Sabtu, 20 September 2008

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*
Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda
Laut adalah lambang kehidupan yang dinamis. Birahi laut berarti dinamika kehidupan yang penuh gairah. Dan, begitulah kurang lebih sajak-sajak Dino Umahuk dalam buku kumpulan sajaknya, Metafora Birahi Laut (Lapena, 2008), penuh imaji kehidupan yang bergairah sekaligus bergejolak, dalam metafor-metafor yang unik.
Berbagai tema tentang kehidupan, interaksi antara manusia (sang penyair) dengan alam, dengan sesama manusia, dalam rasa cinta dan gairah untuk mereguknya, dirangkum sang penyair dalam sajak-sajaknya. Kadang-kadang terbersit rasa duka, derita, suka cita. Namun, semua dalam gairah cinta, untuk mereguk makna hidup sampai akarnya. Dan, kegairahan itu mengkristal dalam sajak “Metafora Birahi Laut” (hlm 63) yang dipilih menjadi judul buku ini.

Coba kita simak sajak tersebut:
MEPOTAFORA BIRAHI LAUT
Ini birahi tumbuh dari laut
Ketika ombak pasang
Dan badai melarungkan segumpal kemesraan
Ke dalam jasad yang bernama Adam
Ini birahi datang dari laut
Ketika langit merah saga
Dan senja melabuhkan dahaga ke dada
Laki-laki bernama anak Maluku
Ini puisi tak sekadar kata
Ia tumbuh berbunga mantera
Ketika musim telah tiba
Janji kan dia tunaikan di rahim perempuan
Ini cinta tidak biasa
Ia lahir dari birahi laut
Ketika ombak bersetubuh dengan pantai
Dan dupa menguap dari ketiak malam

2005

Dalam kegairahan seperti ‘birahi laut’ itu Dino tampak begitu lahap untuk menulis apa saja, yang sempat dijumpai dan menggoda imaji puitiknya sepanjang pengembaraannya, sepanjang petualangannya menaklukkan tantangan hidup yang keras, puncak gunung, dan perempuan. ‘’Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri,’’ tulis Ikranegara pada pengantar pendeknya.
Karena kegairahannya itu Dino mencatat apa saja sepanjang petualangannya. Sejak persoalan politik sampai kegelisahan individualnya, sejak persoalan yang sekular sampai yang bernuansa religius seperti “Sajak Lautan Sajadah” (hlm 37). Dalam sajak ini, penyair yang dalam sajak ‘’Membunuh Tirani’’ (hlm 59) menyebut dirinya sebagai ‘’lelaki malam yang lahir dari bisa ular’’ – yang melihat kehidupan sebagai padang penaklukan yang menggairahkan --berubah menjadi manusia religius yang memandang kehidupan (lautan) sebagai hamparan sajadah untuk ‘’kembali’’ berserah diri pada-Nya.
Sangat menarik untuk menyimak sajak tersebut, sbb.

SAJAK LAUTAN SAJADAH
Lautan adalah hamparan sajadah menapaki makrifat-Mu
Di wajah kesadaran yang Kau titipkan lewat rinai hujan
Air mata meninggikan derajat beberapa doa
Malam adalah jerat antara surga dan neraka
Di antara huruf Kaf dan Nun yang menjelma gedung-gedung
Kebebalan serupa batu cadas yang luruh di tetesan wudhu
Pada penghabisan kesekian dari sujud di Kursi-Mu
Alif Lam Mim bersekutu sebagai janji
Sebagai Adam yang mentahmidkan cahaya
Lautan adalah hamparan huruf-huruf mengeja ayat-Mu
Seperti tangis yang menunggu di pintu rahim
Usai berikrar meniti nasib

Banda Aceh, 20 Juni 2007

Pada sajak lainnya yang bernuansa religius, yakni ‘’Ajari Aku membaca-Mu’’ (hlm 16), Dino terkesan tak kuasa, atau gagap, dalam membaca tanda-tanda kebesaran dan kehendak Tuhan. Fenomena alam adalah ayat-ayat Tuhan (sunatullah) yang tidak tertulis dan bertebaran seluas hamparan sajadah kehidupan, tapi tak semua orang mampu menangkap maknanya.

Maka, sang penyair petualang, Dino Umahuk, pun minta pada Tuhan agar diajari untuk membacanya. Sedang Tuhan, sejak turunnya wahyu pertama ke-Islaman, sudah memerintahkan pada manusia (melalui Nabi Muhammad SAW) untuk membacanya – iqra bismi rabbikalladzi khalaq! Perintah membaca yang memiliki pengertian sangat luas.

Membaca apapun – teks tertulis maupun teks alam dan kehidupan yang terhampar penuh kekerasan -- tanpa kemampuan untuk memahami maknanya, tanpa bekal kearifan untuk memaknainya, dapat juga mengundang rasa putus asa, frustrasi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri, seperti terbersit pada sajak ‘’Agama Bunuh Diri’’ (yang ditulis pada tahun 1999, hlm 15) berikut ini:

Bila nanti siang kau shalat jumat
Barangkali di masjid Al-Fatah
Atau hari minggu nanti kau ikut kebaktian atau misa
Mungkin di gereja Maranatha mungkin di Keuskupan
Tolong tanyakan pada Muhammad dan Isa yang agung itu
Apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
Agar kita saling membunuh?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri

Untunglah Dino tidak benar-benar bunuh diri karena memang dilarang oleh agama. Untunglah Dino akhirnya menyadari bahwa manusia memang bodoh dan fana, dan hanya Tuhan yang Maha Tahu segalanya, dan memang selayaknyalah dia minta diajari oleh-Nya, seperti tersirat dalam sajak “Ajari Aku membaca-Mu’’, yang ditulisnya pada Maret 2007, sehingga dia memahami bahwa alam dan kehidupan adalah hamparan sajadah panjang untuk ‘’kembali’’ pada-Nya, seperti tersurat pada ‘’Sajak Lautan Sajadah’’. Periode penciptaan 2007 agaknya periode ‘’kesadaran’’ bagi Dino, dan sajak-sajak yang ditulisnya rata-rata bernuansa religius.
Seberagam tema yang dikemas dalam sajak-sajaknya, beragam pula pola pengucapan sajak-sajak Dino. Ada sajak-sajak yang begitu lugas dan kurang puitis, seperti ‘’Agama Bunuh Diri’’ (hlm 15), ada sajak yang memiliki baris-baris yang tidak seimbang kepanjangannya (ada baris-baris panjang, ada baris-baris yang hanya satu dua kata) seperti ‘’Sajak Kelelawar’’ (hlm 36), ada pula sajak-sajak yang sangat indah, rapi, sekaligus puitis serta simbolik, seperti ‘’Sajak Lautan Sajadah’’ dan ‘’Metafora Birahi Laut’’.
Agaknya, seperti juga kebanyakan penyair lain, proses kepenyairan Dino Umahuk adalah juga proses pencarian – pencarian jati diri sekaligus pencarian pola estetik. Syukurlah, melalui pencarian panjang selama hampir 10 tahun (1999-2007), akhirnya Dino menemukan yang dicarinya: jati diri yang religius dan pola pengucapan yang rapi, imajis dan simbolik, dengan citraan-citraan alam yang puitis. Karena itu, selamat untuk Dino Umahuk. Semoga dapat ikut memberi makna positif bagi tradisi kepenyairan di Indonesia untuk saat ini dan selanjutnya.

Pamulang, Maret 2008
*Disampaikan pada acara Bedah buku kumpulan puisi Dino Umahuk Metafora Birahi Laut dan kongkow-kongkow sahabat pencinta puisi Forum Lingkar Pena (FLP) Sabtu 15 Maret 2008 di Perpustakaan Diknas, library@senayan Jakarta

Tidak ada komentar: