Minggu, 30 November 2008

Bdikar Anumtiko Ling Kricas

oleh Erwin S Basrin

Bdikar Anumtiko Ling Kricas, bukan sebuah nama tanpa arti atau serangkaian kata yang tak bermakna, Bdikar adalah penyebutan dalam Bahasa Rejang bagi seseorang yang mempunyai kekuatan batin dan darah juang yang mengutamakan keselamatan rakyat ‘PENDEKAR’ demikian jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Anumtiko adalah Gelar Bangsawan Rejang secara filosopis melindungi empat penjuru pintu dan melindungi rakyatnya di waktu-waktu yang dipercayai bisa membawa bencana bagi rakyatnya, Ling diambil dari singkatan dari Lingkaran dalam bahasa Indonesia sedangkan Kricas adalah penyebutan bagi orang Rejang agresif, lincah dan pintar. Jika dirangkai Bdikar Anumtiko Ling Kricas adalah Pendekar berdarah bangsawan yang berada di sekitar orang-orang yang pintar, agresif dan lincah.

Bdikar ini adalah seorang putra yang dilahirkan di Klinik Tiara Zella di pertengahan tahun 2005 yang merupakan buah cinta dari Erwin S Basrin dengan Susi Ekayanti. Dia dilahirkan ketika kedua orang tuanya tidak punya apa-apa buat masa depannya, tangisan pertamanya adalah tangisan pemberontakan dimana dominasi imprialisme, penetrasi kapital mulai merasuki sel-sel sosialisme komunal di mana mulai melakukan penghancuran stuktur-struktur sosial.

Tangisan pertamanya merupakan tangisan betapa susahnya kedua orang tuanya membeli susu yang merupakan produk kapital, harga pangan yang meningkat tajam, keluarganya dikampung selalu menjadi korban atas kepentingan kapital, politik sesaat dan korban atas nama pembangunan yang tentunya tidak diperuntukan oleh rakyat yang kelak di kemudian hari akan di pimpin oleh Bdikar Anumtiko Ling Kricas.

Ciuman pertama dari Ibunya adalah ciuman kasih dan restu untuk bergerak Lincah (Kricas) dalam membela atas penindasan, Ciuman pertama dari Neneknya adalah ciuman yang menandai bahwa hidup bukan berbanga atas kondisi leluhur tapi bagai mana berjuang mempertahankan sumber-sumber penghidupan rakyat, Air Susu pertama dari ibunya adalah sumber kekuatan dan kemurnian nurani untuk berjuang, Ciuman dari Kaka Sepupunya Reynaldi Ananda Qhibal Azhora adalah pertanda perjuangan tidak akan dilakukan oleh Bdikar sendiri tapi didukung penuh oleh keluarga dan sahabat.

Anakku selamat datang di Dunia nyata di sini banyak tipu, banyak daya, banyak intrik, pertentangan-pertentangan hadapi dengan kekuatan yang bernurani, jangan takut darah yang mengalir ditubuhmu adalah darah perjuangan yang bersumber dari unsur pembentuk bumi dan dari cinta murni kedua orang tuamu. Tegakkan kepalamu, usungkan dadamu, tatap mata mereka yang tak tunduk dengan mu sampai mereka bertekuk lutut, Sinar matamu adalah sinar Ulubalang 9, di dadamu ada Asma Allah, dan tubuhmu di lingkupi oleh sinar dan taburan kekuatan 4 dewa dari Mekedum Rajo Diwo dan 4 dewa penjaga Kutai Nated, Gelegar darahmu seperti derasnya sungai Ketahun yang mampu menembus gunung Karang di Muara Sulit.

Anakku kau tak perlu takut semua kekuatan yang ada di bumi dan di langit ada bersamamu jangan pernah jadi pencundang dan pastikan jika katamu tak bisa didengarkan hantam tanganmu karena disana ada kekuatan Rajo Tiak Ketiko yang bersumber dari kekuatan Petir dan mempunya daya hantam secepat kilat, mereka tidak akan mampu untuk mengelaknya. Anakku jangan takut dengan apapun di dunia ini kecuali kebenaran tetaplah tegak di sana, taburan restu dan karomah leluhurmu pasti bersamamu patikan mereka bangga padamu.

Bapak bangga atas adanya kamu…..

Jurukalang dalam Serpihan Catatan

Oleh Erwin S Basrin

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Rejang, ada yang menyakini bahwa suku ini bersasal dari Sumatera Bagian Utara, ada juga sebagai yang menyakini bahwa Rejang berasal dari Majapahit bahkan sebagai masyarakat meyakini bahwa sebagian besar berasal dari jazirah Arab. Mengenai asal usul Rejang sangat sedikit sekali literatur maupun hasil penelitian yang lebih lengkap tentang asal usul bangsa Rejang, namun dalam menyusun sejarah Adat Jurukalang yang merupakan kesatuan masyarakat komunal, AMARTA mencoba menyusun serpihan-serpihan cerita turun temurun yang kemudian mencoba untuk mengelaborasi dengan beberapa tulisan tentang Rejang.

Jurukalang dalam bahasa lokal disebut dengan Jekalang yang pada awalnya hanya terdiri dari 2 kutai atau dusun, dalam sejarah secara turun temurun kutai tersebut adalah Kutai Topos dan Kutai Teluk Diyen, kutai-kutai ini dikenal sejak zamannya pemerintahan Marga Jurukalang di bawah pimpinan Bikau Bembo, namun sebelum zaman Bikau Bembo yang memerintah Marga Jekalang ini diwilayah ini terdapat beberapa Kutai dibawah pimpinan Ajai Siang antara lain Kutai Pukua, Kutai Mawua, Kutai Menai, Kutai Sebayem dan Kutai Titik.

Jurukalang adalah salah satu Petulai dalam sejarah suku bangsa Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1]

Catatn-catatan lain tentang Kedudukan Jurukalang sebagai komunitas adat asli Rejang, dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya ole orang-orang di satu bang, harus diakui Rejang Lebong.[2]

Selain serpihan catatan, sejarah Jurukalang kebanyakan disampikan secara turun temurun, hampir tidak ada catatan yang ditulis oleh masyarakat lokal tentang Jurukalang, dari wawancara yang dilakukan kebanyakan menceritakan bahwa di Jurukalang sebelum ditempati oleh masyarakat yang mereka sebut ‘masyarakat beradat’ kebanyakan mereka mulai menceritakan sistem lokal yang diyakini, bahwa sebelum kejadian asal warga komunitas tersebut diwilayah ini terdapat beberapa manusia ‘dewa’ dan dalam bahasa lokal di sebut diwo-diwo yang berada di Istana Ninik Mekedum Rajo Diwo masing-masing mereka adalah Raden Serdang Lai, Raden Serdang Titik, Cito Layang, Puteri Emban Bulan, Puteri Serasa Dewa, Puteri Gading Cempaka dan Puteri Serindang Panan.[3]

Ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat, Perkembangan dari zamannya dewa-dewi ini kemudian banyak di ceritakan bahwa terdapat Manusia Setengah Dewa bagi masyarakat lokal Jurukalang di sebut dengan Diwo Tu’un Semidang, mereka yang lahir Tu’un Semidang umumnya tidak diketahui dari mana asal usul, di Jurukalang di yakini sebagai Diwo Tu’un Semidang adalah Anok Mecer, Bujang Tungea, Anok Dalam, Lemang Batu, Batu Idak Cene, Bujang Remalun, Semalim Angin atau Seliman Putih dan Burung Binang.[4]

Dari perkembangan Diwo Tu’un Semidang tidak diketahui secara pasti namun dari cerita-cerita rakyat (folklore) yang masih sangat dipercayai oleh warga komunitas Jurukalang bahwa pasca setelah Diwo Tu’un Semidang hidup masyarakat nomanden selama 5 tahap[5].

Ada beberapa bagian cerita pada tahap atau generasi ini dimana hidup masyarakat komunal dengan sistem ’meduro kelam’[6], yang dibagi menurut perkembangan generasi, generasi pertama biasa disebut dengan Jang Bikoa (Rejang Berekor) dari beberapa cerita yang coba disimpulkan oleh Team AMARTA Rejang Bikoa bukalah Rejang yang sedang mengalami evolusi biologis seperti teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera atau perubahan atas proses jangka waktu tertentu yang berarti perubahan sifat-sifat yang diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi Zaman Rejang Bikoa adalah penjelasan dari kondisi Evolusi Peradaban dan budaya masyarakat di masa tertentu, evolusi peradaban yang dimaksud adalah proses peralihan pengenalan sistem adat dari Meduro Kelam menjadi manusia yang mulai mengenal kearifan-kearifan tertentu dalam mengatur proses persingungan antar meraka, dengan alam maupun dengan kepercayaan tertentu, sedangkan penyebutan budaya masyarakat adalah kebiasaan sebuah komunitas tertentu dalam menyelesaikan sebuah perkara yang tak pernah berujung.

Zaman Segeak yang merupakan perkembangan dan penyebutan zaman Bikoa, dalam istilah lokal zaman ini hanya untuk menyebutkan pola-pola hidup mereka yang nomaden dan food gatering, kecenderungan masyarakat Rejang yang hidup di zaman ini adalah bermata pencaharian berburu dan mengumpulkan makanan, hidup berpindah-pindah, tinggal di gua-gua, dalam sejarah Rejang menurut Bapak Kadirman SH[7] ada kecenderungan yang besar masyarakat ini hidup dibawah permukaan tanah dia menyebutkan bahwa Gua Kazam yang terletak di Lebong Atas merupakan tempat hunian orang Rejang Zaman ini dan banyak ditemui peralatan-peralatan masyarakat di wilayah ini, alat-alat yang digunakan terbuat dari batu kali yang masih kasar, tulang-tulang dan tanduk rusa, dari cici-ciri yang ada kemungkinan zaman Segeak ini adalah zaman batu tua (Palaeolithikum) dan Zaman batu tengah (Mesolithikum). Belum ada sistem budidaya kebutuhan makanan sehingga semuanya diambil dari alam, atas kondisi ini kemudian banyak menyebutkan bahwa masyarakat yang hidup pada zaman pola food gatering ini memakan semua yang di anggap bukan makanan yang secara medis mengangu fisik mereka.

Perkembangan dari Zaman Segeak ini, masyarakat komunal mulai meninggalkan tradisi-tradisi Zaman Segeak, hidup relatif menetap dan mulai melakukan budidaya-budidaya pertanian sehingga zaman ini disebut dengan Rejang Saweak, saweak dalam bahasa Rejang adalah sawah (suatu tempat untuk bercocok tanam jenis padi). Mereka umumnya menetap disepanjang hulu sungai yang banyak terdapat di wilayah Jurukalang seperti Sungai Ketahun, Sungai Buah, Sungai Baloi, dari beberapa bukti yang ditingalkan pola pertanian mereka umumnya dengan membuat kolam-kolam besar di tengah-tengah hutan, mereka tidak tinggal di dalam gua, seperti masyarakat primitif lainnya karena diwilayah ini hampir tidak ditemukan gua-gua yang menunjukan sebagai tempat tinggal, umumnya mereka membuat pondok yang dikenal sebagai serudung untuk tempat tinggal.[8]

Perkembangan yang penting adalah Zaman Ajai, Ajai itu sendiri berasal dari kata majai yang berarti pimpinan suatu kumpulan komunitas tertentu, dalam sejarah Rejang terdapat 4 Ajai yang memerintah di wilayah Kutai Belek Tebo (wilayah Lebong Sekarang). Dari beberapa catatan WL De Sturler, pada zaman Ajai ini Lebong masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis, sekumpulan manusia pada zaman ini sudah hidup secara menetap merupakan satuan masyarakat komunal, belum ada kepemilikan pribadi pada zaman ini, semua yang ada merupakan hak bersama, pentinnya kepemimpinan Ajai ini sangat dihormati oleh masyarakat komunal namun Ajai dianggap sebagai anggota biasa dari masyarakat hanya saja diberi tugas dalam memimpin.[9]

Yang paling diketahui oleh masyarakat Jurukalang adalah Ajai Siang, namun ada kepercayaan bahwa bukan hanya Ajai Siang ini saja yang memimpin komunal yang dimaksud tetapi masih ada Ajai-Ajai lain yang hilang dari sejarah masyarakat Jurukalang. Namun yang terpenting ketika Ajai Siang ini memimpin di wilayah Rejang di datangi 4 orang bikau yang kemudian dipercayai memperbaharui peradaban di wilayah Rejang tentunya termasuk wilayah Jurukalang, terjadi perdebatan panjang tentang asal usul para bikau ini, sebagian menyakini bikau berasal dari majapahit dan sebagian besar meyakini berasal dari jazirah arab, dan sebagian ada yang meyakini dari China.

Argumen menyebutkan bahwa Rejang secara umum berasal dari china dibuktikan dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bangsa China telah datang ke wilayah ini sejak tahun 225-216 SM atau 147–138 tahun saka, mereka umumnya berasal dari negeri Hyunan (China daratan), dengan bahasa Mon. Bahasa inilah yang menyebar keberbagai negeri di Thailand, Birma, Kamboya dan sebagian Korea, dan pertama kali mendirikan negeri bernama Lu-Shiangshe yang berarti sungai kejayaan atau sungai yang memberi kehidupan/harapan atau sungai emas, yang penduduknya disebut dengan sebutan Rha-hyang atau Ra-Hyang atau Re-Hyang atau Re-jang, sebuah tempat yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatera, pembuktian ini kemudian diperkuat Suatu hal yang menarik adalah ditemukannya mata uang China (Numismatic) yang bertuliskan Chien Ma berangka tahun 421 Masehi di Bengkulu Utara (Pulau Enggano). Mata uang yang Sama juga ditemukan di Criviyaya atau Criwiyaya (Baca: Palembang) dan di Tarumanagara (Baca: Jakarta). Dari kata CHIEN MA inilah muncul kata Cha-Chien (Caci=uang dalam bahasa Rejang).[10]

Sementara dari sejarah yang coba disusun oleh penulis yang disadur dari cerita secara turun temurun bahwa komunitas Jurukalang khususnya Bikau Bembo dan keturunanya berasal dari Jasirah Arab, salah satu bukti yang sampai saat ini masih terjaga dengan baik di Jurukalang adalah Pedang yang bertulisan arab, pedang ini dipercayai milik dan peningalan oleh Bikau Bembo yang di pelihara oleh keluarga ahli waris yang tinggal di Desa Talang Baru. Dari sejarah yang didapati dari ninik mamak bahwa Bikau Bembo berasal dari Istambul dan merupakan anak dari Zulkarnaene, apakah ada hubungan dengan Alexander Agung (Alexander the Great) yang merupakan anak kepada Maharaja Philip II dari Macedonia yang ibunya berasal dari surga yang boleh jadi adalah Puteri Olympias dari Epirus, akan sangat dini jika disebut ada hubungan dengan Alexander the Great dan Puteri Olympias dari Epirus, biasanya sejarah yang diturunkan secara turun temurun dalam prosesnya ada bagian yang tidak boleh di publish tanpa alasan yang jelas dan ada transfer pengetahuan yang tidak sempurna maupun dipengaruhi oleh pola pikir dan pengaruh eksternal bagi orang yang menerima cerita tersebut.

Dalam cerita yang percayai di Jurukalang Bukau Bembo yang menikah dengan salah satu Puteri Ajai Siang yang bergelar Ajai Bijar Sakti yang bernama Dayang Regiak, dari perkawinan ini melahirkan 7 orang putra yang semuanya lahir di Jurukalang masing-masing putra tersebut adalah;

1. Rio Menaen
2. Rio Taen
3. Rio Tebuen
4. Rio Apai
5. Rio Mangok
6. Rio Penitis
7. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang

Yang terakhir dipercayai sebagai jelmaan dari kedua orang tuanya, dalam proses kelahiranya diceritakan bahwa kedua orang tuanya berkeinginan untuk mencukupi anaknya menjadi 7 orang sehingga kedua orang tuanya (Bikau Bembo dan Dayang Regiak) melakukan pertapaan dan meminta kekuatan para dewa, pada hari ke 7 ritual tersebut Bikau Bembo dan isterinya Dayang Regiak hilang, Raib dalam bahasa lokal tempat Raib/hilangnya Bikau Bembo ini saat dikenal dengan Keramat Topos, namun tiba-tiba di lokasi ritual tersebut ada seorang bayi yang kuku tangannya panjang sampai ke siku sehingga di sebut Rio Satangai Panjang.

Ke tujuh anak Bikau Bembo ini kemudian menyebar di wilayah Rejang yang sekarang, Rio Menaen membentuk Kutai di Teluk Diyen, Rio Taen berkedudukan di Kutai Donok (Kota Donok sekarang), Rio Tebuen kemudian membentuk di Komunitas Jurukalang di Lubuk Puding di perbatasan Bengkulu dengan Sumatera Selatan, Rio Apai di Talang Useu Lais kemudian disebut Rejang Pesisir begitu juga dengan Rion Mangok membentuk komunitas Jurukalang di Gading Pagar Jati, sedangkan Rio Penitis membentuk Komunitas Jurukalang di Musi, hanya Rio Setangai Panjang yang berkedudukan dan meneruskan kepemimpinan di Tapus Jurukalang.

Sampai saat ini dokumentasi yang masih di ingat oleh tua-tua di Jurukalang, dari generasi Bikau memimpin kelembagaan Petulai Jurukalang sampai dibubarkannya marga akibat kebijakan sentralis negara melalui UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Petulai Jurukalang dipimpin 19 Generasi Kepala Persekutuan, ke 17 orang yang dimaksud adalah;[11]

1. Bikau Bembo

2. Rio Taen

3. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang

4. Rio Tado

5. Depati Singo

6. Depati Sugon

7. Depati Kulon

8. Sipan

9. Rajo Sediwo

10. Djike

11. Salam

12. Terusan

13. Ratu Salam

14. Sijar

15. Ali Asar

16. Ali Kera

17. Abdul Muin

18. Gulam Ahmad

19. Sabirin Wahid

Rio Setangai Panjang hanya mempunyai 6 orang putra putra yang ke semuanya berkedudukan di Tapus sebagai pusat kedudukan Marga Jurukalang, masing-masing putra putri tersebut adalah Mangkau Bumai, Temengung, Dayang Regini, Dayang Reginang, Malim Rajo dan Pedito Rajo. Kebiasaan di Jurukalang yang meneruskan kepemimpinan Marga adalah Putra tertua dari generasi sebelumnya dan kemudian diberi gelar Depati atau Pesirah, ketika pemerintahan Belanda baru kemudian ada proses demokratisasi dalam pemilihan kepemimpinan.

[1] W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178

[2] Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal 18

[3] Cerita ini kebanyakan di ceritakan di Desa Tapus oleh Bapak Salim Senawar

[4] Diwo Tu’un Semidang atau tun semidang adalah penyebutan dalam bahasa rejang Jurukalang dimana ada kesulitan untuk menyebukan asal-usul seseorang secara pasti

[5] Tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai 5 tahap ini, namun gambaran yang coba ditangkap oleh penulis adalah 5 generasi/keturunan satu klan, jika di asumsi 1 tahap/generasi adalah 100 tahun maka lamanya generasi ini adalah 500 tahun

[6] Meduro Kelam, adalah istilah lokal untuk menyebutkan Priode tanpa peradaban atau sering di sinonim dengan Jahilliah.

[7] Kadirman SH adalah ketua Badan Musyawarah Adat Kabupaten Rejang Lebong dan penyusun buku Rejang Ireak Cao

[8] Ada banyak pendapat mereka juga tinggal di dataran-dataran landai di sepanjang Danau Tes dan berpendapat sebagain besar masyarakat primitif Rejang hidup dan menetap di dalam gua-gua di wilayah Lebong yang sekarang seperti di Gua Kasam di Lebong Atas, dan sepertinya masyarakat komunanal yang berada di Jurukalang sampai saat tidak ada bukti-bukti yang menunjukan gua-gua di Jurukalang yang digunakan sebagai tempat tingal atau menetap. Serudung adalah sejenis pondok sederhana sampai saat ini masih banyak ditemui di wilayah Jurukalang biasanya ketidak akan membuka lahan perkebunan masyarakat membuat bangun ini.

[9] W.L. de Sturler, Proeve eener bechrijving van het gebied van Palembang. Groningen 1843 hal 6

[10] Hakim Benardie Sabri, www.metrobengkulu.com

[11] Nama-Nama ini diambil dari dokumentasi catatan Wak Usman Desa Talang Baru

Patang Stumang

oleh Erwin S Basrin

Patang setumang adalah pilosofi dalam sistem peradaban Rejang dalam mengaplikasi sistem komunal yang lebih besar atau sistem pertemanan yang lebih kecil, Patang dalam bahasan Rejang adalah larangan dengan beberapa konsekwensi ketika dilanggar, Setumang adalah berpisah, berpisah ini diterjemahkan secara holistik yang mencakup beberapa dimensi kehdupan dengan berbagai tahapan generasi.

Dalam sehari-hari pepatah ‘pet samo nuwang, mis samo muk’ adalah bagian turunan dari aplikasi Patang Setumang. Jika dilihat lebih jauh dalam sejarah Rejang Patang Setumang ini hampir sama tuanya dengan peradaban Rejang itu sendiri, Dari sistem komunal yang paternalistik, genelogis dan kepercayaan-kepercayaan lokal di Rejang banyak yang mengajari dan menjelaskan kesepakatan adat mengacu pada Patang Setumang, Kesepakatan adat antar 4 Ajai di Lebong Atas adalah awal yang mengclearkan sistem ini dalam bentuk kesepakatan tertulis dalam sejarah turun temurun dikenal dengan prosesi pemotongan Kerbau yang tanduknya diukir, jantung dan hatinya dimakan sebagai simbol kesepakatan tersebut jadi darah dan daging yang akan diturunkan ke generasi berikutnya tentunya melalui perkawinan yang eksogami, tujuannya adalah untuk menyebarkan ajaran Patang Setumang ini lebih luas.

Periode berikutnya dari Aplikasi Patang Setumang adalah kesepakatan yang dilakukan di Gua Kazam Lebong Atas yang lebih rigit menjelaskan bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan yang akan di sepakati oleh masinh-masinh komunitas Rejang di manapun berada, kesepakatan yang dilakukan ini antara lain disepakati So Samo Kamo Bamo…… sebuah bahasa penyederhanaan dari Patang Setumang, turunan-turunan bahasa Patang Setumang ini kemudian dalam komunitas yang lebih kecil seperti topos tunun puweng kutai donok tunun pelbeak adalah bentuk bahasa dan kesepakatan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh warga komunitasnya terutama di kampung-kampung.

Apakah kemudian Patang Setumang ini dalam kontek lebih besar berdampak pada sistem pembangunan komunitas maupun pada pembangunan nurani .? Lebong yang dikenal sebagai pusat dan tempat asal usul suku Rejang dalam sistem Administrasi pemerintahan mengunakan simbol Patang Setumang, tentunya ini membawa konsekwensi yang sangat besar bagi generasi yang saat ini mengunakan paslsafah ini maupun bagi generasi berikutnya , apakah Patang Setumang ini bisa diterjemahkan dalam sistem berkehidupan maupun relasi antar mereka dalam mengkonsolidasi kembagi komunitas-komunitas yang semakin tersebar dan mulai dirasuki globalisasi yang mendistori arti sistem lokal ini.

Dalam perjalanannya Patang Setumang ini hanya sebatas Slogan, namun nilai-nilai yang ada dalam Patang Setumang di tinggalkan dan ini pasti akan berdampak pada komunitas dan generasi berikutnya. Pengingkaran Sistem Patang Setumang ini karena deklarasinya ada tahapan yang terlupakan, misalnya apakah ini lahir dari kesepakatan adat atau memang lahir atas kepentingan politik yang jauh sekali dari nilai-nilai lokal yang mistik. Di Lebong saja sudah mulai mengakumulasi kekuasaan, modal dan penguasaan terhadap tanah-tanah sebagai alat produksi warga komunitas dan ini berakibat adanya ketimpangan sosial, budaya dan modal sehinga yang tampak adalah penguasa di satu sisi dan rakyat yang di tindas di sisi lain dan proses ini jauh sekali dari nilai-nilai Patang Setumang.

Akibat dari distosi pemahaman Patang Setumang dan Aplikasinya akan ada konsewensi secara psikologis misalnya masyarakat Rejang ‘patang merajuk, amen merajuk patang belek, patang mengiak amen mengiak munuak tun’ ini adalah ungkapan ketika terakumulasinya dari akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Patang Setumang, ada banyak pelajaran sebagai gejalah akan terjadinya dampak psikologis tersebut tanda-tanda alam dengan gagalnya panen, munculnya binatang liar di tengah-tengah pemukiman penduduk, dan stigma terhadap kelompok dan perorangan.

Tentunya bagi pegiat dan warga komunitas yang masih memegang teguh sistem lokal yang ada mari Patang Setumang ini kita jadikan sebagai proses konsolidasi ditengah merosotnya eksistensi komunitas Rejang dalam berbagai struktur kemasyarakatan, sistem budaya, sosial dan relasi dengan komunitas yang lebih besar.

Erwin S Basrin adalah Tuntopos

Ragam Hias pada Umeak Jang

Kajian Bentuk dan Makna Ragam Hias Berdasarkan Latar Belakang Sosial Budaya Suku Rejang di Rejang Lebong
Gustiyan Rachmadi, NIM.27099004
Ragam Hias pada Umek Jang : Kajian Bentuk dan Makna Ragam Hias Berdasarkan Latar Belakang Sosial Budaya Suku Rejang di Rejang Lebong

Penelitian ini secara umum untuk menggali nilai-nilai tradisi rumah tradisional Rejang dengan berusaha mengungkapkan konsepsi dan nilai-nilai budaya Rejang yang ada. Secara khusus : 1. Mengungkapkan makna simbolik yang ada dalam Ragam Hias; 2. Mendeskripsikan komponen pada rumah tradisional Rejang seperti : tiang, tangga, dinding, ruang dan atap; 3. Mendeskripsikan tata cara dan upacara dalam pembuatan sebuah rumah tradisional Rejang. Data dan informasi ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi budaya, seni dan teknologi guna mentransformasikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Penelitian ini adalah penelitian lapangan, dilakukan pada dua lokasi penelitian yakni : Gunung alam dan Muara Aman. Teknik pengumpulan datanya dilakukan melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kebudayaan, konsep kebudayaan merupakan faktor utama di dalam menempatkan permasalahan. Penelitian bersifat deskripsi dengan analisis pada pendekatan bentuk, sedangkan alat pengumpulan data dilakukan metode dokumentasi, observasi dan wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Sistem kepercayaan, sistem nilai, pengetahuan dan aturan, serta simbol yang dimiliki masyarakat Rejang mendasari konsepsi mengenai rumah tradisional, mulai dari aturan pembuatan, upacara, memilih bahan, penataan ruang sampai ke bentuk tiang; (2) Pada Ragam Hias yang menggambarkan manusia sangat erat kaitannya dengan kepercayaan suku Rejang yang percaya akan kekuatan roh nenek moyang, dan bentuk mengacu pada gaya primitif yang lebih mementingkan kepentingan sakral; (3) Ragam Hias tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada rumah memperlihatkan adanya pengaruh budaya Minang dan tidak diterapkannya beberapa motif makhluk hidup pada rumah Muara Aman, disebabkan pengaruh konteks budaya dalam ruang waktu yang berbeda; (4) Motif pada rumah tradisional Rejang merupakan tanda yang mengandung makna simbolik dari adat istiadat Rejang. Browse Rejang Lebong (Indonesia) google maps gazetteer. Browse the most comprehensive and up-to-date online directory of administrative regions in Indonesia. Regions are sorted in alphabetical order from level 1 to level 2 and eventually up to level 3 regions.
You are in Rejang Lebong (Bengkulu, Indonesia), administrative region of level 2. Continue further in the list below to get to the place you are interested in.
1. Airdingin
2. Embongpanjang
3. Kotadonok
4. Lebongsimpang
5. Lebongtandai
6. Lubuksumpit
7. Muaraaman
8. Muaramanderas
9. Rantaukermas
10. Renahalai
11. Rimbopengadang
12. Sukadatang
13. Tabahanyar
14. Tabahbaru
15. Talang Leak
16. Talangratu
17. Tambangsawah
18. Teis
19. Tes

Lebongsimpang Map — Satellite Images of Lebongsimpang
original name: Lebongsimpang
geographical location: Rejang Lebong, Bengkulu, Indonesia, Asia
geographical coordinates: 3° 20' 0" South, 102° 18' 0" East
detailed map of Lebongsimpang and near places
Welcome to the Lebongsimpang google satellite map! This place is situated in Rejang Lebong, Bengkulu, Indonesia, its geographical coordinates are 3° 20' 0" South, 102° 18' 0" East and its original name (with diacritics) is Lebongsimpang. See Lebongsimpang photos and images from satellite below, explore the aerial photographs of Lebongsimpang in Indonesia.

Profil Daerah Kabupaten Lebong

Statistik Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Lebong
Tahun
Statistik Penduduk 2004 2005
Jumlah Pria - 46,843 jiwa
Jumlah Wanita - 44,882 jiwa
Jumlah Total - 91,725 jiwa
Pertumbuhan Penduduk 0 %
Kepadatan Penduduk per km248.00

Profil Daerah Kabupaten Lebong
Profil Komoditi
Menampilkan 1 sampai 4 dari 4
No Sektor / Komoditi Unggulan / Tidak Deskripsi
1 Sekunder-Industri:Industri Kelapa Terpadu Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Kelapa (2,645.00 ton)
2 Sekunder-Industri:Industri Minyak Kelapa Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Kelapa (2,645.00 ton)
3 Sekunder-Industri:Industri Minyak Pacheoli Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Nilam (1,161.00 ton)
4 Sekunder-Industri:Industri Oleokimia Kelapa Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Kelapa (529.00 ton)

Sumber Data:
Penyusunan Peta Komoditas Unggulan Sektor Sekunder Dan Pengkajian Tersedianya Bahan Baku, Lokasi dan Faktor Pendukungnya Diwilayah Provinsi Thn 2006
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bappeda Kabupaten Pegunungan Bintang
Jl. Gatot Subroto No. 44 Jakarta
Telp 021-5252008
Updated: 31-1-2007

Pembangunan Jalan Dalam TNKS Wilayah Lebong
(Lembar Info WALHI Bengkulu: 2 Desember 2005)
Saat ini, telah dilakukan pembangunan jalan untuk jalur Desa Tapus, Kecamatan Rimbopengadang, menuju Desa Tes-kota Donok, Kabupaten Lebong, yang dilaksanakan mulai tanggal 23 September hingga 21 Desember 2005.
Pembangunan sarana transportasi, baik transportasi darat, perairan, maupun udara, merupakan sarana umum penting dan mendesak yang diperlukan oleh setiap daerah. Dengan tujuan untuk membuka keterisoliran, sehingga memudahkan terjadinya interaksi dari satu daerah ke daerah lain di sekitarnya.
Untuk transportasi darat, Propinsi Bengkulu pada tahun 2004 tercatat memiliki jalan nasional sepanjang 750,43 Km (11,72%) dan jalan propinsi 1.574,63 Km. Dalam upaya meningkatkan sarana transportasi darat yang ada, pemerintah propinsi dan kabupaten telah melakukan kegiatan perbaikan dan peningkatan kualitas jalan, bahkan dengan membangun jalur-jalur jalan yang baru. Untuk jalur antardesa, kecamatan, dan kabupaten dalam propinsi maupun jalur antarpropinsi.
Pada tahun 2005, ada beberapa rencana dan pembuatan jalan yang mendapat reaksi dan tanggapan dari berbagai pihak, misalnya, rencana pembuatan jalan penghubung Mukomuko Bengkulu – Kerinci Jambi dirancang sedemikian rupa dengan jalan terowongan bawah tanah yang membelah TNKS. Rencana pembuatan jalan Kabupaten Lebong ke Kabupaten Merangin, Jambi, dan Rupit, Sumatera Selatan.

Jalan di Kabupaten Lebong
Kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan ketetapan UU No. 39 Tahun 2003 merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. Kabupaten yang berbatasan dengan dua propinsi ini: Jambi dan Sumatera Selatan, memiliki luasan sekitar 192.924 ha dan sebagian besarnya merupakan daerah dengan kemiringan lebih dari 40%. Daerah dengan kemiringan >40% ini mencapai 121.209 ha atau 62,8%-nya.
Wilayah Kabupaten Lebong dilewati 2 sungai besar, Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat, yang mengalir ke Kabupaten Bengkulu Utara dan bermuara ke Samudera Hindia. Salah satu sungai yang telah dimanfaatkan adalah Sungai Ketahun sebagai pembangkit PLTA Tes yang dikelola oleh PLN dengan daya 17,2 MW.
Sungai-sungai kecil di Kabupaten Lebong merupakan DAS Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat. Pada saat ini, sungai-sungai kecil tersebut sebagian telah dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber irigasi dan air bersih. Data Kabupaten Lebong menunjukan luas persawahan yang telah dikelola saat ini seluas 12.856 ha yang tersebar di 5 kecamatan, selain untuk mengairi sawah air irigasi juga dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya ikan kolam dan air deras, tercatat pada tahun 2003 sektor ini mampu memproduksi ikan sebanyak 2.181 ton dengan luas total kolam 3.131 ha.
Mata pencaharian penduduk kabupaten ini sebagian besar merupakan petani, baik petani lahan menetap maupun petani lahan berpindah. Sedangkan sebagian penduduk lainnya sebagai PNS, TNI/Polri, dan buruh. Kepadatan penduduk kabupaten berpenghuni 103.997 jiwa ini sekitar 0,54 jiwa/Ha. Selintas kepadatan ini sangat kecil, namun kalau dibandingkan dengan lahan yang dapat dan diolah diluar 71%, yang merupakan kawasan hutan TN, CA, dan HL, maka kepadatan penduduk kabupaten ini mencapai 1,9 jiwa/ha.

Kontribusi TNKS bagi daerah
Kawasan taman nasional merupakan kawasan hutan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan, untuk menunjukkan nilai istimewanya, dunia menetapkan Taman Nasional sebagai warisan dunia. Taman nasional Kerinci Sebelat (TNKS) merupakan habitat satwa langka, daerah tangkapan air untuk ratusan sungai besar dan kecil di Pulau Sumatera bagian tengah, menjadi produsen oksigen dan filter polusi udara, dan banyak fungsi dan keistimewaan lain dari kawasan ini.
Sederet manfaat TNKS di mata dunia, namun di mata Pemerintah Daerah Lebong dan masyarakat, manfaat dari penetapan dan keberadaan TNKS sangat kecil. Keberadaan TNKS hanya mengurangi lahan budidaya, membatasi pemanfaatan kawasan hutan, bahkan ancaman pengusiran dan penjara bagi pandangan masyarakat awam.
Asisten 1 Kabupaten Lebong, Rahman Chandra, mengatakan bahwa keberadaan TNKS menjadi dilematis, berdasarkan fisik wilayah penetapan kawasan konservasi di Lebong merupakan keharusan, tetapi nilai tambah bagi kabupaten yang menjaga kawasan ini dapat dikatakan sangat kecil. Bantuan langsung ke pemerintah daerah yang ada hanya berbentuk pembuatan tanggul tebing, pembuatan bak air, dan GERHAN. Pemerintah daerah tidak dapat mengelola dan memanfaatkan kawasan, tidak dapat memetik hasil langsung dari kawasan hutan. Berbeda dengan daerah yang memiliki kawasan hutan produksi, selain menjaga, juga dapat memperoleh PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari kawasan hutan tersebut, seperti mengelola hasil hutan kayu dan non kayu.

Jalan Dalam TNKS
Bupati Lebong, Drs. Dalhadi Umar, melalui Dinas Kehutanan, Drs.Safuan Thoyib, sudah membicarakan rencana pembuatan jalan memotong TNKS dengan kepala Balai Taman Nasional Kerinci Sebelat, Ir. Suhartono. Kelanjutan dari pembicaraan dan upaya-upaya tersebut, saat ini telah dilakukan pembangunan jalan untuk jalur Desa Tapus, Kecamatan Rimbopengadang, menuju Desa Tes—Kotadonok, Kabupaten Lebong, yang dilaksanakan pada tanggal 23 September hingga 21 Desember 2005.
Menurut beberapa tokoh adat Tapus, mereka mendukung pembuatan jalan tersebut, namun yang seharusnya diutamakan pembangunan dan perbaikan jalan yang telah ada. Misalnya, jalan Desa Rimbo Pengadang ke Desa Tapus yang kondisinya telah rusak berat dan jalan menuju Desa Bandaragung yang belum dilakukan pengerasan.
Jalan tembus yang membelah TNKS ini melewati lokasi: Tapus, Talang Macan, Tanah putus, dan Turan Lalang. Volume jalan, panjang 12 Km dan lebar 8m dengan nilai kontrak Rp 1.242.168.000. Jalan tersebut lebih kurang sepanjang 8 Km, di antaranya dalam TNKS. Dengan kontraktor pembuatan jalan dilakukan oleh CV. ANDRI Bengkulu.
Selain jalur jalan tersebut rencana pembuatan jalan menembus TNKS lainnya adalah jalan tembus Desa Ketenong, Kecamatan Lebong Utara, menuju Kabupaten Meranging, Jambi, serta pembangunan jalan Desa Bandaragung, Kecamatan Rimbo Pengadang, menuju Kecamatan Rupit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Informasi yang diperoleh WALHI Bengkulu dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Lebong saat dengar pendapat (hearing) pada tanggal 1 Desember 2005, bahwa pembuatan jalan tersebut merupakan rencana yang telah diwacanakan sejak lama, bahkan sebelum pemekaran Kabupaten Lebong.
Mereka menyadari pembukaan jalan dalam TNKS tersebut bukan hal yang mudah, dalam arti harus mendapat izin dan memiliki kajian yang kuat tentang dampak negatif dan positif jika dibukanya jalan. Merujuk dari rencana penetapan Lebong sebagai kabupaten konservasi, tentu pengelolaan wilayah di kabupaten ini harus spesifik, terbatas, dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi, termasuk rencana pembuatan jalan ini.
Dalam dokumen Bentuk Penyusunan RTRW anggaran tahun 2005 disebutkan, dalam skenario I struktur ruang Kabupaten Lebong, perlu ditunjang oleh pembukaan akses jalan menuju ke arah lintas tengah Sumatera, tepatnya Propinsi Jambi. Dari jalur ini, diharapkan Kabupaten Lebong dapat mengambil manfaat sebagai pelintasan barang maupun manusia.
Dampak Kerusakan Hutan TNKS
Kajian fisik topografi wilayah Kabupaten Lebong tidak mendukung untuk pembukaan lahan, salah satunya kerena daerah yang memiliki kemiringan di atas 40% mencapai luas 121.209,8 Ha atau sekitar 69,8%. Dengan kondisi tersebut, pembukaan lahan harus dengan pertimbangan dan pola-pola konservasi pengelolaan terbatas. Jika pengelolaannya tidak dengan memperhatikan kondisi tersebut, maka erosi, bencana longsor, dan banjir akan terjadi.
Dengan dilakukannya pembukaan jalan dalam taman nasional ini, maka akses, dan tekanan aktivitas manusia terhadap kawasan akan sangat tinggi. Pembukaan lahan, penebangan liar dalam kawasan taman nasional semakin tidak terkendali.
Pembukaan kawasan ini akan mengakibatkan terjadinya dampak, seperti kerusakan habitat dan ekosistem, rusaknya daerah tangkapan air dan DAS, terjadi erosi, pendangkalan sungai, tidak stabilnya debit air, longsor, dan banjir.
Kontak:
Supintri Yohar [0813.7349.9788 / 0736-347.150].
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: liem
Email liem
Tanggal Buat: 02 Dec 2005 | Tanggal Update: 02 Dec 2005

Berendam Air Panas di Rejang Lebong


pariwisata

Selasa, 11 November 2008 | 12:22 WIB
Suban Air Panas yang terletak di Kabupaten Rejang Lebong, merupakan salah satu situ budaya yang juga menjadi obyek wisata andalan di daerah itu. "Kami menjadikan Suban Air Panas sebagai obyek wisata, tapi karena statusnya sebagai situ budaya maka kegiatan wisata tidak boleh mengganggu kondisi kawasan itu," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, Edi Nevian di Bengkulu, Senin (10/11).

Menurut dia, Suban Air Panas saat ini cukup ramai dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, termasuk dari Kabupaten Musirawas dan Kota Lubuklinggau (Sumsel).

"Para wisatawan banyak berkunjung ke lokasi itu, karena selain bisa menikmati keindahan alam yang sejuk juga bisa ’memanjakan’ diri dengan berendam di air panas," ujarnya.

Suban Air Panas merupakan kawasan pemandian alam yang bersumber dari mata air panas. Guna memberikan pelayanan bagi para wisatawan, pemerintah daerah telah membangun sarana penunjang di lokasi itu di antaranya kolam renang, tempat peristirahatan dan rekreasi keluarga.

Di kawasan ini juga terdapat dua buah air terjun yang mengalir dari bukit dengan ketinggian masing-masing 75 meter dan 50 meter. Air terjun ini juga merupakan sumber air alam pegunungan yang sejuk dan jernih serta sehat untuk mandi.

Tak jauh dari lokasi tersebut juga terdapat perkebunan stroberi milik masyarakat setempat dan obyek wisata Danau Mas Harun Bestari (DMHB) yang memberikan layanan wisata keliling danau menggunakan perahu dan motor boat.

"Panorama alam yang indah dan elok di sepanjang perjalanan menuju lokasi membuat pengalaman tersendiri bagi liburan keluarga yang indah," kata Edi Nevian.

Lokasi ini mudah dijangkau dan hanya 15 menit perjalanan atau enam kilometer dari kota Curup dan 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan roda empat atau sekitar 90 Km dari Bandara Fatmawati Kota Bengkulu.
"Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke lokasi itu sangat mudah, karena ada kendaraan angkutan umum dari Kota Bengkulu, yang siap mengantar setiap saat," ujarnya.
Menurut Edi, bagi wisatawan yang ingin membeli oleh-oleh khas Rejang Lebong juga banyak terdapat di sekitar kawasan itu, mulai dari sale, kacang dan marning (jagung goreng) serta jenis penganan lainnya.

Penangkaran Kacang Tanah PRIMATANI Rejang Lebong

Ditulis oleh Ahmad Damiri, Penyuluh Pertanian Muda BPTP Bengkulu
Monday, 13 October 2008
Kabupaten Rejang Lebong dikenal sebagai penghasil kacang tanah di Provinsi Bengkulu. Setiap pengunjung yang datang ke Kabupaten Rejang Lebong, pulangnya hampir selalu membeli oleh-oleh kacang tanah yang dikenal dengan sebutan "Kacang Curup", meskipun kenyataannya tidak semua "Kacang Curup" yang dijual menggunakan bahan baku dari Kabupaten Rejang Lebong. Kenyataan ini menjadikan perdagangan kacang tanah di Kabupaten Rejang Lebong cukup lancar. Tak heran jika
"Kacang Curup" sudah menjadi ikon Kabupaten Rejang Lebong. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang oleh-oleh yang ada di Curup, pada saat-saat kekurangan bahan baku, pedagang mencari kacang tanah dari kabupaten lain seperti Kabupaten Bengkulu Utara atau Bengkulu Selatan. Mengingat perdagangan kacang tanah di Kabupaten Rejang Lebong cukup lancar, usahatani kacang tanah menjadi peluang bisnis yang menggiurkan bagi petani. Namun demikian peluang tersebut tidak dapat ditangkap dengan baik di Kabupaten Rejang Lebong. Tidak terpenuhinya permintaan kacang tanah oleh petani Kabupaten Rejang Lebong karena produktifitas yang rendah yang dihasilkan oleh petani. Hasil diskusi dengan petugas lapang maupun petani setempat diketahui bahwa petani sudah biasa menanam kacang tanah, namun produksi yang dicapai relatif rendah yang diduga karena penggunaan bibit dari varietas lokal yang telah ditanam berulang-ulang. Menurut kepala BPTP Bengkulu Dr. Tri Sudaryono, varietas tanaman kacang tanah yang ditanam terus menerus akan mengalami penurunan daya hasil karena proses heterosis. Untuk itu perlu dilakukan pergantian varietas baru yang memiliki daya hasil tinggi. Menangkap peluang pasar kacang tanah yang cukup baik khususnya di Kabupaten Rejang Lebong, Gapoktan "Prima Usaha" Prima Tani Desa Air Bening Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong dengan bimbingan BPTP Bengkulu dan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong melakukan penangkaran bibit kacang tanah guna mendapatkan bibit kacang tanah yang pertumbuhan dan produksinya cukup baik. Produksi kacang tanah hasil penangkaran yang dipanen pada tanggal 4 Februari 2008 dibandingkan dengan produksi kacang tanah berdasarkan deskripsinya seperti terlihat pada tabel. Kacang tanah yang ditanam di lokasi Prima Tani Desa Air Bening Kabupaten Rejang Lebong berumur lebih panjang ± 10 hari bila Kepala BPTP Bengkulu (Dr. Ir.Tri Sudaryono, MS) dan Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab. Rejang Lebong (Ir. RosihanYT, M.Si) saat panen kacang tanah dibandingkan dengan deskripsinya. Umur yang lebih panjang ini karena lokasi penanaman terletak di dataran tinggi (1.000 — 1.100 m dpl) dengan iklim yang relatif dingin, sementara tanaman kacang tanah dapat dipanen lebih cepat bila ditanam di dataran rendah. Dampak yang diperoleh dari penangkaran kacang tanah yang telah dilakukan di desa Air Bening Kecamatan Bermani Ulu Raya bagi Prima Tani adalah meningkatnya jumlah petani yang menangkarkan kacang tanah dari seorang petani dengan luas lahan 0,3 ha menjadi 4 prang petani dengan luas lahan 1,0 ha. Bagi pemangku kepentingan di daerah seperti Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Rejang Lebong, dampak yang diperoleh berupa terbantunya pembinaan petani terutama petani kacang tanah dan rasa kebanggaan dengan keberhasilan tersebut yang ditunjukkan dengan dikoleksinya sampel masing-masing varietas kacang tanah yang ditangkarkan 0,25 kg. Koleksi ini digunakan sebagai bahan pameran bagi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Rejang Lebong. Dengan adanya penangkaran benih kacang tanah ini, efek ke Penyerahan benih kacang tanah hasil penangkaran oleh Kepala BPTP Bengkulu ke ketua Gapoktan. depan yang akan diharapkan terjadi yaitu, tersedianya benih kacang tanah yang dapat dijadikan sumber produksi kacang tanah bagi kota Curup yang dikenal dengan ikon kacang curupnya. Sebagai sumber teknologi, BPTP Bengkulu akan semakin dihargai keberadaannya. Sebagai contoh penghargaan kepada BPTP Bengkulu adalah diberikannya kesempatan Kepala BPTP Bengkulu untuk menyerahkan kacang tanah hasil penangkaran kepada ketua gapoktan Prima Usaha pada saat acara Bedah Kampung yang diadakan di desa tetanggga lokasi Prima Tani yaitu desa Babakan Baru Kecamatan Bermani Ulu Raya pada bulan Maret 2008. Acara bedah kampung itu sendiri diresmikan pelaksanaannya oleh Bupati Kabupaten Rejang Lebong Dr Suherman,

Kabupaten Rejang Lebong

Kabupaten Rejang Lebong adalah sebuah kabupaten di Provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.109,8 km² dan populasi 450.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Curup Terletak di pegunungan Bukit Besar. Penduduk asli terdiri dari suku Rejang dan suku Lembak. Suku Rejang mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi. Kabupaten Rejang Lebong memiliki 15 buah kecamatan yang masih dalam pengembangan. Sebelah utara berbatas dengan Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas, sebelah Selatan dengan kabupaten Kepahiang, sebelah timur berbatas dengan kabupaten Lebong dan propinsi Jambi, sedangkan sebelah barat berbatas dengan kabupaten Lahat. Ibukota kabupaten ini di Curup. Terletak 85 km dari kota Bengkulu. Mata pencarian penduduk adalah bertani, dagang, PNS dan lain-lain. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kopi, karet. Sedangkan palawija banyak ditanam di lereng gunung Kaba. Sebagian lagi merupakan petani pembuat aren/gula merah.

Kabupaten Konservasi

Kabupaten Lebong merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003, Kabupaten ini terletak di posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 6 Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).

Hutan Gundul di Rejang Lebong (RL)

41.313 Hektar HL Rejang Lebong (RL) Gundul
Rakyat Bengkulu 22 oktober 2003
Curup - Sejak sembilan bulan terakhir sebanyak 14 warga Rejang Lebong diduga
melakukan tindak pidana kehutanan berhasil digaruk oleh tim terpadu. Saat ini
para tersangka yang diduga menggarap HL atau TNKS itu sudah mendekam di LP
Curup. Ke - 14 warga itu masing-masing Usman, Takhiran, Yaumin, Adil Fitri, Mursalin, Burhan, Sahran, Indar, Wandi, Saip, Iskandar, Herlen Susanto, Roni,
Bahermansyah. Mereka digaruk saat menggarap HL dibeberapa lokasi HL dalam
Kecamatan Tebat Karai, Kepahyang dan Ujan Mas. Kadis Kehutanan dan Perkebunan RL
Chairil Burhan B.Sc melalui Kasubdin Keamanan dan Penyuluhan Ishak Efendi AM. SH
mengatakan saat ini ke- 14 warga itu perkaranya dalam proses penyelidikan untuk
diketahui " kata Ishak, Luas wilayah RL 410.980 Ha, 50 persen dari luas wilayah
itu merupakan hutan dengan fungsi lindung. "Saat ini sudah 1,96 persen habis
ditebang (illegal Logging, red) atau berkurang setiap tahun seluas 2.020 Ha,
"jelas Ishak Efendi, AM, SH didampingi PPNS kehutanan Herodin, SH kepada RB
kemarin". Papar Herodin luas Hutan Lindung RL tercatat 52.600 Ha, sementara
kawasan hutan wisata seluas 13.450 Ha. Hutan suaka alam seluas 3.022,5 Ha dan
cagar alam 11,7 Ha serta TNKS 137.063 Ha. " Saat ini fung si hutan lindung
seluas 206.190,43 Ha yang gundul alias dibabat masyarakat sudah 41.313 Ha,
artinya wilayah RL yang masih ada hutan hanya tersisa 164.862 Ha. Kita masih
kekurangan personil dan peralatan pendukung operasional. Idealnya untuk 25 - 100
Ha itu harus ada satu petugas kehutanan. Untuk menjaga 410.980 Ha hutan di RL
itu kita hanya mempunyai 40 personil. "makanya angka kerusakan hutan akibat
perambah itu terus meningkat", demikian kata Herodin, SH.