) (HR. Muslim).

C. PERSYARATAN KHATIB
Ikhlas, terhindari dari pamrih, riya dan sum’ah (popularitas). Perhatikan firman Allah SWT. dalam menceritakan keikhlasan Nabi Hud AS:
Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, ucapanku tidak lain hanyalah dari Allah yang menciptakan aku. Tidakkah kamu memikirkannya?”. (QS. Hud:51).
‘Amilun bi’ilmihi (mengamalkan ilmunya), Allah SWT. berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah terhadap orang yang mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. As-Shaf : 2-3).
Kasih sayang kepada jama’ah, Rasulullah SAW. bersabda:
“Bahwa sesungguhnya aku terhadap kamu semua laksana seorang ayah terhadap anaknya”. (HR. Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Wara’ (menghindari yang syubhat), perhatikan sabda Nabi SAW:
“Jadilah kamu sebagai seorang yang wara’, maka kamu adalah manusia yang paling tekun beribadah”. (HR. Baihaqi dari Abi Hurairah)
‘Izzatun Nafsi (tahu harga diri untuk menjadi khairunnas), Allah SWT. berfirman:
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran), dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. As-Sajdah : 24).

D. FUNGSI KHUTBAH
1. Tahdzir (peringatan, perhatian)
2. Taushiyah (pesan, nasehat)
3. Tadzkir/mau’idzoh (pembelajaran, penyadaran)
4. Tabsyir (kabar gembiran, harapan)
5. Bagian dari syarat sahnya sholat Jum’at

Berkenaan dengan fungsi khutbah tersebut di atas, maka khutbah disampaikan dengan bahasa yang mudah difahami oleh jama’ah (boleh bahasa setempat), kecuali rukun-rukun khutbah. Allah SWT. berfirman:
Dan tidaklah Kami mengutus Rasul, melainkan dengan bahasa yang difahami oleh kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan kepada mereka”. (QS. Ibrahim : 4).

E. SYARAT SAHNYA KHUTBAH
Dilaksanakan sebelum sholat Jum’at. Ini berdasarkan amaliyah Rasulullah SAW.
Telah masuk waktu Jum’at, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Anas bin Malik r.a. ia berkata:
Sesungguhnya Nabi SAW. melaksanakan shalat Jum’at setelah zawal (matahari condong ke Barat)”. (HR. Bukhari).

Tidak memalingkan pandangan
Rukun khutbah dengan bahasa Arab, ittiba’ kepada Rasulullah SAW.
·  Berturut-turut antara dua khutbah dan shalat
·  Khatib suci dari hadats dan najis, karena berkhutbah merupakan syarat sahnya shalat Jum’at.
·  Khatib menutup ‘aurat, sama dengan persyaratan shalat Jum’at.
·  Dilaksanakan dengan berdiri kecuali darurat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Umar ra: “Sesungguhnya Nabi SAW. apabila keluar pada hari Jum’at, beliau duduk yakni di atas mimbar hingga muadzin diam, kemudian berdiri lalu berkhutbah”. (HR. Abu Daud).
·  Duduk antara dua khutbah dengan tuma’ninah, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: “Adalah Nabi SAW. berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, dan berdiri lagi sebagaimana kamu semua melakukannya sekarang ini”. (HR. Bukhari dan Muslim).
·  Terdengar oleh semua jama’ah
·  Khatib Jum’at adalah laki-laki
·  Khatib lebih utama sebagai Imam sholat

F. RUKUN KHUTBAH
1.      Hamdalah, yakni ucapan “Alhamdulillah” , berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir ra: “Sesungguhnya Nabi SAW. berkhutbah pada hari Jum’at, maka (beliau) memuji Allah (dengan mengucap Alhamdulillah) dan menyanjung-Nya”. (HR. Imam Muslim).
2.      Syahadat (Tasyahud), yaitu membaca “Asyhadu anla ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa Asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu”, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Tia-tiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang terpotong”. (HR. Ahmad dan Abu Dauwd).
3.      Shalawat
4.      Wasiat Taqwa, antara lain ucapan “Ittaqullah haqqa tuqaatih”.
5.      Membaca ayat Al-qur’an, berdasarkan hadits Nabi SAW, dari Jabir bin Samurah ra: “Adalah Rasulullah SAW. berkhutbah (dalam keadaan) berdiri dan duduk antara dua khutbah, membaca ayat-ayat Al-Qur’an serta memberikan peringatan kepada manusia”. (HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi).
6. Berdo’a
Semua rukun khutbah diucapkan dalam bahasa Arab. Empat rukun yang pertama (Hamdalah, Syahadat, Shalawat dan wasiyat) diucapkan pada khutbah yang pertama dan kedua, sedangkan ayat Al-Qur’an boleh dibaca pada salah satu khutbah (pertama atau kedua) dan do’a pada khutbah yang kedua.

G. SUNNAH-SUNNAH KHUTBAH
1.      Berdiri di tempat yang tinggi (mimbar)
2.      Memberi salam. Berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir ra.: “Sesungguhnya Nabi SAW. apabila telah naik mimbar, (beliau) memberi salam”. (HR. Ibnu Majah).
3.      Menghadap Jama’ah. Berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Adi bin Tsabit dari ayahnya dari kakeknya: “Adalah Nabi SAW. apabila telah berdiri di atas mimbar, shahabat-shahabatnya menghadapkan wajah mereka ke arahnya”. (HR. Ibnu Majah).
4.      Suara jelas penuh semangat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir ra: “Adalah Rasulullah SAW. apabila berkhutbah kedua matanya menjadi merah, suaranya lantang/tinggi, berapi-api bagaikan seorang panglima (yang memberi komando kepada tentaranya) dengan kata-kata “Siap siagalah di waktu pagi dan petang”. (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
5.      Singkat, padat, akurat dan memikat, Rasulullah SAW. Bersabda: “Adalah Rasulullah SAW. biasa memanjangkan shalat dan memendekkan khutbahnya”. (HR. Nasai dari Abdullah bin Abi Auf).
6.      Gerakan tangan tidak terlalu bebas, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Abdurrahman bin’ Sa’ad bin ‘Ammar bin Sa’ad ia berkata: “Adalah Nabi SAW. apabila berkhutbah dalam suatu peperangan beliau berkhutbah atas anak panah, dan bila berkhutbah di hari Jum’at belaiu berpegangan pada tongkat”. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Seusai khutbah kedua segera turun dari mimbar, berdasarkan hadits Nabi SAW. “Adalah shahabat Bilal itu menyerukan adzan apabila Nabi SAW. telah duduk di atas mimbar, dan ia iqomah apabila Nabi SAW. telah turun”. (HR. Imam Ahmad dan Nasai).
Tertib dalam membacakan rukun-rukun khutbah, yaitu:
*       Hamdalah,
*       Syahadat,
*       Shalawat,
*       wasiyat,
*       Ayat Al-Qur’an dan
*       Do’a.

H. HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM KHUTBAH
*       Membelakangi Jama’ah
*       Terlalu banyak bergerak
*       Meludah

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIAKAN OLEH KHOTIB
*       Melakukan persiapan, mental, fisik dan naskah khutbah
*       Memilih materi yang tepat dan up to date
*       Melakukan latihan seperlunya
*       Menguasai materi khutbah
*       Menjiwai isi khutbah
*       Bahasa yang mudah difahami
*       Suara jelas, tegas dan lugas
*       Pakaian sopan, memadai dan Islami
*       Waktu maksimal 15 menit
*       Bersedia menjadi Imam shalat Jum’at

J. MATERI KHUTBAH
*       Tegakkan akidah, murnikan ibadah, perluas ukhuwwah
*       Evaluasi amaliah (ummat) mingguan
*       Kaji masalah secara cermat dan singkat
*       Berikan solusi yang tepat
*       Tema-tema lokal peristiwa keseharian lebih diutamakan
*       Hindari materi yang menjenuhkan atau persoalan tanpa pemecahan

K. KESIMPULAN
Khutbah Jum’at adalah pidato yang normatif disampaikan berkenaan dengan ibadah sholat Jum’at, maka para khatib harus mampu mengemas materi dengan singkat, padat, akurat dan memikat, dan harus mampu menjadi Imam shalat.

(Ditulis oleh : Drs HM Syamsuddin MPd. Disampaikan Pada Pelatihan Khatib Masjid Nurul Huda Desa Rajawetan, Kec. Pancalang, Kab. Kuningan oleh : Maman Sumari, S.Pd.I)

Memahami Hadis Tentang Imam dan Khatib


Hadis tentang Imam dan Khatib tepatnya والامام يخطب adalah bahan diskusi saya dengan ta’mir masjid  di desa saya. Masjid tempat saya shalat setiap hari, beberapa tokohnya berpendapat bahwa dalam pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat Id atau shalat lain yang memerlukan khutbah maka yang bertindak selaku imam dan khatib harus satu orang. Hal ini didasarkan pada penggalan hadis والامام يخطب tersebut.
Dalam pandangan mereka, penggalan hadis tersebut merupakan dalil keharusan antara imam dan khatib harus satu orang. Mereka begitu kekeh dan kukuh terhadap pendapat tersebut. Meskipun diberikan contoh bahwa hampir sebagian besar masjid di Indonesia, termasuk masjid Istiqlal Jakarta, tidak mengharuskan hal tersebut. Faktanya memang demikian, masjid-masjid lebih banyak yang memisah antara imam dan khatib. Mereka tetap pada pendiriannya.
Berikut ini Materi Dakwah Islam dan kultum mempostingnya. Hadis-hadis yang menjadi sandaran ta’mir masjid di desa saya adalah antara lain sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ (رواه البخاري ومسلم )
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ أَوْ قَدْ خَرَجَ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ (رواه البخاري)
عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من تكلم يوم الجمعة والإمام يخطب فهو كمثل الحمار يحمل أسفارا  والذي يقول له انصت ليس له جمعة (ابن حنبل في مسنده)

Memahami hadis di atas dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara yang dapat dilakukan antara lain adalah melalui konteks Hadis, syarah Hadis, dan syarat dan rukun khutbah.

a.  Konteks Hadis :
ketiga Hadis والامام يخطب yang penulis kutib mempunyai konteks yang berbeda. Pada Hadis pertama konteknya adalah kesia-siaan Ibadah Jum’at seseorang yang berbicara sendiri pada saat Khatib sedang berkhutbah.
*       Hadis kedua, konteknya adalah seseorang yang masuk masjid untuk beribadah Jum’at pada saat Khatib sedang khutbah tetap dianjurkan untuk shalat tahiyyatul masjid.
*       Hadis ketiga, konteknya adalah persamaan orang yang bicara sendiri ketika Khatib berkhutbah dengan khimar.

b.  Syarah hadist : mengenai syarah Hadis di atas dapat dibaca seperti di bawah ini :
1.     والحديث دليل على طلب الإنصات في الخطبة ( إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام: تقي الدين القشيري ج : 1، ص : 225)
2. اختلف الفقهاء فيمن دخل المسجد والإمام يخطب: هل يركع ركعتي التحية حينئذ أم لا؟ فذهب الشافعي وأحمد وأكثر أصحاب الحديث إلى أنه يركع لهذا الحديث وغيره مما هو أصرح منه وهو قوله صلى الله عليه وسلم: "إذا جاء أحدكم يوم الجمعة والإمام يخطب فليركع ركعتين وليتجوز فيهما وذهب مالك وأبو حنيفة إلى أنه لا يركعهما لوجوب الاشتغال بالاستماع (إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام : تقي الدين القشيري، ج : 1، ص : 223 – 224)

3. ( مثل الذي يتكلم يوم الجمعة والامام يخطب مثل الحمار يحمل اسفارا ) أي كتبا كبارا من كتب العلم فهو يمشي بها ولا يدري منها الا ما مر بجنبيه وظهره من الكد والتعب ( والذي يقول له أنصت لا جمعة له ) ( التيسير بشرح الجامع الصغير : الإمام الحافظ زين الدين عبد الرؤوف المناوي ج:1، ص : 719)
   أن من تكلم والإمام يخطب فهو كالحمار يحمل أسفارا وجه المشابهة أن الحمار الذي يحمل أسفار لا يستفيد منها والأسفار هي الكتب الحمار لو حملته كتبا لم ينتفع بها كذلك هذا الذي جاء يستمع الخطبة لكنه يتكلم لم ينتفع لانه يشتغل بكلامه عن استماعه ( الشرح المختصر على بلوغ المرام ج: 3، ص: 296)

Inti dari maksud syarah Hadis tentang wa al-imaamu yakhthub dalam sebagian kitab syarah hadis tersebut adalah tidak dibahas tentang keharusan antara imam dan khatib Jum’at harus satu orang, tetapi lebih menjelaskan pada aspek kontekstual Hadis. Artinya, hadis-hadis di atas tidak untuk menjelaskan keharusan imam dan khatib Jum’at adalah satu orang.
Misalnya adalah pada syarah nomer satu. Pada syarah tersebut dikatakan tentang keharusan diam pada saat berlangsungnya khutbah. Setahu saya, tidak ada syarah yang mengharuskan sebagaimana yang dikatakan para ta’mir masjid di desa saya.
Dalam pengertian ilmu nahwu, huruf و  adalah wawu haaliyah. Maksudnya adalah untuk menerangkan satu keadaan tertentu yang sedang berlangsung. Lebih jelasnya adalah bahwa hadis tersebut menjelaskan tentang satu hal yang terjadi pada saat berlangsungnya khatib yang sedang berkhutbah.

c.  Syarat dan rukun khutbah
Pemahaman  juga dapat dilakukan dengan memahami syarat-syarat dan rukun Khutbah Jum’at, yaitu sebagai berikut :

Syarat :
*       Niat
*       Khutbah pertama dan kedua harus dilaksanakan dengan keadaan berdiri bagi orang yang mampu,
*       Khutbah pertama dan kedua harus memakai bacaan bahasa Arab (?)
*       Khutbah pertama dan kedua harus dilaksanakan setelah matahari bergeser ke barat,
*       Khatib harus duduk antara khutbah pertama dan kedua dengan tenang, dan diam (tumakninah),
*       Khatib harus mengeraskan suaranya
*       Suci dari hadas (besar atau kecil) dan suci pula dari najis, tubuh, pakaian dan tempat khutbahnya
*       Menutup aurat,
*       Dilaksanakan sebulum pelaksanaan shalat Jum’at.

Adapun rukun-rukun Khutbah Jum’at ada lima, yaitu :
1.   Membaca hamdalah, memuji kepada Allah ta’ala di dalam khutbah pertama dan khutbah kedua.* 
2       Membaca shalawat atas Nabi Muhammad Saw. Di dalam khutbah pertama dan khutbah kedua.
3.   Memberi wasiat taqwalah. Tiga rukun khutbah ini wajib dibaca dalam khutbah pertama dan 
     kedua.
4.   Membaca (ayat) al-Qur’an di dalam salah satu dua khutbah. Khutbah pertama, atau khutbah 
     kedua. Tetapi al-Qur’an lebih baik dibaca di dalam khutbah yang pertama.
5.   Dalam khutbah terakhir membaca do’a tertentu untuk orang-orang mukmin.
Dalam ketentuan syarat dan rukun khutbah di atas, tidak tercantum imam dan khatib harus satu orang.

Kesimpulan
Berdasarkan matan Hadis, syarah Hadis dan juga syarat rukun khutbah tidak ada ketentuan secara eksplisit yang mengharuskan imam dan khatib adalah satu orang. Hal ini berarti, untuk melaksanakannya dapat dipilih ketentuan (1) imam dan khatib satu orang atau (2) imam dan khatib adalah orang yang berbeda.
Apabila dipilih imam dan khatib adalah orang yang berbeda tidaklah menyalahi sunnah Rasulullah. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama bahwa : bukan merupakan syarat khatib dan imam Jum’at (termasuk ‘Ied : penulis) satu orang karena tidak adanya dalil yang mensyaratkan demikian.
Hanya madzhab Maliki yang mengharuskan imam dan khatib satu orang, karena khutbah dan shalat jum’at adalah satu rangkaian.
Bila dipahami, pendapat madzhab Maliki berlaku hanya pada khutbah Jum’at dengan alasan khutbah dan shalat satu rangkaian. Sedangkan dalam khutbah ‘ied tidak berlaku ketentuan ini karena antara khutbah dan shalat ‘ied adalah dua hal terpisah.
Semoga bermanfaat dan menambah wawasan beribadah. Dan semoga kita beribadah tidak mendasarkan pada kebiasaan yang sudah berjalan, tetapi benar-benar berdasarkan ilmu.
والله اعلم بالصواب

Minggu, 31 Januari 2016

5 Pertanyaan untuk Para Isteri



Tak ada wanita yang paling bahagia di dunia ini melainkan kalau ia begitu dicintai suami dan dapat membahagiakan suami.
Apalagi bagi seorang muslimah pernikahan bukan sekedar pelabuhan cinta tapi jembatan menuju jannah Allah SWT.
Pernikahan adalah pusat investasi amal soleh bagi wanita yang segala keuntungannya akan dipetik di dunia dan yang paling utama adalah di akhirat.
Maka wanita yang paling bahagia dan paling sukses adalah mereka yang dimuliakan Allah SWT. akhirat kelak.
Semoga para istri tidak lupa, Andalah kelak yang akan menjadi wanita terbaik dan tercantik di dalam jannah Allah Ta’ala mengalahkan kecantikan dan keelokan para bidadari di surga.
Imam ath-Thabraniy meriwayatkan bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, apakah perempuan dunia yang lebih afdhal ataukah bidadari surga?”
Beliau saw. menjawab, “Perempuan dunia lebih afdhal dari bidadari surga seperti keutamaan pakaian luar dari pakaian dalam.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Dengan apa itu?”
“Dengan shalat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah SWT. Allah SWT. menghiasi wajah mereka dengan cahaya, pakaian yang paling baik, perhiasan emas, tempat mereka (dihiasi) mutiara, sisir mereka emas. Mereka berdendang dengan suara lantang yang belum pernah didengar oleh mahluk. Mereka berkata, ‘ingatlah kami adalah kekal dan kami tidak mati, ingatlah kami mendapat penuh kenikmatan sehingga kami tidak pernah bersedih selamanya, ingatlah kami tidak pernah bersedih selamanya, ingatlah kami orang yang mukim sehingga tidak pernah berpindah selamanya, ingatlah kami senantiasa ridha sehingga kami tidak marah selamanya. Alangkah bahagianya orang yang kami dulu menjadi miliknya (istrinya) dan dia adalah milik (suami) kami’.”
Cobalah mengukur diri Anda sendiri para istri dengan beberapa pertanyaan berikut, lalu lihat hasilnya apakah Anda sudah menjadi istri idaman hati suami, dan semoga Allah memudahkan perjalanan Anda ke surga.
1.      Apakah Anda bisa untuk selalu rendah hati di hadapan suami walaupun mungkin level status sosial dan pendidikan juga pekerjaannya berada di bawah Anda? Ingatlah Nabi saw. bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ.
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka” [HR Abu Dawud, 2142. At-Tirmidzi, 1192; dan Ibnu Majah 1925.]

2.  Bisakah Anda untuk selalu berterima kasih kepada suami Anda atas kebaikan yang ia berikan untuk keluarga meski itu mungkin remeh di hadapan orang lain dan Anda sendiri? Ingatlah Nabi saw. bersabda:
 يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِىَ لاَ تَسْتَغْنِى عَنْهُ
“Allah tidak memandang kepada perempuan yang tidak berterima kasih kepada suaminya dan dia tidak berupaya mengerjakan sendiri tanpa merepotkan suaminya.” (HR. Bayhaqiy)

3. Apakah Anda selalu berusaha untuk membuatnya ridlo, senang dan bahagia meski mungkin terkadang ada ketidakcocokan di antara Anda berdua? Ingatlah Nabi saw. bersabda:
“Maukah aku beritahukan tentang perempuan kalian di surga?” Kami berkata, “Benar ya Rasulallah!” Beliau bersabda, “Setiap perempuan yang subur, penyayang, jika ia dibuat marah atau diperlakukan buruk atau suaminya marah, ia berkata, ‘ini kedua tanganku di tanganmu, aku tidak akan bisa memejamkan mata hingga engkau ridho’.” (HR. Ath-Thabrani)

4.  Bisakah Anda mendahulukan hak suami dibandingkan hak Anda sendiri, karir Anda, dakwah Anda bahkan mungkin orang tua Anda? Karena memang pernikahan menjadikan seorang suami wajib untuk ditaati oleh para istri. Nabi saw. bersabda, “Seorang perempuan tidak bisa menunaikan hak-hak Allah SWT. hingga ia menunaikan hak-hak suaminya seluruhnya.” (HR. Ath-Thabrani)

5.      Bisakah Anda menjaga kehormatan diri ketika sedang tidak bersama suami? Tidak bersenda gurau dengan lelaki lain dan membiarkan diri Anda dirayu olehnya? Ingatlah Nabi saw. bersabda tentang ciri perempuan salehah adalah, "kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu …"  (HR Hakim)
Mungkin ini sedikit bahan pertanyaan bagi para muslimah, khususnya para istri, demi memperbaiki kualitas rumah tangga Anda dan meningkatkan level ketaatan Anda di hadapan suami dan pastinya Allah SWT.
Semoga Allah memberkahi rumah tangga kaum muslimin yang taat kepadaNya. Sumber  http://www.iwanjanuar.com/5-pertanyaan-untuk-para-istr www.facebook.com/720805134635266