Sabtu, 20 September 2008

Pemkab Lebong Beri Lahan Gratis Bagi Investasi Hotel

Lahan Gratis Hotel dari Pemkab Lebong
September 20, 2008 oleh emel
(Minggu, 02 Maret 2008 12:39:00 Republika Online)–
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong, Bengkulu, berjanji memberikan lahan secara gratis bagi pengusaha yang berminat berinvestasi membangun hotel dengan jumlah kamar lebih dari 30 unit di daerah itu.
“Kita telah hitung, untuk pembangunan hotel dengan kamar diatas 30 unit membutuhkan lahan sekitar lima hektare. Kami akan memberikan lahan itu secara cuma-cuma, pengusaha tinggal membangun saja,” kata Bupati Lebong, Dalhadi Umar di Bengkulu, Minggu (2/3).
Mengenai lokasi, diserahkan kepada pengusaha untuk mencari yang strategis. Pemkab akan membebaskan lahan itu dengan menggunakan anggaran dari APBD.
Menurut Dalhadi, harga lahan di Lebong masih relatif murah. Untuk lima hektare, maksimal hanya Rp500 juta.
Ia mengaku keinginan memberikan fasilitas bagi investor itu, karena prihatin hingga saat ini di daerahnya tidak ada penginapan representatif untuk tamu yang berkunjung ke Lebong.
“Banyak tamu, baik dari Jakarta ataupun pejabat provinsi yang berkunjung ke Lebong. Saya kadang bingung, mau ditempatkan dimana para tamu itu, karena tidak ada penginapan yang layak,” katanya.
Selama ini, jika ada tamu yang datang dan menginap di Lebong, hanya ditempatkan di rumah-rumah yang memang sengaja disewakan.
“Ada pengusaha lokal yang membangun tujuh unit rumah, masing-masing dua kamar di tanah saya. Itulah yang selama ini ditempati para tamu,” katanya.
Dalhadi juga mengaku keinginannya untuk memberikan lahan gratis bagi investor mendapat tentangan dari sebagian anggota DPRD, karena menilai kebijakan itu tidak berpihak pada rakyat.
Padahal, keinginan itu memberikan dampak positif bagi masyarakat, sebab akan membuka lapangan kerja baru, disamping juga menyediakan penginapan layak bagi para tamu.
Ia menjelaskan, ukuran hotel atau penginapan di lahan lima hektare, lebih kurang sama dengan Hotel Pasir Putih di kawasan wisata Pantai Panjang, Kota Bengkulu.
“Hotel Pasir Putih kini memiliki 132 pegawai. Berarti jika hotel itu dibangun di Lebong akan ada 132 warga yang mendapatkan pekerjaan,” katanya.
Karena itu, ia menyatakan tidak akan menarik kebijakannya itu. Bagi investor yang bersedia membangun hotel, akan tetap diberikan fasilitas itu.
“Silahkan kalau ada yang berminat membangun, datang pada saya, pasti saya beri lahan gratis. Urusan dengan DPRD, biar saya yang tanggungjawab,” katanya.
Sebagai kepala daerah, Dalhadi mengaku siap mengambil resiko guna membangun Lebong yang berada di kaki Bukit Barisan itu. antara/abi
Changes in Land Use and Economy in Upper Lebong by Thomas Psota
at Sabtu, September 20, 2008





Read More......
0 comments ShareThis
Labels: Journal
Rejang - Weapons and Fighting Arts of Indonesia Oleh Donn F. Draeger
at Friday, September 19, 2008

Sistem Lokal Jurukalang dalam Pengelolaan SDA

Sistem Lokal Jurukalang dalam Pengelolaan SDA
at Sabtu, September 20, 2008
diposting oleh emel
Jurukalang adalah salah satu Komunitas Geneologis yang berada di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu, secara Administratif Jurukalang berada di Kecamatan Rimbo Pengadang dan Sebagian Kecamatan Lebong Selatan. Komunitas Jurukalang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami .
Jurukalang dalam bahasa Lokal di sebut Jekalang adalah salah satu komunitas adat tertua dalam sejarah suku Rejang (Jang), keterangan ini tidak hanya di dapat dari cerita secara turun temurun namun dari beberapa dokumen tentang pengakuan ini salah satunya pernyataan J. Walland tahun 1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783.
Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Jurukalang memiliki norma-norma yang kemudian di atur dalam sistem Adat Tiang Pat Lemo Magea Rajo , pada tataran aplikatif sering disebut dengan Adat Beak Nyoa Pinang atao Adat Neak Kutai Nated, dan sampai saat ini masih memegang teguh Adat Bersendi Syara’ dan bersendikan kitabullah . Dalam sejarah Jurukalang disebutkan bahwa sebelum ditetapkan kelembagaan Jurukalang (berasal dari kata Galang ), diwilayah ini sudah terdapat sistem pemerintahan yang di pimpin oleh Ajai, Ajai ini adalah gelar seseorang Pemimpin Komunitas yang diambil dari Kata Majai (dalam bahasan Sangsekerta berarti Pimpinan suatu Kumpulan manusia).
Sejarah tentang Jurukalang ini sendiri dimulai ketika peristiwa Penebangan Kayu Benuang Sakti, dimana ketika proses penebangan tersebut Komunitas Jurukalang kebagian tugas sebagai juru Galang, Kemudian komunitas ini di kenal dengan sebutan Jurukalang yang di pimpin oleh Bikau Bermano dan berkedudukan awalnya di Kutai Suko Negerai, dan kemudian pindah ke Desa Tapus, beberapa priode pemerintahan Adat Jurukalang di bawah Pimpinan Pesirah atau Depati ini tetap di Desa Tapus.
Sistem-sistem lokal di Jurukalang di Kenal Arif yang tidak hanya mengatur hubungan dengan sesama tetapi hubungan dengan Tuhan, Gaib dan Alam. Hubungan antar sesama biasanya adalah hubungan komunal antar Sukau (kesatuan clan/keluarga) yang biasanya di ketuai oleh Ketua Sukau atau Kutai yang dipilih oleh clan tersebut. Hubungan dengan Tuhan dalam sistem Rejang sering disebut dengan istilah So Samo Kamo Bamo (So artinya Satu), ada kepercayaan Esa terhadap Tuhan. Di Jurukalang sendiri masih mempercayai adanya kekuatan gaib diluar kemampuan manusia, penyebutan Diwo Duwate, keramat, wali, Diwo Pat Jemnang Kutai adalah aplikasi dan apresiasi terhadap jenis-jenis makluk gaib. Pada tataran implementasi ini melekat erat dalam sistem kelola wilayah adat, Kedurai Agung, Kedurai Madeak Turuak biasanya adalah jenis dialogis dengan makluk gaib di wilayah-wilayah tertentu.
Kedurai Mundang Miniak adalah sistem lokal ketika masyarakat akan turun kesawah, Temje Bubung sistem gotong royong untuk menegak rumah, Pantangan dalam mengelolan sumber daya alam diwilayah tertentu disebut dengan Tuwea Celako misalnya menebang pohon-pohon tertentu, "lahan yang ketika ditebang membentuk jembatan di atas sungai atau anak sungai biasanya akan menimbulkan musibah kepada orang yang mengelolan lahan tersebut" disebut oleh Bapak Salim tokoh adat Desa Tapus, biasanya ketika akan membuka lahan perkebunan ada ritual khusus seperti Kedurai, Mengeges, sampai sedelah bumi kami menyebutnya dengan bedu’o , ditambah Bapak Salim. Demikian juga dengan jenis-jenis kayu tertentu yang akan digunakan untuk rumah, di Jurukalang ada kretaria, Kayu Sialang biasanya apabila dipaksanakan digunakan akan menimbulkan bencana kematian bagi penunggu rumah karena kayu tersebut ada yang gemuyan (makluk gaib penunggu pohon dalam bahasa Lokal di sebut tunggau ) di sambung Bapak H. Tuhir (tokoh masyarakat Jurukalang Tapus).
"Mungkin inilah akibat banyaknya bencana yang terjadi saat ini karena kita melangar adat yang telah diturunkan oleh leluhur kita" di sambung oleh Bapak Salim, Ketika Panen jenis-jenis tertentupun di Jurukalang ada bagian khusus yang harus diberikan ke pada penguasa gaib, misalnya ketika Panen Ikan di Salah Satu Sungai maka ada bagian khusus yang harus diberikan kepada Puyang dan Ninik (penyebutan Harimau), "ini menunjukan bahwa dalam pemanfaatan sumber daya yang ada tidak boleh berlebihan" dijelaskan oleh Pak Salim, "dulu ketika ada kelembagaan adat Marga, pemanfaatan kayu itu hanya boleh untuk kebutuhan membangun rumah dan tidak boleh di jual, berburu hewan tertentu hanya boleh dilakukan pada masa tertentu" ditambah Pak Salim. Sampai saat ini sistem lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagian besar masih di taati namun sebagian besar banyak dilanggar,misalnya pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai) masih sangat dihormati. Namun beberapa hal dilakukan proses modefikasi seperti sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.

Selasa, 16 September 2008

PLN Gagal Meminit Listrik

PLN Gagal Meminit Listrik
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan, peminat masalah sosial kemasyarakatan dan praktisi pers

Krisis listrik di Indonesia sejak tahun 2004 telah menambah beban krisis perekonomian hingga menjadi krisis multidimesional. Padahal, pertumbuhan konsumsi listrik delapan tahun lalu itu hanya 7 persen per tahunnya. Namun, pemerintah tetap gagal menyediakan listrik untuk kebutuhan konsumen. Salah satu faktornya lambannya mengantisipasi kebutuhan listrik dengan tidak adanya percepatan pembangunan pembangkit listrik yang baru.

Di sisi lain, hubungan PT PLN (pesero) dengan departemen lainnya yang terkait dengan keuangan tidak ada jaminan kerjasama yang utuh. Terkesan lembaga atau badan pemerintah lainnya menyangkut BUMN berdiri masing-masing, walau menyangkut kepentingan masyarakat luas. Dampak paling buruk akibat ketidaktersediaannya listrik oleh pemerintah, banyak industri gulung tikar dan perusahaan asing maupun investor atau calon investor asing meninggalkan Indonesia.

Sikap prihatin atas krisis listrik di Indonesia itu diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi belum lama ini. Apindo mendesak agar pemerintah bergerak cepat dan memberikan kepastian kepada para investor dan rakyat. Sebagai gambaran, pihak Apindo atau Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) panjang lebar mengungkapkan kesesalan mereka kepada pemerintah.

Sesalnya mereka terhadap pemerintah akibat krisis listrik yang berkepanjang tanpa solusi dan penyebab yang jelas itu, menyebabkan sekitar 400 perusahaan yang tergabung dalam Jakarta Japan Club (JJC) mengalami kerugian mencapai Rp 48 miliar dan para pengusahanya berniat hengkang ke Tiongkok. Dapat dibayangkan kerugian lanjutan akibat ketidaktersediaannya listrik di Indonesia itu. Ditambah lagi krisis listrik dengan pemadaman-pemadaman listrik yang irreguler (tidak teratur).

Hitungan global lainnya akibat krisis listrik adalah turunnya omzet produk-produk industri kecil hingga menengah yang bertebaran di pelosok tanah air. Hal itulah yang menjadi sikap prihatin mendalam ketua Kadin, MS Hidayat belum lama ini. Kendati pernyataan Kadin dan JJC itu dibantah keras pemerintah melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), toh kenyataannya listrik tetap misteri bagi kehidupan bangsa ini.

Pada gilirannya persoalan listrik sebagaimana persoalan BBM merupakan persoalan buruknya manejemen perusahaan negara itu sendiri. Cerminan buruknya manajemen itu merupakan gambaran umum tentang pelaksanaan roda pemerintahan Indonesia.

Sangat disayangkan, krisis listrik secara Nasional itu telah menghilangkan makna 100 tahun kebangkitan Nasional. Berdasarkan analisis banyak pihak, diperkirakan krisis listrik baru dapat diatasi pada tahun 2010, pada saat pembangunan pembangkit listrik baru berkekuatan 10.000 MW dioperasikan. Menjelang 2010 kalau benar krisis listrik dapat diatasi telah hancur pula perusahaan berskala mikro, kecil, menengah, hingga besar, sampai kepada industri orientasi ekspor gagal memenuhi order sebagaimana kontrak mereka.

Untuk direnungkan pemerintah, bahwa listrik merupakan infrastruktur paling penting selain jalan raya, telepon, BBM dan pelabuhan. Kalau pemerintah menskala perioritaskan pembangunan pembangkit listrik, itu suatu konsekuensi yang harus dihadapi. Apalagi, di Indonesia sumber untuk membangun pembangkit listrik cukup besar, tinggal bagaimana jaminan pendanaannya. Baik dari Departemen Keuangan maupun dari dunia perbankan.

Indonesia memiliki gas dan batubara berlimpah. Tapi, kedua komoditas strategis itu diekspor untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik negara lain. Sedangkan sekitar 23% pembangkit listrik dalam negeri masih menggunakan BBM. Pemerintah perlu segera mengatasi krisis listrik tanpa perlu menunggu 2010. Indonesia punya gas dan batu bara. Juga punya dana untuk mem- bangun pembangkit listrik. Yang tidak kita punyai hanya kemauan untuk mengakhiri masa kegelapan berkepanjangan ini.

Oleh sebab itu, di negara maju pembangunan pembangkit tenaga listrik itu dibangun oleh pemerintah dan pembangunan pembangkit listrik oleh perusahaan hanyalah dilakukan ketikda keadaan dalam keadaan darurat saja. Anehnya di Indonesia, malah pembangunan pembangkit listrik bahkan ada pembangkit listrik yang sedang dibangun, akan dijual. Aneh tapi nyata perilaku pemerintah Indonesia menghadapi gejolak dunia saat ini.

Sampai-sampai pemerintah berniat menghambat pertumbuhan ekonomi dengan jalan menaikkan pajak kendaraan, agar penghematan BBM dapat dilakukan. Sementara itu, pemerintah melalui PLN gencar menghimbau rakyat untuk melakukan penghematan energi. Sisi lain, instansi pemerintah gencar menghamburkan listrik di akntor-kantor, rumah dinas dan perusahaan pemerintah/daerah. Sangat kontras sekali. Itu sama dengan program pemerintah di zaman ordebaru yang minta rakyat untuk “mengencangkan ikat pinggang”, sementara para pejabat pemerintah berlomba-lomba membesarkan perut pejabat dan pegawai, memperbesar kekayaan pribadi mereka. Bukankah itu sesuatu hal yang tidak berimbas baik kepada rakyat?

Kita tidak mengerti lagi cara PLN meminit perusahaan listrik negara itu. Rakyat (konsumen) hanya diminta dengan disiplin untuk memberikan kewajibannya tepat waktu. Seperti denda pembayaran rekening listrik yang terlambat. Sementara, hak konsumen tidak diberikan dengan baik. Bahkan, tidak sama sekali oleh PLN selama ini. Sanksi itu hanya untuk konsumen, bukan untuk kesalahan besar PLN.

Kondisi yang kurang jelas di tengah krisis listrik itu, konsumen tiba-tiba dihentakkan dengan rencana penjualan 4 (empat) pembangkit listrik baru. Pembangkit listrik baru yang akan dijual oleh pemerintah itu adalah proyek listrik berkekuatan 10.000 MW yang akan dipercepat pembangunannya agar menghasilkan listrik sebanyak 12.000 MW.

Pembangkit itu adalah adalah pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya, Paiton, Rembang, dan Labuan. (yang pembangunannya akan segera selesai pada 2008 ini). Rencana penjualan itu diungkapkan oleh Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit, Yogo Pratomo beberapa hari lalu.


Dengan alasan, bahwa penjualan itu tujuannya untuk membiayai program percepatan tahap kedua, yang rencananya dimulai akhir 2008 atau awal 2009. dengan alasan itu, pemerintah menganggap penjualan itu merupakan jalan terbaik. Sebagaimana alasan peresiden SBY ketika menaikkan harga BBM.

Sampai tahun 2008 jumlah aset PLN yang ada mencapai Rp 200 triliun sedangkan pinjamannya mencapai Rp 100 triliun. PLN tengah gencar untuk mendapatkan jaminan pinjaman melalui Departemen keuangan. Yang diincar adalah dana sekitar 55 persen dari kebutuhan di atas. Padahal, percepatan pembangunan pembangkit listrik tahap kedua akan selesai pada tahun 2012. berarti, krisis listrik di Indonesia masih berjalan panjang. Dengan asumsi pembangunan pembangkit listrik memakan waktu antara 4, 5 tahun sampai 6 tahun.