Sabtu, 20 September 2008

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*
Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda
Laut adalah lambang kehidupan yang dinamis. Birahi laut berarti dinamika kehidupan yang penuh gairah. Dan, begitulah kurang lebih sajak-sajak Dino Umahuk dalam buku kumpulan sajaknya, Metafora Birahi Laut (Lapena, 2008), penuh imaji kehidupan yang bergairah sekaligus bergejolak, dalam metafor-metafor yang unik.
Berbagai tema tentang kehidupan, interaksi antara manusia (sang penyair) dengan alam, dengan sesama manusia, dalam rasa cinta dan gairah untuk mereguknya, dirangkum sang penyair dalam sajak-sajaknya. Kadang-kadang terbersit rasa duka, derita, suka cita. Namun, semua dalam gairah cinta, untuk mereguk makna hidup sampai akarnya. Dan, kegairahan itu mengkristal dalam sajak “Metafora Birahi Laut” (hlm 63) yang dipilih menjadi judul buku ini.

Coba kita simak sajak tersebut:
MEPOTAFORA BIRAHI LAUT
Ini birahi tumbuh dari laut
Ketika ombak pasang
Dan badai melarungkan segumpal kemesraan
Ke dalam jasad yang bernama Adam
Ini birahi datang dari laut
Ketika langit merah saga
Dan senja melabuhkan dahaga ke dada
Laki-laki bernama anak Maluku
Ini puisi tak sekadar kata
Ia tumbuh berbunga mantera
Ketika musim telah tiba
Janji kan dia tunaikan di rahim perempuan
Ini cinta tidak biasa
Ia lahir dari birahi laut
Ketika ombak bersetubuh dengan pantai
Dan dupa menguap dari ketiak malam

2005

Dalam kegairahan seperti ‘birahi laut’ itu Dino tampak begitu lahap untuk menulis apa saja, yang sempat dijumpai dan menggoda imaji puitiknya sepanjang pengembaraannya, sepanjang petualangannya menaklukkan tantangan hidup yang keras, puncak gunung, dan perempuan. ‘’Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri,’’ tulis Ikranegara pada pengantar pendeknya.
Karena kegairahannya itu Dino mencatat apa saja sepanjang petualangannya. Sejak persoalan politik sampai kegelisahan individualnya, sejak persoalan yang sekular sampai yang bernuansa religius seperti “Sajak Lautan Sajadah” (hlm 37). Dalam sajak ini, penyair yang dalam sajak ‘’Membunuh Tirani’’ (hlm 59) menyebut dirinya sebagai ‘’lelaki malam yang lahir dari bisa ular’’ – yang melihat kehidupan sebagai padang penaklukan yang menggairahkan --berubah menjadi manusia religius yang memandang kehidupan (lautan) sebagai hamparan sajadah untuk ‘’kembali’’ berserah diri pada-Nya.
Sangat menarik untuk menyimak sajak tersebut, sbb.

SAJAK LAUTAN SAJADAH
Lautan adalah hamparan sajadah menapaki makrifat-Mu
Di wajah kesadaran yang Kau titipkan lewat rinai hujan
Air mata meninggikan derajat beberapa doa
Malam adalah jerat antara surga dan neraka
Di antara huruf Kaf dan Nun yang menjelma gedung-gedung
Kebebalan serupa batu cadas yang luruh di tetesan wudhu
Pada penghabisan kesekian dari sujud di Kursi-Mu
Alif Lam Mim bersekutu sebagai janji
Sebagai Adam yang mentahmidkan cahaya
Lautan adalah hamparan huruf-huruf mengeja ayat-Mu
Seperti tangis yang menunggu di pintu rahim
Usai berikrar meniti nasib

Banda Aceh, 20 Juni 2007

Pada sajak lainnya yang bernuansa religius, yakni ‘’Ajari Aku membaca-Mu’’ (hlm 16), Dino terkesan tak kuasa, atau gagap, dalam membaca tanda-tanda kebesaran dan kehendak Tuhan. Fenomena alam adalah ayat-ayat Tuhan (sunatullah) yang tidak tertulis dan bertebaran seluas hamparan sajadah kehidupan, tapi tak semua orang mampu menangkap maknanya.

Maka, sang penyair petualang, Dino Umahuk, pun minta pada Tuhan agar diajari untuk membacanya. Sedang Tuhan, sejak turunnya wahyu pertama ke-Islaman, sudah memerintahkan pada manusia (melalui Nabi Muhammad SAW) untuk membacanya – iqra bismi rabbikalladzi khalaq! Perintah membaca yang memiliki pengertian sangat luas.

Membaca apapun – teks tertulis maupun teks alam dan kehidupan yang terhampar penuh kekerasan -- tanpa kemampuan untuk memahami maknanya, tanpa bekal kearifan untuk memaknainya, dapat juga mengundang rasa putus asa, frustrasi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri, seperti terbersit pada sajak ‘’Agama Bunuh Diri’’ (yang ditulis pada tahun 1999, hlm 15) berikut ini:

Bila nanti siang kau shalat jumat
Barangkali di masjid Al-Fatah
Atau hari minggu nanti kau ikut kebaktian atau misa
Mungkin di gereja Maranatha mungkin di Keuskupan
Tolong tanyakan pada Muhammad dan Isa yang agung itu
Apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
Agar kita saling membunuh?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri

Untunglah Dino tidak benar-benar bunuh diri karena memang dilarang oleh agama. Untunglah Dino akhirnya menyadari bahwa manusia memang bodoh dan fana, dan hanya Tuhan yang Maha Tahu segalanya, dan memang selayaknyalah dia minta diajari oleh-Nya, seperti tersirat dalam sajak “Ajari Aku membaca-Mu’’, yang ditulisnya pada Maret 2007, sehingga dia memahami bahwa alam dan kehidupan adalah hamparan sajadah panjang untuk ‘’kembali’’ pada-Nya, seperti tersurat pada ‘’Sajak Lautan Sajadah’’. Periode penciptaan 2007 agaknya periode ‘’kesadaran’’ bagi Dino, dan sajak-sajak yang ditulisnya rata-rata bernuansa religius.
Seberagam tema yang dikemas dalam sajak-sajaknya, beragam pula pola pengucapan sajak-sajak Dino. Ada sajak-sajak yang begitu lugas dan kurang puitis, seperti ‘’Agama Bunuh Diri’’ (hlm 15), ada sajak yang memiliki baris-baris yang tidak seimbang kepanjangannya (ada baris-baris panjang, ada baris-baris yang hanya satu dua kata) seperti ‘’Sajak Kelelawar’’ (hlm 36), ada pula sajak-sajak yang sangat indah, rapi, sekaligus puitis serta simbolik, seperti ‘’Sajak Lautan Sajadah’’ dan ‘’Metafora Birahi Laut’’.
Agaknya, seperti juga kebanyakan penyair lain, proses kepenyairan Dino Umahuk adalah juga proses pencarian – pencarian jati diri sekaligus pencarian pola estetik. Syukurlah, melalui pencarian panjang selama hampir 10 tahun (1999-2007), akhirnya Dino menemukan yang dicarinya: jati diri yang religius dan pola pengucapan yang rapi, imajis dan simbolik, dengan citraan-citraan alam yang puitis. Karena itu, selamat untuk Dino Umahuk. Semoga dapat ikut memberi makna positif bagi tradisi kepenyairan di Indonesia untuk saat ini dan selanjutnya.

Pamulang, Maret 2008
*Disampaikan pada acara Bedah buku kumpulan puisi Dino Umahuk Metafora Birahi Laut dan kongkow-kongkow sahabat pencinta puisi Forum Lingkar Pena (FLP) Sabtu 15 Maret 2008 di Perpustakaan Diknas, library@senayan Jakarta

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.

Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.

Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.

Masa Depan Seni Tradisi Indonesia Terancam

Peta Bahasa-Budaya Lampung

Peta Bahasa-Budaya Lampung
Oleh Esai Udo Z. Karzi
"Esai Udo Z. Karzi Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada Budi P. Hatees, Asarpin, dan Irfan Anshory yang melalui tulisan mereka telah merangsang saya untuk kembali berwisata bahasa-budaya Lampung. Banyak hal yang ingin saya tanggapi sebenarnya. Tapi, dalam ruang yang terbatas ini, saya hanya ingin menuliskan sedikit pengetahuan yang sebisa mungkin mendasarkan pada referensi yang pernah ada. Satu hal yang ingin saya katakan, saya hanya praktisi bahasa Lampung yang barangkali tidak terlalu hirau dengan tata bahasa Lampung. Beberapa akademisi toh sudah melahirkan beberapa penelitian bahasa dan budaya Lampung. Perpustakaan Universitas Lampung bisa menjadi saksi dari berapa banyak penelitian tentang bahasa-budaya Lampung ini.
Bahasa MDMD Pilihan kata dalam Mak Dawah Mak Dibingi (MDMD), saya pungut dari bahasa keseharian di sebuah tempat bernama Liwa. Beberapa kata, ada juga yang disunting dan 'diperbaiki' Irfan Anshory (Talangpadang) dan karena itu beberapa kosa kata Lampung Talangpadang masuk ke situ. Kata-kata yang saya gunakan juga bukan kata yang – ada yang bilang – bahasa Lampung tinggi. Ah, sebenarnya bahasa Lampung cukup demokratis dengan tidak membeda-bedakan mana bahasa kasar dan mana bahasa halus. Saya penutur asli bahasa Lampung di Liwa (nama marga/kecamatan) di Kabupaten Lampung Barat.
Ada semacam konvensi yang menjadi ciri khas varian (sub dari sub dari subnya lagi) bahasa Lampung; yang membuat bahasa Lampung Liwa menjadi 'berbeda' dibanding dengan kecamatan tetangganya Kecamatan Batu Brak dan Belalau; Kecamatan Pesisir Tengah, Utara, dan Selatan; serta Kecamatan Sukau dan masuk ke wilayah Sumatera Selatan, bahasa Lampung Ranau. Belum lagi, kalau bahasa Lampung di luar Lampung Barat.
Kebiasaan ‘buruk’ orang Liwa adalah suka menyederhanakan kata bahasa Lampung dan membuatnya lebih gampang diucapkan. Misalnya, kata lawang (Pubian), luangan (Belalau) menjadi longan (gila); haku menjadi aku (kata saya); hamu menjadi amu (katamu); hani menjadi ani (katanya); haga menjadi aga (mau, ingin); kuwawa menjadi kawa (berani); radu menjadi adu (sudah); sinji menjadi inji (ini); dan sebagainya. Saya ingat misalnya, pernah bersitegang soal kata 'sulan'. Bagi orang Krui (calon Kabupaten Pesisir Barat), 'sulan' berarti tikar, tempat duduk, ditiduri juga boleh. Tapi bagi orang Liwa sulan berarti tempat tidur atau kasur. Sedangkan tikar disebut orang Liwa dengan 'jengan'. Ada lagi, 'culuk'. Di Liwa, 'culuk' dengan pengucapan yang berbeda bisa bermakna beda juga; bisa berarti tangan, bisa pula berarti korek api. Tapi di Sukau, korek api disebut 'kusut'. Sementara bahasa Pubian (Gedongtataan), 'culuk' malah berarti 'jari telunjuk'. Wah, sesama orang Lampung bisa saling menyesatkan kalau berbicara. Hahahaa... Bahasa Lampung Bahasa Lampung yang dituturkan di Liwa, hanya salah satu varian saja dari bahasa Lampung. Meskipun banyak sekali dialek dan subdialek bahasa Lampung, tidak bisa dinafikan bahasa Lampung itu sama: bahasa Lampung. Karena itu bahasa Abung, Tulangbawang, Komering, Ranau, Kayu Agung, Way Kanan, Cikoneng, dan sebagainya tetap memiliki hak yang sama untuk disebut sebagai bahasa Lampung. Dalam bahasa Sunda, ada awi (bambu), dalam bahasa Sumbawa terdapat punti (pisang), dalam bahasa Batak ada bulung (daun). Jika dalam bahasa Lampung terdapat pula awi, punti, dan bulung bukan berarti bahasa Lampung bahasa hibrida (nyontek dari mana-mana), tetapi ini berarti membuktikan bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik. Jadi, bukan Lampung nyontek Batak atau Batak nyontek Lampung, tetapi karena semuanya memang satu asal. Kemudian, Asarpin menyebutkan kata 'babai' untuk menunjukkan perempuan. Dalam soal ini Asarpin bisa keliru. Sebab, "babai" sebenarnya berarti menggendong/memomong anak. Yang dimaksudkan mungkin "bebai". Dalam bahasa Tagalog bebai berarti perempuan agung, hanya dipakai untuk menyebutkan perempuan yang terhormat. Bisa jadi ini arti aslinya dalam bahasa Austronesia purba. Bahasa Lampung memanggil ibu dengan ‘ina’ yang dalam bahasa Austronesia berarti 'orang diagungkan'. Jadi, agak gegabah jika Asarpin mengatakan bebai (perempuan) sama dengan babui (babi). Dalam buku Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (Balai Pustaka, 1964), Prof. Dr. Slametmuljana tidak menyinggung-nyinggung bahasa Lampung. Mungkin dia tidak sempat meneliti bahasa Lampung. Dia membandingkan bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan beberapa bahasa lain sama dengan bahasa-bahasa di Indocina (Khmer, Palaung, Shan, dan lain-lain). Slametmuljana tidak mengatakan bahasa-bahasa Nusantara mengambil dari mereka, tetapi dia membuktikan suku-suku Nusantara berasal dari sana satu akar dengan mereka (bukan meniru mereka); sesama ahli waris Austronesia purba. Istilah bahasa hibrid untuk bahasa Lampung harus ditolak karena tidak memiliki dasar ilmiahnya. Bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu karena masih banyak menyimpan kosakata Austronesia purba. Dalam Perbendaharaam Kata-kata dalam Berbagai Bahasa Polinesia, Pustaka Rakjat, Djakarta, 1956 hal 16-31), Prof. Dr. Otto Demwolff dari Jerman mendaftar kosakata yang dilestarikan bahasa Lampung: apui (api), bah (bawah), balak (besar), bingi (malam), buok (rambut), heni (pasir), hirung/irung (hidung), hulu/ulu (kepala), ina (ibu), ipon (gigi), iwa (ikan), luh (air mata), pedom (tidur), pira (berapa), pitu (tujuh), telu (tiga), walu (delapan), dan sebagainya. Di atas semua itu sebenarnya saya hendak mengatakan bahasa Lampung bisa modern, bergaya, dan berdaya. Tak hanya lisan, tetapi juga tulisan. Bagi saya keberagaman bahasa Lampung toh justru memperkaya khazanah budaya Lampung. Kalaulah di Kota Bandar Lampung dan Metro kita sulit mendengar orang berbicara Lampung, maka satu-satunya jalan untuk mengenalkan orang (siswa) pada bahasa Lampung, ya harus dengan teks (tulisan). Lain soal kalau di kabupaten-kabupaten yang bahasa Lampungnya masih dituturkan sehari-hari. Aksara Kaganga Kalau Asarpin masih meragukan keaslian aksara Kaganga dan menduga sebagai asimilasi huruf Batak dan Bugis, saya justru mengatakan aksara Lampung, Batak dan Bugis memang bersaudara. Sebab, salah satu teori asal-usul suku Lampung menyebutkan suku Lampung memang mempunyai hubungan darah dengan Batak dan Bugis, di samping tentu saja Pagaruyung di Sumatera Barat. Aksara Lampung itu sebagaimana dipelajari siswa di sekolah sekarang ini sesungguhnya sudah beberapa kali mengalami proses pembakuan oleh akademisi dan para tetua adat. Terdapat 20 huruf induk yang bisa dihapal (seperti huruf Arab): ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gra.
Kalau diperhatikan, Lampung juga mengenal huruf r (ra), meski hampir tidak ada kata Lampung yang menggunakan huruf r. Lalu, huruf terakhir, ketika saya browsing saya malah menemukan huruf gra bukan kh atau gh. Sehingga, saya katakanlah sebagai pengguna jadi huruf, cukup mengernyitkan kening juga. Kok gra bukan kha atau gha yang sering diributkan selama ini. Soal huruf kh atau gh. Keputusan guru-guru bahasa Lampung sebenarnya membakukan dengan huruf gh bukan kh. Tapi, sampai sekarang tetap saja ada yang memakai kh. Ketika saya membaca buku Pelajaran Bahasa Lampung terbitan Gunung Pesagi, saya juga menemukan dualisme pemakaian huruf. Semua sebenarnya sudah diganti dengan gh, tetapi di beberapa tempat di buku-buku itu masih terselip huruf kh. Dan, sampai sekarang, masih saja terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai. Lalu, ketika saya pulang ke Liwa, saya kok tidak asing dengan orang Jawa yang pasih berbahasa Lampung. Ada yang berhasil bertutur hampir 100% dengan penutur asli bahasa Lampung, ada yang kedengaran tetap terasa dialek Jawanya, dan ada juga pasih berbahasa Lampung, tetapi tetap menggunakan huruf r dan tidak bisa mengucapkan huruf gh. Dengan melihat itu, saya pun memutuskan menuliskan huruf r menggantikan huruf gh itu. Tentu saja, dalam pelisanan perlu dijelaskan, bahwa r dibaca gh. Entah mengapa, pemakaian huruf r ini seperti mendapat pembenaran ketika Lampung Post yang bekerja sama dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Unila menyelenggarakan rubrik Pah Bubahasa Lampung (Ayo Berbahasa Lampung); secara konsisten memakai huruf r. Dengan argumen, satu huruf satu bunyi. Menyebut beberapa literatur seperti H. N. van der Tuuk, “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), deel 18, 1872, pp. 118-156; C. A. van Ophuijsen, “Lampongsche Dwerghert-Verhalen”, BKI (Bijdragen Koninklijk Instituut), deel 46, 1896, pp. 109-142; dan Dale Franklin Walker, “A Grammar of the Lampung Language”, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1973; semua ilmuwan itu memakai r, bukan ch, kh atau gh. Dan, semuanya menyatakan kekagumannya terhadap bahasa Lampung yang memiliki aksara sendiri. Kata mereka, *****a sedikit suku-suku Nusantara yang memiliki aksara. Salah satunya yang memiliki aksara sendiri, yaitu bahasa Lampung. Menurut Irfan Anshory, penggunaan huruf r pada bahasa Lampung hanya masalah ejaan. Bukan mengubah fonem. Kalimat "radu ruwa rani mak ratong" tetap diucapkan seperti biasanya orang Lampung berbicara. Di Talangpadang dan beberapa tempat lain ejaan r sudah lama dipakai dalam penulisan adok (gelar), misalnya Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, dan lain-lain. Pemakaian huruf ejaan r justru mengembalikan ke bahasa Arab asli: riwayat, kabar, kursi, laher, sabar, water, bulan muharam, rejob, dan sebagainya. Ejaan kh dipakai dalam dalam menuliskan yang memang memakai ‘kha’ dalam bahasa Arab: akhir, khusus, khas, dan sebagainya. Budaya Lampung Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi (lihat: http://id.wikipedia.org). Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami Lampung secara kultural. Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampungmiskin telaah, riset, dan studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung. Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten. Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat orang Lampungterpecah-pecah. Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin. Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi. Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga. Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung. Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui. Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan. Peta Bahasa-Budaya Dari kategorisasi itu, terlihat ada Ranau, Komering, dan Kayu Agung di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang sejatinya orang Lampung (beretnis Lampung). Di Provinsi Banten ada wilayah Cikoneng yang beretnis Lampung dan bertutur dengan bahasa Lampung. Satu lagi, yang agaknya perlu penelitian, di Bengkulu ada wilayah yang bertutur dengan bahasa Lampung. Mereka menyebut diri Lampung Bengkulu. Dengan demikian, peta Provinsi Lampung tidak akan memadai untuk membicarakan, termasuk memberdayakan dan mengembangkan, bahasa-budaya Lampung. Untuk bisa melihat Lampung secara utuh dalam pengertian suku, bahasa, dan budaya yang dibutuhkan adalah peta bahasa-budaya Lampung. Sebenarnya, tidak perlu membuat yang baru karena sebenarnya peta dimaksud sudah ada. Kebudayaan Lampung itu riil, misalnya mewujud dalam tubuh suku Lampung, sistem kebahasaan, keberaksaraan, adat-istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Jadi, tidak perlu merasa rendah diri mengatakan tidak ada kebudayaan Lampung atau kebudayaan Lampung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sehingga tidak tampak lagi kebudayaan Lampung itu yang mana. Yang terjadi adalah selalu ada tendensi untuk meniadakan atau setidaknya membonsai bahasa-budaya Lampung. Kalaulah bahasa-budaya Lampung itu relatif tidak dikenal dan sering luput dari perbincangan di tingkat nasional; katakanlah di banding dengan budaya Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain -- tidak lain tidak bukan karena relatif belum ada kajian dan ilmuwan yang mampu membedah kebudayaan Lampung secara lebih komprehensif, sistematis, dan tentu saja ilmiah. Pertanyaannya, siapakah yang akan menjalankan peran ini jika Unila saja menghapus Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung? n * Udo Z. Karzi, buku puisi Lampungnya, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) meraih Hadiah Sastera Rancage 2008 untuk kategori Sastra Lampungt. "

Teknik Mendapatkan (mengumpulkan) Berita

Teknik Mendapatkan (mengumpulkan) Berita
Oleh Hendra SE
Wartawan Harian Lampung Ekspres

Sejarah Pendidikan Jurnalistik
Pendidikan jurnalistik dewasa ini sangat banyak ditawarkan di perguruan-perguruan tinggi, dan peminatnya pun cukup banyak pula. Di antara para wartawan yang kita kenal di Indonesia, ada yang pernah mengenyam pendidikan formal ini, namun tak sedikit pula yang tidak pernah dirasakannya sama sekali.
Walaupun tidak melalui pendidikan formal, namun seorang wartawan haruslah mengetahui fungsi utama tugasnya sebagai wartawan, yaitu apa yang secara universal dikenal: (1) menyajikan informasi; (2) memberikan pendidikan; (3) memberikan hiburan. Untuk bisa menjalankan fungsinya ini, seorang wartawan dituntut untuk dapat memenuhi persyaratan tertentu, seorang wartawan dituntut untuk dapat memenuhi persyaratan tertentu, yaitu pertama: memiliki kecerdasan; kedua: senantiasa bersikap waspada; ketiga: memiliki rasa ingin tahu yang tak habis-habisnya; keempat peduli terhadap masyarakat; kelima: akal yang panjang; keenam: memiliki kepekaan terhadap ketidakadilan; dan ketujuh: berani untuk berbeda pendapat dengan pihak yang berkuasa.
Di samping itu tentu saja seorang wartawan harus dapat mengantisipasi kemungkinan risiko yang harus ditanggung dalam melaksanakan kewajibannya. Kerja Rutin Wartawan dan Kehidupan di dalam News Room
Dalam pelaksanaan tugas jurnalistik di sebuah penerbitan ataupun sebuah stasiun radio/televisi, sebagaimana halnya sebuah institusi, terdapat pembagian tugas yang jelas, demi penjaga kelancaran kerja sehari-hari. Selain itu setiap insan yang bekerja sebagai seorang wartawan dan menjadi anggota sebuah organisasi yang secara resmi diakui eksistensinya, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas, hendaknya menaati kode etik yang telah diakui dan diterima oleh organisasi tersebut.

Jurnalisme
Jurnalisme adalah bidang disiplin dalam mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah, dan tokoh. Orang yang mempraktekkan kegiatan jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan.
Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.



1
Jurnalisme dapat dikatakan "coretan pertama dalam sejarah". Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya diedit sebelum diterbitkan.
Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pers.
Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend. Jurnalisme meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.

Pengertian Berita
Pada dasarnya berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dianggap penting dan menarik. bagi khalayak. Dari berbagai macam batasan yang diberikan orang tentang berita, pada prinsipnya ada unsur penting yang harus diperhatikan yaitu unsur-unsur laporan, kejadian/peristiwa/pendapat yang menarik dan penting, serta disajikan secepat mungkin (terikat oleh waktu).

Berita tersebut memiliki beberapa criteria: antara lain:
harus akurat,
lengkap,
objektif,
seimbang,
jelas dan
ringkas.

Berbagai Jenis Berita
Ditinjau dari penyajiannya, berita terdiri dari:
straight news
1. soft news
2. hard news

Features
1. bright sampai
2. enterprise story.

Dalam media cetak, selain berita juga terdapat berbagai tulisan seperti tajuk rencana, analisis berita, komentar berita, aritkel opini, resensi, pojok dan kolom.

Jenis Tulisan dalam Media Cetak
Jenis tulisan yang biasa muncul dimedia cetak adalah:
Features (Karangan Khas),
Editorial (Tajuk Rencana),
Kolom,
News Commentary (Komentar Berita),

2
News Analysis (Analisis Berita),
Artikel Opini, dan
Review/Resensi/Kritik.
Ada 2 teknik menulis resensi/revlew/kritik, yaitu secara impresif dan autoritatif. Kedua jenis metode ini nampaknya terpisah, tetapi dalam kenyataannya, wartawan bidang seni terkadang menggabungkan kedua metode ini.

Pengertian Sumber Berita
Dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan/jurnalis pasti akan berhubungan dengan sumber berita. Sumber berita tidak hanya manusia tetapi juga peristiwa.
Sumber berita merupakan awal dari proses terciptanya berita. Dalam proses inilah diperlukan kemampuan wartawan dalam mencari dan mengolah sumber berita sehingga dapat tercipta sebuah berita yang baik dan benar serta layak ditampilkan.

Metode Perolehan Berita
Terdapat beberapa metode untuk memperoleh berita yang terdiri dari wawancara, observasi, riset kepustakaan, press release/press conference dan statement of informan.
Sebagian besar metode perolehan berita adalah melalui wawancara. Tetapi dalam perkembangan jurnalistik mutakhir, angka dan data dari kepustakaan juga ambil peranan penting. Observasi adalah kegiatan mental yang subjektif dari wartawan sebagai hasil pengolahan stimuli di sekitarnya dan observasi ini digunakan untuk “mempermudah laporan”.

Press Conference, penting terutama untuk memperoleh background information untuk hal-hal yang masih sangat baru. Sedangkan statement of information bukan digunakan sebagai narasumber, tetapi metode yang artinya harus dilacak lagi kebenaran dan kegunaannya bagi masyarakat.

Melindungi Sumber Berita
Dalam membina hubungan dengan narasumber, seorang wartawan harus memperhatikan beberapa etika. Beritahukan tujuan kita kepada narasumber. Lindungilah kredibilitas dan reputasi sumber berita, hargailah hak-hak narasumber, dan jangan sekali-sekali mengharap narasumber “tergelincir” dalam pernyataannya.

Pada umumnya, banyak cara untuk mendapatkan berita. Terlebih lagi di zaman teknologi canggih digital saat ini. Namun, walaupun banyak cara (pola) untuk memburu (hunting) atau mendapatkan berita. Seorang wartawan harus pandai dalam melaksanakan pekerjaan memburu berita tersebut. Terutama tentang; proyeksi, waktu dan merangkum bahan berita yang di dapat di lapangan.

Namun dalam kesempatan ini, saya tidak akan memberikan detailnya. Karena, saya yakin para peserta di sini sudah sangat memahami yang namanya sistimatika dalam penulisan ilmiah. Untuk itu, saya akan memberikan beberapa pokok menyangkut “hunting berita” yang lebih efektif, efisiensi waktu dan berita yang didapat akan lebih akurat dan actual.

3
Teknik Mengumpulkan Berita
1. Observasi
Secara sederhana observasi merupakan pengamatan terhadap realitas social. Ada pengamatan langsung, ada juga pengamatan tak langsung. Pengamatan langsung bila seseorang menyaksikan sebuah peristiwa dengan mata kepalanya sendiri. Hal itu dapat dilakukan dalam waktu pendek dan panjang. Waktu pendek maksudnya adalah setelah melihat sebuah peristiwa dan mencatat seperlunya, seseorang meninggalkan tempat kejadian untuk menulis laporan. Misalnya: peristiwa kecelakaan lalulintas. Sementara itu dalam waktu panjang dimaksudkan adalah seseorang berada di tempat kejadian dalam waktu yang lama. Bahkan, ia menulis laporan dari tempat kejadian. Contoh:peristiwa bencana alam.

kemudian, seseorang disebut melakukan pengamatan tidak langsung bila ia tidak menyaksikan peristiwa yang terjadi. Melainkan mendapat keterangan dari orang lain yang menyaksikan peristiwa itu. Misalnya, peristiwa penemuan mayat suami-istri di sebuah rumah. Setelah mendapat informasi di suatu tempat ditemukan mayat sepasang suami-istri. Ia bergegas ke daerah itu. Kemudian mendapatkan data tentang siapa yang meninggal tersebut, kapan dan kenapa meninggal dunia. Data itu merupakan hasil pengamatan tidak langsung.
Pengamatan di sini tidak sama persis dengan pengamatan seorang peneliti. Seseorang peneliti melakukan pengamatan berdasarkan konsep dan hipotesis. Hasilnya, biasanya dilaporkan dengan disertai pemecahan masalah ala mereka. Sedangkan seorang pekerja pers melakukan pengamatan untuk melaporkan kejadian sebuah peristiwa apa adanya.

2. Wawancara
Menurut Itule dan Anderson; 1987:187) Wawancara adalah Tanya jawab seorang wartawan dengan narasumber untuk mendapatkan data tentang sebuah fenomena. Yang perlu diperhatikan adalah:
a. Posisi narasumber dalam wawancara
b. Posisi narasumber ibarat posisi pembeli dalam sebuah transaksi dagang, sebagai raja?. Semua keinginan narasumber harus dipenuhi oleh wartawan. Karena itu, sebelum melakukan wawancara, wartawan harus menanyakan keinginan narasumber. Sebelumnya, wartawan harus memperkenalkan dirinya dan untuk siapa ia bekerja. Tahap-tahap ini, menurut prinsip etika jurnalistik yang umum, harus ditempuh setiap wartawan sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, terlepas dari narasumber mengetahui cara kerja jurnalisme atau tidak.
Terdapat beberapa hal mendasar yang perlu ditanyakan kepada narasumber, misalnya:
• Apakah narasumber tidak keberatan bila kalimatnya dikutip secara langsung?
• Apakah narasumber tidak berniat namanya dirahasiakan dalam sebagian hasil
wawancara?
• Apakah narasumber memiliki keinginan lain yang berkaitan dengan hasil
wawancara?


4

Jika wartawan sudah mengetahui jawaban ketiga pertanyaan di atas, ditambah dengan keinginan narasumber lain, maka terpulang kepada wartawan bersangkutan untuk segera memenuhinya atau bernegosiasi terlbih dahulu.
Bernegosiasi dengan narasumber bukanlah pekerjaan yang haram. Wartawan boleh bernegosiasi tidak berlangsung di bawah tekanan pihak tertentu (ada dugaan wartawan yang handal sering melakukan negosiasi dengan narasumber). Kesepakatan yang dicapai berdasarkan negosiasi, biasanya, lebih memuaskan kedua belah pihak. Terlepas dari cara pencapaian kesepakatan, kesepakatan ini perlu dicapai sebelum melakukan wawancara (tidak ada salahnya wartawan juga merekan kesepakatan yang sudah dicapai. Rekaman ini bisa dijadikan bukti bila kelak ada pihak yang protes terhadap keberadaan wawancara tersebut). Berdasarkan kesepakatan inilah seharusnya wawancara berlangsung.
Setelah wawancara selesai, wartawan perlu menanyakan kembali kepada narasumber, apakah narasumber masih setuju dengan kesepakatan yang sudah dibuat? Wartawan juga perlu meyakinkan narasumber bahwa tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari atas segala akibat kesepakatan yang sudah dibuat.
Pelaksanaan tahap-tahap wawancara tersebut di atas menghambat kelancaran kerja mereka. Karena itu, mereka enggan melakukannya. Tetapi, bagi mereka yang pernah ketanggor, pelaksanaan tahap-tahap itu menjadi satu keharusan.

c. Posisi wartawan dalam wawancara
Sebagian besar orang merasa senang bila diwawancarai wartawan. Karena menurut mereka, hasil wawancara tersebut disiarkan kepada khalayak, nama mereka juga akan dikenal khalayak. Semakin sering mereka diwawancarai wartawan, semakin populerlah mereka. Individu-individu model begini akan selalu bersikap manis kepada wartawan. Tidak heran bila wartawan berada ?di atas angin? ketika berhadapan dengan mereka.
Lalu, di mana posisi wartawan yang sebenarnya? Kedudukan wartawan adalah penjaga kepentingan umum. Para wartawan berhak mengorek informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum dari narasumber. Mereka bebas menanyakan apa saja kepada narasumber untuk menjaga kepentingan umum. Posisi inilah yang menyebabkan mereka mendapat tempat di hati khalayak. Kendati begitu, para wartawan, seperti dinyatakan oleh Jeffrey Olen, harus menghormati keberadaan narasumber. Mereka haurs mengakui bahwa narasumber adalah individu yang bisa berpikir, memiliki alasan untuk berbuat dan mempunyai keinginan-keinginan (Olen 1988:59). Akibatnya, para wartawan harus memperlakukan narasumber sebagai individu yang memiliki otonomi dan bebas mengekspresikan segala keinginannya. Kalau pada satu saat narasumber keberatan hasil wawancaraya disiarkan, maka wartawan harus menghormati keinginan ini dan tidak menyiarkannya.
Menurut para ahli, terdapat tujuh jenis wawancara, yaitu man in the street interview, casual interview, personal interview, news peg interview, telephone interview, question interview dan group interview (Itule dan Andersin 1987:207-213).


5
Operasionalisasinya begini:
Man in the street interview
Wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan pendapat beberapa orang awam mengenai sebuah peristiwa, bisa menyangkut satu keadaan dan bisa pula tentang sebuah kebijaksanaan baru. Biasanya wawancara ini diperlukan setelah terjadinya sebuah peristiwa yang sangat penting.

Casual interview
Sebuah wawancara mendadak. Dalam hal ini seorang wartawan minta kesediaan seorang narasumber untuk diwawancarai. Si wartawan berbuat begitu karena ia bertemu dengan narasumber yang dianggapnya punya informasi yang perlu dilaporkan kepada khalayak.

Personal interview
Merupakan wawancara untuk mengenal pribadi seseorang yang memiliki nilai berita lebih dalam lagi. Hasilnya, biasanya berupa profil tentang orang bersangkutan. News peg interview Wawancara yang berkaitan dengan sebuah laporan tentang sebuah peristiwa yang sudah direncanakan. Wawancara inisering juga disebut information interview.

Telephone interview
Wawancara yang dilakukan lewat telepon. Ini biasanya dilakukan wartawan kepada narasumber yang sudah dikenalnya dengan baik dan untuk melengkapi sebuah berita yang sedang ditulis. Dengan perkataan lain, seorang wartawan memilih jenis wawancara memilih jenis wawancara ini karena ia dalam keadaan terdesak.

Question interview
Wawancara tertulis. Biasanya dilakukan seorang wartawan yang sudah mengalami jalan buntu. Setelah ditelepon, didatangi ke rumah dan ke kantor, si wartawan tidak bisa bertemu dengan anrasumber, maka ia memilih wawancara jenis ini.
Keuntungan wawancara ini adalah: Informasi yang diperoleh lebih jelas dan mudah dimengerti. Kelemahannya adalah: wartawan tidak bisa mengamati sukap-sikap pribadi narasumber ketika manjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.

Group interview
Wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang sekaligus untuk membahas satu persoalan atau implikasi satu kebijaksanaan pemerintah. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara. Contohnya adalah acara ?Pelaku dan Peristiwa? TVRI. Semua jenis wawancara tersebut di atas akan terlaksana dengan baik bila dipenuhi teknik-teknik berikut:
• Menggunakan daftar pertanyaan yang tersusun baik, yang sudah disiapkan lebih dulu;
• Memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan;
• Mengajukan pertanyaan secara langsung dan tepat;

6
• Tidak malu bertanya bila ada jawaban yang tidak dimengerti; dan
• Mengajukan pertanyaan tambahan berdasarkan perkembangan wawancara.

3. Konferensi Pers
Pernyataan yang disampaikan seseorang yang mewakili sebuah lembaga mengenai kegiatannya kepada para wartawan. Biasanya menyangkut citra lembaga, peristiwa yang sangat penting dan bersifat insidental. Tetapi, tidak jarang bersifat periodik, seperti konferensi pers Menteri Luar Negeri, yang berlangsung seminggu sekali. Pada setiap konferensi pers, setiap wartawan memiliki hak yang sama untuk mengajukan pertanyaan kepada orang yang memberikan konferensi pers. Umumnya, lalu lintas informasi dalam konferensi pers dilakukan lewat dialog langsung. Tetapi, ada juga konferensi pers yang menggunakan informasi tertulis yang dibagikan kepada para wartawan. Untuk melengkapi informasi tersebut, para wartawan diberi kesempatan untuk bertanya.

4. Press Release
Bisa diartikan sebagai siaran pers yang dikeluarkan oleh satu lembaga, satu organisasi atau seorang individu secara tertulis untuk para wartawan. Ia mewakili kepentingan lembaga, organisasi atau individu. Itulah sebabnya media massa cetak yang besar, seperti ?Kompas? tidak mau memuat siaran pers ini. Tidak ada keharusan bagi wartawan untuk memuat siaran pers ini. Juga tidak ada kesempatan bagi para wartawan untuk bertanya kepada pihak yang mengeluarkan siaran pers tentang siaran pers. Inilah yang membedakannya dengan konferensi pers. Tegasnya, pada press release tidak ada tanya jawab dengan wartawan dan narasumber. Sedangkan pada konferensi, ada.


Sumber Bacaan :
1. Berita-net: Teknik-mengum pulkan-berita
2. Naim Emel Prahana; Teknik Penulisan Berita; Lampung Ekspres, 2003
3. http://aliefnews.wordpress.com/2008/01/11/ /

History gold mining in rejang land

NV Mijnbouw Maatschappij Redjang-Lebong, 1897 (History gold mining in rejang land)
at Saturday, June 07, 2008


Share of 100 guilders in the Series XXIII, with green ornate border. No Talon and Coupons are attached. Dated: January 2nd, 1904

Incorporated in Batavia, February 10th 1897

The Redjang-Lebong Mining company was one of the more successful Mining companies in the Benkoelen District (Benkulu) on Sumatra. The company was founded founded in 1897 as "Goudexploratie maatschappij Redjang Lebong" with explorationconcessions in the Lebong district. The first Bullions yielded enough Silver and Gold that a Mining concession was obtained on January 28th, 1899. Following the first succesful probes the companies name was changed to "Mijnbouw Maatschappij Redjang-Lebong" on March 19th 1898. In the following decades the company further exploited this famous Rejang-Lebong Goldmine and expanded mining operations to include Manganese, Antimony, Lead, Zinc and Copper ores. One of the mines exploited by the company is the type locality of the mineral Uytenbogaardite !!

VF Euro 12.00 (1 available, no attached coupons)

http://www.dvminerals.com/stocks/N8.html

ASAL MUASAL JEME BESEMAH

ASAL MUASAL JEME BESEMAH (Berhubungan dengan orang Rejang)
at Friday, February 22, 2008

tag:blogger.com,1999:blog-25705950.post-1144559050729748882006-04-08T22:02:00.000-07:002006-04-08T22:04:10.756-07:00
Besemah suatu terminology lebih dikenal dekat dengan satu bentuk kebudayaan dan suku yang berada disekitar gunung Dempo dan pegunungan Gumay. Wilayah ini dikenal dengan Rena Beemah. Sedangkan untuk terminology politik dan pemerintahan, dipergunakan nomenklatur Pasemah. Pada masa kolonila oleh Inggris dan Belanda menyebutnya Pasumah, bahkan sampai sekarang Pemerintah Republik Indonesia masih menyebutnya Pasemah.Tanah Besemah merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Bukit Barisan mengelilingi Gunung Dempo, beriklim tropis, berudara sejuk, dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi, teh, dan sayur mayur.Penduduk tanah besemah termasuk rumpun suku Melayu Tengah, sejak dahulu sudah dikenal mempunyai peradaban dan nilai-nilai budaya tinggi. Hal ini dibuktikan banyaknya peninggalan Prasejarah dalam bentuk arca, menhir serta tulisan yang belum dapat dibaca, seni tutur dalam bentuk guritan, tadut, rejung dan lain-lain; permainan alat musik tradisional berupa ginggung dan lain-lain.Dalam sistem kekerabatan secara umum masyarakat Besemah menganut sistem patrilineal, artinya menganut garis keturunan laki-laki, maka timbul istilah meraje untuk garis keturunan dari laki-laki dan anak belay untuk garis keturunan dari perempuan. Sesuai dengan perjalanan waktu sistem kekerabatan dari patrilineal juga mengalami perkembangan ke arah bilateral melalui alter nerend. Demikian pula masyarakat yang tadinya bersifak komunal yang didasarkan pada ikatan keturunan teritorial, genelogis, telah terkontaminasi oleh pengaruh peradaban dunia Barat yang dikenal dengan faham materialistis dan individualistis, sehingga seolah-olah masyarakat Tanah Besemah sudah tercabut dari nilai-nilai dasar persamaan garis keturunan, persamaan tanah leluhur, rasa dan tanggung jawab terhadap kelompok, ikatan kekerabatan dan nilai kegotong-royongan.Sementara itu di beberapa tribe atau suku, ikatan kekeluargaan atau tali persaudaraan tetap dipertahankan, bahkan ada kecenderungan menguat. Sebut saja misalnya Kerukunan Keluarga Minang, Keluarga Sulawesi selatan, Keluarga Batak, Etnis Keturunan Tionghoa.Bila kita amati suku atau ikatan keluarga yang tetap memepertahankan dan emmelihara sistem kekerabatan, dalam berbagai aspek relatif lebih maju bila dibandingkan dengan suku yang tidak lagi mempertahankan sistem kekerabatan, baik dibidang sosial budaya, ekonomi, dan politik.Sesungguhnya suku atau keluarga Besemah patut berbangga karena Tanah Besemah telah banyak melahirkan putera-uteri terbaik bangsa, baik ditingkat regional, nasional naupun internasional dengan beraneka ragam profesi.Basema suatu terminology lebih dikenal dekat dengan satu bentuk kebudayaan dan suku yang berada disekitar Gunung Dempo dan Pegunungan Gumay. Wialayah ini dikenal sebagai Rena Basema. Sedangkan untuk terminology politik dan pemerintahan, dipergunakan nomenklatur Pasemah. Pada masa kolonial oleh Inggris dan Belanda menyebutnya Pasemah, bahkan sampai sekarang Pemerintahan Republik Indonesia masih menyebutnya Pasemah.Kebudayaan suatu suku atau bangsa sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam, dimana mereka hidup dan berkehidupan. Kebudayaan itu adalah bagaimana manusianya mengantisipasi dan bereaksi akan alam lingkungannya. Orang yang hidup dipegunungan tentu akan lain sekali orang hidup dataran dan dipinggir pantai.Siapakah orang Basema ?Bangsa atau suku bangsa yang ada didunia mempunyai isi kebudayaan yang terdiri dari 7 unsur: apakah kebudayaan itu sederhana, terisolasi, maju, besar maupun kompleks, menurut para ahli antropologi terdiri dari unsur-unsur, yaitu :BahasaSystem teknologiSystem ekonomiOrganisasi socialSistem pengetahuanReligiKesenianDengan mengetahui bentuk dan isi kebudayaan Basema maka kita dapat mengetahui apa dan siapa jemeu Basema.Pasemah Sindang MerdikaHubungan antara Basema dengan Kesultanan Palembang adalah 6: “Orang Pasemah Lebar mempunyai catatan tradisional bahwa asal usul mereka adalah keturunan dari Jawa. Pada saat kejayaan Majapahit, dua saudara yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan beberapa orang pengikutnya, meninggalkan kerajaan tersebut dan mendarat di pantai timur Sumatera. Saudara perempuannya menetap di Palembang dan dalam waktu singkat menjadi seorang penguasa; sebaliknya saudara laki-laki berjalan terus kearah pedalaman, sampailah di lembah subur Pasemah. Dari sinilah tempat ini pertama kali dikendalikan dan berpenduduk; dan semenjak itu menjadi tanah asal suku yang ada sekarang.”Pernyataan diatas citra hubungan psikologis, social, geopolitik antara Kesultanan Palembang dan Pasemah sehingga berhak menyandang bentuk wilayahnya sebagai sindang.Dengan kedudukan wilayahnya sebagai wilayah sindang, maka jelaslah orang Basema mendapat tugas khusus dan tempat khusus didalam struktur Kesultanan Basema mendapat tugas khusus dan tempat khusus didalam struktur Kesultanan Palembang. Itulah sebabnya sindang ini disebut Pasemah Sindang Merdika.Dapunta Hiyang adalah orang Pasemah.Sebetulnya hubungan antara Pasemah dan Palembang jauh sebelum kelahiran Kesultanan Palembang Darussalam telah terjalin. John N. Miskic 7 ; kehidupan perekonomian dan kebudayaan Pasemah pada sekitar abad ke-7 seperti berikut :”Pasemah probably formed a prehistoric of cultural development which supplied a necessary precondition enabling a sophiscated political and economic centre of sriwijaya to development at Palembang, to which Pasemah is linked by river.” Sedangkan Peter Bellwood 8 melihat, dari segi pentrikhan pahatan-pahatan itu adalah bentuk nekara tipe Heger I yang dipahatnya pada relief Batugajah, Airputih, dilukis juga pada dinding ruang kubur Kotaraya Lembak dan mungkin juga diukir pada batuan alami yang terbuka dekat Tegurwangi. Bukti-bukti ini dapat menyarankan tarikh awal atau pertengahan milinium Masehi, meskipun mungkin ada yang bertumpang tindih kurun waktunya dengan masa kerajaan Sriwijaya (sesudah tahun 670 M).Atas bukti-bukti dan saran serta pemikiran para pakar arkeologi dan sejarah, sebetulnya sudah dapat disimpulkan, bahwa peran Jabat Basema terhadap kerajaan Sriwijaya sangat besar, jika tidak dikatakan menentukan. Oleh karena itu saya berasumsi, kalau Dapunta Hiyang Srijayanaga, raja Sriwijaya yang bergelar sebagai Raja Gunung adalah jemeu dari Gunung Dempo. Asumsi ini telah saya sampaikan pada Seminar Internasional pada ulang tahun ke 25 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi dan Ecole francaise d’Extreme-Orient tahun 2001. Asumsi ini tidak ada yang menolak, sebaliknya belum ada yang mendukung.Jagat Besema bumi perjuangan.Jemeu Besema adalah orang-orang pemberani, diakui oleh penulis kolonial. Berwatak setia kawan, dan loyal terhadap komitmen yang membuat saudara ataupun teman seperjuangan Sultan Palembang, meneruskan perjuang setelah Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1821. Orang-orang Sindang Merdika di Pasemah menolak tindakan Belanda tersebut. Mereka meneruskan perjuangan di Pasemah pada tahun 1821 sampai 1866. Bahkan pada saat-saat pertempuran melawan Belanda di Palembang 1821, orang-orang Besema sekali lagi bersumpah setia dengan Sultan Palembang di Bukit Seguntang.Pemberontakan yang diadakan oleh rakyat Besema ini juga disebabkan dengan sikap Belanda yang tidak dapat mengerti dengan bentuk dan karakter tradisional, dan tentunya kurang pendekatan budaya. Pandangan yang picik terhadap orang Besema seperti yang telah disampaikan terdahulu: orang Pasemah tak akan dapat diajak bicara jika tidak diberi unjuk kekuatan militer, inilah sikap kolonial yang sangat fatal.Atas sikap ini pula menjadi jelas, ketika meletusnya rentetan pemberontakan yang berkepanjangan dari kelompok suku-suku didaerah Sindang, misalnya serangan orang Pasemah ke kota Palembang (1829), Lahat(1829), Musi Ulu)1837), Rejang(1840), Ampat Lawang(1840-1850) dan beberapa jenis pemberontakan kecil, serupa umunya dari daerah Sindang, bahwa kekuasaan mereka didaerah Sindang tidak terima begitu saja. Wilayah Besema dapat diduduki Belanda pada penghujung tahun 1866.Semangat pejuang Besema ini terus menyala sehingga menjelang revolusi kemerdekaan. Jepang mendidik para calon perwira yang nantinya melahirkan para perwira di Pagar Alam. Disekolah Ghuyung ini Jepang hanya melatih fisik kemiliteran, akan tetapi semangat kejuangan dihembuskan oleh semangat Besema. Tidak mengherankan kalau dari Pagar Alam ini lahir para perwira yang berkiprah ditingkat nasional.Di alam Revolusi Fisik sekali lagi Jagat Besema menjadi tempat perlindungan pemerintahan sipil Republik Indonesia dalam hal ini Keresidenan Palembang. Demikian pula penempatan-penempatan kesatuan TNI, seperti Brigade Garuda Dempo, Sub Teritorium Palembang (STP).Wajar saja jika Pemrintahan Kota Pagar Alam mengklaim sebagai : Bumi Perjuangan sebagai mottonya.Daerah Besemah terletak dikaki Bukit Barisan. Daerahnya meluas dari lereng-lereng Gunung Dempo ke selatan sampai ke Ulu Sungai Ogan (Kisam), ke Barat sampai ke Ulu Alas (Besemah Ulu Alas), ke Utara sampai ke Ulu Musi Besemah (Ayik Keghuh), dan ke daerah timur sampai Bukit Pancing. Pada Masa Lampik Empat Merdike Due daerah Besemah sudah dibagi atas Besemah Libagh, Besemah Ulu Lintang, Besemah Ulu Manak, dan Besemah Ayik Keghuh. Meskipun nama-namanya berbeda, namun penduduknya mempunyai hubungan atau ikatan kekerabatan yang kuat (genealogis).Daerah Besemah merupakan datran tinggi dan pegunungan yang bergelombang. Ketinggian wilayah sangat bervariasi, dari ketinggian sekita 441 meter dpl (diatas permukaan laut) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl.Daerah dataran tinggi 441 meter sampai dengan 1.000 meter dpl, sedangkan daerah berbukit dan bergunung (bagian pegunungan) berada pada ketinggian diatas 1.000 meter hingga 3.000 meter lebih dpl titik tertinggi adalah 3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo, yang sekaligus merupakan Gunung tertinggi di Sumatera Selatan. Daerah Guning Dempo dengan lereng-lerenganya pada sisi timur dan tenggara mencakup 58.19% dari luas wilayah kota Pagar Alam sekarang yang 633,66 hektar.Bukit dan Gunung yang terpenting diwilayah kota Pagar Alam antara lain adalah Gunung Dempo (3.173 meter), Gunung Patah (2.817 meter), Bukit Raje Mendare, Bukit Candi, Bukit Mabung Beras, Bukit Tungku Tige (Tungku Tiga), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang merupakan dataran tinggi, terutama bagian timur, umunya disebut “ Tengah Padang “. Daerah pusat kota Pagar Alam yang meliputi kecamatan Pagar Alam Utara dan kecamatan Pagar Alam Selatan atau wilayah bekas Marga Sumbai Besak Suku Alun Due terletak pada ketinggian rata-rata 600 sampai 3.173 meter dpl.Derah Besemah dialiri sejumlah sungai. Satu diantaranya adlah sungai Besemah (Ayik Besemah). Pada zaman dahulu, keadaan alamnya sangat sulit dilewati, menyebakan daerah ini jarang didatangi oleh Sultan Palembang atau wakil-wakilnya (raban dan jenag). Kondisi alam yang cukup berat ini menyebabkan sulitnya pasukkan Belanda melakukan ekspedisi-ekspedisi meliter untuk memadamkan gerakan perlawanan orang Besemah.Mengenai keadaan alam Besemah pada permulaan abad ke sembilan belas, menurut pendatang Belanda dari karangan Van Rees tahun 1870 melukiskan.Sampai dengan tahun 1866 ada rakyat yang mendiami perbukitan yang sulit didatangi disebelah tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah menundukkan kepalanya kepada tetangga walaupun sukunya lebih besar. Walau hanya terdiri dari beberapa suku saja, mereka menamakan dirinya rakyat bebas merdeka. Dari Barat Daya sulit ditembus ole orang-orang Bengkulu, dari tiga sudut lain di pagari oleh Gunung-gunung yang menjulang tinggi dan ditutupi oleh hutan yang lebat dan luas di daerah pedalam PalembangASAL MUASAL JEME BESEMAHSampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asalusul suku Besemah. Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga bagi suku besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang jelas, jauh berabad-abad sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, ditanah Besemah, dilereng Guning Dempo dan dareh sekitarnya, telah ada masyarakat yang memiliki kebudayaan tradisi megalitik dan bukti-bukti budaya megalitik ditanah besemah sampai sekarang masih ada. Tetapi permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari pendukung budaya megalitik tersebut ?.Menurut Ahad, jurai tue puyang Kedung Gunung Samat di Rempasai bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu ke daerah sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan berturut-turut suku-suku atau bangsa-bangsa yang tidak di ketahui asalnya. Suku-suku atau bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik, jeme Nuk, jeme Ducung, jeme Aking, jeme Rebakau, jeme Sebakas, jeme Rejang dan jeme Berige. Pada masa tanah disekitar Gunung Dempo di duduki oleh jeme Rejang dan jeme Berige, datanglah Atung Bungsu.Dari cerita orang-orang tua (jeme-jeme tue), secara fisik jeme Nik dan jeme Nuk memiliki badang yang tinggi besar hidung mancung dan kulit putih kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuhnya kecil, pendek, tetapi memiliki kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah keputihan, dan memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau, berperawakan sedang, dan Jeme Sebakas, memiliki postur tubuhnya seperti kebanyakan orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme Rejang dan jeme Berige tidak jauh berbeda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan bahwa orang besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari puyang Atung Bungsu.Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu datang ke Besemah pada saat tempat ini sudah didiami oleh suku Rejang dan Berige. Ia sempat berdialog dengan salah seorang pimpinan suku Rejang yang bernama Ratu Rambut Selake dari Lubuk Umbai yang nasing-masing merasa berhak atas tanah Besemah. Melalui sumpah, akhirnya Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang paling berhak adalah Atung Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut “ jikalu bulak, jikalu buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku”.Sedangkan M. Zoem Derahap, yang dijuluki pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung Sakti, bercerita bahwa rakyat Lubuk Umbay yang di pimpin Ratu Rambut Selake setelah mengakui tanah Besemah milk Atung Bungsu mereka lalu diberi kedudukan sebagai sumbai dalam Jagad Besemah, tetapi tidak masuk dalam sistem pemerintahan Lampik Empat Merdike Due. Sumbay mereka itu dinamakan Sumbay Lubuk Umbay.Sebagian masyarakat Besemah percaya bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe Semidang ( Puyang Serunting Sakti ) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit Seguntang Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal dibukit siguntang, lalu pergi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya menetap disuatu tempat yang disebut Padang Langgar ( Pelangkeniday ). Keturunan kesebelas dari Diwe Gumay yaitu puyang Panjang sebagai juray kebalik-an baru menetap dibagian ilir tanah besemah yaitu di Balay Buntar ( Lubuk Sepang ).Ratu Majapahit beranak 7 (tujuh) orang: 1. Puyang Meradjo Saktie, 2. Puyang Meradjo Gantie, 3. Puyang Meradjo Pandoe, 4. Puyang Meradjo Gandoe, 5. Puyang Meradjo Kedam, 6. Puyang Poetri Sandang Bidoek, 7. Puyang Atoeng Bongsoe.Maka Ratu Sinuhun memberi tahu pada anak laki-lakinya bahwa Poetri Sandang Bidoek akan diambil anak [Dikawinkan] dengan Bagus Karang di negeri Raban, serta akan dijadikan raja di Mojopahit (Majapahit). Anak laki-lakinya kecewa sebab mengapa mereka yang laki-laki tidak dijadikan raja Mojopahit. Ada permintaan dari Atoeng Bongsoe kepada Bagus Karang, kalau jadi raja di Mojopahit yaitu minta ayam Papak Berambai Mas, memakai jalu intan sekilan. Permintaan dikabulkan oleh Bagus Karang. Ratu Sinuhun menyuruh ke-enam anak laki-lakinya berkarang mencari ikan. Maka Atoeng Bongsoe berkarang digenting ulu Mana’ di Batanghari Cawang sampai habis ikannya. Ikan dimasukkannya dalam boloh [Buluh=Bambu] Ritie Jadie. Sampai sekarang Batanghari itu bernama Cawang Boloh Ritie dan tidak lagi ditunggu ikan. Ketika Atoeng Bongsoe jalan dari [melalui] tanah Pasemah yang pada waktu itu bernama Rimbo Dalam. Pada wktu itu belum ada seorang pun yang tinggal didaerah ini, turun dari bukit Serelo lantas pulang ke Mojopahit. Sampai di Mojopahit saudara puterinya sandang Bidoek telah dikawinkan. Atoeng Bongsoe kecewa, mengapa tidak menunggu dia pulang dari berkarang. Anak-anak Ratu Sinuhun kecewa, mereka lalu pergi kebeberapa tempat, antara lain ke Loera Belido, ke Minangkabau, ke Bugis, ke Aji Komering dan ke Bugis.Atoeng Bongsoe kawin dengan anak ratu Benua Keling Senantan Boewih (Boeway). Atoeng Bongsoe mendapat 2 (dua) anak laki-laki, yaitu: 1. Boejang Djawo (Bujang Jawe), 2. Rio Rakian. Pada suatu ketika Boejang Djawo memecahkan piring Ratu Benua Keling. Anak laki-laki Ratu Benua Keling marah kepada Boejang Bongsoe dan ia berkata bahwa ia mau pulang. Ratu Benua Keling membagi pusaka (warisan). Atoeng Bongsoe mendapat warisan tanah bumi. Ia mengambil tanah sekepal dan setitik air dan satu biji batu dimasukkan di dalam tongkat. Bagian Puyang Atoeng Bongsoe Pati(h) Ampat Lawangan Ampat Pepandin Delapan. Maka Atoeng Bongsoe berjalan nunggangi (naik) kelapa balik mudik sungai sampai di Palembang. Ketemu dengan Putri Sandang Bidoek. Maka Pati Ampat Lawangan Sandang Bidoek di Palembang. Sandang Bidoek memberi satu Bendik bernama Si Awang-Awang. Kata Sandang Didoek “Bilamana Atoeng Bongsoe sudah mendapat kepastian dimana akan bertempat tinggal pukul bendik Si Awang-awang sampai kedengaran dari Palembang”. Maka Atoeng Bongsoe meninggalkan satu meriam bernama Segoering. Kata Atoeng Bongsoe “Kalau ada musuh dari luaran, tembakkan meriam Segoering, supaya segala anak cucunya membantu perang”. Sesudah itu Atoeng Bongsoe mudik sampai muara Lematang, maka air musi ditimbang dengan air Lematang [Ternyata setelah ditimbang lebih berat ayiek lematang], Atoeng Bongsoe [memutuskan] akan mudik Batanghari Lematang. Ketika Boejang Djawe akan mati, dia meninggalkan pesan sama Atoeng Bongsoe, dimana te,pat Atoeng Bongsoe menjadikan jgad minta pasangkan asap kemenyan sembilan dan minta dipasangkan kelmbu tujuh lapis, maka Boejang Djawe kembali hidup. Sesudah itu Atoeng Bongsoe naik ke darat berhenti didalam rimba. Rimab ini dinamakannya Padoeraksa [artinya daerah yang baru diperiksa]. Ketika Atoeng berada dalam rimna ini datanglah ratu dari dusun Lubuk Oembay bernama Ratu Rambut Selake [Pimpinan orang Rejang]. Berkatalah ratu Rambut Selake: Apa sebab Atoeng Bongsoe menempati tanahnya ? Dijawab oleh Atoeng Bongsoe, “ Tanah ini tanahku nian, sebab waktu pulang berkarang di Genting Oeloe, mendapat ini tanah dan belum ada satu orangpun yang menunggunya [menempati]”. Dijawab lagi oleh ratu Rambut Selake, “Beghani sumpah, kalau beghani sumpah, ambiklah!”. Maka tanah ini dikasihkan kepada Atoeng Bongsoe. Sesudah itu Rambut Selaku mati, anak cucunya pindah ke Rejang. Setelah itu Atoeng Bongsoe pindah dari rimba Padoekrakso dan kemudian membuat dusun Benua Keling. Suatu ketika istrinya Atong Bongsoe, putri senantan Boewih turun membasuh beras memakai bakul, dimasuki ikan Semah, Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Besemah [yang berarti sungau yang banyak ikan semahnya].Sesudah itu Atoeng Bongsoe, sesuai dengan pesan Bujang Dje\awe, ia membakar kemenyan dan memasang kelambu tujuh lapis pada waktu malam 14 maka bujang Djawe turun bergelar Puyang Dewate, dialah yang menjadikan Jagad Besemah, sampai 5 (lima) gilirtidak diperanakkan. Setelh puyang Dewate mati, berturut-turut terdapat puyang: 1. Indiro (Indra) sakti, 2. Indira Muksa, 3. Telage Muksa, 4. Cendane Kilam, dan 5. mandoelike.Puyang Mandoelike beranak 5 ( lima) orang, yaitu: 1. Puyang Sake Semanung (Seminung), menjadikan anak [Sumbai] Ulu Lurah, 2. Puyang Sake Sepadi menjadikan sumbai Tanjung Ghaye, 3. Puyang Seghatus, menjadikan anak Bayoeran, 4. Puyang Sake Saktie menjadikan marga Jati, 5. Puyang Seribu, mati bujang, tidak ada keturunan.Keempat Puyang diatas menjumputi {sic.) Depati Lang Bidaro (Depati Karang udare= Depati Karang Widara) dengan Pangeran Sido Kenayan [Raja Palembang] mudik [ke tanah] Pasemah minta tunjuki adat dengan hukum maka depati Lang Bidaro dengan Pangeran Sido Kenayan mudik ke tanah Pasemah membawa adat dengan hukum aturan di dalam Jagat yang ditetapkan Kerte [Aturan] delapan, bagaimana adat, siapa salah disalahkan, siapa benar dibenarkan.Dan Jagat Pasemah ditetapkan Sindang Merdike, kalau ada budak lain atau barang hilang di Palembang, timnbul di Pasemah, minta pulangkan di Palembang, siapa yang menolong, di Palembang dapat Pesalin sepengadap.Dan empat pesirah ditetapkan memerintah di “Jagat Pasemah”. Bila salah seorang pesirah itu mati, akan diganti orang lain. Tetapi penggantinya harus mendapatkan persetujuan Sultan Palembang.Pangeran Sido Kenayan dengan Depati Lang Bidaro membagi tapal batas tanah Pasemah dengan Palembang. Dimulai dari Way Umpu titik di penyebrangan Bantan, terus di Batu Banjar, laju di gunung Seminung Ranau, dari situ turun Naurebo [terletak ditengah gunung Seminung Ranau], laju di pematang Sengang tengah Ranau, Laju terus tengah laman dusun Kuripan, ‘mungga Bukit Nanti, turun di Muare Kemumu [Kisam], mungga di tangan Bukit Nanti terus di Pematang Galang turun di Lubuk Muara Cendawan, laju di Batu Bindoe Muara Enim, dari situ mungga Bukit Campang di Pagar Gunung, turun di Ayiek ijuk, terus di Lubuk Muara Senangsangan Mulak Ulu, laju di Danau Batu, turuhan di Arahan Tungku Tiga, netak Bubungan Arahan Tiga, laju di Padang Tamba, mungga bukit Kuantjung Berghuk, dari situ terus di Petai Campang Due Bukit Ulu Pangi (Kikim), dari situ laju di Sialang Pating Besi di Bukit Sanggul, terus di Bukit Rindu Ati Bengkulu, turun di Padang Tjupak, terus di Ulu Tuban, titik di teluk Merampuyan, laju di Padang Muara Selibar Ulu Bengkulu, turun di Laut Besar, sampai di Tampaan Gadak Sebelah Ulu, yang tersebut ini tanah bumi dikasihkan oleh Pangeran Sido Kenayan pada orang Pasemah. Dari situ ke sebelah ilir Pangeran Sido Kenayan dengan Depati Lang Bidaro yang punya.Waktu itu tanah Pasemah masih rimba semuanya. Semua orang bikin ladang darat [ume]. Dibelakang ini tanah Pasemah jadi padang membuat siring untuk lahan sawah. Dan lagi aturan Pasemah kalau sawah angkitan 100 bake harganya 100 gulden.Tanah yang sudah dibuka, kemudian ditinggalkan (talang), boleh digarap orang lain asal ada kata mufakat (berunding). Orang yang tidak bikin sawah tidak dihukum Sultan Palembang. Jika ada tanah yang bisa dibikin sawah,bu kan Pesirah yang membagi tanah itutapi orang yang bikin sawah sendiri, lebih dahulu dikasih tahu PesirahAwal sejarah pemerintahan tradisional di Besemah tidak terlepas dari sistem pemerintahan Kesultanan Palembang. Kaitan atau hubungan antara Kesultanan Palembang dengan daerah-daerah diwilayah kekuasaannya dikatakan oleh Robert Heine Gildern (1982). “ di Asia Tenggara Ibukota Kesultanan Palembang bukan saja merupakan pusat politis dan kebudayaan dari suatu kerajaan dan masyarakat sekitarnya, juga merupakan pusat magis dari kerajaanPEMERINTAHAN TANAH BESEMAH DIZAMAN DULUAwal sejarah pemerintahan tradisional di Besemah tidak terlepas dari sistem pemerintahan Kesultanan Palembang. Kaitan atau hubungan antara Kesultanan Palembang dengan daerah-daerah diwilayah kekuasaannya dikatakan oleh Robert Heine Gildern (1982). “ di Asia Tenggara Ibukota Kesultanan Palembang bukan saja merupakan pusat politis dan kebudayaan dari suatu kerajaan dan masyarakat sekitarnya, juga merupakan pusat magis dari kerajaan.Selain sebagai pusat aktivitas kekuasaan politis kebudayaan, dan magis Kesultanan Palembang secara stuktural membagi wilayahnya sebagai ibukota, yang memang dibawah kendali Sultan langsung. Daerah-daerah yang dekat dengan wilayah kerajaan disebut wilayah Kapungutan, sedangkan wilayah yang berada jauh dari pusat kekuasaan Kesultanan Palembang disebut wilayah Sindang yang lebih bersifat merdeka dan hubungannya hanya mengirimkan seba kepada sultan. Diantara kapungutan dan sindang tersebut adalah wilayah Sikap yang mempunyai tugas-tugas tertentu dari sultan. Wilayah kesultanan palembang diatas, tidak begitu identik dengan wilayah provinsi Sumatera-Selatan sekarang ini. Dalam struktur hirarki pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam, strata paling atas dan paling berkuasa adalah sultan, sebagai pengemban “ wahyu Tuhan “. ( pulung, konsep keraton Jawa ) untuk memerintah. Susuhunan adalah gelar yang diberikan kepada sultan yang tidak menjabad lagi.Struktur kedua adalah kalangan bangsawan atau pangeran yang menguasai lima sampai duabelas dusun yang merupakan bagian dari wilayah kesultanan yang diberikan sultan untuk nafkah hidup mereka. Pemberian kekuasaan atas wilayah tersebut, disebabkan sultan Palembang tidak mungkin memberikan gaji kepada semua pangeran yang cukup banyak jumlahnya. Selama seorang pangeran tetap loyal dan disukai oleh sultan, kedudukannya dapat diwariskan kepada keturunannya.Struktur ketiga adalah marga-marga sikap yang terdiri dari beberapa dusun atau talang. Penduduk dusun itu berkewajiban mengurusi gawe raja secara pribadi. Selain juga bertugas mengangkut barang barang penghasilan dari sultan, tetapi mereka dibebaskan dari biaya pembayaran pajak dan tiban-tukon ( Amin, 1996).Struktur yang ke empat adalah marga-marga sindang yang berfungsi sebagai penjaga batas yang merdeka. Suku Besemah dalam status ini mereka tidak dibebani tiban-tukon maupun pajak serta pekerjaan sultan lainnya. Kewajiban mereka hanya menjaga tapal batas agar rakyat diwilayah kesultanan palembang tidak melarikan diri ke Lampung atau Banten. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada sumbay-sumbay yang terdapat didaerah Besemah.Dalam sistem pemerintahan tradisional besemah dikenal istilah sumbay dan juray. Pengertian sumbay ini perlu dijelaskan agar maknanya dapat diketahui oleh orang besemah yang masih hidup sekarang dan yang akan datang. Pada masa puyang pendiri Besemah masih hidup, ia mempunyai juray-juray. Juray adalah cikal bakal adanya sumbay.Juray suatu sumbay ada yang menetap ditanah besemah tetapi ada juga yang merantau keluar dan tidak kembali lagi. Mereka kemudian membaurkan diri ( nyunggutka ) dan beradaptasi dengan lingkungan barunya ( Shoim, 1989). Anak cucu puyang ini membentuk tata kehidupan sesame mereka. Dari sini timbul keinginan untuk mendudukkan juray dari puyang-puyang lain, agar tidak muncul persengketaan diantara keturunan mereka. Juray membentuk kaum-kaumnya dikemudian hari ia menjadikan kaumnya sebagai suatu kesatuan yang dinamakan sumbay.Dengan demikian sumbay merupakan tali pengikat diantara sesame juray dan juga dalam sumbay, sehingga kata seganti setungguan dalam petulay atau sumbay dapat diwujudkan.Makna sumbay dan juray adalah sama karena bermakna keturunan, tetapi dalam kedudukannya menunjukkan adanya perbedaan, karena juray satu dengan juray lainnya kadangkala berbeda nama sumbay. Perkembangan keturunan juray berada pada tempat yang sama tetapi dapat juga terjadi ditempat yang lain, karena ada juray yang telah mendirikan dusun lain. Akan tetapi anatar sumbay dengan juray selalu mempunyai ikatan, terutama mereka dalam satu keturunan puyang yang sama.Dalam perkembangan selanjutnya, pada pertengan abad ke 19, penduduk besemah sudah terbagi atas enam Sumbay, yaitu :Sumbay Pangkal Lurah (berjumlah 24 dusun)Sumbay Ulu Lurah (berjumlah 38 dusun)Sumbay Mangku Anum (berjumlah 19 dusun)Sumbay Besak (berjumlah 52 dusun)Sumbay PenjalangSumbay SemidangMARGA-MARGA TERAKHIR DI KABUPATEN LAHAT(TANAH BESEMAH), YANG MENGGUNAKAN NAMA SUMBAYMarga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU), di Sukajadi Kikim; Kecamatan Kota Lahat; 11 DusunMaraga Penjalang Suku Empayang Ilir (PSEI), di Gunungkerta, Kecamatan Kikim, 8 dusun.marga Penjalang Suku Lingsing (PS Lingsing), di Pagarjati, Kecamatan Kikim; 7 dusunMarga Penjalang Suku Pangi (PS Pangi), di Nanjungan, Kecamatan Kikim; 7 dusunMaraga Sumbay Besar Suku Alundua (SPS Alundua), di Alundua, Kecamatan Kota Pagaralam; 28 dusun.Marga Sumbay Mangku Anum Suku Muara-Siban (SMAS Muara-Siban), di Bumiangung, kecamatan Kota Pagaralam; 20 dusun.Marga Semidang Suku Pelangkendiday (SS Pelangkendiday). Di Pelangkendiday (kemudian di Sukajadi), kecamatan Kota Pagaralam; 7 dusun.Maraga Sumbay Besar Suku Lubukbuntak (SBS Lubukbuntak), di Lubukbuntak, kecamatan kota Pagaralam; 19 dusun.Maraga Sumbay Besar Suku Kebun-jati (SBS Kebun-jati) di Kebun-Jati (Kemudian Airdingin baru), Kecamatan Kota-Agung (Sebenarnya Kota-Agung, dari Kute-agung); 27 dusun.Marga Penjalang Suku Tanjungkurung (PS Tanjungkurung), di Tanjungkurung (kemudian di Tanjungbay), kecamatan Kuta-agung; 5 dudun.Marga Sumbay Mangku Anum Suku Penantian (SMAS Penantian), di Penantian (kemudian di Talangtinggi), Kecamatan jaray; 21 dusun.Marga Sumbay Tanjung Raya Suku Muara-payang (STRS Muara-payang) kemudian ditalang tinggi , kecamatan jaray; 7 dusun.Marga Sumbay Ulu Lurah suku pajarbulan (SULS Pajarbulan), di Pajarbulan (kemudian disimpingtiga Sumur), Kecamatan Jaray; 29 dusun.Marga Semidang suku Seleman (Marag Semidang), di Seleman, kecamatan Muara-pinang; 10 dusun.Diluar wilayah Kabupaten Lahat (Tanah Besemah), marga-marga yang menggunakan nama Sumbay, yaitu kesatuan genealogis masyarakat Besemah atau masyarakat asal Besemah adalahMarga Semidang Alundua suku 2, Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Kemering Ulu (OKU); Provinsi Sumatera Selatan; 2 dusun.Marga Semidang-Gumay, Kecamatan Pino, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.marga Semidang Alas, Kecamatan talo, Kabupaten bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.Dasar-dasar pembentukan marga-marga terakhir di Sumatera Selatan Perda No.2/DPR.Gr.SS/1969; penghapusannya berdasarkan SK Gubernur Kdh Tk.I Sumsel.
Besemah

http://www.blogger.com/feeds/25705950/posts/default/114455905072974888

Muko-Muko Ibukota Rejang

Moco-moco (Muko-muko) is Capital City of Rejang Country around 1828
at Tuesday, September 16, 2008

Buku dengan judul :The East Indian Gazetteer Containing Particular Descriptions of the Empires, Kingdoms, Principalities, Provinces, Cities, Towns, Districts, Fortresses, ditulis oleh : Walter Hamilton, Walter (M. R. A. S.). Hamilton tahun 1828, memberikan sedikit tentang Negeri Rejang Jaman Dahulu.

Dari buku ini diketahui bahwa Negeri rejang sekitar tahun 1828 beribukota di muko-muko.

Rejang Laws 1779

Rejang Laws April 1779
at Saturday, June 14, 2008

This is the Law in Rejang Land that exist and published in April 1779 by Residen Jhon Marsden, after this Laws the the goverment adapted this Rejang Law and than create the new law Called as Simboer Thahja ( Simbur cahaya ) thats refers to Traditional Law in Rejang Land till today.

Ini adalah Hukum yang berlaku di Negara Rejang sekitar tahun 1779, dimana Hukum ini di tulis oleh Jhon marsden pada bulan April 1779 yang saat itu menjabat sebagai residen Bengkulu. Hukum ini kemudian oleh pemerintah di jaman itu di adaptasi, dan lahirlah Undang-undang Simboer Cahaya, dimana undang-undang ini kemudian menjadi Rujukan Hukum adat Rejang hingga sekarang.

Bila ada reader yang punya copie dari buku Simboer Thahaya mohon di copy di bagian komentar untuk melengkapi artikel hukum Tanah Rejang yang belum lengkap ini. Bantuannya sangat admin harapkan. Agar sejarah Tanah Rejang makin lengkap gak lekang di makan zaman.

Text not available
Text not available

Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Text not available
Usia kota Curup lebih 190 tahun, bukan 128 tahun
at Saturday, June 14, 2008

Berapa tahun sih usia Kota Curup yang sebenarnya?
Baru-baru ini kota Curup merayakan HUT ke-128. Namun kisah kelahirannya 128 tahun lampau itu bak jadi mistery publik. Bahkan orang-orang Curup sendiri yang berada di kota itu banyak yang tidak tahu, anak-anak sekolah, penduduk, karyawan, bila di tanya juga menjawab tidak tahu, mereka hanya tahu Curup merayakan ulang tahun ke 128 tahun ini. Wah wah piye toh mas, tahu umur tapi gak tahu gimana lahirnya he he he.. . .

Konon, ada yang bilang kalau usia ke 128 tahun itu ada perda-nya, maksudnya dibuat undang-undangnya berdasarkan temuan arsip lama yang paling tua, yang menceritakan keberadaan kota Curup, admin sendiri tidak jelas dokumen yang mana yang di maksud itu. Bila merunut ke angka 128 tahun itu, maka dokumen yang mencantumkan nama kota Curup berangka tahun 1880. Apakah masih ada dokumen lain yang signifikan selain itu? Jawabnya ada!

Apakah bila ada dokumen lain yang lebih akurat Pemdanya akan konsukwen dan bijak mengganti perdanya, untuk pelurusan sejarah? Artikel berikut ini adalah bukti nyata pada tahun 1818 kota Curup yang waktu itu di tulis dengan Churup telah lama ada dan di publikasi secara luas di media masa barat. Bila merunut dokumen yang berbentuk jurnal dalam diary perjalanan Kapten F. Salmond dari Benteng Fort Marlborough menuju Residensi Palembang, beliau tiba di Curup tengah hari setelah sebelumnya mampir di Suro pada tanggal 26 juni 1818. Ini adalah dokumen paling tua yang admin temui, yang menulis dengan jelas keberadaan kota Curup, bila pemda akan merujuk ke artikel ini, usia kota Curup adalah 190 tahun pada tanggal 26 Juni ini, jadi bertambah umur 62 tahun dalam beberapa hari saja setelah ulang tahun kota Curup ke 128 bulan kemarin.

Dokumen ini di tulis di jurnal yang di terbitkan Mission Press Fort Marlborough:

Malayan miscellanies
Published 1822
Original from Oxford University
Digitized May 9, 2007

dan tersimpan baik di Universitas ternama itu, hasil di digitalisasinya di berikan ke Google untuk di manfaatkan Publik, inilah peran perusahaan raksasa Google untuk berkolaborasi dengan dunia pendidikan dan blogosphere. Diskusi dengan salah satu author blog ini yaitu blog Curup kami, akhirnya kami putuskan untuk mempublikasi ulang artikel ini untuk pencerahan bagi Pemda Rejang-Lebong, mudah mudahan bermanfaat.

Cuplikan artikel bisa di baca di bawah ini, tulisan tentang kota Curup berada pada sesion tanggal 26 juni 1818 dari catatan diary tersebut.