Minggu, 06 Januari 2013
Pesona Danau Tes Kotadonok
Danau Tes dilihat dari Desa Trans Mangkurajo, Kotadonok (Foto: Naim Emel Prahana)
Danau Tes dilihat dari Desa Trans Mangkurajo, Kotadonok (Foto: Naim Emel Prahana)
Danau Tes dilihat dari Desa Trans Mangkurajo, Kotadonok (Foto: Naim Emel Prahana)
Danau Tes dilihat dari Desa Trans Mangkurajo, Kotadonok (Foto: Naim Emel Prahana/2012)
Danau Tes di kawasan Sma'et Baten Kauk (dok)
Datau Tes Tempoe Doele
Danau Tes dilihat dari Desa Trans Mangkurajo, Kotadonok (Foto: Naim Emel Prahana/2012)
DANAU tes merupakan salah satu aset
wisata di Kabupaten Lebong. Sebelum dimekarkan menjadi bagian dari
wilayah Kabupaten Lebong, danau ini masuk dalam wilayah Kabupaten Rejang
Lebong. Jika Pemkab Lebong berupaya maksimal mengenalkan aset wisata
ini, diyakini aset tersebut akan dapat menambah penghasilan bagi daerah.
Setidaknya, memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar.
Potensi Danau Tes didukung dengan pemandangan di sekitar kawasan danau yang terletak di Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong memang tak pernah habis sejauh mata memandang. Selain dikelilingi kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Danau Tes juga menyimpan pesona alam yang tak kalah menariknya untuk dikunjungi.
Selain sebagai tempat wisata, Danau Tes juga merupakan pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Mungkin belum banyak masyarakat yang mengetahui, jika Danau Tes yang menjadi salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Lebong adalah Danau yang terbesar yang ada di Provinsi Bengkulu. Danau yang terbentang dari Kutei Donok (Kota Donok, red) sampai ke Kelurahan Tes Kecamatan Lebong ini memiliki luas lebih kurang 750 hektar.
Untuk menempuh Danau Tes ini, dengan kemajuan Kabupaten Lebong sekarang sangat tidak sulit untuk dijangkau. Apalagi, dengan pembangunan yang dilakukan oleh Pemkab Lebong saat ini Danau Tes hanya berjarak lebih kurang 25 KM dari pusat kota (Muara Aman) dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda mpat baik angkutan umum maupun pribadi dan kendaraan roda.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah juga tidak hanya pada sarana transportasi saja, namun pembangunan juga dilakukan terhadap beberapa sarana pendukung untuk liburan keluarga seperti rumah makan terapung yang menyajikan makanan khas Rejang yang diambil langsung dari Danau Tes.
Sayangnya, pembangunan sarana rumah makan terapung yang diharapkan mampu untuk menggenjot peningkatan wisatawan domestik bahkan manca negara ini, saat ini dalam kondisi yang sangat memperihatinkan karena tak terjaga dengan baik.
Sebagai danau terluas di Provinsi Bengkulu, Danau Tes bukan hanya menjadi kebanggaan bagi daerah. Terlebih bagi masyarakat di sekitar danau, keberadaan aset wisata ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan mereka.
Selama ini, Danau Tes hanya ramai dikunjungi ketika hari libur. Namun banyak juga remaja yang tampak mangkal setiap sore hari untuk melepaskan jenuh. Berbagi bersama alam. Mungkin inilah kesan yang ingin didapat pengunjung. Didukung dengan pemandangan sejuk, Danau Tes memberikan daya tarik tersendiri untuk melepaskan penat.
Sebagai langkah memberdayakan potensi ini, Pemkab Lebong melalui Dinas Pariwisata, Budaya dan Perhubungan berencana akan mengembangkan aset ini. Tahun 2011 ini, pengembangan akan dilakukan guna meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata. Beberapa langkah yang saat ini sedang dirancang yakni mendirikan rumah makan terapung yang akan menyajikan makanan khas Rejang.
Selain itu, di Desa Kota Donok akan dibangun usaha rakyat yang akan menjual kerajinan tangan dan makanan khas. Bahkan Pemkab juga akan berupaya mengembangkan olahraga air di danau tersebut.
"Mudah-mudahan rencana kita ini akan terealisasi. Sehingga tak hanya memberikan pendapatan bagi daerah, tapi juga meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat," ujar Kadisparbudhub Lebong Drs Yustin Hendri. (Debi Antoni) (sumber dari Pesona Bumi Pat Petulai Rejang Lebong)
Potensi Danau Tes didukung dengan pemandangan di sekitar kawasan danau yang terletak di Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong memang tak pernah habis sejauh mata memandang. Selain dikelilingi kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Danau Tes juga menyimpan pesona alam yang tak kalah menariknya untuk dikunjungi.
Selain sebagai tempat wisata, Danau Tes juga merupakan pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Mungkin belum banyak masyarakat yang mengetahui, jika Danau Tes yang menjadi salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Lebong adalah Danau yang terbesar yang ada di Provinsi Bengkulu. Danau yang terbentang dari Kutei Donok (Kota Donok, red) sampai ke Kelurahan Tes Kecamatan Lebong ini memiliki luas lebih kurang 750 hektar.
Untuk menempuh Danau Tes ini, dengan kemajuan Kabupaten Lebong sekarang sangat tidak sulit untuk dijangkau. Apalagi, dengan pembangunan yang dilakukan oleh Pemkab Lebong saat ini Danau Tes hanya berjarak lebih kurang 25 KM dari pusat kota (Muara Aman) dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda mpat baik angkutan umum maupun pribadi dan kendaraan roda.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah juga tidak hanya pada sarana transportasi saja, namun pembangunan juga dilakukan terhadap beberapa sarana pendukung untuk liburan keluarga seperti rumah makan terapung yang menyajikan makanan khas Rejang yang diambil langsung dari Danau Tes.
Sayangnya, pembangunan sarana rumah makan terapung yang diharapkan mampu untuk menggenjot peningkatan wisatawan domestik bahkan manca negara ini, saat ini dalam kondisi yang sangat memperihatinkan karena tak terjaga dengan baik.
Sebagai danau terluas di Provinsi Bengkulu, Danau Tes bukan hanya menjadi kebanggaan bagi daerah. Terlebih bagi masyarakat di sekitar danau, keberadaan aset wisata ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan mereka.
Selama ini, Danau Tes hanya ramai dikunjungi ketika hari libur. Namun banyak juga remaja yang tampak mangkal setiap sore hari untuk melepaskan jenuh. Berbagi bersama alam. Mungkin inilah kesan yang ingin didapat pengunjung. Didukung dengan pemandangan sejuk, Danau Tes memberikan daya tarik tersendiri untuk melepaskan penat.
Sebagai langkah memberdayakan potensi ini, Pemkab Lebong melalui Dinas Pariwisata, Budaya dan Perhubungan berencana akan mengembangkan aset ini. Tahun 2011 ini, pengembangan akan dilakukan guna meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata. Beberapa langkah yang saat ini sedang dirancang yakni mendirikan rumah makan terapung yang akan menyajikan makanan khas Rejang.
Selain itu, di Desa Kota Donok akan dibangun usaha rakyat yang akan menjual kerajinan tangan dan makanan khas. Bahkan Pemkab juga akan berupaya mengembangkan olahraga air di danau tersebut.
"Mudah-mudahan rencana kita ini akan terealisasi. Sehingga tak hanya memberikan pendapatan bagi daerah, tapi juga meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat," ujar Kadisparbudhub Lebong Drs Yustin Hendri. (Debi Antoni) (sumber dari Pesona Bumi Pat Petulai Rejang Lebong)
Semangat Abadi di Rumah Pengasingan Bung Karno, Bengkulu
Oleh: Afif Farhan
Inilah Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu (Titisari Raharjo/ACI)
Saat traveling ke Bengkulu, berkunjunglah ke Rumah
Pengasingan Bung Karno. Anda dapat berwisata sejarah, sambil
bernostalgia dengan perjuangan Bung Karno saat masa penjajahan Belanda.
Ada semangat yang tak padam di rumah ini!
Selain terkenal dengan
bunga rafflesia arnoldi dan Benteng Marlborough, Rumah Pengasingan Bung
Karno juga menjadi destinasi menarik yang wajib dikunjungi di Bengkulu.
Tempat ini menjadi destinasi favorit bagi para traveler yang menggagumi
perjuangan Bung Karno, serta menjadi destinasi wisata sejarah.
Bung
Karno adalah sosok yang paling dihormati dan dikagumi di negeri ini.
Perjuangannya yang tak kenal menyerah, keras, dan berjiwa pemimpin,
mampu membuat nyali para penjajah ciut. Duetnya dengan Muhammad Hatta,
atau yang lebih dikenal dengan nama Bung Hatta, menjadikan Indonesia
sebagai 'macan Asia' di masa lalu.
Rumah Pengasingan Bung Karno
terletak di Jl Soekarno Hatta, kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.
Tempatnya berada tepat di tengah Kota Bengkulu dan mudah ditemukan. Di
rumah inilah, Bung Karno diasingkan selama 4 tahun, dari tahun 1938
hingga 1942. Saat itu Bung Karno diasingkan oleh pemerintah Belanda,
karena perjuangan Bung Karno yang dianggap 'berbahaya'.
Sebelumnya,
Bung Karno sempat diasingkan di Ende, Flores, hingga akhirnya
diasingkan di Bengkulu. Bukannya menyerah dan putus asa, akan tetapi
semangat Bung Karno yang membara tidak kunjung padam walau sedang
diasingkan.
Menurut situs resmi pemerintah Bengkulu,
www.bengkulukota.go.id yang dikunjungi detikTravel, Selasa (26/3/2012),
selama di pengasingan Bung Karno terus berjuang dan menularkan
semangatnya kepada masyarakat sekitar. Bung Karno mendirikan Masjid
Jami’ di Jalan Soeprapto dan kelompok diskusi ilmiah bernama Debating
Cerdas Club. Bung Karno juga mendirikan kelompok sandiwara Montecarlo
sebagai media untuk menyusun strategi agar kemerdekaan Indonesia
tercapai.
Rumah Pengasingan Bung Karno cukup luas. Awalnya rumah
ini adalah milik seorang pedagang Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng,
yang akhirnya rumah ini ditempatkan sebagai tempat pengasingan Bung
Karno. Halamannya luas dan rapi. Pintu dan jendelanya pun rumah masih
asli dengan aksen khas Tionghoa. Di dalam rumah, juga terdapat beberapa
koleksi buku-buku dan koleksi Bung Karno yang masih tersimpan dengan
baik.
Mengapa Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu? Sebab saat itu
Bengkulu dianggap daerah yang rawan malaria oleh Belanda. Akan tetapi,
bukannya terkena malaria, Bung Karno malah semakin gencar dalam merebut
kemerdekaan.
Satu hal koleksi yang unik di rumah ini, Anda dapat
melihat foto Bung Karno yang sedang berpidato dan surat-surat cintanya
kepada Fatmawati. Memang, semenjak di Bengkulu Bung Karno jatuh cinta
kepada Fatmawati. Fatmawati pun jatuh cinta kepada Bung Karno yang penuh
wibawa. Melalui rumah pengasingan inilah, Bung Karno mendapatkan istri
yang cantik dan membantunya dalam mengusir penjajah, yaitu Fatmawati.
Rumah
Pengasingan Bung Karno di Bengkulu adalah warisan yang bernilai tinggi.
Tidak ketinggalan, semangat abadi Bung Karno akan menular kepada Anda
saat berkunjung ke tempat ini.
Museum Tan Malaka dan Rumah Bacanya
Oleh Gilng Helindro
Rumah
Gadang itu memiliki gonjong lima.
Sebagian lantai dan dindingnya sudah rapuh. Ketika kaki satu persatu menginjak
anak tangga terdengar suara berderik dari sela-sela papan itu. Rumah ini sama
dengan rumah gadang lainnya. Ornament khas minang kabau sangat kental menghiasi
sekelilingnya. Hanya saja dinding sebelah kiri tidak terbuat dari papan yang
mendominasi, tapi dari anyaman banbu yang juga terlihat lusuh. Rumah ini di
bangun tahun 1936. Ukurannya kira-kira 18 x 11 meter. Dulunya rumah ini di huni
oleh Tan Malaka, salah satu pahlawan nasional yang kontroversial dalam sejarah
bangsa Indonesia. Sekarang rumah ini dijadikan rumah baca dan museum Tan Malaka,
di Desa
Kampuang Patai, Kenagarian Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh. Kabupaten
Lima Puluh Kota. Propinsi Sumatera Barat.
Bagian
dalam banyak terpajang foto Tan Malaka bersama Presiden Soekarno. Koleksi
buku-buku sejarah tentang perjuangan tersusun rapi di rak. Ada juga ranji-ranji
keturunan Tan Malaka. Di ruang utama sedikitnya 34 koleksi foto Tan Malaka
berjejer menghiasi dinding dengan berbagai momentum. Salah satunya foto ketika
ia membuka buku berjudul Gerilya, Politik
dan Ekonomi di Yogyakarta. Di lemari kaca sudut ruangan juga dipenuhi buku
hasil pemberian para peneliti dan sejarawan tentang dirinya. Kurang lebih ada
28 judul. Beberapa diantaranya yaitu Gerakan
Kiri Minangkabau dan Dari Penjara Ke
Penjara.
Kini yang menunggu rumah
itu adalah Indra Ibnu Ikatama, cicitnya Tan Malaka. Ia juga mewakili Hengky
yang sekarang sudah berdomisili di Jakarta. “Mengenai rumah, diresmikan sejak
tahun 2008 sebagai museum dan rumah baca. Sayangnya tak ada perhatian serius
dari pemerintah setempat” katanya.
Renovasi
kecil dilakukan keluarga ketika sejarawan dari belanda berkunjung. Selama
peresmian rumah sebagai museum dan rumah baca Tan Malaka. Belum pernah
sekalipun direnovasi. “Kami pihak keluarga tidak terlalu berharap dana renovasi.
Tapi sepatutnya Pemda dan Dinas Periwisata memperhatikan,” tambahnya.
***
Tan
Malaka dilahirkan di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat, dengan nama Ibrahim. Belum ada data pasti ihwal tanggal
kelahiran Tan Malaka. Banyak yang menyebut ia dilahirkan pada 19 Februari 1896,
namun ada pula yang merunut bahwa angka lahir Ibrahim Tan Malaka tanggal 2 Juni
1897.
Ayahnya
bernama Rasad, berasal dari marga Chaniago. Sedangkan ibunya bernama Sinah,
berpuak Simabur. Konon, leluhur ibunda Ibrahim berasal dari Kamang, Bukittinggi.
Sedangkan moyang sang ayah datang dari Bonjol, utara Payakumbuh,
yang melarikan diri ketika Perang Paderi meletus.
Ayah
Ibrahim adalah seorang pegawai rendahan, bekerja sebagai manteri suntik dan
petugas yang mengatur distribusi garam di kampungnya. Gaji sang ayah yang hanya
belasan gulden, masih sulit untuk membiayai keluarga. Karena keterbatasan
itulah, Rasad hanya mampu menyekolahkan Ibrahim ke sekolah dasar Kelas Dua,
sekolah milik pemerintah colonial Belanda untuk anak rakyat kebanyakan.
Berkah
bagi Ibrahim, meski dikenal agak nakal, otaknya cukup cemerlang. Karena itu lah
guru-guru di sekolahnya merekomendasikan agar ia melanjutkan pendidikan ke
sekolah guru negeri untuk guru-guru Bumiputera di Fort de Kock (sekarang
Bukittinggi). Sekolah ini satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan sekolah
Kelas Dua setelah menempuh pendidikan selama lima tahun.
Kesempatan
ini justru menjadi buah pikiran tersendiri bagi Rasjad, mengingat kondisi
ekonomi yang pas-pasan. Sekolah di Fort de Kock itu terkenal dengan sebutan
“Sekolah Raja.” Artinya hanya anak-anak dari kalangan bangsawan mengenyam pendidikan. Untungnya Ibrahim salah
satu murid kesayangan di sekolah sebelumnya, dan mereka terus berjuang agar
Ibrahim dapat diterima di “Sekolah Raja.”
Segala
cara dimaksimalkan agar tujuan mulia itu bisa terlaksana. Asal-usul keningratan
ibunda Ibrahim ternyata dianggap cukup untuk alasan mendaftar. Moyang sang ibu
adalah salah satu pendiri Pandam Gadang dan juga membawahi beberapa datuk.
Peluang Ibrahim terbuka bukan karena itu, tapi karena kecerdasannya yang menjadi
nilai lebih. Meski Ibrahim terkadang berlaku bandel, ia sangat gemar
menghabiskan waktunya untuk bermain sepakbola.
Ibrahim
berhasil diterima menjadi siswa di Sekolah Raja. Inilah perantauan pertama Tan
Malaka keluar dari kampung halamannya. Di lingkungan yang baru, Ibrahim
berkenalan dengan budaya bangsa yang menjajah negerinya. Ia mulai mendalami
bahasa Belanda. Ibrahim juga menyibukkan diri dengan bergabung menjadi anggota
orkes sekolah yang dipimpin oleh Gerardus Hendrikus Horensma, seorang keturunan
Belanda yang menjadi guru di Sekolah Raja.
Setahun
sebelum ia menyelesaikan pendidikan. Ibrahim dipanggil pulang ke tanah
kelahirannya sekitar tahun 1913, umurnya pun belum genap 17 tahun. Keluarga
punya rencana lain. Diadakan rapat adat untuk memilih Ibrahmi sebagai datuk. Ia
merupakan anak lelaki tertua keluarga Simabur, itu berarti ia harus
bersiap-siap memangku gelar datuk sebelum ayahnya wafat. Sebagai datuk,
nantinya Ibrahim memimpin tiga marga keluarga yaitu Simabur, Piliang dan
Chaniago.
Kaum
tetua adat dibuat gusar karena Ibrahim dengan tegas menolak penobatan itu. Sampai
akhirnya ia diberi pilihan sulit, menolak gelar atau menikah. Takut menikah
diusia muda, Ibrahim angkat tangan dan terpaksa menerima gelar tertinggi dalam
adat Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Pesta
penobatannya digelar besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam.
Namun,
pesta suka cita itu ternyata berujung perpisahan. Ibrahim alias Tan Malaka
harus segera meninggalkan tanah kelahirannya untuk hijrah ke negeri Belanda, meneruskan
pendidikan sekolah guru di Harleem, pasca kelulusannya dari Sekolah Raja.
Ia
dapat beasiswa atas jasa baik G Horensma. Sebelumnya, upaya Ibrahim untuk bisa
pergi ke Belanda terbentur masalah biaya. Padahal orang sekampung sudah patungan
kumpulkan uang, tetap saja tak cukup.
Ternyata
ini lah kisah awal berkelana Tan Malaka. Dari Nagari Pandam Gadang, Tan Malaka
beringsut ke Bukittinggi untuk kemudian siap mengepakkan sayap menjelajahi
semesta. Tujuan Tan pertama adalah Harleem University.
Sebagai bentuk penghargaan atas
jasa-jasa Tan Malaka kepada bangsa ini, maka tanggal 21 Februari 2008 rumah tua
Tan Malaka diresmikan menjadi museum Tan Malaka
oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Rencananya,
pihak keluarga dan panitia akan mendirikan monumen Tan Malaka di Payakumbuh serta
Pusat Studi Pelatihan dan Pendidikan yang diberi nama “Tan Malaka Institutes”
di Pandam Gadang tempat desa kelahirannya.
Langganan:
Postingan (Atom)