Sejarah
Bengkulu 1908 – 1941
Dr
Lindayanti MHum
Pertumbuhan ekonomi
Hindia Belanda yang dimulai tahun 1870 dibedakan menjadi tiga tahapan:
awal ekspansi ekonomi dari tahun 1870 sampai tahun 1904, pertumbuhan
ekonomi yang pesat dari tahun 1905 sampai tahun 1930, dan krisis ekonomi
setelah tahun 1930.[1] Akan tetapi di Bengkulu pertumbuhan
baru dimulai sejak tahun 1890-an, yaitu dimulainya eksplorasi tambang dan
pembukaan hutan untuk perkebunan-perebunan besar di daerah Muko-Muko, dan
daerah Rejang-Lebong. Pertumbuhan ekonomi yang pesat baru terjadi setelah tahun
1915 saat perusahaan tambang dan perkebunan sudah dapat mengekspor produknya.
Pertumbuhan
ekonomi yang pesat baru terjadi setelah tahun 1915 saat perusahaan tambang dan
perkebunan sudah dapat mengekspor produknya. Keberadaan perusahaan tambang dan
perkebunan selain menarik penduduk pendatang untuk berdagang di dusun-dusun sekitar perusahaan, tetapi juga
menarik pekerja dari Pulau Jawa. Aktivitas ekonomi di sekitar perusahaan
perkebunan dan pertambangan telah membawa perubahan bagi dusun-dusun sekitar.
Misalnya, dusun Curup menjadi pusat perekonomian untuk daerah Rejang dan
dusun Muara Aman menjadi pusat perekonomian untuk daerah Lebong. Krisis ekonomi
tahun 1930-an mengakibatkan aktivitas ekonomi menurun, perusahaan mengurangi
pekerjanya, beberapa perusahaan bahkan menutup perusahaannya, dan terjadinya
kemunduran pada pusat-pusat aktivitas ekonomi di sekitar perusahaan.
A.
Pertumbuhan Ekonomi Bengkulu (Tahun 1904-1929)
Pertumbuhan ekonomi
di Bengkulu terutama terjadi setelah tahun 1904 dengan dimasukkannya
daerah subur Rejang-Lebong ke dalam wilayah Bengkulu. Daerah
Rejang-Lebong memiliki banyak perusahaan perkebunan dan pertambangan baik
milik swasta Barat maupun milik pemerintah. Perusahaan-perusahaan tambang
dan perkebunan tersebut menjadi motor penggerak ekonomi Bengkulu. Oleh karena
itu, pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1930-an, perusahaan-perusahaan
perkebunan dan pertambangan mengurangi produksi, dan bahkan beberapa perusahaan
berhenti beroperasi maka perekonomian Bengkulu pun mundur.
Pada saat di
Bengkulu telah banyak berdiri perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan,
pemerintah Bengkulu mulai memikirkan untuk dapat memenuhi kebutuhan beras
sendiri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan beras sendiri, pemerintah
berusaha memajukan pertanian padi rakyat. Para petani diperbolehkan
membuka tanah-tanah milik negara (domeingrond) untuk dijadikan persawahan.
Selain menanam padi (Oryza), mereka juga
membuka hutan untuk ditanami tanaman ekspor, misalnya kopi (Coffea
canephora L.), kelapa (Cocos nucifera L.), cengkeh (Eugenia aromatica L.),
karet (Hevea brasiliensis L.), gambir (Uncaria gambir L.), dan tanaman
palawija[2]
Perbaikan dalam
bidang pertanian dimulai dengan melakukan pembangunan saluran irigasi dan
pembukaan Sekolah Pertanian untuk penduduk pribumi di Bengkulu pada tahun 1913.[3] Pembangunan saluran irigasi yang
dilakukan, misalnya irigasi Air Palik di Aur Gading (onderafdeeling
Lais), irigasi Air Musi di Curup (onderafdeeling Rejang) dapat mengairi sawah
seluas 1.000 bau. Di samping saluran irigasi yang telah berfungsi,
misalnya irigasi Air Ketahun di Talang Leak (onderafdeeling Lebong), dan
saluran irigasi dari Air Selat dan Air Blumai di Padang Ulak Tanding
(onderafdeeling Rejang).[4] Akan tetapi, pembangunan saluran irigasi
ini tidak banyak mempengaruhi minat penduduk untuk beralih menjadi petani padi
sawah.
Hal ini terlihat
dari hasil padi ladang yang lebih tinggi dari hasil
padi sawah dari tahun 1921 sampai tahun 1923, untuk
daerah Muko-Muko, Bengkulu, dan Lais, sedangkan di Rejang-Lebong terjadi
peningkatan areal padi sawah yang dibuka oleh migran kolonisasi
dari Jawa (Tabel. 4.1. ). Komoditas lama, yaitu hasil
hutan, lada (Piper ningrum L.) dan cengkeh (Eugenia aromatica L.)
masih menjadi andalan ekspor Bengkulu. Selain itu, pemerintah
juga memperkenalkan tanaman dagang baru, misalnya kopi,
tembakau (Nicotania tabacum L.), dan karet sehingga
masing-masing daerah memiliki spesifikasi tanaman ekspor
tersendiri. Misalnya, di daerah Dataran Tinggi Rejang, tanaman dagang yang dikembangkan antara lain kopi dan tembakau. Pada mulanya
petani hanya menanam jenis tembakau Musi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Akan
tetapi setelah bekerja sama dengan perkebunan besar, mereka menanam jenis
tembakau Deli sehingga hasil daun tembakau yang diekspor ke luar negeri
meningkat, dari 154.020 kg pada tahun
1908 meningkat menjadi 225.000 kg pada
tahun 1909. Kopi banyak ditanam di daerah Sindang (onderafdeeling
Rejang) dan di Dataran Tinggi Krui, dan dalam jumlah sedikit ditanam di daerah
Manna, Seluma, dan Kaur. Pemeliharaan tanaman kopi rakyat sangat
bergantung pada harga pasar. Kebun-kebun kopi rakyat akan dipelihara
dengan baik apabila harga kopi tinggi di pasar, sebaliknya kebun-kebun kopi
menjadi telantar pada saat harga kopi turun.
Pada tahun 1912
dalam rangka meningkatkan jumlah ekspor kopi pemerintah
mendatangkan berbagai jenis bibit kopi, misalnya
Abequeta, Quillo, dan Uganda.[5] Keberhasilan penanaman kopi rakyat dapat
dilihat dari angka ekspor kopi dari tahun 1919 sampai dengan tahun 1929.
(Tabel. 4.2) Tanaman lada dan cengkeh masih menjadi tumpuan hidup petani di
dataran pantai di daerah Manna, Pasemah
Ulu Manna, Krui, Kaur, dan Muko-Muko. Sampai dengan
tahun 1929, lada dan cengkeh masih merupakan komoditas ekspor Bengkulu yang
penting, di samping hasil hutan, yaitu rotan (Calamus manan L.)
dan damar (Parashorea stellata L.). (Tabel. 4.3 dan 4.4 ). Selain
hasil tanaman dagang, ekspor Bengkulu berupa hasil
tambang emas dan perak.
Hasil tambang emas dan perak
dari perusahaan-perusahaan tambang di Bengkulu memiliki kedudukan
penting bagi perekonomian Bengkulu
maupun perekonomian Hindia Belanda. Keresidenan
Bengkulu merupakan salah satu pengekspor emas dan perak yang utama
di Hindia Belanda, misalnya nilai ekspor emas dan perak Bengkulu pada tahun
1936 bernilai f. 3.538.000 yang berarti 94,5% dari seluruh nilai ekspor dari
Hindia Belanda yang bernilai f. 3.715.000. [6]
Bersamaan dengan
pertumbuhan perusahaan tambang dan perkebunan di Dataran Tinggi Rejang-Lebong
pemerintah daerah melakukan pembangunan jalan yang dapat dilalui mobil
untuk melancarkan arus angkutan barang dan menghemat
biaya angkut dan waktu tempuh. Misalnya, pada tahun 1908 biaya perjalanan
dengan gerobak dari kota Bengkulu menuju Lebong adalah sebesar f. 40-50 dan
ditempuh dalam waktu 6 hari. Setelah tahun 1912 dengan
adanya angkutan mobil, perjalanan antara kota Bengkulu menuju Lebong
hanya memakan waktu 2 hari dengan biaya
hanya f. 6,50 (Tabel. 4.5 dan Tabel.
4.6).
Pada tahun 1912
pemerintah membuka dinas transportasi yang melayani rute
dari kota Bengkulu menuju Muara Aman dan
sebaliknya (Gambar. 4.1.). Rute lain adalah
dari kota Bengkulu menuju Ketahun, rute kota
Bengkulu menuju Muara Klingi melalui Curup dan Muara Beliti, dan
dilanjutkan melalui jalur sungai dengan kapal uap milik KPM (Koninklijk
Paketvaart Maatschappij) menuju Palembang.
Pembangunan
jalan di Bengkulu sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan karena
perusahaan tambang swasta Eropa membebankan pemeliharaan jalan kepada pemerintah
Akan tetapi, bagi penduduk selain menguntungkan juga memberatkan karena beban
kerja wajib mereka bertambah untuk memelihara jalan. Tersedianya sarana jalan ini menambah jumlah
kendaraan di Bengkulu, yakni pada tahun 1915 mobil pengangkut barang hanya
10 buah maka pada tahun 1924 telah tersedia 89 buah mobil. (Tabel. 4.7)
Kota Bengkulu
menjadi pusat aktivitas perekonomian karena produk perusahaan tambang dan
perkebunan dikapalkan melalui pelabuhan Bengkulu. Selain itu, Bengkulu
juga merupakan pusat pemerintahan dan terdapat tempat
kediaman residen (Gambar. 4.2.). Pada tahun
1920-an, kota Bengkulu telah memiliki gedung bioskop,
Kantor Pos/Telegrap, toko besar, dan kantor-kantor
perusahaan dagang, misalnya Borsumij. Di
dekat pantai Bengkulu,
sekitar benteng Fort Marlborough
semua aktvitas ekonomi
berlangsung karena di sana terdapat Kampung Cina dengan deretan
rumah-rumah toko yang menjual bermacam-macam untuk keperluan hidup dan
gudang-gudang milik berbagai perusahaan dagang (Gambar. 4.3.). Secara
keseluruhan jumlah penduduk di Bengkulu meningkat dari 253.639 orang pada
tahun 1920 menjadi 315.813 orang pada tahun 1930. Persentase
peningkatan sekitar 24% ini
antara lain disebabkan
masuknya penduduk pendatang dari Karesidenan Pantai Barat Sumatera, Karesidenan
Palembang, dan terutama dari Pulau Jawa.
Keberadaan pendatang ini terkonsentrasi di kota Bengkulu, di sekitar perusahaan
tambang terutama di kota Muara Aman, dan di sekitar perkebunan, yaitu di Curup
dan Kepahiang.
B.
Penambangan Emas dan Perak di Lebong
B.1.
Perusahaan-Perusahaan Tambang
Di Bengkulu sejak
akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 banyak berdiri perusahaan tambang,
seperti Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada tahun 1898, Perusahaan
Eksplorasi Tambang Lebong Sulit pada tahun 1900, Perusahaan Eksplorasi
Emas Simau pada tahun 1901, Perusahaan Tambang Lebong Kandis pada
tahun 1909, dan Perusahaan Tambang Glumbuk pada tahun 1910. Akan
tetapi tidak semua perusahaan dapat bertahan. Misalnya, Perusahaan
Tambang Lebong Kandis yang berdiri pada tahun 1909 hanya beroperasi
sampai tahap eksplorasi dan pada tahun 1913 perusahaan dilikuidasi. Begitu juga
dengan nasib Perusahaan Tambang Gloemboek yang berdiri pada tahun 1910 yang
beroperasi hanya sampai tahun 1913. Karena penemuan kandungan emas dan
perak hanya sedikit, yaitu dari 120.000 ton batuan hanya ditemukan 6 dwts
emas dan 9 ons perak.[7] Hasil itu tidak dapat menutup ongkos
produksi sehingga akhirnya perusahaan ditutup dan areal penambangan dialihkan
kepada Perusahaan Tambang Simau.
Perusahaan Tambang
Sulit yang berdiri pada tahun 1900 kemudian pada tahun 1902 berganti nama
menjadi Perusahaan Tambang Ketahun.[8] Perusahaan ini memiliki konsesi tambang
di Lebong Sulit seluas 4.525 bau. Izin eksploitasi diberikan selama 75
tahun, cukai sebesar 10 % dari hasil netto, dan uang sewa tanah
sebesar f. 0,25/bau. Pada awal berdirinya, perusahaan harus mengeluarkan
modal besar untuk membangun jalan sepanjang 40 km menuju areal penambangan.
Para kuli kontrak yang dipekerjakan membangun jalan ini banyak yang
mengalami sakit dan bahkan meninggal dunia. Sampai paruh pertama tahun 1900,
kuli kontrak yang meninggal dunia sebanyak 267 orang dari 1.369 orang kuli
kontrak. Penyakit yang sering menyerang kuli adalah beri-beri, disentri,
dan cholera.
Pada tahun 1903,
Perusahaan Tambang Ketahun mulai melakukan penambangan dan pada tahun 1908
perusahaan telah dapat membagi dividen pertama bagi pemegang saham. Perusahaan
ini melakukan penambangan sampai tahun 1925 dan selanjutnya, konsesi tambang
Lebong Sulit diambil alih oleh Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.
Dua perusahaan
tambang emas terkemuka di Bengkulu adalah Perusahaan Tambang Simau
dan Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Perusahaan Tambang
Redjang-Lebong merupakan perusahaan tertua yang berdiri tahun 1897 dengan nama
Perusahaan Eksplorasi Emas Redjang-Lebong dan pada tahun 1898 menjadi
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dengan konsesi 4.079 bau selama 75
tahun dengan pembayaran cukai 10% dari hasil bersih, dan biaya sewa sebesar f.
0,25/bau.[9] (Gambar. 4.4)
Selanjutnya
Perusahaan Tambang Simau yang mulai berdiri tahun 1901 dengan nama
Perusahaan Eksplorasi Emas Simau dan menjadi Perusahaan
Tambang Simau pada tahun 1906 (Gambar. 4.5.).
Konsesi tambang yang diberikan seluas
2.959 ha untuk waktu 75 tahun, cukai sebesar 4% dari hasil netto, dan uang sewa
tanah sebesar f. 739,75.[10] Pada tahun 1910 perusahaan baru dapat
menghasilkan, yaitu sebanyak 9271, 12 ons emas
dan 19.666,50 ons perak dengan nilai total f. 492.527,45.[11]
Selanjutnya, perusahaan
menjadi semakin berkembang dengan
bertambahnya areal penambangan. Pada tahun 1914
perusahaan mendapat tambahan konsesi Gloemboek, sehingga perusahaan
memiliki 2 areal penambangan, yaitu penambangan Simau dan penambangan
Gloemboek.
Kedua perusahaan
itu merupakan penyumbang terbesar ekspor emas perak Hindia Belanda.[12] Misalnya, pada tahun 1919 Perusahaan
Tambang Redjang-Lebong menghasilkan 659 kg/emas dan 3.859 kg/perak, dan
Perusahaan Tambang Simau menghasilkan 1.111 kg/emas dan 8.836 kg/perak. Di
Bengkulu, selain terdapat perusahaan-perusahaan tambang milik swasta Barat,
juga ada 2 perusahaan tambang kecil milik pemerintah kolonial, yaitu Perusahaan
Tambang Lebong Simpang dan Perusahaan Tambang Sawah. (Gambar 4.6.)
Dari dua perusahaan
tambang itu hanya Perusahaan Tambang Tambang Sawah yang dapat bertahan hingga
tahun 1930-an. Perusahaan Tambang Tambang Sawah ini lebih banyak menghasilkan
perak daripada emas, (Tabel. 4.8) seperti halnya Perusahaan
Tambang Redjang-Lebong, dan Perusahaan Tambang Simau.
(Tabel. 4.9)
Meskipun demikian,
Perusahaan Simau yang paling banyak menghasilkan emas dengan jumlah yang
relatif stabil dari tahun 1923 sampai tahun 1930, rata-rata
1.300.000 gram/tahun.
B.2
Tambang bagi Masyarakat Sekitar
B.2.1 Muara
Aman sebagai Pusat Aktivitas Perekonomian
Secara keseluruhan
keberadaan perusahaan-perusahaan ini membawa keberuntungan bagi
perekonomian Bengkulu secara keseluruhan, tetapi penduduk yang bertempat
tinggal di sekitar perusahaan hanya menikmati sedikit. Keuntungan
terutama dinikmati oleh para kepala marga tempat eksplorasi tambang berada,
dalam bentuk uang ganti rugi yang diberikan oleh perusahaan
tambang. Misalnya, di daerah eksplorasi Lebong Simpang, berdasarkan
Keputusan Pemerintah tanggal 16 Januari 1915 no. 10 perusahaan harus
membayar uang sejumlah f. 2.500 kepada masing-masing kepala marga, yaitu
Djakin gelar Depati Pasak Negeri dan Sibar alias Moendar Depati Aur
Gading Palik.
Di samping itu,
perusahaan juga harus membayarkan sejumlah uang untuk kas marga. Pada
kasus Perusahaan Tambang Lebong Simpang, perusahaan harus membayar uang sebesar
f. 5.000 ke kas Marga Bermani Lebong dan Marga Aur Gading Palik untuk
memajukan ekonomi penduduk di marga –marga tersebut.[13] Selain itu, perusahaan juga harus
membayar kayu-kayu yang digunakan bagi perusahaan. Misalnya, Perusahaan Tambang
Simau yang menggunakan kayu dari hutan milik Marga Ketahun, maka marga
tersebut berhak mendapatkan pembayaran yang disebut bunga kayu sebesar 2% dari
harga kayu yang diambil oleh perusahaan.
Keberadaan
perusahaan-perusahaan pertambangan ini paling tidak telah membuka keterasingan
daerah Lebong dengan daerah pantai dan pelabuhan Bengkulu melalui pembangunan
jalan. Jalan baru dibuat untuk menghubungkan Pelabuhan Bengkulu dengan Dataran
Tinggi Rejang-Lebong melalui Kepahiang, dan Curup (Rejang) sampai ke
Muara Aman. Jalan ini merupakan jalan tersibuk di Keresidenan Bengkulu karena
setiap hari berbagai alat angkut seperti, prahoto, gerobak kerbau (Bos bubalus
L.), dan gerobak banteng (Bos sondaicus L.) melintasi jalan Perbukitan Barisan
yang terjal menuju perkebunan-perkebunan di Rejang dan pertambangan di Lebong.
Mereka mengangkut berbagai barang keperluan perusahaan tambang maupun perusahaan
perkebunan.
Perusahaan-perusahaan
tambang, yaitu Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perusahaan Tambang
Sawah, dan Perusahaan Tambang
Lebong Simpang telah menghidupkan perekonomian
di Muara Aman. Selanjutnya,
Perusahaan Tambang Simau dengan area penambangan
Lebong Tandai (Marga Ketahun) telah menumbuhkan pemukiman baru, yaitu Dusun
Sungai Landai, dan menghidupkan dusun-dusun yang berada di jalur transportasi
dari Lebong Tandai menuju pelabuhan Ketahun, yaitu Dusun Napal Putih, dan Dusun
Ketahun.
Pada tahun 1874
daerah Lebong masih merupakan kumpulan dusun yang miskin dengan rumah-rumah
yang berdinding bambu. Misalnya, Tes dan Kota Donok masih berupa dusun kecil
yang berada di tengah hutan, dan di setiap dusun hanya terdapat 10 sampai 15
rumah, sedangkan di Muara Aman hanya
terdapat 24 rumah dengan jumlah penduduk
sekitar 121 orang.[14] Mata pencaharian
penduduk adalah berladang padi dengan hasil produksi beras hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sendiri.
Dengan berdirinya
berbagai perusahaan tambang, maka mulailah keterasingan daerah Lebong dibuka.
Hal itu dimulai dengan pembangunan jalan antara daerah Lebong dengan daerah
Rejang sampai dengan kota Bengkulu untuk keperluan perusahaan tambang.
Oleh karena itu, memasuki abad XX, Muara Aman telah menjadi sentra kegiatan
ekonomi yang banyak didatangi oleh berbagai suku bangsa. Hal ini antara lain
disebabkan letak Muara Aman yang dikelilingi lokasi penambangan emas dan
perak. Misalnya, areal penambangan Lebong Simpang terletak 12 km di
sebelah tenggara Muara Aman dan Tambang Sawah hanya 9 km di sebelah utara
Muara Aman dan areal penambangan Lebong Donok terletak hanya 2 km sebelah barat
Muara Aman.
merupakan tempat
kediaman asisten residen dan aspiran kontrolir. Rumah tinggal asisten
residen yang terbuat dari kayu dibangun di bagian lereng bukit Pasar Muara Aman
dan di sebelahnya terdapat pesanggrahan untuk penginapan tamu pemerintah.[15] Di lereng bukit terdapat rumah
kediaman kontrolir dalam satu kompleks dengan lapangan bola, lapangan
tenis, dan tangsi polisi.
Di sekitar Muara
Aman sejak akhir abad ke-19 telah berdiri kampung-kampung pendatang,
misalnya kampung orang Jawa dan kampung orang Sunda bekas kuli
kontrak Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.[16] Mereka
menetap atas kemauan
sendiri dan
tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka mendirikan pemukiman baru di
Kampung Lebong Donok dan berada di bawah pemerintahan langsung seorang kepala
kampung pribumi dan terlepas dari pemerintahan Pasar Muara Aman.
Pada tahun 1925,
Kota Muara Aman mencapai kejayaannya dengan adanya dua kota kecil tambang,
yaitu Lebong Tambang dan Tambang Sawah. Di Lebong Tambang yang hanya
berjarak dua kilometer dari Muara Aman, terdapat perkantoran dan
perumahan Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Kemudian, di Tambang Sawah yang
berjarak sembilan kilometer dari Muara Aman dan untuk mencapainya harus
melewati jembatan gantung Tunggang di atas Sungai Ketahun, terdapat perkantoran
dan perumahan Perusahaan Tambang Sawah.
Dalam rangka
memenuhi kebutuhan listrik untuk perusahaan-perusahaan tambang, maka dibangun
dua bendungan besar, yaitu Bendungan Taba di Pegunungan Bukit Barisan dan
Bendungan Tes dari Danau Tes. Kedua bendungan itu mampu memberikan tenaga
listrik untuk ketiga pertambangan, yaitu Lebong Donok, Lebong Simpang, dan
Tambang Sawah.
Di bagian kota
Muara Aman terdapat deretan toko-toko orang Cina dan sebuah sekolah berbahasa
Cina. Oleh karena banyak orang Cina di Pasar Muara Aman (Gambar.
4.7.), maka diangkat seorang
Letnan Cina sebagai kepala
masyarakat orang Cina di Muara Aman. Selain itu terdapat pula
sebuah hotel kepunyaan seorang Jepang dengan sederet rumah panjang di sampingnya.
Rumah itu dihuni oleh wanita Jepang yang siap meladeni keperluan seks bagi para
pekerja orang Eropa. Di depan hotel Jepang terdapat bangunan besar dari
kayu yang digunakan untuk pemutaran film bagi penduduk kota dan sekitarnya.[17]
Sampai dengan tahun
1931, atau 57 tahun kemudian, di daerah Lebong sudah terjadi banyak
perubahan. Dusun-dusun sudah menjadi makmur dengan
rumah-rumah kayu berpilar indah dan
beratapkan seng.[18] Daerah yang
dahulu masih
hutan rimba dan
masih dihuni banyak harimau (Felis tigris), pada sekitar tahun 1930-an
telah dihuni banyak orang. Sebagian besar daerah Lebong telah menjadi
daerah persawahan dengan adanya pengairan dari Sungai Ketahun.[19] Hal ini berkaitan dengan adanya
kolonisasi orang dari Jawa yang didatangkan sebagai kuli di Perusahaan Tambang
Redjang-Lebong, Tambang Sawah, dan Simau.
B.2.2
Pertumbuhan Dusun Kecil di Lokasi Penambangan:
Sungai
Landai, Napal Putih, dan Ketahun
Dusun Ketahun
terletak di tepi pantai barat Sumatera yang merupakan pelabuhan kecil tempat
berlabuh kapal-kapal motor kecil. Ketahun berfungsi sebagai jalan
masuk Muara Aman telah menjadi kota terbesar kedua di Bengkulu.
Muara Aman juga bagi peralatan kebutuhan Perusahaan Tambang
Simau dan sekaligus jalan keluar produk tambang yang selanjutnya diangkut
ke pelabuhan besar di Bengkulu. Semua barang dari dan menuju penambangan
di Lebong Tandai diangkut melalui Sungai Ketahun. Dari pelabuhan Ketahun,
barang diangkut dengan kapal motor sampai pelabuhan transit yang bernama Napal
Putih dan dari sini barang diangkut dengan kereta tambang menuju Lebong Tandai,
dan begitu pula sebaliknya untuk produk tambang yang akan diangkut ke pelabuhan
Bengkulu. Napal Putih juga merupakan ibukota onderdistrik dan tempat tinggal
asisten demang. Pemerintah dan Perusahaan Tambang Simau memiliki pesanggrahan
di sini. Oleh karena letak yang strategis bagi perusahaan tambang, maka
Ketahun dan Napal Putih pun berkembang menjadi pusat-pusat perekonomian baru
di daerah Lais.
Areal penambangan
di Lebong Tandai terletak di Perbukitan Tandai yang jauh dari pemukiman
penduduk asli. Oleh karena itu, para kuli kontrak yang bekerja di
Perusahaan Tambang Simau hidupnya terpisah dari penduduk asli karena
dusun-dusun mereka berada jauh dari perusahaan. Akan tetapi,
keberadaan perusahaan tambang ini telah mendorong tumbuhnya pemukiman baru di
area penambangan, yaitu Dusun Sungai Landai. Sungai Landai adalah sebuah
dusun yang didirikan oleh orang Minangkabau yang berasal dari
daerah Maninjau.[20] Mereka bekerja sebagai pedagang
yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi kuli-kuli kontrak yang
bekerja di Perusahaan Tambang Simau.
Pada tahun 1922,
dusun ini berpenduduk sekitar 250 orang yang terdiri dari orang Minangkabau dan
orang Cina. Kepala Dusun Sungai Landai adalah orang Minangkabau yang
bergelar datuk dan secara administratif berada di bawah kekuasaan
pasirah Marga Ketahun yang berkedudukan di Napal Putih. Di Sungai Landai
ini juga terdapat warung candu untuk memenuhi kebutuhan candu bagi kuli kontrak
yang berada di areal penambangan Lebong Kandis, Glumbuk, dan Lebong Tandai.
Warung candu ini berada di bawah pengawasan Asisten Demang Ketahun dan
setiap tiga bulan sekali ditinjau oleh kontrolir.[21]
Semua itu berubah
setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1930-an. Banyak kuli yang diberhentikan
kerja dan perusahaan tidak melakukan eksplorasi tambang lagi karena cadangan
emas di daerah penambangan sudah menipis. Bahkan ada perusahaan tambang
yang berhenti produksi. Hal itu tentu membawa dampak menurunnya perekonomian di
desa-desa yang selama ini diuntungkan oleh pertambangan, yaitu Muara Aman,
Ketahun, dan Napal Putih.
Muara Aman,
misalnya, terpukul dengan banyaknya kuli yang diberhentikan oleh Perusahaan
Tambang Redjang-Lebong dan ditutupnya perusahaan tambang milik pemerintah di
Lebong Simpang dan di Tambang Sawah. Untuk
mempertahankan kehidupan ekonomi di Muara Aman
yang juga merupakan tempat kedudukan pemerintah. maka pemerintah menjaga
kelangsungan hidup perusahaan tambang dengan cara pertambangan emas pemerintah
di Lebong Simpang yang dibuka tahun 1912 dialihkan kepada Perusahaan Tambang
Rejang-Lebong pada tahun 1938. Melalui keputusan pemerintah tahun
1935, 26 konsesi tambang milik pemerintah di Lebong Simpang dijual
kepada Firma Erdmann en Sieclken.[22]
Nasib yang sama
juga menimpa Desa Ketahun dan Napal Putih yang kehidupannya tergantung
pada Perusahaan Tambang Simau. Penurunan aktivitas ekonomi setelah tahun 1930
di Napal Putih berdampak dipindahkannya ibukota onderdistrik ke Ketahun.[23] Akibat menurunnya aktivitas ekonomi
Ketahun menjadi sepi meskipun menjadi ibukota onderdistrik. Selanjutnya,
Ketahun hanya berfungsi sebagai pelabuhan transit bagi perusahaan tambang
Simau.
Kejayaan
penambangan di daerah Lebong pupus menjelang berakhirnya pemerintahan kolonial
Belanda di Indonesia. Muara Aman semakin terpuruk dengan ditutupnya
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong pada tahun 1940, sedangkan Perusahaan Tambang
Simau masih dapat terus berproduksi sampai tahun
1942.
C.
Perkebunan-Perkebunan Besar di Rejang
C.1 Perkembangan
Perkebunan Besar
Rejang
menjadi pilihan bagi pengusaha swasta Barat
sebagai areal perkebunan karena Rejang merupakan daerah subur
dengan jenis tanah diluviaal tuf dan berada pada ketinggian sekitar 800
meter/dpl cocok untuk tanaman teh (Camellia sinensis L.), kopi robusta (Coffea
canephora L.), dan tembakau (Nicotania tabacum L.). Kepahiang sebagai
pusat pemerintahan untuk daerah Rejang, pada tahun 1874 masih merupakan
talang orang Rejang dan di sana hanya terdapat sekitar 10-15 rumah. [24]
Akan tetapi, sejak
akhir abad ke-19 sudah banyak permintaan tanah untuk perkebunan, meskipun
sampai tahun 1892 kebanyakan masih belum mulai beroperasi. Hanya
perkebunan-perkebunan di Rejang, misalnya Perkebunan Soeban Ajam (1891),
Perkebunan Warong Djelatan (1892), Perkebunan Kepahiang (1893), dan
Perkebunan Dataran (1893) yang sudah beroperasi.[25] Perkebunan-perkebunan ini terletak di
Bukit Kaba yang subur. Sampai dengan tahun 1928 di Rejang terdapat
sepuluh perkebunan besar, yaitu
Pematang Danau (Gambar. 4.8.), Ajer
Simpang, Soeban Ajam, Sindang Dataran, Heeco,
Ajer Dingin, Bukit Daun, Kaba Wetan, Westkust, dan Benko.
Lahan perkebunan kebanyakan ditanami tanaman kopi robusta (Coffea
canephora L.), sebagian lain juga ditanami teh
(Camellia sinensis L.), misalnya Ajer Simpang, Suban Ayam dan
Kaba Wetan (Tabel. 4.10 ). Di antara
perkebunan
tersebut, Perkebunan Soeban Ajam (Sindang-Redjang) memiliki lahan
yang paling luas, yaitu
3.448 bau, akan
tetapi hanya 1.500 bau
yang telah ditanami kopi robusta (Coffea canephora
L.), karet (Hevea brassiliensis L.), dan kina (Cinconna
sinccirubra L.) [26] (Gambar. 4.9.).
Perkebunan ini terletak di
Dataran Tinggi Bukit Kaba
dengan ketinggian 3.300/dpl. (Marga Selupu
Rejang) dan berdekatan dengan desa penduduk asli Suban Ayam yang berada
di jalan propinsi antara
Curup dan Padang Ulak Tanding.
Perkebunan
besar lainnya adalah Perkebunan Kaba Wetan yang berdiri pada tahun 1914 di
tanah persil dari Perkebunan Nicotania. Luas tanah persil perkebunan
adalah 3.477 bau (2.467 ha), akan tetapi hanya 1.050 bau saja yang ditanami
tanaman kopi dan teh. Semula lahan perkebunan
yang ditanami kopi jenis kopi robusta hanya seluas 273 bau dan pada
pada tahun 1915 lahan kopi diperluas 140 bau. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya Perkebunan Kaba Wetan lebih dikenal sebagai
perkebunan teh.
Perkebunan-perkebunan
ini kebanyakan mempekerjakan kuli kontrak dari
Pulau Jawa. Misalnya, Perkebunan Soeban Ajam
sejak dibuka pada tahun 1891 [27] telah memiliki kuli kontrak
sebanyak 570 orang. Mereka mendapatkan upah f. 12/bulan, kecuali 10
orang kuli kontrak yang bekerja sebagai
pemotong kayu mendapat upah sebesar f.20 sampai f.30/bulan.[28]
Selain mendatangkan
kuli kontrak langsung dari Jawa, perkebunan juga menyediakan tanah di
perkebunan bagi bekas kuli kontrak yang bersedia menetap dan bekerja sebagai
kuli bebas. Perkebunan kadang mengalami kesulitan untuk mendatangkan kuli
kontrak dari Pulau Jawa sehingga perkebunan perlu menggunakan kuli lokal.
Hal ini dialami oleh Perkebunan Kaba Wetan di tahun 1920-an
saat perkebunan mengalami kekurangan kuli. Saat itu perkebunan tidak
dapat melakukan perluasan lahan, sedangkan lahan yang telah ditanami
dalam keadaan telantar. Akibatnya, produksi kopi menurun, yaitu
pada tahun 1920 perkebunan masih menghasilkan 4.957 pikul, tetapi pada tahun
1921 menurun menjadi 2.281 pikul. [29]
Perkebunan Kaba
Wetan menggunakan kuli lokal, yaitu dari Pasemah Ulu Manna
dan Sungai Pagu (Keresidenan Pantai Barat Sumatera). Mereka bekerja di
perkebunan berdasarkan kontrak antara setengah sampai dua tahun.
Dari jumlah kuli sebanyak 249 orang laki-laki dan 187 orang wanita
(1921), hanya ada 46 orang kuli laki-laki dan 29 kuli wanita yang bersedia
menandatangani kontrak selama dua tahun. Kebanyakan mereka hanya mau bekerja
selama setengah tahun, yaitu 116 kuli laki-laki dan 116 kuli wanita, untuk
kontrak kerja selama setahun terdapat 45 kuli laki-laki dan 32 kuli wanita, dan
untuk kontrak kerja selama 1 ½ tahun terdapat 131 kuli
laki-laki dan 27 kuli wanita.[30]
Setelah mendapatkan
kuli, perusahaan masih harus mengalami masalah, yaitu makin berkurangnya jumlah
kuli karena meninggal dunia, desersi, ataupun mereka tidak memperpanjang
kontrak. Misalnya, pada tahun 1921 di Perusahaan Kaba Wetan terdapat 18 kuli
wanita dan 32 kuli laki-laki yang meninggal dunia, desersi sebanyak 3 kuli
wanita dan 2 orang kuli laki-laki, sedangkan yang habis kontrak dan tidak
memperpanjang lagi berjumlah 33 orang kuli wanita dan 63 orang kuli
laki-laki. Kematian kuli di perkebunan antara lain karena penyakit
flu Spanyol, penyakit malaria, dan disentri.[31]
Kekurangan
kuli yang banyak dialami oleh perkebunan besar antara lain karena kuli
kontrak banyak yang bekerja di kebun-kebun milik penduduk pribumi.[32] Selain itu, banyak kuli orang Jawa dan
orang Sunda, setelah habis masa kontrak, lebih suka mengikuti program
kolonisasi yang diselenggarakan pemerintah di daerah Lebong daripada
memperpanjang kontrak di perusahaan.[33]
Dalam rangka
mengatasi kekurangan kuli, ada perusahaan yang mencari kuli kontrak di desa
migran kolonisasi yang banyak terdapat di daerah Rejang dan Lebong. Misalnya,
kasus seorang migran kolonisasi dari Jawa bernama Sukanta dialihkan menjadi
kuli untuk dipekerjakan di Perusahaan Tambang
Salida (Keresidenan Pantai
Barat Sumatera).[34] Kemudian, seorang mandur bernama
Muhamad menjadi agen kuli bagi perusahaan-perusahaan swasta Barat. Mahmud
mencari kuli kontrak ke desa-desa migran kolonisasi di Rejang-Lebong.
Setelah
keluar Staatsblad 1911 no. 540, maka terjadi perubahan pada Ordonansi
Kuli ayat 9 dan 11, yang mengubah pengertian tentang
penduduk pribumi yang memasukkan
penduduk migran kolonisasi.[35] Oleh karena itu, mereka
tidak boleh dipekerjakan berdasarkan Ordonansi Kuli. Hal ini dilakukan oleh
perusahaan selain karena kekurangan kuli sekaligus juga untuk
menghemat biaya karena mendatangkan kuli dari Jawa mahal.
C.2
Pertumbuhan Pusat Perekonomian di Sekitar Perkebunan:Curup dan Kepahiang
Saat daerah
Rejang-Lebong dimasukkan ke dalam wilayah administratif Keresidenan Bengkulu
(tahun 1904) situasi perdagangan masih lesu karena daya beli penduduk
masih lemah.[36] Perubahan baru terjadi sejak tahun
1908 ketika daya beli penduduk mulai meningkat, terutama bagi mereka yang
bertempat tinggal di sekitar perusahaan pertambangan dan perkebunan. Hal ini
antara lain dapat dilihat dari banyaknya jumlah toko dan pekan di daerah
Rejang. Pada tahun 1910 terdapat 170 buah toko, delapan
pekan mingguan, yaitu di Kepahiang, Taba Penanjung, Suban Ayam,
Padang Ulak Tanding, Punjung, dan Curup.[37]
Pasar Kepahiang
(Gambar.4.10.), Pasar Curup, dan Pasar Padang Ulak Tanding muncul
sebagai pusat perdagangan yang baru. Pasar Curup
merupakan pasar paling ramai
di daerah Rejang dengan
pendapatan per tahun diperkirakan
mencapai f. 6.000 netto.[38] Di pasar ini
segala jenis barang bisa didapat sehingga penduduk
tidak perlu lagi berbelanja ke Bengkulu. Oleh karena itu, di Pasar
Curup (Gambar. 4.11) banyak penduduk pendatang
yang terdiri dari orang Palembang, orang Padang, orang Serawai,
dan orang Bengkulu, sedangkan orang Rejang sendiri merupakan
kelompok minoritas. Orang Bengkulu terutama bekerja
sebagai pegawai dan pejabat
pemerintah sehingga kebanyakan mereka bertempat tinggal
di Kepahiang dan Curup,[39] sedangkan Orang Serawai
merupakan petani pengembara sehingga mereka bertempat tinggal di
dusun-dusun orang Rejang. Di daerah Rejang, jumlah penduduk
pada masa ekspansi ekonomi bertambah, dan mereka terdiri dari
berbagai bangsa dan suku bangsa.
(Tabel. 4.11)
Pembukaan
perkebunan-perkebunan besar dan daerah kolonisasi bagi orang-orang dari Pulau
Jawa menyebabkan petani penduduk asli merasa kekurangan tanah untuk membuka
lahan perladangan baru. Hal ini terjadi di
onderafdeeling Rejang, di daerah antara
Kepahiang dan Curup, penduduk mengeluhkan adanya kekurangan tanah garapan. Hal
ini antara lain disebabkan sebagian tanah
yang semula digunakan penduduk untuk
berladang sekarang menjadi tidak subur. Untuk mengatasi masalah ketidak
suburan tanah maka pemerintah melalui pemerintah marga, mengeluarkan
berbagai aturan marga dan nasihat untuk tidak berladang pindah.
Keberadaan
perusahaan perkebunan membawa kehidupan ekonomi bagi penduduk di daerah sekitar
perusahaan. Mereka mendapat peluang baru untuk bergerak di luar bidang
pertanian, seperti berdagang. Peluang dagang dalam skala kecil, seperti
berdagang sayuran, buah, beras, dan bahan makanan lain, terutama diambil
oleh kaum wanita dan mereka menjajakan dagangannya di los pasar.[40] Selain itu juga terdapat pedagang
keliling yang menjual barang dagangan, seperti sarung, perhiasan emas, dan
perak. Kebanyakan perdagangan keliling semacam ini dilakukan oleh
orang-orang Padang. Mereka menawarkan barang dagangannya sampai ke
dusun-dusun. Perdagangan skala menengah, seperti pedagang perantara (pedagang
pengumpul) biasanya dilakukan oleh orang Cina dan orang Palembang. Mereka
mengumpulkan hasil-hasil perkebunan, misalnya kopi (Coffea canephora L.),
tembakau (Nicotania tabacum L.), dan hasil hutan
dari petani di
daerah pedalaman. Para petani dapat menukarkan hasil kebunnya dengan
barang keperluan rumah tangga.
Aktivitas
perkebunan yang terus meningkat selain menarik pendatang dari Sumatera Barat
dan Palembang, juga menarik pendatang dari Pulau Jawa yang
bekerja sebagai kuli dan petani kolonisasi. Migran kuli datang
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan, sedangkan migran
kolonisasi didatangkan oleh pemerintah guna membuka persawahan dan berkebun dan
hasilnya dapat memenuhi kebutuhan pangan pekerja perkebunan.
D. Krisis
Ekonomi di Bengkulu
D.1
Penurunan Aktivitas Perdagangan
Krisis ekonomi
tahun 1930-an sangat berpengaruh pada situasi perdagangan di
Bengkulu yang menjadi lebih sepi, dan terutama dirasakan oleh perusahaan
dagang milik orang Eropa, misalnya Jacatra, Internatio, Borsumij, Borneo
Company, Moluksche Handelsvereeneging dan P.J. van der Vossen & Co.
dengan menurunnya ekspor dan impor. Apabila pada tahun 1928 jumlah
ekspor bernilai f. 16.997.018 kemudian menurun menjadi f.
7.677.252 (1931) dan nilai impor pun menurun dari f. 9.025.764 (1928) menjadi
f. 5.195.203 ( 1931) (Gambar. 4.12 )
Penurunan angka
ekspor Bengkulu terjadi antara lain karena setelah tahun 1930 harga-harga
tanaman ekspor mulai mengalami penurunan di pasar dunia. Misalnya, pada awal
krisis ekonomi harga kopi masih cukup tinggi, yaitu f. 50/pikul, akan tetapi
memasuki bulan November tahun 1937 harga kopi turun menjadi f.10/pikul dan pada
tahun 1938 harga mencapai f. 5,50/pikul.[41] Turunnya harga kopi di pasar dunia cukup
berpengaruh terhadap nilai ekspor Bengkulu karena kopi merupakan
komoditas penting dibandingkan dengan tanaman lain.(Tabel. 4.12)
Kopi hasil
perkebunan rakyat di Bengkulu sebagian besar dibeli oleh
perusahaan dagang Internatio. Sebagian lain
dibeli oleh Perkebunan Westkust, perusahaan dagang Moluksche
Handelmaatschappij, Industrie, dan beberapa pedagang orang Padang. Kopi
rakyat dari Bengkulu mempunyai andil 15% dari keseluruhan kopi rakyat di Hindia
Belanda.[42]
D.2.
Krisis Ekonomi dan Perusahaan Perkebunan dan Pertambangan
Di daerah
Rejang paling banyak terdapat tanah sewaan (erfpachr) yang
terbentang di perbukitan antara Bukit Kaba dan Bukit Kelam. Di daerah ini
berangkai tanah-tanah sewaan yang sebagian besar merupakan perkebunan kopi.
Akan tetapi, dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1930-an dan diikuti
jatuhnya harga kopi di pasar dunia, maka perkebunan menambah variasi tanaman,
misalnya perkebunan Pematang Daun selain menanam kopi (Coffea canephora
L.) juga menanam kina (Cinconna sinccirubra L.).
Beberapa perkebunan
menyewakan tanah persilnya, seperti Perusahaan Perkebunan Soeban Ajam dan
Westkust (tahun 1934). Pertama, Perkebunan Soeban Ajam milik NV
Cultuurmaatschappij Soeban Ajam yang sebelumnya adalah perkebunan kopi dan
karet yang besar, setelah krisis ekonomi perkebunan disewakan kepada K.J.
Schoenzetter. Penyewa pun hanya menanami sebagian
lahan dengan tanaman kopi (Coffea canephora L. ) seluas 567 ha dan
157 ha dengan tanaman karet (Hevea brasiliensis L.).[43] Kedua, Perkebunan Westkust milik NV
Rubber en Koffie Cultuurmaatschappij “Westkust” disewakan kepada H.G. Craye.
Pemilik kebun baru hanya menanami lahan seluas 198 ha dengan tanaman kopi
dan lahan seluas 176 ha dengan tanaman karet dari lahan keseluruhan 2.977 ha.
Di samping itu, perusahaan perkebunan juga membeli kopi dari
kebun-kebun penduduk. Sebagian besar hasil kopi tersebut digiling dan dijual
dalam bentuk kopi bubuk.
Pada tahun yang
sama, Perkebunan Kopi Air Dingin menyewakan sebagian besar persilnya
kepada orang-orang Indo-Eropa dalam bentuk lahan pertanian kecil. Kemudian,
perkebunan Sindang Dataran dijual kepada orang Cina bernama Liem Djin
Siang. Pada tahun 1935 perkebunan ini dibuka kembali menjadi
perkebunan kopi dan karet. Akhirnya, pada tahun 1938 perkebunan
milik NV Nederlandsch Indisch Land Syndicaat (NILS) dan Perkebunan
Air Sempiang tidak beroperasi lagi.
i Rejang sampai
tahun 1939 hanya terdapat enam perkebunan yang masih bertahan meskipun
hanya menanami sebagian lahan yang
dimiliki (Tabel. 4.13)
Begitu juga nasib dua
perkebunan teh yang terdapat di
Bengkulu, yaitu
perkebunan Kaba
Wetan dan Perkebunan Bukit Daun. Adanya restriksi teh mengakibatkan perkebunan
harus mengurangi produksinya. Pada tahun
1938 Perkebunan Kaba
Wetan, perkebunan teh milik NV
Cultuurmaatschappij Kotabumi, hanya seluas 1.025 ha lahan yang
ditanamani teh (Camellia sinensis) dari tanah persil seluas 2.492
ha. Kemudian Perkebunan Bukit Daun, perkebunan teh milik NV.
Koloniale Bank, hanya menanam teh di lahan seluas 1.037 ha dari luas
lahan keseluruhan 6.964 ha.
Pengurangan lahan
yang ditanami juga berdampak lebih sedikit perkebunan menggunakan kuli. Pada
tahun 1939 diperkirakan jumlah kuli yang bekerja di perkebunan hanya
sekitar 5.700 orang. Pengurangan jumlah penduduk terjadi pada orang Eropa,
yaitu dari 175 orang (tahun 1930) menjadi hanya 105 orang (tahun 1939).
Mereka tersebar di dua Pasar, yaitu Pasar Curup dan Pasar Kepahiang, dan
pada lima marga yang merupakan lokasi perkebunan di Rejang (Tabel. 4.14 ).
Penduduk yang berada di sekitar perkebunan merasakan dampak penutupan perkebunan-perkebunan
ini, antara lain hilangnya pasar tempat para kuli
secara teratur membeli hasil ladang
penduduk. Para pemilik toko juga kehilangan.
pelanggannya. Berkurangnya jumlah kuli di Bengkulu terutama terjadi sejak tahun
1933. Apabila pada tahun 1926 kuli kontrak berjumlah 11.272 orang, pada tahun
1930 meningkat menjadi 16.448 orang, maka setelah tahun 1930 jumlah kuli mulai
menurun menjadi 8.749 orang (tahun 1932) dan pada tahun 1933 menurun lagi
menjadi 6.658 orang. (Gambar. 4.13 )
Setelah krisis
ekonomi tahun 1930-an diikuti dengan penghapusan poenale sanctie
dan perusahaan-perusahaan swasta Barat mulai menggunakan
kuli bebas. Misalnya, pada tahun 1932 persentase pengurangan kuli
mencapai 23,7 %, edangkan penambahan kuli bebas sekitar 23,3
% (Tabel 4.15). Pengurangan jumlah kuli terutama
terjadi sejak tahun 1932, baik kuli kontrak maupun kuli bebas,[44] yaitu dari 8.749 orang
(tahun 1932) menjadi 6.658 orang (tahun 1933)dan terus menurun sehingga
pada tahun 1936 jumlah kuli berjumlah 6.458 orang. Pengurangan jumlah
kuli dan penutupan juga terjadi di perusahaan-perusahaan tambang. Misalnya,
Perusahaan Tambang Tambang Sawah masih menghasilkan 121, 977kg emas
dan 9.612, 512
kg perak pada tahun 1931.[45] Akan tetapi,
pada tahun berikutnya perusahaan ini berhenti beroperasi dan
para kuli yang diberhentikan ditempatkan di desa kolonisasi Garut
(Gambar. 4.14). Sebagian dari mereka kemudian bekerja
sebagai kuli bebas di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.
Perusahaan Tambang
Redjang-Lebong, pada tahun 1936 ditutup sementara, tetapi kemudian
beroperasi kembali karena mendapatkan daerah penambangan baru.
Perusahaan mendapat 23 konsesi tambang dari perusahaan tambangmilik pemerintah,
yaitu Lebong Simpang, yang berhenti berproduksi sejak tahun
1925.[46] Hal ini dimaksudkan agar perusahaan
tambang dapat dioperasikan kembali sehingga akan menghidupkan lagi
perekonomian kota Muara Aman dan dapat mempertahankannya sebagai tempat
pemerintah.
Dengan
beroperasinya lagi Perusahaan Tambang Redjang-Lebong maka sampai dengan tahun
1938 Residensi Bengkulu merupakan pengekspor emas dan perak yang utama di
Hindia Belanda, misalnya nilai ekspor emas dan perak Bengkulu pada tahun 1936
bernilai f. 3.538.000 yang berarti 94,5% dari seluruh nilai ekspor
dari Hindia Belanda yang bernilai f. 3.745.000. (Tabel.
4.16)
Komoditi
ekspor emas dan perak dari Karesidenan Bengkulu terutama dihasilkan oleh
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perusahaan Tambang Simau. (Tabel. 4.17).
Perusahaan Tambang Simau Perusahaan Tambang Redjang Lebong masih berproduksi
sampai dengan Februari 1942, sedangkan, sejak tahun 1940 telah ditutup.
Pertumbuhan ekonomi
di Bengkulu pada periode 1904-1929-an berpengaruh terhadap pertambahan
penduduk, terutama antara tahun 1920 sampai tahun 1930. Dalam waktu
sepuluh tahun penduduk Bengkulu bertambah 65.479 orang, dari
257.140 orang (1920) menjadi 322.619 orang (tahun 1930). (Gambar
4.15) Pertambahan penduduk terutama terjadi di sekitar kota Bengkulu, dan
daerah Rejang Lebong yang merupakan pusat
perusahaan
perkebunan dan pertambangan. Daerah lain, yaitu Krui,
Kaur, Manna dan Seluma, dan
Muko- Muko kurang mendapat perhatian dari
pemerintah.
Perekonomian
penduduk masih bertumpu pada pertanian dan perkebunan rakyat dan belum memiliki
sarana jalan yang baik. Misalnya, daerah Krui masih bertumpu pada pertanian,
tanaman lada (Piper ningrum L) rakyat dan kopi (Coffea canephora L.). Kopi
terutama dihasilkan oleh penduduk dataran tinggi yang disebut Balik
Bukit. Akan tetapi daerah Balik Bukit belum memiliki jalan yang
dapat dilalui mobil. Di sini hanya tersedia jalan tanah yang hanya dapat
dilalui pedati dan pejalan kaki. Dataran tinggi Way Tenong yang terletak
di sebelah Selatan dari kota Liwa merupakan daerah
pertanian yang subur tetapi belum memiliki sarana
jalan yang memadai dan masih berpenduduk sedikit. .[47] Di daerah Krui sebenarnya terdapat
beberapa erfpacht persil yang tidak digarap oleh pemiliknya selama 15 tahun,
akhirnya disita oleh negara. Bekas lahan perkebunan dijadikan kebun-kebun kopi
rakyat dan ladang.
Di bagian
paling utara dari Karesidenan Bengkulu terdapat daerah Muko-Muko, yang terdiri
dari empat marga (Teramang, Ipuh, V Koto, dan XIV Koto) masih berpenduduk
sedikit. Matapencaharian penduduk di daerah Muko-Muko
berladang padi dan menanam tanaman kacang hijau (Phaseolus
radiatus). Letak daerah ini masih terisolasi karena jalan yang
menghubungkan Muko-Muko dan kota Bengkulu masih buruk dan sering dilanda
banjir.
( Dikutip
dari dan seizin Dr Lindayanti MHum “ (BAB
IV) Kebutuhan Tenaga Kerja Dan
Kebijakan Kependudukan: Migrasi Orang Dari Jawa Ke Bengkulu 1908-1941”
Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah
Mada 9 Agustus 2007)
Untuk kajian
tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana
Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang 1995.
Ardiansyah.DSS “Sejarah Perkebunan Teh Di Bengkulu 1927-1988”
1.
[1] J.
Th. Lindblad & A.H.P. Clemens, Het Belang van de Buiten gewesten 1870-1942,
op cit., hlm. 1-25.
2.
[2]Koloniaal
Verslag van 1918, hlm 135.
3.
[3]D.G.Stibbe, Encyclopaedie van
Nederlandsch-Indie, (Leiden: NV v/h E.J. Brill, 1919), hlm. 278-279
5.
[5]
Overzicht van de Handelsbeweging 1913, op cit., hlm.47
7.
[7] P.
Hovig, ibid., hlm. 29
8.
[8]
Besluit 3 Februari 1902 no. 14
9.
[9]
Besluit 19 Maart 1898 no. 8
11. [11] P. Hovig, op cit., hlm. 28
12. [12]
Perusahaan Tambang Aequator menghasilkan 76 kg/emas dan 11.639 kg/perak,
Kinandam-Sumatra 224 kg/emas dan 6409 kg/perak, Paleleh 228 kg/emas dan 286
kg/perak, Totok 157 kg/emas dan 73 kg/perak, dan Bolaang Mongondou 359 kg/emas
dan 215 kg/perak. Lihat Jaarboek van Mijnwezen, Algemeen gedeelte tahun 1919,
hlm. 203.
13. [13]
Mvo. Residentie Benkoelen, 1915, KIT. 198, hlm. 146.
14. [14]
P.J. Veth, Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie,
(Leiden: E.J. Brill, 1882), hlm. 81.
15. [15]
Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996),
hlm. 116-117.
16. [16]
Afs. No. 4405/20, 10 october 1905 laporan perjalanan Residen Bengkulu ke Lebong
Donok tanggal 18 September 1905.
18. [18]
Hazairin, De Redjang, Proefschrift aan de Rechtshoogeschool te Batavia, 1936,
hlm. 34-35.
19. [19] Mvo. Residentie Benkoelen, 1932, KIT 202,
op cit., hlm. 30
20. [20]
P. Wink, op cit., hlm. 108
21. [21]
Ibid., hlm. 14
22. [22]
Besluit 13 September 1935 nomor 23
23. [23] P. Wink, op cit, hlm. 28
24. [24]
P.J. Veth, op cit., hlm 82
25. [25]
Particuliere Landbouw-Nijverheid, Lijst
van Ondernemingen, 1916, (Batavia: Landsdrukkerij,
1918), hlm. 330.
26. [26]
Besluit 4 November 1890, no. 24.
27. [27]
Koloniaal Verslag tahun 1900
28. [28] Koloniaal Verslag tahun 1893-1894, hlm.
249
29. [29]
Cultuur Maatschappij “Kaba Wetan” Jaarverslag over het negende Boekjaar
1921, hlm. 4
30. [30]
Cultuur Maatschappij “Kaba Wetan” Jaarverslag over het negende Boekjaar 1922,
hlm. 5
31. [31]
Ibid. hlm. 4
32. [32]
Twaalfde Verslag van den dienst der Arbeidsinspectie en Koeliwerving in
Nederlandsch-Indie, (Batavia: Landsdrukkerij, 1928), hlm. 82
33. [33]
Verslag van de Directie der Mijnbouw Maatschappij Simau, negende Boekjaar,
1910, hlm.12.
34. [34]
Verslag der Emigratieproef over het jaar 1912, KIT 199, hlm. 218
35. [35]
Pada Ordonansi Pengerahan Tenaga Kerja (Stb. 1909 no. 123), disebutkan bahwa
untuk kepentingan perusahaan perkebunan, pertambangan atau lainnya
yang tertulis dalam ordonansi ‘perjanjian kerja dengan buruh’ tidak
meliputi penduduk pribumi yang berada di afdeeling tempat perusahaan
pemberi kerja berada’
36. [36]
Koloniaal Verslag van 1906
38. [38] Mvo. Residentie Benkoelen, 1932,
KIT. 202, Ibid.
39. [39]
Mvo. Onderafdeeling Redjang, tahun 1939, KIT. 946, hlm. 18.
40. [40]
Mvo. Onderafdeeling Redjang, tahun 1913, KIT 931, op cit., hlm. 135
42. [42]
Mvo. Residentie Benkoelen, 1939, KIT 204, op cit., hlm. 76.
43. [43]
Lahan keseluruhan Perkebunan Soeban Ajam adalah 3.064 ha.
44. [44]
Kuli bebas dalam praktiknya adalah kuli yang didatangkan dari Pulau Jawa dan
bekerja dalam ikatan kontrak tanpa disertai sanksi hukum (poenale sancitie).
Selebihnya, mulai dari perekrutan kuli, lama kontrak, upah, dan fasilitas
yang diberikan oleh perusahaan adalah sama seperti yang diberikan pada para
kuli kontrak terdahulu.
45. [45]
Indisch Verslag tahun 1933
46. [46]
Besluit 13 September 1935 nomor 23, berisi tentang penjualan 26
konsesi perusahaan yang terletak sekitar 15 km dari dusun Tes pada
Firma Erdmann en Sieclken
[47]
Ibid., hlm. 41