Selasa, 23 September 2008

Putri Serindang Bulan

Riwayat Rajo Setia Barat Indopuro
(legenda 6 lubang di Muara Sangei)
at Thursday, July 10, 2008
Posting by Dodi Oktavianto

Pada suatu malam, Rajo Setio Barat Indopuro pergi untuk menikmati keindahan lautan dengan mengendari kapal, sampai ditengah lautan luas, ia melihat ada suatu cahaya yang terang yang memancar dari sebuah pulau, iapun memutar haluan mendekati pulau, dan ia memerintahkan kepada Hulu Balang, untuk mencari tahu sumber cahaya tersebut. Ternyata cahaya tersebut berada diatas pohon kelapa, dan disekeliling pohon tersebut banyak sekali terdapat binatang serangga dan jenis ular yang berbisa, sehingga Hulu Balang tidak dapat mendekatinya.
Oleh karena keingin tahuan Rajo Setio Barat akan sumber cahaya itu, maka Rajo sendiri yang langsung menghampirinya. Dengan kesaktian Rajo Setio Barat, akhirnya Rajo dapat mendekati pohon kelapa itu, dan ternyata sumber cahaya itu adalah seorang Puteri yang cantik jelita “Puteri Lindung Bulan”, akhirnya Puteri Lindung Bulan mengikuti Rajo Setio Barat pulang ke Kerajaan Indopuro.
Setelah sampai di Kerajaan Indopuro, Rajo mengundang para Ajai, para cerdik pandai dan orang-orang terkemuka di Kerajaan, untuk memperkenalkan sang Puteri, dan sekaligus menyampaikan niatnya untuk memperistri Puteri Lindung Bulan ini. Sebelum dilaksanakan pernikahan, maka dikirimlah surat untuk mohon restu dan kesediaan Rajo Jang Tiang Pat di Lebong (Sultan Sarduni) sebagai wali pernikahan ini, namun berhubung Sultan Sarduni tidak dapat menghadirinya, maka Sultan Sarduni mengutus keenam anaknya yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Genain, Ki Nio dan Karang Nio.
Sebelum enam bersaudara ini berangkat, dan untuk meredam kemarahan saudara-saudaranya, Karang Nio harus berbohong kembali dan menjelaskan kepada saudara-saudaranya bahwa dahulu ia telah benar-benar membunuh Puteri Lindung Bulan, namun seperti kita maklumi, bahwa kita adalah keturunan Rajo yang memiliki kesaktian, begitu juga halnya dengan Puteri.
Setelah mendengar penjelasan yang logika tersebut, maka berangkatlah keenam bersaudara ini menuju Kerajaan Indopuro, sebagai utusan Sultan Sarduni/Rajo Tiang Pat.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Indopuro dan menjelaskan identitas diri mereka, Rajo Setio Barat tidak percaya begitu saja dengan keterangan mereka, maka untuk menguji kebenarannya, maka Rajo Indopuro memanggil Puteri Lindung Bulan beserta 6 orang Puteri Kerajaan, yang didandani dengan pakaian seragam, sehingga bila dilihat sepintas lalu, sulit untuk mengenal mana Puteri Lindung Bulan.
Diwaktu ketujuh Puteri tersebut berada di Balairung Sari, maka dipanggillah Ki Geto bersaudara, dengan cara bergiliran untuk menunjuk yang mana Puteri Lindung Bulan, namun tak seorangpun yang dapat membedakannya, terakhir tibalah giliran Karang Nio. Dan diwaktu Karang Nio berada dihadapan ketujuh Puteri, Puteri Lindung Bulan menyibakkan rambutnya untuk memperbaiki letak rambutnya sehingga terlihatlah bekas luka, maka dengan tidak ragu-ragu Karang Nio menunjukkan dialah Puteri Lindung Bulan itu. Setelah Rajo Indopuro yakin bahwa mereka memang benar saudara-saudara Puteri Lindung Bulan, mereka diterima dengan baik sebagai keluarga Kerajaan, sehingga pernikahan dapat dilaksanakan, dan dengan dimeriahkan dengan Kejai (tarian adat Rejang) dan tarian/kebudayaan dari daerah-daerah lain selama 7 hari 7 malam.
Setelah usainya acara pernikahan ini, maka Ki Geto bersaudara berpamitan untuk pulang, dan Rajo-pun memberikan oleh-oleh sebagai tanda mata kepada mereka, masing-masing mendapatkan 1 ruas buluh telang emas, 1 tangan baju perak, 1 potong sabuk panjang 9 (setagen) dan 1 buah pencalang (sejenis perahu).
Berangkatlah keenam saudara ini dan diantar oleh Rajo Indopuro, Puteri Lindung Bulan dan keluarga Kerajaan, mengarungi lautan dengan menaiki pencalang masing-masing. Setelah mereka antara terlihat dan tidak, maka berkatalah Puteri Lindung Bulan : “ Ya.. Allah, bila memang benar aku ini adalah Puteri Rajo Kerajaan Jang Tiang Pat Renah Pelawi Lebong, dan kalau benar kakak-kakak ku dahulu ingin membunuhku, datangkanlah badai dan tenggelamkanlah pencalang mereka, kecuali yang membela dan melindungi aku.
Tidak lama kemudian, datanglah badai yang mengombang ambingkan pencalang mereka ditengah lautan, sehingga terbaliklah pencalang mereka, kecuali pencalang Karang Nio hingga akhirnya sampailah dia ketepi.
Setelah tiba ditepi dan menyaksikan saudara-saudaranya masih terombang-ambing sambil berpegangan dengan pencalang mereka dan Karang Nio-pun berharap semoga kelima saudaranya akan terdampar (Tersangei = bahasa Rejang) didaratan ini.
Tidak beberapa lama kemudian tibalah kelima saudaranya, dan menceritakan kepada Karang Nio, bahwa oleh-oleh bagian mereka telah tenggelam kedasar lautan dan pencalang mereka tersangei dimuara sungai (Muara Sangei/Sangai), mendengar itu Karang Nio menggali tanah membuat 6 buah lubang untuk tempat membagi bagiannya menjadi enam bagian sama banyak. Keenam lubang tersebut hingga saat ini masih dapat kita saksikan.

Admin :
Legenda inilah adalah lanjutan dari legenda Putri Lindung Bulan yang sebelumnya di tulis Dodi, bagi reader yang belum membacanya bisa di baca di link :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/06/putri-lindung-bulan-legenda-tentang.html

ShareThis
Labels: Folk Tale
1 comments:
Taneak Jang Tanah Rejang Rejang Land said...
cerita legenda Puteri Lingdung bulan dan lanjutan ini sangat mirip sekali dengan kisah yang di tulis ulang oleh Abdullah Siddik di Buku Hukum Adam Rejang. Reader lain ingin menyumbang cerita rakyat Rejang dan sekitar? kirim Naskahnya ke admin di taneakjang@gmail.com
Lenei ngen Uso

“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong

“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong
Oleh :Achmad Zulkani (Kompas)

Ujang Syafarudin (69) membakar kemenyan seukuran jempol jari orang dewasa. Asap wangi kemenyan memenuhi ruangan besar di sebuah rumah tua di Muara Aman, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Apa yang dilakukan merupakan prosesi ritual budaya yang dalam bahasa Rejang disebut Nundang Binieak yang turun-temurun dilakukan sejak berabad silam. Nundang Binieak dalam bahasa sehari-hari bisa diartikan sebagai mengundang bibit.
Mulut tetua adat Muara Aman itu tampak komat-kamit membaca doa dan mantra. Doa untuk para leluhur dan semua warga Rejang, intinya agar Yang Mahakuasa memberikan keselamatan dan melindungi tanaman padi yang bakal ditebar.
Persis di depan Syafarudin tergeletak seonggok benih padi berbalut kain putih. Benih sekitar 2,5 kaleng atau setara 10 kilogram ini sebelumnya dibasahi air dan dicampur tujuh macam ramuan ”obat” tradisional, antara lain jeruk nipis, daun cekrau, daun kumpei, satu kilogram rebung bambu gading (bambu kuning), kunyit busuk, 20 buah pinang dan kendur. Semua dipotong kecil-kecil dan diramu menjadi satu dengan benih padi tersebut. Benih ini terdiri atas inti berasal dari tujuh tangkai padi hasil panen tahun sebelumnya yang disimpan khusus, dicampur dengan benih padi bantuan pemerintah.
Beberapa saat kemudian, Syafarudin membuka kain putih penutup onggokan benih padi itu. Ia mengambil air kelapa muda hijau dengan setangkai daun sidingin (juga ramuan obat tradisional). Air kelapa muda itu dipercikkan ke tumpukan benih padi sampai kelihatan basah.
Prosesi ritual budaya itu lantas ditutup dengan doa selamat dan makan bersama oleh semua yang hadir. Hidangannya berupa nasi puncung dengan dua ayam matang utuh yang ditaruh di atas talam. Ayam itu juga bukan sembarangan, tetapi harus ayam putih dan biring, yakni seekor ayam warna kuning keemasan baik kaki maupun bulunya. Ayam harus utuh, tidak dipotong-potong layaknya hidangan biasa.
Seusai makan bersama, warga yang hadir dibekali sejumput benih yang sudah diramu untuk dicampur dengan benih yang disiapkan di rumah masing-masing. Sebaliknya, warga yang tidak datang akan diberi, sampai semua petani kebagian.
”Nundang Binieak adalah ritual adat budaya turun-temurun sejak berabad-abad silam di Lebong,” kata Syafarudin.
Muara Aman, sebuah kota kecil tua berhawa sejuk di lembah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, sekitar 165 kilometer dari Bengkulu. Kota yang kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lebong itu dihuni mayoritas etnis Rejang, etnis yang memiliki bahasa dan tulisan sendiri. Nilai-nilai adat dan budaya tradisional Rejang sampai sekarang masih dijunjung tinggi masyarakat setempat.
Cegah hama
Kenapa Nundang Binieak harus dilakukan? Menurut Syafarudin, di era modern sekarang tradisi yang sangat diyakini dan dipatuhi etnis Rejang di Muara Aman itu mungkin ditanggapi beragam oleh orang luar. Tetapi, bagi warga Rejang di Muara Aman, ritual ini diyakini bisa ”memagar” tanaman padi agar tak diganggu hama penyakit.
”Semua ramuan yang diaduk dengan benih padi ada artinya. Rebung bambu kuning misalnya, selama ini mampu mencegah tanaman padi di sawah dari serangan hama tikus. Kendur dan kunyit busuk diyakini dapat mengusir hama kutu seperti walang sangit. Jadi, ramuan itu bukan asal saja, tetapi diambil dari tumbuhan yang dipakai sebagai obat tradisional oleh masyarakat Rejang,” tutur Syafarudin.
Bagaimana kalau ritual Nundang Binieak ditinggalkan? Sembari menghela napas dalam-dalam, Syafarudin menyatakan, orang di luar etnis Rejang mungkin akan berkomentar beragam. ”Ini hanya sekadar tradisi, ritual adat dan budaya Rejang warisan nenek moyang sejak berabad-abad. Prosesi ritual ini lazimnya selalu menjelang turun ke sawah. Jika ada warga atau petani di Lebong tidak percaya ritual ini, silakan saja. Tidak ada pemaksaan, tergantung keyakinan masing-masing,” katanya.
Dua petani di Lebong, Amirul Mukmin (4 dan Khadijah (60), melukiskan, musim tanam tahun lalu ada petani yang tidak hirau dengan Nundang Binieak. Mereka turun ke sawah dan menanam padi tanpa menunggu prosesi ritual ini. ”Nyatanya, waktu itu sebagian besar tanaman padi di Lebong gagal panen. Hama tikus dan walang sangit mengganas. Apakah meluasnya hama saat itu ada hubungan atau tidak dengan ditinggalkannya tradisi ini, ya terserah orang mengartikan,” kata mereka.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu mencatat, musim tanam tahun 2007 tingkat keberhasilan panen di Lebong memang sangat rendah. Dari sekitar 3.600 hektar areal sawah yang ditanami warga, lebih dari 50 persen gagal panen karena diserang hama tikus.
Syafarudin menambahkan, sekarang tradisi ini sebetulnya sangat relevan. Dalam konteks kekinian, Nundang Binieak sama dengan gong atau ketok palu agar petani turun serentak ke sawah. Biasanya, warga tidak peduli kalau hanya diimbau pejabat pertanian. Tetapi, jika aba-aba turun ke sawah datang dari tetua adat, semua akan patuh.
Selain itu, kalau semua areal sawah digarap, tanam serentak, biasanya tikus tidak mengganas. Memang masih ada gangguan hama, tetapi tidak seganas kalau tanam tidak serentak. ”Logikanya sangat sederhana. Kalau semua areal sawah di hamparan luas digarap, pasti tikus kesulitan bersarang. Hama ini akan lari ke hutan. Jadi, dalam konteks kini sepertinya sangat cocok,” ujar Syafarudin dan Amirul Mukmin.
Kearifan lokal masyarakat Rejang ini sejatinya tidak bertentangan dengan program pemerintah. Pesan-pesan moral dari leluhur yang diwujudkan dengan tradisi seperti Nundang Binieak di Rejang barangkali tidak ada salahnya dilestarikan. Buktinya, setelah ritual itu, ribuan petani Lebong kini ramai-ramai turun serentak ke sawah….

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):

Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.

Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:

Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.


http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin

Bentuk "Teater Rakyat " Bengkulu

Nandai Batebah
(Bentuk "Teater Rakyat " Bengkulu)
at Saturday, June 07, 2008
Nandai Batebah (Bengkulu)

Asal-usul
Bengkulu adalah salah satu provinsi yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di provinsi ini ada sebuah teater tradisional yang disebut Nandai Batebah. Selain sebutan itu, teater ini juga sering disebut sebagai “Andai-andai” atau “Geguritan”. Nandai Batebah merupakan istilah yang terdiri atas dua kata, yaitu “Nandai” dan “Batebah”. Nandai yang berasal dari kata “andai” berarti “misalkan”, “jika” atau “umpama”. Sementara, batebah berarti “ditembangkan” atau “dilagukan”. Sedangkan, andai-andai berarti “perumpamaan”. Dan, geguritan yang berasal dari kata dasar “gurit” berarti “bersenandung”. Berdasarkan arti dari berbagai kata tersebut, maka nandai batebah dapat diartikan sebagai suatu ceritera “berandai-andai” yang disampaikan oleh juru nandai dengan cara dilagukan atau ditembangkan .

Ceritera-ceritera yang disenandungkan adalah ceritera-ceritera rakyat Bengkulu yang sarat dengan nilai-nilai. Teater ini berfungsi tidak hanya sebagai pelepas rutinitas dalam kehidupan keseharian masyarakat pendukungnya, tetapi juga untuk menghibur sebuah keluarga yang salah satu anggotanya meninggal dunia, sehingga mereka tidak larut dalam kesedihan yang mendalam.

2. Pemain, Peralatan, Tempat dan Waktu Pertunjukan
Pemain nandai batebah hanya satu orang, yaitu juru nandai (biasanya laki-laki). Agar pertunjukkan dapat berjalan mulus dan sempurna, maka seorang juru nandai harus: (1) memahami ceritera klasik daerah Bengkulu; (2) mengatur volume suara, artikulasi dan intonasi; (3) mahir memainkan lagu-lagu dengan irama yang khas; (4) dapat menciptakan humor yang halus ataupun tajam; (5) mahir menciptakan kalimat-kalimat sastra; dan (6) paham tentang bahasa-bahasa kiasan, peribahasa dan perumpamaan yang hidup di kalangan masyarakat Bengkulu. Dengan demikian, walaupun tanpa mempersiapkan skenario yang tertulis, dengan spontan ia dapat menggelarkan nandai batebah dengan baik.

Teater yang disebut sebagai nandai batebah ini hanya menggunakan sebuah alat yang disebut gerigik. Gerigik adalah semacam tabung yang terbuat dari bambu (seperti peralatan dapur yang digunakan untuk membawa dan menyimpan air). Bagian samping atasnya dilubangi untuk memasukkan air. Lubang itu berfungsi sebagai “pegangan” dalam menentengnya. Caranya adalah dengan memasukkan kedua jari ke dalam lubang tersebut. Kemudian, bagian atasnya dilapisi dengan kain atau apa saja agar terasa empuk karena selama pertujukkan berlangsung, lengan kiri atau lengan kanan juru nandai berada atau ditumpangkan di atasnya. Sedangkan, bagian bawahnya atau dasar gerigik diletakkan pada lantai. Di samping gerigik biasanya juga disertai dua bantal untuk penopang kedua belah paha kiri dan kanan juru nandai.

Pertunjukan nandai batebah biasanya dilengkapi dengan sesaji agar terhindar dari gangguan roh-roh jahat, sehingga pertunjukan dapat berjalan lancar. Sesaji berupa jambar dengan gulai ayamnya diletakkan di atas jambar tai. Jambar adalah nasi ketan berkunyit (ketan kuning) dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti sebuah gunung dan ditempatkan bersama gerigik di hadapan juru nandai. Sementara untuk menjamu tamunya, penyelenggara biasanya menyediakan makanan tradisional, seperti: sagon, lepe` pisang, lepe` ubi dan cucur pandan.

Pertunjukan nandai batebah biasanya diadakan di tempat yang agak tertutup seperti serambi atau ruangan tengah rumah. Di tempat-tempat seperti itu mereka duduk secara melingkar (membentuk lingkaran-oval), sehingga suara juru nadai dapat terdengar dengan jelas. Jika pertujukkan bertempat di ruangan tengah rumah, maka pintu dan jendela dibuka, sehingga penonton yang tidak dapat duduk di dalam (karena telah penuh) dapat menikmatinya dari luar. Biasanya pertunjukkan dilakukan pada malam hari, yaitu dari pukul 20.00 (setelah sholat Isya) sampai pukul 04.00 WIB (menjelang waktu subuh). Jika ceritera (lakon) yang dibawakan oleh juru nadai tidak selesai (tamat) dalam satu malam, maka pada malam berikutnya dilanjutkan dalam waktu yang sama. Sebagai catatan, jika pertunjukkan bertempat di kediamanan orang yang sedang berduka cita, maka hanya beberapa jam saja. Maksimal hanya sampai tengah malam.

3. Jalannya Pertunjukkan
Pada hari dan waktu yang telah disepakati, datanglah juru nandai ke rumah penyelenggara. Ia disambut oleh tuan rumah dan dipersilahkan duduk di atas tikar pada tempat yang telah disediakan. Melihat kehadiran sang juru nandai, para undangan dan tetangga pun berdatangan. Mereka disambut oleh tuan rumah dan dipersilahkan duduk secara melingkar. Sebagai catatan, jika pertunjukkan dilakukan di ruang tengah rumah, maka jendela dan pintunya dibuka lebar-lebar, sehingga ketika ruang tersebut penuh, mereka dapat menyaksikannya dari luar.

Ketika para undangan, tetangga, dan penonton lainnya sudah berdatangan, maka pihak tuan rumah menaruh sesaji yang berupa jambar dan gulai ayam di hadapan juru nandai. Selain itu, agar juru nandai dapat duduk dengan nyaman, maka pihak tuan rumah menyediakan dua buah bantal. Setelah itu, seseorang yang mewakili tuan rumah menyerahkan gerigik kepada juru nandai sebagai isyarat bahwa pertunjukkan dapat dimulai. Dengan adanya isyarat itu, maka juru nandai segera mengambil kedua bantal yang telah disediakan, lalu menaruhnya di bawah kedua lututnya (bantal yang satu ada di bawah lutut kiri dan yang satunya lagi ada di bawah lutut kanan) Sedangkan, gerigik digunakan untuk menopang lengannya secara bergantian (kiri dan kanan), sehingga posisi badan tetap tegak. Selanjutnya, juru nandai berdoa kepada Allah SWT agar pertunjukan dapat berjalan dengan lancar dan pihak keluarga serta para tetangga maupun handai taulan yang hadir selalu diberi rahmat-Nya.

Seusai berdoa, juru nandai mulai ber-nandai dengan mengucapkan rejung (pembukaan yang berbentuk prosa liris). Isinya adalah tentang permintaan maaf, jika dalam ber-nandai ada kekurangan atau kekhilafan. Selanjutnya, juru nandai memaparkan salah satu ceritera rakyat Bengkulu dalam bahasa Serawai dan dalam bentuk prosa irama. Jadi, kalimat-kalimat yang tersusun dalam bait-bait puisinya secara keseluruhan mewujudkan sebuah porsa liris. Adapun lagu-lagu yang menyertainya disesuaikan dengan ceritera yang dibawakannya. Pemaparan itu dilakukan babak demi babak sampai akhirnya tamat. Dan, dengan tamatnya suatu ceritera, maka berakhirnya pertunjukkan nandai batebah.

Sebagai catatan, dalam pertunjukkan nandai batebah, juru nandai tidak melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, tetapi hanya duduk bersila. Jika pendengar tampak mengantuk ketika mendengar cariteranya, ia hanya membuat kejutan-kejutan dengan menyaringkan atau mengeraskan suaranya.

4. Nilai Budaya
Nandai batebah, sebagai salah satu jenis teater tradisional khas Bengkulu, jika dicermati secara seksama, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu antara lain adalah kesetaraan, ketenggang-rasaan, kreativitas, dan religius.
Nilai keseteraan tercermin dalam pergelaran nandai batebah itu sendiri. Dalam konteks ini para pendengar sama-sama duduk di atas tikar yang telah disediakan oleh tuan rumah dalam formasi melingkar. Jadi, tidak ada yang lebih tinggi dan atau rendah. Semuanya diperlakukan sama (sederajat).

Nilai ketenggang-rasaan tercermin dalam pergelaran yang ditujukan kepada keluarga yang sedang berduka cita karena salah seorang anggotanya meninggal dunia. Pagelaran ini memang dimaksudkan agar keluarga yang sedang berduka cita tersebut terhibur, sehingga tidak larut dalam kesedihan yang berlebihan. Namun demikian, pagelaran tidak dilakukan sampai pagi, tetapi hanya beberapa jam. Dan, ini adalah sebagai wujud ketenggang-rasaan.

Nilai kreativitas tercermin dalam diri juru nadai. Dalam konteks ini juru nandai harus memahami ceritera klasik daerah Bengkulu; mengatur volume suara, artikulasi dan intonasi; mahir memainkan lagu-lagu dengan irama yang khas; dapat menciptakan humor yang halus ataupun tajam; mahir menciptakan kalimat-kalimat sastra; paham tentang bahasa-bahasa kiasan, peribahasa dan perumpamaan yang hidup di kalangan masyarakat Bengkulu. Dengan demikian, walaupun tanpa mempersiapkan skenario yang tertulis, dengan spontan ia dapat menggelarkan nandai batebah dengan baik. Untuk itu, diperlukan kreatifitas yang tinggi.

Nilai religius tercermin dalam doa yang dipanjatkan oleh juru nandai. Dalam konteks ini, sebelum pergelaran dimulai, juru nandai berdoa kepada Allah SWT agar pertunjukkan dapat berjalan dengan lancar dan pihak keluarga serta para tetangga maupun handai taulan yang hadir selalu diberi rahmat-Nya. (AG/bdy/68/10-07)

Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://melayuonline.com/culture/?a=UnFSei9zVEkvUXZ5bEpwRnNx=

Patang Stumang

Patang Stumang
Posted by Erwin S Basrin
Patang setumang adalah pilosofi dalam sistem peradaban Rejang dalam mengaplikasi sistem komunal yang lebih besar atau sistem pertemanan yang lebih kecil, Patang dalam bahasan Rejang adalah larangan dengan beberapa konsekwensi ketika dilanggar, Setumang adalah berpisah, berpisah ini diterjemahkan secara holistik yang mencakup beberapa dimensi kehdupan dengan berbagai tahapan generasi.
Dalam sehari-hari pepatah ‘pet samo nuwang, mis samo muk’ adalah bagian turunan dari aplikasi Patang Setumang. Jika dilihat lebih jauh dalam sejarah Rejang Patang Setumang ini hampir sama tuanya dengan peradaban Rejang itu sendiri, Dari sistem komunal yang paternalistik, genelogis dan kepercayaan-kepercayaan lokal di Rejang banyak yang mengajari dan menjelaskan kesepakatan adat mengacu pada Patang Setumang, Kesepakatan adat antar 4 Ajai di Lebong Atas adalah awal yang mengclearkan sistem ini dalam bentuk kesepakatan tertulis dalam sejarah turun temurun dikenal dengan prosesi pemotongan Kerbau yang tanduknya diukir, jantung dan hatinya dimakan sebagai simbol kesepakatan tersebut jadi darah dan daging yang akan diturunkan ke generasi berikutnya tentunya melalui perkawinan yang eksogami, tujuannya adalah untuk menyebarkan ajaran Patang Setumang ini lebih luas.
Periode berikutnya dari Aplikasi Patang Setumang adalah kesepakatan yang dilakukan di Gua Kazam Lebong Atas yang lebih rigit menjelaskan bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan yang akan di sepakati oleh masinh-masinh komunitas Rejang di manapun berada, kesepakatan yang dilakukan ini antara lain disepakati So Samo Kamo Bamo…… sebuah bahasa penyederhanaan dari Patang Setumang, turunan-turunan bahasa Patang Setumang ini kemudian dalam komunitas yang lebih kecil seperti topos tunun puweng kutai donok tunun pelbeak adalah bentuk bahasa dan kesepakatan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh warga komunitasnya terutama di kampung-kampung.

Apakah kemudian Patang Setumang ini dalam kontek lebih besar berdampak pada sistem pembangunan komunitas maupun pada pembangunan nurani .? Lebong yang dikenal sebagai pusat dan tempat asal usul suku Rejang dalam sistem Administrasi pemerintahan mengunakan simbol Patang Setumang, tentunya ini membawa konsekwensi yang sangat besar bagi generasi yang saat ini mengunakan paslsafah ini maupun bagi generasi berikutnya , apakah Patang Setumang ini bisa diterjemahkan dalam sistem berkehidupan maupun relasi antar mereka dalam mengkonsolidasi kembagi komunitas-komunitas yang semakin tersebar dan mulai dirasuki globalisasi yang mendistori arti sistem lokal ini.

Dalam perjalanannya Patang Setumang ini hanya sebatas Slogan, namun nilai-nilai yang ada dalam Patang Setumang di tinggalkan dan ini pasti akan berdampak pada komunitas dan generasi berikutnya. Pengingkaran Sistem Patang Setumang ini karena deklarasinya ada tahapan yang terlupakan, misalnya apakah ini lahir dari kesepakatan adat atau memang lahir atas kepentingan politik yang jauh sekali dari nilai-nilai lokal yang mistik. Di Lebong saja sudah mulai mengakumulasi kekuasaan, modal dan penguasaan terhadap tanah-tanah sebagai alat produksi warga komunitas dan ini berakibat adanya ketimpangan sosial, budaya dan modal sehinga yang tampak adalah penguasa di satu sisi dan rakyat yang di tindas di sisi lain dan proses ini jauh sekali dari nilai-nilai Patang Setumang.

Akibat dari distosi pemahaman Patang Setumang dan Aplikasinya akan ada konsewensi secara psikologis misalnya masyarakat Rejang ‘patang merajuk, amen merajuk patang belek, patang mengiak amen mengiak munuak tun’ ini adalah ungkapan ketika terakumulasinya dari akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Patang Setumang, ada banyak pelajaran sebagai gejalah akan terjadinya dampak psikologis tersebut tanda-tanda alam dengan gagalnya panen, munculnya binatang liar di tengah-tengah pemukiman penduduk, dan stigma terhadap kelompok dan perorangan.
Tentunya bagi pegiat dan warga komunitas yang masih memegang teguh sistem lokal yang ada mari Patang Setumang ini kita jadikan sebagai proses konsolidasi ditengah merosotnya eksistensi komunitas Rejang dalam berbagai struktur kemasyarakatan, sistem budaya, sosial dan relasi dengan komunitas yang lebih besar.
www.amarta.wordpress.com

Minggu, 21 September 2008

Membangun Obyek Wisata Danau Tes

Membangun Obyek Wisata Danau Tes
Oleh Naim Emel Prahana

Sungguh suatu keberuntungan bagi kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan UU No 39 tahun 2003 itu mempunyai potensi alam yang sangat refresemtatif untuk dikembang-bangunkan berbagai obyek wisata alam. Apalagi, dari 192.424 ha luas wilayah, 134.834,55 ha merupakan kawasan konservasi yang termasuk bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang luasnya mencapai 111.035 ha.
Ditambah lagi wilayah Kabupaten Lebong memiliki hutan lindung seluas 20.777, 40 ha dan hutan cagar alam seluas 3.022,15 ha. Memang secara produktivitas aspek-aspek kegiatan perekonomian mengalami kendala dengan adanya penetapan TNKS oleh SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang didukung oleh SK Menteri Pertanian dan Perkebunan RI No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung Rimbo Pengadang Register 42. sejarah penetapan kawasan hutan lindung yang mencakup wilayah Kabupaten Lebong itu dimulai pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai kawasan hutan Boven Lais atau disebut juga sebagai hutan batas Boswezen (BW).
Posisi itulah yang sering dijadikan alasan pemerintah kabupaten Lebong (Pemkab Lebong) untuk tidak bisa membangun wilayah itu semaksimal mungkin. Alasan itu sering menjadi sikap pesimis untuk memajukan Lebong, terutama meningkatkan kemajuan masyarakatnya di semua sektor kegiatan pembangunan. Namun demikian, kita tidak boleh terpaku dengan statuta kawasan hutan yang ada di Kabupaten Lebong itu. Apalagi bersikap pesimis.
Kabupaten Lebong dapat dikembangkan melalui pembangunan obyek wisata alam yang sangat besar pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah itu. Sayangnya, hingga sekarang Pemkab Lebong belum membuat proposal tentang potensi obyek wisata daerah itu secara baik. Beberapa obyek wisata di Lebong yang dapat dikembangkan, memungkinan terjadi percepatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah itu.
Pengembangan dalam pembangunan sektor pariwisata di Lebong dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok. Pertama, obyek wisata alam. Di mana alam Lebong yang sangat mempesona itu, dapat dikembangkan dan dibangun obyek wisata yang berskala Internasional. Misalnya keberadaan Danau Tes yang terletak antara Desa Kotadonok dengan Desa Tes (ibukota Kecamatan Lebong Selatan). Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu mempunyai panjang sekitar 5 km dengan lebar rata-rata 200 meter.
Danau Tes yang mempunyai potensi ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, jika dikembangkan menjadi obyek wisata. Kabupaten Lebong mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan PADnya melalui sektor pariwisata. Walaupun diusia yang hampir 10 tahun ini, Pemkab Lebong tidak mempunyai sense of build, khusus untuk pembangunan atau pengelolaan sektor wisata. Sementara mengolah daerahnya sendiri masih belum terorganisir secara proporsional dan profesional sebagaimana daerah kabupaten lainnya yang seusia dan lebih maju.

Profil Danau Tes
Danau Tes mempunyai kekayaan cerita rakyat berbentuk; legenda, mitos, kepercayaan dan sejarah nenek moyang orang lebong. Danau yang terletak di 2 (dua) wilayah kemasyarakatan (marga), yaitu Marga Jurukalang dan Marga Bermani itu—kemudian kedua marga itu digabungkan dalam satu marga (hingga sistem kemargaan dihilangkan) menjadi Marga Bermani Jurukalang. Wilayah Marga Bermani Jurukalang itu (salah satu asal suku Lebong) membawahi mulai dari Desa Tapus (Topos, desa tertua di Lebong) sampai Desa Turun Lalang. Sekarang secara administratif Marga Bermani Jurukalang terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan (awalnya hanya wilayah Kecamatan Lebong Selatan).
Danau Tes yang merupakan perut Bioa Ketawen (Air Ketahun) merupakan wilayah sumber mata pencarian penduduk sekitarnya, termasuk sepanjang Air Ketahun yang melintasi Kabupaten Lebong. Di danau itu, masyarakatnya dapat mencari ikan dengan pancing, jala, bubu, jaring, mengacea (mancing di air deras), tajua (pancing yang dipasang malam hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak, tombak ikan bermata tiga (trisula) dan menggunakan perahu) dan sebagainya alat penangkap ikan khusus masyarakat Kotadonok dans ekitarnya.
Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah Danau. Sedangkan yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di pinggir-pinggir danau.
Di sisi lain, Danau Tes merupakan sarana transportasi air bagi penduduk Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten (nama arean pertanian yang terletak diseberang Desa Tes, Taba Anyar, Mubai dan Turun Tiging). Alat transportasi penduduk ke sawah dengan jarak tempuh sekitar 4 km adalah menggunakan perahu kayu. Demikian juga, untuk mengangkut hasil panen, perahu adalah alat transportasi yang digunakan sejak zaman dahulu kala.
Di sepanjang jalan di tepi Danau Tes yang menghubungkan Desa Kotadonok dengan Ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes sepanjang 5 km—yang jalannya adalah jalan utama di Kabupaten Lebong. Dapat disaksikan betapa indahnya panorama Danau Tes. Di sana ada tempat wisata bernama Pondok Lucuk (Pondok Runcing; karena bentuk bangunannya sejak zaman Kolonial adalah atapnya mengerucut ke atas dengan luas bangunan sekitar 6 X 6 meter. Lokasinya berada di sebelah kanan arah jalan dari Kotadonok ke Tes, tepat berada di pinggir Danau Tes.
Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MtsAin) Kotadonok. Dan, di puncak bukit sebelah kiri, terdapat keramat yang populer disebut dengan nama Tepat Taukem (tepat= keramat, taukem= nama tempat). Di Tepat Taukem itu terdapat besi bundar. Yang konon kabarnya, bagi anak haram (orang yang dilahirkan karena perbuatan zina di luar ikatan perkawinan yang saha), tidak akan mampu mengangkat bola besi tersebut.
Di tempat yang sama terdapat peninggalan sejarah berupa meriam besi. Daerah Tepat Taukem saat ini sudah tumbuh subur hutan pinus yang ditanam pada zaman orde baru sebagai bentuk penghijauan daerah tersebut.

Lebong Tambah Emas

Lebong tambang emas
Lebong Tawarkan Wisata Alam, Tambang, dan Hutan
Pemkab Lebong mulai tahun anggaran 2008 akan menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang, dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau ranau dengan target mendatangkan 100.000 pengunjung, lokal maupun nusantara.
Objek wisata alam yang akan ditawarkan itu antara lain keindahan Danau Tes, Danau Air Picung, Air Panas Air Putih, dan Air Terjun Palih, sedangkan wisata tambang antara lain Lobang Kacamata eks penggalian tambang emas zaman kolonial Belanda, serta kawasan hutan perawan untuk penelitian, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Yustin Hendri, Kamis (31/1).
Menurut dia, selama ini objek wisata di Kabupaten Lebong itu masih tidur dan belum pernah ditawarkan ke luar, karena wilayah itu sebelumnya masih merupakan sebuah kecamatan dari Kabupaten Rejang Lebong.
Setelah Lebong dimekarkan menjadi kabupaten sejak empat haun lalu maka sektor pariwisata mulai digiatkan, karena keindahannya tidak kalah dengan objek wisata lainnya di Sumatra.
Saat ini, pihaknya juga tengah membina sekitar 14 kelompok penari budaya lokal, nantinya diharapkan dapat menerima para pelancong yang datang ke Lebong untuk menikmati objek wisata alam di daerah itu.
Kabupaten Lebong juga memiliki tradisi sakral yang masih terpendam namun cukup menarik yaitu “Kedurai Agung”, acara adat tolak balak jika ada musibah alam, biasanya diperingati satu kali dalam setahun.
“Kedurai Agung” selama ini dipercaya warga sebagai tolak balak usai terjadi musibah, seperti banjir bandang, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, ujar Yustin.
Saat ini hari peringatannya belum ditentukan, masih dibahas dalam musyawarah adat setempat, namun selama ini sudah diperingati oleh sekelompok warga adat, terutama bila terjadi musibah.
Sementara beberapa objek wisata alam seperti air terjun dan wisata danau pada tahun 2008 akan ditingkatkan fasilitasnya, agar pengunjung betah dan tertarik untuk datang.
Objek wisata Lobang Kacamata eks pertambangan emas zaman kolonial Belanda, bila dilihat dari kejauhan hanya sebuah bukit kecil di atas pasar Muara Aman, namun begitu sampai di lokasi di dalam bukit batu itu sudah penuh dengan jalan dan lobang-lobang dengan empat lantai, bahkan lobang bagian bawah tanah dalamnya mencapai 1.000 meter.
Di sekitar bukit batu itu kini terdapat beberapa lokasi penambangan emas tradisonal dengan menggunakan gelundung sebagai alat pendulang, hasil tambangnya dijual ke penampung lokal.
Kabupaten Lebong sebagian besar dikelilingi kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), di dalam perut bumi kawasan hutan itu tersimpan potensi emas yang cukup banyak dan berkualitas tinggi, namun tidak bisa digarap.
Sejak zaman kolonial Belada Lebong dikenal sebagai penghasil emas terbesar di Sumatera sebagai bukti hidup saat ini emas yang ada di tugu Monas Jakarta sebagian besar sumbangan dari Lebong, tambah Yustin Hendri. (Ant/OL-06)

Lebong Rawan Longsor

Lebong Rawan Bencana
Lebong merupakan kawasan rawan bencana. Selain banjir dan tanah longsor, ancaman lainnya adalah gempa bumi. Soalnya, berdasarkan keterangan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Cabang Bengkulu, Bambang Purbiantoro, Lebong berada di lintasan patahan Sumatera.
Berdasarkan keterangan yang kita peroleh, Lebong sering menjadi pusat gempa karena patahan Sumatera yang melintas di Provinsi Bengkulu berdekatan dengan Lebong, terang Ketua PMI (Palang Merah Indonesia) Lebong, H Rusdi Mahmud SKM.
Terkait hal itu, lelaki yang juga menjabat sebagai Kadisdinkes Lebong itu mengharapkan masyarakat waspada. Hanya saja masyarakat tak perlu panik dan takut.
Sementara itu, kategori rawan bencana banjir dan longsor, lanjut Rusdi, mencakup hampir setengah wilayah pemukiman masyarakat. Dari total desa/kelurahan yang berjumlah 77, 38 desa/keluruhan masuk kategori tersebut. Pengkategorian tersebut berdasarkan pengalaman bencana yang telah terjadi dan pertimbangan kondisi geografis dan topografis. Terletak di daerah perbukitan yang sebagian besar berada diatas 1000 m dpl (di atas permukaan laut) serta memiliki kemiringan lebih dari 40 derajat.
Status tersebut ditetapkan sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan kita dalam mengantisipasi dan menanggulanginya. Intinya, kami berharap masyarakat bisa lebih waspada, kata Rusdi.
Dikatakan Rusdi, sejauh ini pihaknya sudah melatih 30 orang anggota KSR yang dipersiapkan sebagai tenaga sukarela yang handal. Sehingga, apabila terjadi bencana alam maka anggota KSR lah harus yang lebih proaktif memberikan bantuan pada warga.
Anggota KSR yang dilatih merupakan representasi dari setiap kecamatan. Sengaja dipilih seperti itu, supaya jalur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan bisa efektif dan efisien, kata Rusdi. (467)
//grafiss

Nama Desa/Kelurahan Rawan Longsor dan Banjir
Desa/Kelurahan Status
1.Tanjung Agung Rawan Longsor
2.Danau Rawan Longsor
3.Atas Tebing Rawan Longsor
4.Talang Leak I Rawan Banjir
5.Talang Leak II Rawan Banjir
6.Bungin Rawan Banjir Bandang
7.Ujung Tanjung I Rawan Banjir
8.Ujung Tanjung II Rawan Banjir
9.Talang Ratu Rawan Longsor
10.Sukasari Rawan Longsor
11.Kota Donok Rawan Longsor
12.Mangkurajo Rawan Longsor
13.Tes Rawan Longsor
14.Tik Kuto Rawan Longsor
15.Rimbo Pengadang Rawan Longsor
16.Tanjung Rawan Banjir
17.Talang Donok Rawan Banjir
18.Tapus Rawan Longsor
19.Suka Negeri Rawan Longsor
20.Bandar Agung Rawan Banjir Bandang
21.Limau Pit Rawan Banjir
22.Taba Seberang Rawan Banjir
23.Seblat Ulu Rawan Longsor
24.Katenong I Rawan Banjir Bandang
25.Katenong II Rawan Banjir Bandang
26.Talang Bunut Rawan Banjir
27.Bentangor Rawan Banjir
28.Garut Rawan Banjir
29.Kota Agung Rawan Banjir
30.Kota Baru Rawan Banjir
31.Embong Uram Rawan Banjir
32.Lemeu Rawan Banjir
33.Ladang Palembang Rawan Longsor
34.Lebong Tambang Rawan Longsor
35.Talang Ulu Rawan Longsor
36.Kampung Dalam Rawan Longsor
37.Kampung Gandung Rawan Longsor
38.Lebong Donok Rawan Banjir

Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan

Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan
Hukum adat Rejang yang pernah diberlakukan para leluhur puluhan tahun silam akan kembali diterapkan untuk mengatasi kerusakan hutan di Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Upaya Pemkab setempat untuk mengatasi kerusakan hutan terus dilakukan, namun jika hukum adat diterapkan diharapkan akan lebih ampuh, kata Kepala Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebong Drs Yustin Henri ketika dihubungi, Kamis.
Pada saat Kabupaten Lebong masih tergabung dalam Kabupaten Rejang Lebong saat itu masyarakat masih menganut aturan yang diberlakukan oleh Pasirah, termasuk menebang kayu di kawasan hutan.
Oleh karena itu, hukum adat Rejang dirasakan masih relevan diterapkan untuk mencegah kerusakan hutan mengingat Kabupaten Lebong sebagian besar wilayahnya mer4upakan kawasan hutan yang perlu dilindungi.
Hukum adat Rejang itu saat ini sedang diseminarkan kepada para kepala desa, kemudian akan dibakukan menjadi peraturan daerah (Perda) sekaligus untuk mendukung rencana Lebong dijadikan salah satu kabupaten konservasi.
Yustin menjelaskan, pada era Pasirah (kepala pemerintahan) setiap warga yang ingin menebang kayu dalam kawasan hutan harus izin dulu ke petugas pemerintahan dan kemudian disetujui oleh Pasirah atau Pangeran.
Katagori kayu yang ditebang itu juga diatur dan bukan kayu yang berada pada kawasan hutan penyangga daerah aliran sungai, tapi sebuah pohon yang aman dari gangguan lingkungan.
Pada saat itu setiap pohon yang ditebang harus ada penggantinya minimal lima pohon, karena areal bekas rubuhan kayu itu cukup luas.
Bila hukum adat ini bisa dibakukan dan diterapkan, Yustin yakin praktik pencurian kayu (ilegal logging) dan perambahan akan bisa diatasi.
Sementara kerusakan kawasan hutan yang sudah cukup memprihatinkan di daerah itu, juga bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila seluruh masyarakat dan perangkat pemerintahannya sudah sepakat.
Bupati lebong Drs Dalhadi Umar sebelumnya mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lebong sampai saat ini sudah mencapai 40 persen (54.000 Ha) dari kawasan hutan seluruhnya tercatat 134.845 Ha.
Kerusakan kawasan hutan itu terdiri atas hutan cagar alam, hutan lindug dan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kerusakan itu antara lain akibat perambahan masyarakat dan pencurian kayu.
Warga penggarap umumnya berada di sekitar kawasan hutan dan mayoritas miskin, untuk mencari nafkah sehari-hari tak ada jalan lain dengan menebang kayu dan merusak hutan.
Luas Kabupaten Lebong seluruhnya tercatat 192.424 Ha, sekitar 70 persen di antaranya merupakan kawasan hutan yang terdiri atas hutan lindung dan cagar alam, sedangkan hutan TNKS mencapai 117.000 Ha.
Melihat kondisi demikian, kata Bupati, daerah itu sejak dua tahun lalu diusulkan menjadi kabupaten konservasi. (*)
adebachtiar2000@yahoo.de adebachtiar2000@yahoo.de

Lebong Donok

Lebong Donok at 1910
Kemasyuran Kota Muara Aman sebagai Batavia Kecil memang tak di ragukan. Inilah kawasan sekitar Batavia kecil yaitu Lebong Donok yang ramai di abadikan pada tahun 1910 oleh Circa. Muara Aman kini hanya ibu kota Kabupaten baru yang sangat jauh dari kemegahannya di masa lampau. Semoga photo-photo ini dapat memberi cerminan ke masa sekarang, agar Kota kecil Muara Aman bisa sejajar dengan kota lain seperti masa lalunya.

Lebong Tandai Gold Mining at 1910 photos
Lebong Tandai at 1910
Photo - photo Puncak Kejayaan Tambang Emas di Lebong Tempo Dulu
Lebong Tambang Sawah
The Forgetable Big Gold Mining in Present
Photo- Photo Puncak Kejayaan Tambang Emas Tambang sawah Tempo Dulu
photo taken around year 1905-1930

Tambang Sawah Gold Mining.
Present at Rejang Land, the Lebong area famous with Big Gold mining in History. Such as Tambang Sawah at Muara Aman Town, this photo tell us how modern the mining in the era but for now, we can not found the mining any more. So thats way i call the place "the forgetable big gold mining".
Where is the Rejang Land? Rejang Land in past tense part of the resident Benkoelen, and now Rejang Land are to be part Province Bengkulu, especially Rejang-Lebong region and nearby, in Sumatera Island, Indonesia.