Senin, 01 Desember 2008

Mata Pilih di Kabupaten Lebong

Berdasarkan surat keputusan KPU Pusat No. 160/SK/KPU/2008, Padang Bano terdaftar sebagai pemilih di Lebong. Menurut informasi Ketua KPU Lebong Zamhari, SH berdasarkan surat bertanggal 16 Juli 2008 tersebut, Kecamatan Padang Bano bersama Lebong Utara dan Lebong Atas ditetapkan sebagai Daerah Pemilihan (DP) I, yang akan memilih 12 anggota DPRD Lebong. Sedangkan Kecamatan Rimbo Pengadang, Lebong Selatan,dan Lebong Tengah jumlah kuota kursi nya adalah 13.

Berdasarkan data tersebut, diketahui potensi pemilih di Kecamatan:
Padang Bano 4.462 orang pemilih terdiri dari 1.784 laki-laki dan 2.678 perempuan.
Lebong Utara 21.027 orang pemilih terdiri dari 9.902 laki-laki dan 11.125 perempuan.
Lebong Atas 5.584 orang pemilih terdiri dari 2.817 laki-laki dan 2.767 perempuan.
Lebong Tengah 10.911 orang pemilih terdiri dari 5.611 laki-laki dan 5.300 perempuan.
Lebong Selatan 16.583 orang pemilih terdiri dari 8.096 laki-laki dan 8.487 perempuan.
Rimbo Pengadang 7.993 orang pemilih terdiri dari 3.393 laki-laki dan 4.600 perempuan
Total pemilih di Kabupaten Lebong adalah 66.560 orang pemilih dengan jumlah laki-laki 31.603 orang, dan perempuan 34.957 orang. (dmi-RB, Selasa 29/07/08)

SELUPU LEBONG

PROPIL SINGKAT
Komunitas adat Selupu Lebong secara Administratif berada di Bagian Utara Lebong atau berada pada Kecamatan Lebong Atas yang memiliki 12 Desa Administratif, atau secara fisik berbatasan :
Bagian Utara : berbatatasan dengan Kecamatan Lebong Utara Kabupaten Lebong
Bagian Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Giri Mulya Kabupaten Bengkulu Utara
Bagian Timur: berbatasan dengan Kecamatan Lebong Tengah Kabupaten Lebong
Bagian Barat: berbatasan dengan Kecamatan Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara

DATA JUMAH PENDUDUK DESA
KECAMATAN LEBONG ATAS
BULAN APRIL 2006

NO NAMA DESA LK-LK PR JUMLAH
1 Taba baru 441 508 949
2 Taba baru I 453 427 880
3 Taba baru II 144 120 264
4 Desa Danau 411 467 878
5 Desa Atastebing 346 388 734
6 Desa Baru 192 194 386
7 Desa Suko Kayo 305 324 624
8 Desa Pelabi 339 380 719
9 Desa Kota Baru Santan 760 810 1.570
10 Desa Suka Datang 789 747 1.536
11 Desa Gunung Alam 338 354 692
12 Tanjung Agung 487 493 980
Jumlah Total 10. 212
Wilayah Selupu Lebong ini sering juga di sebut dengan wilayah Tubey, Selupu berasal dari kata bahasa Rejang kuno “berduyun-duyun” yang berarti bergerombolan, penamaan ini sebenarnya merupakan dari aktivitas anak suku di bawah pimpinan Biku/Bikau Sepanjang Jiwo yang mengantikan Ajai Malang pada ritual penebangan kayu Benuang Sakti. Dari aktivitas dalam prosesi inilah masing-masing anak suku yang ada di Lebong menamakan Marga atau kelembagaan adatnya, menurut DR.G.A.Wilken dalam Koloniale Tydsehrift Aguastus 1917 No 8 menyebutkan bahwa Marga berasal dari kata Sangkrit yang artinya sebuah kesatuan masyarakat yang berkumpul atas dasar memiliki asal usul secara turun temurun dan mempunyai aturan yang khas untuk mengatur tata kehidupannya (opperhoofd) dan wilayah adat. Setiap kumpulan/Marga ini dikepalai oleh sebelumnya dipimpin oleh seorang Ajai (Majai Pimpinan Clan) Kemudian di sebut Depati atau Pesirah/Sirah keterangan ini dapat ditemui dalam V.Maersden Historys of Sumatra 1764 dan Memorial Van Avergave Resident. Selupu adalah salah satu induk Marga Rejang Jhon Marsden (1757-1779) menyebutnya Seloppo. Dalam Memorial Van Over Gave dan Over Name Resident Ross Van Raads Hoven bahwa Marga Selupu Lebong ini berkedudukan di Plabai (berasal dari bahasa local yang berarti tempat).

Selain di Lebong terdapat juga kesatuan adat Selupu Rejang yang berkedudukan di Batu Lebar Kesambe Lama Kabupaten Rejang Lebong, hal tersebut dikarenakan pertambahan penduduk dan ekspansi masyarakat adat, tetapi ada beberapa kesepakatan yang di bangun ditingat komunitas bahwa dimanapun anak Marga Selupu Lebong mendirikan Marga maka harus dinamankan Selupu, tetapi Marga Merigi karena proses sejarah dan kasus maka penamaan marganya di namakan Merigi yang berasal dari kata Migai (ami igai atau tidak lagi). Dalam mengatur tata pergaulan antara manusia dalam pranata adat terkecil yang disebut Kutai masyarakat adat Selupu diikat dengan tata aturan yang disebut dengan adat rian ca’o merupakan adat yang dibangun atas kesepakatan dan kemudian secara lebih luas di sebut adat Beak Nyoa Pinang. Pada proses-proses sengketa Pidana dan Perdata penyelesaiannya lebih menonjolkan pendekatan musyawarah yang dilakukan oleh Ketua Sukau atau perwakilan clan/keluarga, sementara kepala adat hanya sebagai pengesah dari keputusan sidang adat. Selain peradilan adat Secara umum Masyarakat Adat Selupu Lebong mengenal adanya pembagian peruntukan lahan di wilayah adatnya yaitu areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), arel perladangan (disebut Talang) dan wilayah hutan (di sebut Imbo Piadan/Hutan yang dipelihara) wilayah hutan bagi masyarakat Selupu Lebong secara konseptual bukan saja sekedar tegaknya kayu melainkan satu kesatuan ekosistem yang terdiri dari tumbuhan, satwa, air, udara, tanah dan mineral serta manusia dan pranata sosialnya. Bahkan hutan bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi. Hutan bagi masyarakat Selupu Lebong pun memberi penegasan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas adat setempat.

Dalam melanjutkan kehidupannya. Mayarakat adat Selupu Lebong menanam padi, menanam tanaman perkebunan, memamfaatkan hasil hutan kayu-nonkayu, dan hasil-hasil sungai di wilayah adatnya. Pola seperti ini dimungkinkan karena sebagaian besar masyarakat Rejang Selupu Lebong tinggal di desa-desa di areal pemukiman dan berjauhan dari areal perladangan. Mereka menginap di ladang dan hanya kembali satu hari dalam satu atau dua minggu yaitu pada hari pasar desa (Masyarakat Selupu Lebong menyebutnya Peken). Dengan adanya pembagian peruntukan itu bisa dipahami bahwa wilayah adat masyarakat Rejang Selupu Lebong mempunyai wilayah sangat luas bahkan sebuah desa bisa memiliki wilayah sampai ribuan hektar. Pada masyarakat Rejang Selupu Lebong pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta tutun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (Pacang Balei-Balei, Kes Tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon Seluang Abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (Gais Pigai). Sayangnya hak pengolahan atas wilayah adat tersebut tidak dapat dibuktikan dengan batasan yang jelas apalagi sampai di akui oleh hukum formal, padahal dengan adanya batasan yang jelas dan terifikasi seperti peta keberadaan wilayah milik masyarakat adat dapat di mengerti dan di akui pihak lain.

Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, masyarakat Rejang Selupu Lebong mengelola dan memamfaatkan sumber daya alam sebaik-baiknya. Berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai Kiyeu Celako demikian jenis kearifan yang ada pada masyarakat Rejang Selupu Lebong hal ini merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam. Orang Rejang Selupu Lebong percaya bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas masih sering dilakukan seperti upacara di seputar tanaman padi (Mundang Biniak), membuka ladang (Mengeges, Kedurai), membangun rumah (Temje Bubung) dan lain-lain.

Orang Rejang Selupu Lebong juga mengenal sistim Begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah Bejenjang Kenek Betanggo Tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola Begilia diganti dengan pemilu. Di lain pihak upaya yang dilakukan golongan adat yang ingin mengembalikan hak-haknya tidak mendapat respon, akibatnya kaum adat menarik diri dari seluruh kegiatan baik pemerintah maupun sosial dan hanya melibatkan diri pada urusan keagamaan (perkawinan, kematian dan masjid).

Perambah Hutan di Rejang Lebong Akan Diberi Izin Kelola

SKITAR 5.000 Kepala Keluarga (KK) perambah hutan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, akan diberi izin kelola, guna meredam gejolak sosial, kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rejang Lebong, Ir. Chairil Burhan.
Pola pengusiran selama ini dinilai sudah tidak efektif dan kurang manusiawi, serta diharapkan dengan pola izin kelola akan berdampak positif bagi tingkat perekonomian masyarakat, ujarnya kepada ANTARA News di Bengkulu, Jumat.
Para perambah itu, kata dia, nantinya akan diberikan tanaman tajuk serba guna, sedangkan tanaman kopi mereka sekarang ini akan ditumpangsarikan dengan jenis tanaman benilai ekonomi, antara lain kemiri, durian, jengkol dan petai.
Sebelum tanaman kopi mereka berumur sepuluh tahun, menurut dia, tanaman tajuknya sudah mulai hidup, sehingga tepat pada usia peremajaan kopi, tanaman kemiri dan lainnya itu sudah menghasilkan.
Ia mengemukakan, rencana untuk memberikan izin kelola itu masih diproses, kemudian diusulkan ke Departmen Kehutanan untuk disetujui, sehingga antara perambah dan aparat tidak terjadi selalu kucing-kucingan, seperti selama ini.
Pola pengusiran selama ini, dinilainya, sudah tidak efektif, karena semakin banyak diusir makin bertambah pula jumlah perambah dan akan membuat kawasan hutan semakin kritis, terutama di Kabupaten Rejang Lebong yang sebagian besar berupa kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
Para perambah itu, dikatakannya, akan kembali didata secara rinci dan diberikan tanggungjawab untuk menjaga kawasan hutan lindung di sekitarnya secara tertulis, bila ternyata masih ada yang merambah atau ada perambah baru, perambah tersebut dikenakan
sanksi hukum sesuai perjanjian.
Kawasan hutan lindung di Kabupaten Rejang Lebong sampai saat ini yang sudah rusak sekitar 15 ribu hektare (ha), sedangkan luas kawasan hutan yang ada di wilayah itu seluruhnya tercatat 53.000 ha.
Dari luas kawasan hutan itu, ia mengemukakan, ada 22.000 ha berupa hutan lindung, 26.000 ha Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan hutan wisata tercatat 5.000 Ha, khusus hutan wisata terdapat di sekitar kawasan Bukit Kaba dan kondisnya saat ini sudah sangat memprihatinkan.
Kawasan hutan wisata itu sebagain besar dirambah masyarakat untuk ditanami sayur mayur, karena lokasinya sangat subur dan berada di lereng Bukit Kaba tersebut.

PENDATAAN DAN EVALUASI PEMANFAATAN BAHAN GALIAN PADA DAERAH BEKAS TAMBANG DAN WILAYAH PETI

Pendataan dan Evaluasi Pemanfaatan Bahan Galian Lebong Utara
Oleh: Zamri Tain
SUBDIT KONSERVASI
Tuesday, 21 June 2005 20:16
ABSTRACT

In order to perform mineral resources management to get optimum and sustainable benefit for society widely, Mineral usage evaluation and inventory in ex mining and illegal mining area at Lebong Utara, Lebong Sub-Province, Bengkulu Province was conducted. This activitiy was held by Conservation Team, Directorate of Mineral Resources Inventory Bandung.
In Lebong Utara, primary gold mining activities have taken place since Dutch colonization epoch. They conduct mining activities conventionally and these activities have been conducted hereditary. Processing was conducted by using “gelundung” and mercury as the gold catcher. There are 3 locations in Lebong Utara that become place to take and process gold an silver ores. Those areas are :Lebong Tambang, Tambang Sawah, and Ketenong upstream. In Lebong Tambang and Tambang Sawah, generally the minerworker still continuing take the ore from ore that found by Dutch colonist while in Ketenong upstream mining activities just newly conducted by mineworker since 1981. After checked by GPS, it is obvious that the area of illegal mining is in Kerinci Seblat National Park.
For some people in Lebong Utara District, gold mining activity is their main job. Farming itself is a side job. Therefore, government should policies about Land use based on natural resources they have considering that people have come to Kerinci Seblat National Park and illegally took its resources.

S A R I
Dalam rangka melaksanakan upaya pengelolaan bahan galian sumber daya mineral serta untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan bagi kepentingan masyarakat secara luas, telah dilakukan Pendataan dan Evaluasi Pemanfaatan Bahan Galian Pada daerah Bekas Tambang dan Wilayah PETI di daerah Lebong Utara, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Tim konservasi Sub Direktorat Konservasi Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral Bandung.
Di daerah Lebong Utara, penambangan emas primer telah berlangsung semenjak zaman penjajahan Belanda dan masih berlangsung hingga sekarang. Mereka melakukan penambangan secara konvensional dan telah dilakukan secara turun menurun. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan tromol/glundung serta air raksa sebagai penangkap emas. Di daerah Lebong Utara ini ada tiga (3) lokasi tempat pengambilan dan pengolahan bijih yang mengandung emas dan perak yaitu; daerah Lebong Tambang, daerah Tambang Sawah dan daerah hulu sungai Ketenong. Pada daerah Lebong Tambang dan Tambang Sawah yang terlebih dahulu ditambang, umumnya para penambang masih melanjutkan pengambilan bijih dari urat yang ditemukan oleh penjajah Belanda, sedangkan untuk daerah hulu sungai Ketenong baru ramai dikerjakan oleh para penambang semenjak tahun 1981 hingga sekarang. Setelah dilakukan pengecekan
memakai GPS, ternyata daerah yang dikerjakan oleh penambang ilegal tersebut telah masuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Bagi sebagian besar masyarakat di daerah Kecamatan Lebong Utara, pekerjaan penambangan emas merupakan pekerjaan utama untuk penghidupan sehari hari, pekerjaan pertanian sendiri merupakan pekerjaan sambilan bagi mereka. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan pengaturan mengenai kegunaan lahan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya alam yang dimiliki serta mengingat masyarakat telah masuk dan menyerbu kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat untuk mengambil hasil hutan, seperti kayu dan bahan galiannya.
1. PENDAHULUAN

Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan bahan galian perlu dilakukan penerapan konservasi bahan galian yang meliputi perumusan kebijakan konservasi, pemantauan cadangan, recovery penambangan dan pengolahan, serta pengawasan konservasi, sehingga tidak menyebabkan berbagai pemborosan atau penyia-nyiaan bahan galian diberbagai tahap kegiatan. Di samping itu, dalam pengelolaan sumber daya mineral juga perlu perumusan konservasi bahan galian untuk kepentingan penelitian, cagar alam geologi/ laboratorium alam dan cadangan bagi generasi yang akan datang.
Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral mempunyai suatu kegiatan pendataan dan evaluasi pemanfaatan bahan galian pada bekas tambang dan wilayah PETI di Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Daerah ini dikenal sejak zaman Belanda hingga sekarang sebagai daerah penghasil emas di Kabupaten Rejang Lebong.
Sejak 7 Januari tahun 2004 adanya pemekaran wilayah di lima kecamatan di Kabupaten Rejang Lebong, yaitu; Kecamatan Lebong Selatan, Kecamatan Lebong Tengah, Kecamatan Rimbo Pengadang, Kecamatan Lebong Utara dan Kecamatan Lebong Atas menjadi Kabupaten baru yaitu Kabupaten Lebong dengan Ibukota Kabupaten di Muara Aman, Provinsi Bengkulu.
Pada Proposal, daerah kerja Kecamatan Lebong Utara termasuk dalam Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Dengan adanya pemekaran maka di dalam laporan menjadi daerah Kabupaten Lebong ( kabupaten pemekaran), Provinsi Bengkulu.

1.1. Lokasi Daerah Kegiatan
Secara administratif daerah kegiatan pendataan merupakan wilayah Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, dengan kota terdekat adalah Curup dan Muara Aman (Gambar 1).

1.2. Ketersampaian Daerah
Pencapaian daerah kegiatan dapat dilakukan dengan cara : a) Perjalanan menggunakan pesawat terbang reguler Bandung – Jakarta – Bengkulu, yang dilanjutkan dengan kendaraan darat Bengkulu – Curup – Muara Aman -daerah kegiatan.
b) Perjalanan darat menggunakan kendaraan umum antar kota antar provinsi Bandung– Jakarta
c) Bengkulu kemudian dilanjutkan ke daerah kegiatan menggunakan kendaraan umum antar kota dalam provinsi.

2. GEOLOGI DAN MINERALISASI

2.1. Daerah Tambang Sawah dan Muara Aman
Secara umum geologi daerah Tambang Sawah dan Muara Aman, Provinsi Bengkulu termasuk pada busur magmatik Sunda – Banda yang berumur Miosen – Pliosen dan Cekungan Bengkulu (merupakan Busur Depan) berumur Tersier.
Dalam peta geologi daerah Tambang Sawah dan Muara Aman dengan skala 1:100.000 (Abdul Soleh dkk,. 1994) jenis batuan berumur Miosen Bawah sampai Holosen, berikut urutan dari satuan batuan berumur tua hingga batuan berumur muda (Gambar. 2).
a) Satuan andesit – tufa andesit; Satuan ini umumnya telah termalihkan dan terubah, penyebaran di air Kelumbuk sampai di daerah Tambang Sawah bagian tenggara. Sebagian batuan ini telah diterobos oleh urat kuarsa dengan ketebalan 3 cm – 1,50 meter (zone urat), arah jurus urat N 329 º E dengan kemiringan 65 º. Di bagian tempat tersingkap batuan andesit berwarna abu-abu kehitaman sampai kecoklatan berumur Oligo – Miosen dan termasuk ke dalam Formasi Hulu Simpang.
b) Satuan Napal bersisipan Batugamping; Secara umum didominasi oleh napal, berwarna abu-abu tua sampai kekuningan. Penyebaran terdapat pada hulu air Batuasam dan di Pondok Seng (anak Air Ketaun) di daerah barat daya. Satuan ini termasuk dalam Formasi Seblat jari menjari dengan dengan Formasi Hulu Simpang, berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal.
c) Satuan Dasit -Tufa Dasit penyebarannya antara lain hulu Air Silikat, hulu Air Semiup (barat daya Muara Aman) air Racun dan di bagian tengah Air Uram/Air Timok. Satuan ini berumur Miosen Tengah.
d) Satuan breksi polimik; terdiri dari batuan breksi dengan fragmen dan jenis batuan bervariasi, tersingkap pada Air Macak anak Air Ketaun. Satuan ini Satuan ini telah mengalami kloritisasi dan propilitisasi, mengandung pirit dan di beberapa tempat telah terpotong oleh urat kuarsa tipis. Umur satuan breksi polimik ini adalah Pliosen.
e) Satuan Lava Andesit; Satuan ini terdiri dari lava andesit ditemukan berupa bongkah – bongkah dan memberikan lapukan tanah berwarna coklat. Penyebaran satuan ini hanya pada air Uram. Berumur Plio- Plistosen.
f) Satuan Serpih ; Satuan ini terdiri dari serpih berselang selih dengan batu Lumpur dan tufa batuapung di bagian atasnya. Penyebaran satuan ini pada Air Ketaun bagian hilir dan barat daya Muara Aman. Satuan ini di beberapa tempat terdapat fragmen kayu terkersikan. Satuan ini berumur Plio-Plistosen.
g) Satuan gunungapi andesit – basal; satuan ini meliputi lava andesit, lava basal, tuf dan breksi gunungapi. Penyebarannya sangat luas meliputi Air Ketaun, Bukit Parunglupu dan Bukit Lakat. Satuan ini berumur Holosen Bawah atau Plistosen Atas dan bersumber dari Bukit Lumut.
h) Satuan Aluvial merupakan satuan termuda (Holosen) di daerah ini, menempati daerah pedataran dan pinggiran sungai besar seperti Air Ketaun. Umumnya daerah ini dijadikan daerah tempat tinggal dan persawahan penduduk.
Sedangkan batuan terobosan atau intrusi berupa batuan Dasit dan Granodiorit. Batuan Granodiorit ini tersingkap pada hulu Air Putih, hulu Air Uram dan Semiup, berumur Miosen Tengah. Untuk batuan Dasit hanya tersingkap pada Air Kelumbuk bagian hulu, berumur Miosen Atas.
Struktur umum yang dijumpai berupa sesar. Sesar ini merupakan bagian zone sesar Sumatera yang mengarah barat laut – tenggara. Adapun ciri-ciri nya berupa tebing – tebing dan lembah-lembah curam dan lurus, serta dapat dilihat dari kelurusan sungai dan sebagainya. Kadang–kadang terdapat zone batuan terbreksikan dan sumber mata air panas. Di daerah Air Putih sesar utama mengembang menjadi dua buah sesar yang hampir sejajar, dan satu lagi berarah Timur – Barat.
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pengaruh serta peranan larutan hidrothermal pada batuan-batuan seperti; andesit dan tuf, dasit–tufa dasit, breksi dan granodiorit jelas terlihat. Batuan ini merupakan lingkungan geologi yang cukup baik untuk tempat mineralisasi dari larutan hidrothermal temperatur rendah (epithermal mineralization system).
Pengaruh aktivitas larutan hidrothermal yang dijumpai antara lain;
a) Adanya sumber mata air panas di sepanjang Air Putih;
b) Dari beberapa singkapan dan batuan hanyutan (floot) mengandung larutan hidrothermal yang mengisi pola retakan atau rekahan antara lain urat-urat kuarsa; dan
c) Ditemukan batuan ubahan karena pengaruh larutan hidrothermal seperti; kloritisasi, propilitisasi, silisifikasi dan piritisasi.

Asosiasi mineral yang umum ditemukan pada batuan berupa mineral pirit, baik secara tersebar maupun secara pengisian rakahan/retakan. Di samping itu sering ditemukan variasi kuarsa seperti; kalsedon, agat atau silika sinter pada aliran sungai dan dekat lubang penggalian emas. Ini mendukung salah satu ciri khas asosiasi sistem mineralisasi epithermal (epithermal system).
Berdasarkan hasil pengamatan serta keadaan urat kuarsa, terlihat bahwa sistem urat kuarsa yang mengandung emas dan perak tersebut dikontrol oleh sesar, dan beberapa tempat urat berasosiasi dengan karbonat (rhodochrosite, mangan dan pirit) serta beberapa jenis kuarsa ditemukan dalam beberapa bentuk antara lain;
a) Breksi silika (porous) dengan bentuk tidak teratur / stock work.
b) Urat kuarsa padat dan berongga, biasanya disertai pirit.
c) Batuan dinding andesit yang terubah dengan urat-urat halus.

Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pengaruh serta peranan larutan hidrothermal pada batuan-batuan seperti; andesit dan tuf, dasit –tufa dasit, breksi dan granodiorit jelas terlihat. Batuan ini merupakan lingkungan geologi yang cukup baik untuk tempat mineralisasi dari larutan hidrothermal temperatur rendah.

2.2. Kondisi Pertambangan
Pertambangan emas didaerah Muara Aman ini telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda beberapa ratus tahun lalu. Kemudian dilanjutkan zaman setelah merdeka. Hal ini berlangsung sampai sekarang, dengan beberapa pasang surut dan ini terus berlangsung mengingat kehidupan sebagian besar rakyat pada daerah ini menggantungkan pada usaha pertambangan emas ini. Masyarakat beberapa desa malah menjadikan usaha pertanian sebagai usaha sampingan.
Menurut informasi, pada daerah Lebong Tambang rakyat telah mendapat izin sebagai penambang dengan dikeluarkanya WPR oleh Dinas terkait. Tetapi sebagian besar penambang di daerah Tambang Sawah dan daerah Hulu Ketenong umumnya merupakan penambang illegal atau dikenal juga sebagai PETI.
Jumlah penambang mengikuti naik atau turunnya harga emas di pasaran, kadang-kadang jumlah mereka bertambah dengan adanya masyarakat luar daerah datang untuk melakukan penambangan di sana. Perlu disyukuri bahwa walaupun mereka bercampur bermacam suku yang mengusahakan usaha tambang di daerah ini, belum pernah terjadi keributan, bentrokan dan pertengkaran antara mereka, mereka sangat menyadari bahwa usaha mereka membutuhkan kerjasama yang baik dan akan menghasilkan hasil yang baik pula untuk keluarga mereka. Hanya saja sering terjadi kecelakaan di lubang tambang atau hanyut karena banjir.
Menurut catatan dari pengawas hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) telah terjadi kecelakaan antara lain; Tahun 1998 terjadi kecelakaan meninggal sebanyak 5 orang karena hanyut dan tahun 2001 juga terjadi kecelakaan meninggal sebanyak 11 orang karena hanyut. Hal ini terjadi umumnya karena mereka membuat pondok dan tempat glundung di atas batuan yang ada pada batang sungai dan pada pinggiran sungai Ketenong.
Mineralisasi emas yang terdapat di daerah ini merupakan sistem urat/vein bersama kuarsa, maka penambangan dilakukan dengan menggali serta membuat lubang/terowongan menyusur sepanjang urat. Pengolahan dengan cara menumbuk dan glundung dengan sistem amalgamasi serta air raksa (Hg) dipakai sebagai penangkap emas sehingga menghasilkan bulion. Hasilnya dijual kepada penampung yang datang dari kota yang umumnya sudah memiliki jaringan saling menguntungkan.
Pembeli atau touke menyediakan bahan makanan, minuman serta kebutuhan harian dan air raksa di lokasi penambangan, kadang–kadang mereka berhutang terlebih dahulu. Kemudian nanti setelah hasil dan mendapatkan emas, baru hutang tersebut dipotongkan. Malah mereka seperti telah diijonkan oleh para touke tersebut. Itulah keadaan mereka sehingga mereka telah terjerat dan tidak lagi memiliki kesempatan untuk usaha lain, merubah nasib atau keluar dari lingkungan keterikatan tersebut
Pemerintah terkait perlu menangani para penambang ilegal ini, serta masyarakat sekitar daerah tambang untuk diberikan pengetahuan mengenai ; peraturan yang harus mereka patuhi, kewajiban serta bimbingan dan pengarahan agar mereka bisa berusaha dengan baik, tanpa ada keterikatan dengan para pengijon tersebut yang membuat mereka menjadi tidak menentu masa depannya.

4. PEMBAHASAN

Mineralisasi emas, perak, pirit dan sedikit tembaga ditemukan terutama pada Formasi Hulu Simpang yang ditafsirkan ada hubungan dengan batuan pluton diorit kuarsa tak tersingkap berumur Miosen yang menerobosnya (S.Gafoer, R Pardede, 1992). Untuk sumber daya dan cadangan logam emas di daerah ini belum ada data yang akurat mengingat daerah ini sejak lama (zaman penjajahan Belanda) telah diusahakan termasuk oleh rakyat hingga sekarang.
Di daerah Kecamatan Lebong Utara ini terdapat 3 (tiga) daerah tempat penambangan emas yang diusahakan oleh rakyat yaitu;
A. Daerah Lebong Tambang (bagian barat kota Muara Aman), pada daerah ini ada 7 (tujuh) buah lubang penggalian dengan dedalaman maksimum sampai 50 meter. Tetapi, sekarang ini hanya ada 3 (tiga) buah lubang masih aktif, yaitu;
a). Lubang Lapan (sisa buangan
kegiatan penambangan Belanda);
b). Lubang Kacamata; dan
c). Lubang Dalam (di daerah Saringan)

Mineralisasi di daerah ini tampak berupa urat-urat kwarsa dengan tebal beberapa mm sampai lebih 4 meter, menunjukan arah barat laut – tenggara dengan kemiringan 85, sedangkan di sekitarnya dapat diamati pola penyebaran urat kwarsa yang tidak beraturan disebut “network / stockwork” yang membawa emas dan perak. Tetapi, pada fragmen breksi kadang-kadang terdapat dalam kwarsa, atau juga kwarsa sendiri mengisi celah-celah antar fragmen breksi (Herman, Z.D dan Rusman,.1984).
Menurut pengukuran, panjang urat dimulai dari hulu sungai Racun hingga daerah Kamar Bola daerah sawah di lubang bekas buangan Belanda berjarak kurang lebih 380 meter, dilakukan penyontohan urat mengandung logam emas dan perak /termineralisasi pada 3 (tiga) titik lokasi / lubang untuk dilakukan analisis kadar pada batuan asli (LT/01 R, LT/03 R, LT/04 R).
Dari pendataan di lapangan didapatkan data sebagai berikut; jumlah penambang sebanyak 50 orang, alat pengolahan 65 buah glundung, para penambang umumnya berasal dari desa Lebong Tambang dan desa Loka Sari. Pengolahan umumnya mereka lakukan secara amalgamasi dengan air raksa sebagai penangkap emas dengan alat glundung pakai kincir air dan sebagian di daerah desa Loka Sari memakai dinamo/listrik sebagai penggerak. Umumnya mereka menghasilkan 0,50 gr sampai 1,0 gr emas/hari dengan kadar berkisar 10 sampai 50 %. Sehingga rata-rata penghasilan para penambang adalah Rp 12.500,-/glundung/hari.
Pengolahan tailing olah para penambang sebagian sudah memakai kolam penampung. Tetapi, sebagian besar masih membuang langsung ka dalam sungai. Untuk yang melakukan penampungan tailing, umumnya mereka melakukan proses ulang sampai dua kali. Sedangkan hasilnya dengan kadar emas seperti berikut; 1). 10 % dan ke 2). hanya 5 %.

B. Daerah Tambang Sawah merupakan daerah tempat pengolahan emas perusahaan Belanda yang ada di daerah Lebong Utara pada zaman penjajahan Belanda dahulu. Pada desa Tambang Sawah masih ada bekas bangunan untuk proses/pengolahan emas serta kolam penampungan sisa proses pengolahan tersebut. Saat ini kegiatan penambang rakyat masih berlangsung dengan mengambil urat/bijih pada daerah bekas galian zaman penjajah dahulu, dan sebagian mereka membuat lubang baru dan biasanya lubang tersebut dinamai sesuai dengan nama penemu lubang tersebut.
Di daerah Tambang Sawah ini dahulu ada 4 (empat) buah tempat untuk pengambilan urat/bijih tersebut yaitu : Daerah Lubang IV/Kompoy, Daerah Air Bambu, Daerah Air Payau dan Daerah Gunung Bubung.
Untuk daerah Air Bambu dan daerah Gunung Bubung saat ini tidak ada lagi kegiatan para penambang, sedangkan daerah Gunung Bubung telah temasuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pada daerah Gunung Bubung ini para penambang (terdiri dari 3 kelompok) baru mencoba-coba apakah daerah ini dapat menghasilkan seperti yang mereka harapkan. Tetapi, daerah ini ternyata tidak menghasilkan seperti informasi yang mereka dapatkan sebelumnya.
Pada saat pendataan dilakukan, para penambang mengambil bijih hanya pada dua (2) tempat yaitu: pada daerah Lubang IV/Kompoy dan daerah Air Payau. Hasil pendataan yang dilakukan oleh tim adalah sebagai berikut;
1. Daerah lubang IV/Kompoy; jumlah lubang yang aktif saat ini hanya ada 5 buah, kedalaman lubang berkisar 15 m sampai 20 m dan maksimal ada lubang yang mempunyai kedalaman sampai 100 meter. Jumlah penambang 20 orang dengan glundung 20 buah terdiri dari 8 kelompok. Pada daerah ini glundung yang mereka miliki berukuran relatif lebih besar yaitu berukuran 15 inci sedangkan di daerah lain umumnya 10 inci seperti yang ada didaerah Lebong Tambang dan daerah hulu Ketenong. Pengolahan umumnya dilakukan di pinggir sungai dan sisa pengolahan di buang ke dalam sungai. Hanya sedikit saja penambang yang mempunyai kolam penampungan dan biasanya mereka mengulangi proses tailing sampai 2 kali, sedangkan hasilnya hanya berkisar 5 % sampai 10 % saja.
2. Daerah Air Payau; pada daerah ini masih ada 3 buah lubang yang aktif dikerjakan oleh para penambang. Umumnya mereka melanjutkan lubang bekas Perusahaan Belanda dengan jumlah penambang 30 orang, jumlah kelompok 10 buah kelompok glundung dengan jumlah glundung 30 buah. Pada saat pendataan, sebanyak 22 buah glundung masih aktif, umumnya mereka melakukan proses pengolahan di sepanjang sungai Payau dan juga membuang hasil sisa pengolahan ke badan sungai. Umumnya di daerah Air Payau ini ukuran glundung yang mereka pergunakan juga berukuran besar yaitu dengan diameter 15 inci dengan kincir air sebagai penggerak glundung. Untuk daerah Air Bambu ada 3 buah glundung, yang aktif hanya 2 buah dengan batuan bijih yang diambil dari daerah Lubang Kompoy. Penambang berjumlah 3 orang saja.

C. Daerah Hulu Ketenung, daerah ini merupakan daerah paling ujung di utara dengan desa terdekat yaitu Desa Ketenong I. Lokasi pengambilan bijih dan pengolahan yang dilakukan oleh para penambang pada tempat sehingga menjadi perkampungan tambang hulu Ketenung.
Hasil pengecekan lokasi dengan mempergunakan GPS menunjukkan daerah pertambangan tersebut telah termasuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (lihat peta lokasi pada gambar 2).
Kegiatan PETI di daerah ini telah berlangsung sejak tahun 1981, dan pada tahun 1991-1992 penambang berjumlah mencapai (1.000) seribu orang. Tetapi, hasil pendataan yang dilakukan oleh tim konservasi pada bulan Agustus 2004 menunjukkan hasil sebagai berikut;
1. Jumlah lubang 13 buah, 6 buah masih aktif dikerjakan sampai saat ini dengan kedalaman maksimal 50 meter.(lubang Kamit, lubang Brewok, lubang Ijo, lubang Adi, lubang Her dan lubang Min).
2. Arah urat N 330-240E kemiringan urat 65 -70NW, tebal urat kuarsa 2 cm sampai 1,50 meter.
3. Panjang kampung sepanjang 700 m dengan jumlah pondok 42 buah /KK dengan jumlah glundung 80 buah terdapat dalam 23 buah titik.
4. Para penambang berasal dari Desa Ketenong I, juga para pendatang dari desa sekitar termasuk dari kota Muara Aman, dengan bermacam suku yaitu: suku Jawa/Jawa Barat, suku Rejang dan suku Minang.
5. Penghasilan tiap glundung berkisar 1 gram / hari dengan kadar 5-30 %, atau Rp 15.000 sampai Rp 30.000,-perhari.
6. Kejadian kecelakaan sering terjadi pada daerah kegiatan tambang illegal ini dan kecelakaan sampai mengakibatkan meninggal dunia. Seperti pada tahun 1998, meninggal dunia karena hanyut sebanyak 5 orang dan tahun 2001 juga meninggal dunia karena hanyut sebanyak 11 orang (informasi dari Kepala Resort Kehutanan TNKS di Pos Tambang Sawah).

Bahan galian lain yang juga terdapat pada daerah Lebong Utara ini terutama di Desa Loka Sari, daerah Air Putih adalah bahan galian non logam berupa; batu belah dan sirtu. Kedua bahan galian ini tidak diusahakan secara mekanik, tetapi diusahakan secara konvensional dengan alat sederhana. Hasilnya digunakan untuk pengerasan jalan dan bahan bangunan di sekitar lokasi terdapat bahan galian tersebut.


5. KESIMPULAN

1) Kegiatan penambangan emas rakyat yang dilakukan di daerah Kecamatan Lebong Utara terdapat pada 3 (tiga) desa yaitu; Desa Lebong Tambang, Desa Tambang Sawah dan Desa Ketenong I. Daerah Lebong Tambang dan daerah Tambang Sawah merupakan daerah penambangan emas yang berlangsung sejak zaman Belanda dan sampai sekarang kegiatan tersebut masih dilanjutkan rakyat .

2) Mengingat sebagian besar penduduk di desa Lebong Tambang dan desa Tambang Sawah serta desa Hulu Ketenong I merupakan pekerja tambang yang turun temurun dari kakek mereka dahulu, maka usaha pertanian oleh mereka dianggap sebagai kerja sambilan. Untuk itu, perlu penelitian lanjut untuk keberadaan emas didaerah ini dan diusahakan usaha pertambangan ini sebagai usaha yang legal dan terorganisasi baik, sehingga mudah mengontrol dan mengarahkan serta memberi bimbingan dalam usaha tersebut.

3) Perlu diberikan arahan dan bimbingan tentang pengolahan dan konservasi bahan galian, berupa bantuan teknik dan kursus- kursus kepada pejabat terkait serta para penambang rakyat agar optimalisasi serta efisiensi diperhatikan dalam mengelola bahan galian tambang yang ada di daerah Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu ini.

4) Daerah Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu baru diresmikan sejak 7 Januari 2004. Untuk menunjang kelangsungan serta keberadaan kabupaten ini perlu dukungan data dan sumber daya termasuk sumber daya mineral yang ada pada daerah ini, juga termasuk yang berada dalam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

5) Maka pemerintah daerah dapat mengusulkan agar sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat yang termasuk dalam daerah Kabupaten Lebong agar dipertimbangkan untuk bisa dikelola untuk membuka kemungkinan pemanfaatan bahan galian yang ada. Batas TNKS dirubah untuk kepentingan sumber pendapatan asli daerah. Mengingat sebagian besar mata pencarian dari masyarakat desa yang berdekatan dengan daerah terdapatnya urat tersebut adalah sebagai penambang turunan dari kakek-nenek mereka dahulu.

6) Perlu ditanamkan kepada para penambang tersebut bahwa; selama ini rasa solidaritas dan kesetiakawanan serta rasa saling menghormati di antara mereka harus terjaga betul, karena pada daerah lain diluar daerah Lebong ini sering terjadi bentrokan dan permusuhan dalam rangka perebutan lahan, sampai mereka ada yang meninggal ditempat lokasi pertambangan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Bimbingan Teknis, inventarisasi, eksplorasi dan evaluasi Sumber Daya Mineral dan batubara dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia di daerah, DIM, DJGSM, 2001

Bappeda Kab. Rejang Lebong,.2002. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

Danny Z.Herman dan Rusman., 1984. Laporan Pendahuluan Eksplorasi Mineral Logam Terperinci Tingkat I daerah Lebong Tambang, Muara Aman. Kecamatan Lebong Utara,
Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Provinsi Bengkulu,.2003. Laporan Kegiatan TP3 PETI Provinsi Bengkulu tahun 2002.

Kepmen. No 150/2001 dan No 1915/2001, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Kepmen. No. 1453 K/29/MEM/2000, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Konsep Pedoman Teknis Tata Cara Penetapan dan Pengawasan Sumber Daya dan Cadangan, DIM, DJGSM, 2001

Konsep Pedoman Teknis Tata Cara Pengawasan Recovery Penambangan dalam rangka Konservasi Bahan Galian, DIM, 2002
Operating Mines (CoW and KP), 1999, Asian Journal Mining, Indonesia Mineral Exploration and Mining, Directory 1999/2000.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Bahan Galian, DIM, DJGSM, 2001.
Sunarto, Tugas Konservasi Bahan Galian, DJPU, 1995.

S.Gafoer.,T.C. Amin dan R. Pardede.,1992. Geologi Lembar Bengkulu, Sumatera. Skala 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G).

Cara Masyarakat Memperoleh Air Tahun 2000

Cara Masyarakat Memperoleh Air Tahun 2000
Provinsi Bengkulu, Kabupaten Rejang Lebong, Kecamatan Lebong Utara
Desa Tahun 2000
Membeli Tidak Membeli
PELABI 0 1
KOTA BARU SANTAN 0 1
SUKA DATANG 0 1
TABA BARU DUA 0 1
SUKAKAYO 0 1
SUKA SERI 0 1
ATAS TEBING 0 1
TABA BARU 0 1
TABA BARU SATU 0 1
DANAU 0 1
GUNUNG ALAM 0 1
TANJUNG AGUNG 0 1
TALANG ULU 0 1
KAMPUNG MUARA AMAN 0 1
DUSUN MUARA AMAN 0 1
SUKA MARGA 0 1
PAYA EMBIK 0 1
MUARA KETAYU 0 1
TABA SEBERANG 0 1
GARUT 0 1
EMBONG 0 1
KOTA BARU 0 1
KOTA AGUNG 0 1
LIMAU 0 1
BENTANGUR 0 1
TALANG BUNUT 0 1
SUKARAJA 0 1
LEBONG DONOK 0 1
PASAR MUARA AMAN 0 1
KAMPUNG JAWA DALAM 0 1
GANDUNG 0 1
LOKASARI 0 1
LEBONG TAMBANG 0 1
KAMPUNG JAWA BARU 0 1
LADANG PALEMBANG 0 1
TUNGGANG 0 1
AIR KOPRAS 0 1
TAMBANG SAWAH 0 1
KETENONG SATU 0 1
KETENONG DUA 0 1
SEBELAT ULU 0 1
Jumlah 0 41

Minggu, 30 November 2008

Bdikar Anumtiko Ling Kricas

oleh Erwin S Basrin

Bdikar Anumtiko Ling Kricas, bukan sebuah nama tanpa arti atau serangkaian kata yang tak bermakna, Bdikar adalah penyebutan dalam Bahasa Rejang bagi seseorang yang mempunyai kekuatan batin dan darah juang yang mengutamakan keselamatan rakyat ‘PENDEKAR’ demikian jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Anumtiko adalah Gelar Bangsawan Rejang secara filosopis melindungi empat penjuru pintu dan melindungi rakyatnya di waktu-waktu yang dipercayai bisa membawa bencana bagi rakyatnya, Ling diambil dari singkatan dari Lingkaran dalam bahasa Indonesia sedangkan Kricas adalah penyebutan bagi orang Rejang agresif, lincah dan pintar. Jika dirangkai Bdikar Anumtiko Ling Kricas adalah Pendekar berdarah bangsawan yang berada di sekitar orang-orang yang pintar, agresif dan lincah.

Bdikar ini adalah seorang putra yang dilahirkan di Klinik Tiara Zella di pertengahan tahun 2005 yang merupakan buah cinta dari Erwin S Basrin dengan Susi Ekayanti. Dia dilahirkan ketika kedua orang tuanya tidak punya apa-apa buat masa depannya, tangisan pertamanya adalah tangisan pemberontakan dimana dominasi imprialisme, penetrasi kapital mulai merasuki sel-sel sosialisme komunal di mana mulai melakukan penghancuran stuktur-struktur sosial.

Tangisan pertamanya merupakan tangisan betapa susahnya kedua orang tuanya membeli susu yang merupakan produk kapital, harga pangan yang meningkat tajam, keluarganya dikampung selalu menjadi korban atas kepentingan kapital, politik sesaat dan korban atas nama pembangunan yang tentunya tidak diperuntukan oleh rakyat yang kelak di kemudian hari akan di pimpin oleh Bdikar Anumtiko Ling Kricas.

Ciuman pertama dari Ibunya adalah ciuman kasih dan restu untuk bergerak Lincah (Kricas) dalam membela atas penindasan, Ciuman pertama dari Neneknya adalah ciuman yang menandai bahwa hidup bukan berbanga atas kondisi leluhur tapi bagai mana berjuang mempertahankan sumber-sumber penghidupan rakyat, Air Susu pertama dari ibunya adalah sumber kekuatan dan kemurnian nurani untuk berjuang, Ciuman dari Kaka Sepupunya Reynaldi Ananda Qhibal Azhora adalah pertanda perjuangan tidak akan dilakukan oleh Bdikar sendiri tapi didukung penuh oleh keluarga dan sahabat.

Anakku selamat datang di Dunia nyata di sini banyak tipu, banyak daya, banyak intrik, pertentangan-pertentangan hadapi dengan kekuatan yang bernurani, jangan takut darah yang mengalir ditubuhmu adalah darah perjuangan yang bersumber dari unsur pembentuk bumi dan dari cinta murni kedua orang tuamu. Tegakkan kepalamu, usungkan dadamu, tatap mata mereka yang tak tunduk dengan mu sampai mereka bertekuk lutut, Sinar matamu adalah sinar Ulubalang 9, di dadamu ada Asma Allah, dan tubuhmu di lingkupi oleh sinar dan taburan kekuatan 4 dewa dari Mekedum Rajo Diwo dan 4 dewa penjaga Kutai Nated, Gelegar darahmu seperti derasnya sungai Ketahun yang mampu menembus gunung Karang di Muara Sulit.

Anakku kau tak perlu takut semua kekuatan yang ada di bumi dan di langit ada bersamamu jangan pernah jadi pencundang dan pastikan jika katamu tak bisa didengarkan hantam tanganmu karena disana ada kekuatan Rajo Tiak Ketiko yang bersumber dari kekuatan Petir dan mempunya daya hantam secepat kilat, mereka tidak akan mampu untuk mengelaknya. Anakku jangan takut dengan apapun di dunia ini kecuali kebenaran tetaplah tegak di sana, taburan restu dan karomah leluhurmu pasti bersamamu patikan mereka bangga padamu.

Bapak bangga atas adanya kamu…..

Jurukalang dalam Serpihan Catatan

Oleh Erwin S Basrin

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Rejang, ada yang menyakini bahwa suku ini bersasal dari Sumatera Bagian Utara, ada juga sebagai yang menyakini bahwa Rejang berasal dari Majapahit bahkan sebagai masyarakat meyakini bahwa sebagian besar berasal dari jazirah Arab. Mengenai asal usul Rejang sangat sedikit sekali literatur maupun hasil penelitian yang lebih lengkap tentang asal usul bangsa Rejang, namun dalam menyusun sejarah Adat Jurukalang yang merupakan kesatuan masyarakat komunal, AMARTA mencoba menyusun serpihan-serpihan cerita turun temurun yang kemudian mencoba untuk mengelaborasi dengan beberapa tulisan tentang Rejang.

Jurukalang dalam bahasa lokal disebut dengan Jekalang yang pada awalnya hanya terdiri dari 2 kutai atau dusun, dalam sejarah secara turun temurun kutai tersebut adalah Kutai Topos dan Kutai Teluk Diyen, kutai-kutai ini dikenal sejak zamannya pemerintahan Marga Jurukalang di bawah pimpinan Bikau Bembo, namun sebelum zaman Bikau Bembo yang memerintah Marga Jekalang ini diwilayah ini terdapat beberapa Kutai dibawah pimpinan Ajai Siang antara lain Kutai Pukua, Kutai Mawua, Kutai Menai, Kutai Sebayem dan Kutai Titik.

Jurukalang adalah salah satu Petulai dalam sejarah suku bangsa Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1]

Catatn-catatan lain tentang Kedudukan Jurukalang sebagai komunitas adat asli Rejang, dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya ole orang-orang di satu bang, harus diakui Rejang Lebong.[2]

Selain serpihan catatan, sejarah Jurukalang kebanyakan disampikan secara turun temurun, hampir tidak ada catatan yang ditulis oleh masyarakat lokal tentang Jurukalang, dari wawancara yang dilakukan kebanyakan menceritakan bahwa di Jurukalang sebelum ditempati oleh masyarakat yang mereka sebut ‘masyarakat beradat’ kebanyakan mereka mulai menceritakan sistem lokal yang diyakini, bahwa sebelum kejadian asal warga komunitas tersebut diwilayah ini terdapat beberapa manusia ‘dewa’ dan dalam bahasa lokal di sebut diwo-diwo yang berada di Istana Ninik Mekedum Rajo Diwo masing-masing mereka adalah Raden Serdang Lai, Raden Serdang Titik, Cito Layang, Puteri Emban Bulan, Puteri Serasa Dewa, Puteri Gading Cempaka dan Puteri Serindang Panan.[3]

Ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat, Perkembangan dari zamannya dewa-dewi ini kemudian banyak di ceritakan bahwa terdapat Manusia Setengah Dewa bagi masyarakat lokal Jurukalang di sebut dengan Diwo Tu’un Semidang, mereka yang lahir Tu’un Semidang umumnya tidak diketahui dari mana asal usul, di Jurukalang di yakini sebagai Diwo Tu’un Semidang adalah Anok Mecer, Bujang Tungea, Anok Dalam, Lemang Batu, Batu Idak Cene, Bujang Remalun, Semalim Angin atau Seliman Putih dan Burung Binang.[4]

Dari perkembangan Diwo Tu’un Semidang tidak diketahui secara pasti namun dari cerita-cerita rakyat (folklore) yang masih sangat dipercayai oleh warga komunitas Jurukalang bahwa pasca setelah Diwo Tu’un Semidang hidup masyarakat nomanden selama 5 tahap[5].

Ada beberapa bagian cerita pada tahap atau generasi ini dimana hidup masyarakat komunal dengan sistem ’meduro kelam’[6], yang dibagi menurut perkembangan generasi, generasi pertama biasa disebut dengan Jang Bikoa (Rejang Berekor) dari beberapa cerita yang coba disimpulkan oleh Team AMARTA Rejang Bikoa bukalah Rejang yang sedang mengalami evolusi biologis seperti teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera atau perubahan atas proses jangka waktu tertentu yang berarti perubahan sifat-sifat yang diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi Zaman Rejang Bikoa adalah penjelasan dari kondisi Evolusi Peradaban dan budaya masyarakat di masa tertentu, evolusi peradaban yang dimaksud adalah proses peralihan pengenalan sistem adat dari Meduro Kelam menjadi manusia yang mulai mengenal kearifan-kearifan tertentu dalam mengatur proses persingungan antar meraka, dengan alam maupun dengan kepercayaan tertentu, sedangkan penyebutan budaya masyarakat adalah kebiasaan sebuah komunitas tertentu dalam menyelesaikan sebuah perkara yang tak pernah berujung.

Zaman Segeak yang merupakan perkembangan dan penyebutan zaman Bikoa, dalam istilah lokal zaman ini hanya untuk menyebutkan pola-pola hidup mereka yang nomaden dan food gatering, kecenderungan masyarakat Rejang yang hidup di zaman ini adalah bermata pencaharian berburu dan mengumpulkan makanan, hidup berpindah-pindah, tinggal di gua-gua, dalam sejarah Rejang menurut Bapak Kadirman SH[7] ada kecenderungan yang besar masyarakat ini hidup dibawah permukaan tanah dia menyebutkan bahwa Gua Kazam yang terletak di Lebong Atas merupakan tempat hunian orang Rejang Zaman ini dan banyak ditemui peralatan-peralatan masyarakat di wilayah ini, alat-alat yang digunakan terbuat dari batu kali yang masih kasar, tulang-tulang dan tanduk rusa, dari cici-ciri yang ada kemungkinan zaman Segeak ini adalah zaman batu tua (Palaeolithikum) dan Zaman batu tengah (Mesolithikum). Belum ada sistem budidaya kebutuhan makanan sehingga semuanya diambil dari alam, atas kondisi ini kemudian banyak menyebutkan bahwa masyarakat yang hidup pada zaman pola food gatering ini memakan semua yang di anggap bukan makanan yang secara medis mengangu fisik mereka.

Perkembangan dari Zaman Segeak ini, masyarakat komunal mulai meninggalkan tradisi-tradisi Zaman Segeak, hidup relatif menetap dan mulai melakukan budidaya-budidaya pertanian sehingga zaman ini disebut dengan Rejang Saweak, saweak dalam bahasa Rejang adalah sawah (suatu tempat untuk bercocok tanam jenis padi). Mereka umumnya menetap disepanjang hulu sungai yang banyak terdapat di wilayah Jurukalang seperti Sungai Ketahun, Sungai Buah, Sungai Baloi, dari beberapa bukti yang ditingalkan pola pertanian mereka umumnya dengan membuat kolam-kolam besar di tengah-tengah hutan, mereka tidak tinggal di dalam gua, seperti masyarakat primitif lainnya karena diwilayah ini hampir tidak ditemukan gua-gua yang menunjukan sebagai tempat tinggal, umumnya mereka membuat pondok yang dikenal sebagai serudung untuk tempat tinggal.[8]

Perkembangan yang penting adalah Zaman Ajai, Ajai itu sendiri berasal dari kata majai yang berarti pimpinan suatu kumpulan komunitas tertentu, dalam sejarah Rejang terdapat 4 Ajai yang memerintah di wilayah Kutai Belek Tebo (wilayah Lebong Sekarang). Dari beberapa catatan WL De Sturler, pada zaman Ajai ini Lebong masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis, sekumpulan manusia pada zaman ini sudah hidup secara menetap merupakan satuan masyarakat komunal, belum ada kepemilikan pribadi pada zaman ini, semua yang ada merupakan hak bersama, pentinnya kepemimpinan Ajai ini sangat dihormati oleh masyarakat komunal namun Ajai dianggap sebagai anggota biasa dari masyarakat hanya saja diberi tugas dalam memimpin.[9]

Yang paling diketahui oleh masyarakat Jurukalang adalah Ajai Siang, namun ada kepercayaan bahwa bukan hanya Ajai Siang ini saja yang memimpin komunal yang dimaksud tetapi masih ada Ajai-Ajai lain yang hilang dari sejarah masyarakat Jurukalang. Namun yang terpenting ketika Ajai Siang ini memimpin di wilayah Rejang di datangi 4 orang bikau yang kemudian dipercayai memperbaharui peradaban di wilayah Rejang tentunya termasuk wilayah Jurukalang, terjadi perdebatan panjang tentang asal usul para bikau ini, sebagian menyakini bikau berasal dari majapahit dan sebagian besar meyakini berasal dari jazirah arab, dan sebagian ada yang meyakini dari China.

Argumen menyebutkan bahwa Rejang secara umum berasal dari china dibuktikan dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bangsa China telah datang ke wilayah ini sejak tahun 225-216 SM atau 147–138 tahun saka, mereka umumnya berasal dari negeri Hyunan (China daratan), dengan bahasa Mon. Bahasa inilah yang menyebar keberbagai negeri di Thailand, Birma, Kamboya dan sebagian Korea, dan pertama kali mendirikan negeri bernama Lu-Shiangshe yang berarti sungai kejayaan atau sungai yang memberi kehidupan/harapan atau sungai emas, yang penduduknya disebut dengan sebutan Rha-hyang atau Ra-Hyang atau Re-Hyang atau Re-jang, sebuah tempat yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatera, pembuktian ini kemudian diperkuat Suatu hal yang menarik adalah ditemukannya mata uang China (Numismatic) yang bertuliskan Chien Ma berangka tahun 421 Masehi di Bengkulu Utara (Pulau Enggano). Mata uang yang Sama juga ditemukan di Criviyaya atau Criwiyaya (Baca: Palembang) dan di Tarumanagara (Baca: Jakarta). Dari kata CHIEN MA inilah muncul kata Cha-Chien (Caci=uang dalam bahasa Rejang).[10]

Sementara dari sejarah yang coba disusun oleh penulis yang disadur dari cerita secara turun temurun bahwa komunitas Jurukalang khususnya Bikau Bembo dan keturunanya berasal dari Jasirah Arab, salah satu bukti yang sampai saat ini masih terjaga dengan baik di Jurukalang adalah Pedang yang bertulisan arab, pedang ini dipercayai milik dan peningalan oleh Bikau Bembo yang di pelihara oleh keluarga ahli waris yang tinggal di Desa Talang Baru. Dari sejarah yang didapati dari ninik mamak bahwa Bikau Bembo berasal dari Istambul dan merupakan anak dari Zulkarnaene, apakah ada hubungan dengan Alexander Agung (Alexander the Great) yang merupakan anak kepada Maharaja Philip II dari Macedonia yang ibunya berasal dari surga yang boleh jadi adalah Puteri Olympias dari Epirus, akan sangat dini jika disebut ada hubungan dengan Alexander the Great dan Puteri Olympias dari Epirus, biasanya sejarah yang diturunkan secara turun temurun dalam prosesnya ada bagian yang tidak boleh di publish tanpa alasan yang jelas dan ada transfer pengetahuan yang tidak sempurna maupun dipengaruhi oleh pola pikir dan pengaruh eksternal bagi orang yang menerima cerita tersebut.

Dalam cerita yang percayai di Jurukalang Bukau Bembo yang menikah dengan salah satu Puteri Ajai Siang yang bergelar Ajai Bijar Sakti yang bernama Dayang Regiak, dari perkawinan ini melahirkan 7 orang putra yang semuanya lahir di Jurukalang masing-masing putra tersebut adalah;

1. Rio Menaen
2. Rio Taen
3. Rio Tebuen
4. Rio Apai
5. Rio Mangok
6. Rio Penitis
7. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang

Yang terakhir dipercayai sebagai jelmaan dari kedua orang tuanya, dalam proses kelahiranya diceritakan bahwa kedua orang tuanya berkeinginan untuk mencukupi anaknya menjadi 7 orang sehingga kedua orang tuanya (Bikau Bembo dan Dayang Regiak) melakukan pertapaan dan meminta kekuatan para dewa, pada hari ke 7 ritual tersebut Bikau Bembo dan isterinya Dayang Regiak hilang, Raib dalam bahasa lokal tempat Raib/hilangnya Bikau Bembo ini saat dikenal dengan Keramat Topos, namun tiba-tiba di lokasi ritual tersebut ada seorang bayi yang kuku tangannya panjang sampai ke siku sehingga di sebut Rio Satangai Panjang.

Ke tujuh anak Bikau Bembo ini kemudian menyebar di wilayah Rejang yang sekarang, Rio Menaen membentuk Kutai di Teluk Diyen, Rio Taen berkedudukan di Kutai Donok (Kota Donok sekarang), Rio Tebuen kemudian membentuk di Komunitas Jurukalang di Lubuk Puding di perbatasan Bengkulu dengan Sumatera Selatan, Rio Apai di Talang Useu Lais kemudian disebut Rejang Pesisir begitu juga dengan Rion Mangok membentuk komunitas Jurukalang di Gading Pagar Jati, sedangkan Rio Penitis membentuk Komunitas Jurukalang di Musi, hanya Rio Setangai Panjang yang berkedudukan dan meneruskan kepemimpinan di Tapus Jurukalang.

Sampai saat ini dokumentasi yang masih di ingat oleh tua-tua di Jurukalang, dari generasi Bikau memimpin kelembagaan Petulai Jurukalang sampai dibubarkannya marga akibat kebijakan sentralis negara melalui UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Petulai Jurukalang dipimpin 19 Generasi Kepala Persekutuan, ke 17 orang yang dimaksud adalah;[11]

1. Bikau Bembo

2. Rio Taen

3. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang

4. Rio Tado

5. Depati Singo

6. Depati Sugon

7. Depati Kulon

8. Sipan

9. Rajo Sediwo

10. Djike

11. Salam

12. Terusan

13. Ratu Salam

14. Sijar

15. Ali Asar

16. Ali Kera

17. Abdul Muin

18. Gulam Ahmad

19. Sabirin Wahid

Rio Setangai Panjang hanya mempunyai 6 orang putra putra yang ke semuanya berkedudukan di Tapus sebagai pusat kedudukan Marga Jurukalang, masing-masing putra putri tersebut adalah Mangkau Bumai, Temengung, Dayang Regini, Dayang Reginang, Malim Rajo dan Pedito Rajo. Kebiasaan di Jurukalang yang meneruskan kepemimpinan Marga adalah Putra tertua dari generasi sebelumnya dan kemudian diberi gelar Depati atau Pesirah, ketika pemerintahan Belanda baru kemudian ada proses demokratisasi dalam pemilihan kepemimpinan.

[1] W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178

[2] Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal 18

[3] Cerita ini kebanyakan di ceritakan di Desa Tapus oleh Bapak Salim Senawar

[4] Diwo Tu’un Semidang atau tun semidang adalah penyebutan dalam bahasa rejang Jurukalang dimana ada kesulitan untuk menyebukan asal-usul seseorang secara pasti

[5] Tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai 5 tahap ini, namun gambaran yang coba ditangkap oleh penulis adalah 5 generasi/keturunan satu klan, jika di asumsi 1 tahap/generasi adalah 100 tahun maka lamanya generasi ini adalah 500 tahun

[6] Meduro Kelam, adalah istilah lokal untuk menyebutkan Priode tanpa peradaban atau sering di sinonim dengan Jahilliah.

[7] Kadirman SH adalah ketua Badan Musyawarah Adat Kabupaten Rejang Lebong dan penyusun buku Rejang Ireak Cao

[8] Ada banyak pendapat mereka juga tinggal di dataran-dataran landai di sepanjang Danau Tes dan berpendapat sebagain besar masyarakat primitif Rejang hidup dan menetap di dalam gua-gua di wilayah Lebong yang sekarang seperti di Gua Kasam di Lebong Atas, dan sepertinya masyarakat komunanal yang berada di Jurukalang sampai saat tidak ada bukti-bukti yang menunjukan gua-gua di Jurukalang yang digunakan sebagai tempat tingal atau menetap. Serudung adalah sejenis pondok sederhana sampai saat ini masih banyak ditemui di wilayah Jurukalang biasanya ketidak akan membuka lahan perkebunan masyarakat membuat bangun ini.

[9] W.L. de Sturler, Proeve eener bechrijving van het gebied van Palembang. Groningen 1843 hal 6

[10] Hakim Benardie Sabri, www.metrobengkulu.com

[11] Nama-Nama ini diambil dari dokumentasi catatan Wak Usman Desa Talang Baru

Patang Stumang

oleh Erwin S Basrin

Patang setumang adalah pilosofi dalam sistem peradaban Rejang dalam mengaplikasi sistem komunal yang lebih besar atau sistem pertemanan yang lebih kecil, Patang dalam bahasan Rejang adalah larangan dengan beberapa konsekwensi ketika dilanggar, Setumang adalah berpisah, berpisah ini diterjemahkan secara holistik yang mencakup beberapa dimensi kehdupan dengan berbagai tahapan generasi.

Dalam sehari-hari pepatah ‘pet samo nuwang, mis samo muk’ adalah bagian turunan dari aplikasi Patang Setumang. Jika dilihat lebih jauh dalam sejarah Rejang Patang Setumang ini hampir sama tuanya dengan peradaban Rejang itu sendiri, Dari sistem komunal yang paternalistik, genelogis dan kepercayaan-kepercayaan lokal di Rejang banyak yang mengajari dan menjelaskan kesepakatan adat mengacu pada Patang Setumang, Kesepakatan adat antar 4 Ajai di Lebong Atas adalah awal yang mengclearkan sistem ini dalam bentuk kesepakatan tertulis dalam sejarah turun temurun dikenal dengan prosesi pemotongan Kerbau yang tanduknya diukir, jantung dan hatinya dimakan sebagai simbol kesepakatan tersebut jadi darah dan daging yang akan diturunkan ke generasi berikutnya tentunya melalui perkawinan yang eksogami, tujuannya adalah untuk menyebarkan ajaran Patang Setumang ini lebih luas.

Periode berikutnya dari Aplikasi Patang Setumang adalah kesepakatan yang dilakukan di Gua Kazam Lebong Atas yang lebih rigit menjelaskan bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan yang akan di sepakati oleh masinh-masinh komunitas Rejang di manapun berada, kesepakatan yang dilakukan ini antara lain disepakati So Samo Kamo Bamo…… sebuah bahasa penyederhanaan dari Patang Setumang, turunan-turunan bahasa Patang Setumang ini kemudian dalam komunitas yang lebih kecil seperti topos tunun puweng kutai donok tunun pelbeak adalah bentuk bahasa dan kesepakatan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh warga komunitasnya terutama di kampung-kampung.

Apakah kemudian Patang Setumang ini dalam kontek lebih besar berdampak pada sistem pembangunan komunitas maupun pada pembangunan nurani .? Lebong yang dikenal sebagai pusat dan tempat asal usul suku Rejang dalam sistem Administrasi pemerintahan mengunakan simbol Patang Setumang, tentunya ini membawa konsekwensi yang sangat besar bagi generasi yang saat ini mengunakan paslsafah ini maupun bagi generasi berikutnya , apakah Patang Setumang ini bisa diterjemahkan dalam sistem berkehidupan maupun relasi antar mereka dalam mengkonsolidasi kembagi komunitas-komunitas yang semakin tersebar dan mulai dirasuki globalisasi yang mendistori arti sistem lokal ini.

Dalam perjalanannya Patang Setumang ini hanya sebatas Slogan, namun nilai-nilai yang ada dalam Patang Setumang di tinggalkan dan ini pasti akan berdampak pada komunitas dan generasi berikutnya. Pengingkaran Sistem Patang Setumang ini karena deklarasinya ada tahapan yang terlupakan, misalnya apakah ini lahir dari kesepakatan adat atau memang lahir atas kepentingan politik yang jauh sekali dari nilai-nilai lokal yang mistik. Di Lebong saja sudah mulai mengakumulasi kekuasaan, modal dan penguasaan terhadap tanah-tanah sebagai alat produksi warga komunitas dan ini berakibat adanya ketimpangan sosial, budaya dan modal sehinga yang tampak adalah penguasa di satu sisi dan rakyat yang di tindas di sisi lain dan proses ini jauh sekali dari nilai-nilai Patang Setumang.

Akibat dari distosi pemahaman Patang Setumang dan Aplikasinya akan ada konsewensi secara psikologis misalnya masyarakat Rejang ‘patang merajuk, amen merajuk patang belek, patang mengiak amen mengiak munuak tun’ ini adalah ungkapan ketika terakumulasinya dari akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Patang Setumang, ada banyak pelajaran sebagai gejalah akan terjadinya dampak psikologis tersebut tanda-tanda alam dengan gagalnya panen, munculnya binatang liar di tengah-tengah pemukiman penduduk, dan stigma terhadap kelompok dan perorangan.

Tentunya bagi pegiat dan warga komunitas yang masih memegang teguh sistem lokal yang ada mari Patang Setumang ini kita jadikan sebagai proses konsolidasi ditengah merosotnya eksistensi komunitas Rejang dalam berbagai struktur kemasyarakatan, sistem budaya, sosial dan relasi dengan komunitas yang lebih besar.

Erwin S Basrin adalah Tuntopos

Ragam Hias pada Umeak Jang

Kajian Bentuk dan Makna Ragam Hias Berdasarkan Latar Belakang Sosial Budaya Suku Rejang di Rejang Lebong
Gustiyan Rachmadi, NIM.27099004
Ragam Hias pada Umek Jang : Kajian Bentuk dan Makna Ragam Hias Berdasarkan Latar Belakang Sosial Budaya Suku Rejang di Rejang Lebong

Penelitian ini secara umum untuk menggali nilai-nilai tradisi rumah tradisional Rejang dengan berusaha mengungkapkan konsepsi dan nilai-nilai budaya Rejang yang ada. Secara khusus : 1. Mengungkapkan makna simbolik yang ada dalam Ragam Hias; 2. Mendeskripsikan komponen pada rumah tradisional Rejang seperti : tiang, tangga, dinding, ruang dan atap; 3. Mendeskripsikan tata cara dan upacara dalam pembuatan sebuah rumah tradisional Rejang. Data dan informasi ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi budaya, seni dan teknologi guna mentransformasikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Penelitian ini adalah penelitian lapangan, dilakukan pada dua lokasi penelitian yakni : Gunung alam dan Muara Aman. Teknik pengumpulan datanya dilakukan melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kebudayaan, konsep kebudayaan merupakan faktor utama di dalam menempatkan permasalahan. Penelitian bersifat deskripsi dengan analisis pada pendekatan bentuk, sedangkan alat pengumpulan data dilakukan metode dokumentasi, observasi dan wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Sistem kepercayaan, sistem nilai, pengetahuan dan aturan, serta simbol yang dimiliki masyarakat Rejang mendasari konsepsi mengenai rumah tradisional, mulai dari aturan pembuatan, upacara, memilih bahan, penataan ruang sampai ke bentuk tiang; (2) Pada Ragam Hias yang menggambarkan manusia sangat erat kaitannya dengan kepercayaan suku Rejang yang percaya akan kekuatan roh nenek moyang, dan bentuk mengacu pada gaya primitif yang lebih mementingkan kepentingan sakral; (3) Ragam Hias tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada rumah memperlihatkan adanya pengaruh budaya Minang dan tidak diterapkannya beberapa motif makhluk hidup pada rumah Muara Aman, disebabkan pengaruh konteks budaya dalam ruang waktu yang berbeda; (4) Motif pada rumah tradisional Rejang merupakan tanda yang mengandung makna simbolik dari adat istiadat Rejang. Browse Rejang Lebong (Indonesia) google maps gazetteer. Browse the most comprehensive and up-to-date online directory of administrative regions in Indonesia. Regions are sorted in alphabetical order from level 1 to level 2 and eventually up to level 3 regions.
You are in Rejang Lebong (Bengkulu, Indonesia), administrative region of level 2. Continue further in the list below to get to the place you are interested in.
1. Airdingin
2. Embongpanjang
3. Kotadonok
4. Lebongsimpang
5. Lebongtandai
6. Lubuksumpit
7. Muaraaman
8. Muaramanderas
9. Rantaukermas
10. Renahalai
11. Rimbopengadang
12. Sukadatang
13. Tabahanyar
14. Tabahbaru
15. Talang Leak
16. Talangratu
17. Tambangsawah
18. Teis
19. Tes

Lebongsimpang Map — Satellite Images of Lebongsimpang
original name: Lebongsimpang
geographical location: Rejang Lebong, Bengkulu, Indonesia, Asia
geographical coordinates: 3° 20' 0" South, 102° 18' 0" East
detailed map of Lebongsimpang and near places
Welcome to the Lebongsimpang google satellite map! This place is situated in Rejang Lebong, Bengkulu, Indonesia, its geographical coordinates are 3° 20' 0" South, 102° 18' 0" East and its original name (with diacritics) is Lebongsimpang. See Lebongsimpang photos and images from satellite below, explore the aerial photographs of Lebongsimpang in Indonesia.

Profil Daerah Kabupaten Lebong

Statistik Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Lebong
Tahun
Statistik Penduduk 2004 2005
Jumlah Pria - 46,843 jiwa
Jumlah Wanita - 44,882 jiwa
Jumlah Total - 91,725 jiwa
Pertumbuhan Penduduk 0 %
Kepadatan Penduduk per km248.00

Profil Daerah Kabupaten Lebong
Profil Komoditi
Menampilkan 1 sampai 4 dari 4
No Sektor / Komoditi Unggulan / Tidak Deskripsi
1 Sekunder-Industri:Industri Kelapa Terpadu Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Kelapa (2,645.00 ton)
2 Sekunder-Industri:Industri Minyak Kelapa Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Kelapa (2,645.00 ton)
3 Sekunder-Industri:Industri Minyak Pacheoli Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Nilam (1,161.00 ton)
4 Sekunder-Industri:Industri Oleokimia Kelapa Unggulan
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Untuk Kom. Sekunder Tersier) Kelapa (529.00 ton)

Sumber Data:
Penyusunan Peta Komoditas Unggulan Sektor Sekunder Dan Pengkajian Tersedianya Bahan Baku, Lokasi dan Faktor Pendukungnya Diwilayah Provinsi Thn 2006
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bappeda Kabupaten Pegunungan Bintang
Jl. Gatot Subroto No. 44 Jakarta
Telp 021-5252008
Updated: 31-1-2007

Pembangunan Jalan Dalam TNKS Wilayah Lebong
(Lembar Info WALHI Bengkulu: 2 Desember 2005)
Saat ini, telah dilakukan pembangunan jalan untuk jalur Desa Tapus, Kecamatan Rimbopengadang, menuju Desa Tes-kota Donok, Kabupaten Lebong, yang dilaksanakan mulai tanggal 23 September hingga 21 Desember 2005.
Pembangunan sarana transportasi, baik transportasi darat, perairan, maupun udara, merupakan sarana umum penting dan mendesak yang diperlukan oleh setiap daerah. Dengan tujuan untuk membuka keterisoliran, sehingga memudahkan terjadinya interaksi dari satu daerah ke daerah lain di sekitarnya.
Untuk transportasi darat, Propinsi Bengkulu pada tahun 2004 tercatat memiliki jalan nasional sepanjang 750,43 Km (11,72%) dan jalan propinsi 1.574,63 Km. Dalam upaya meningkatkan sarana transportasi darat yang ada, pemerintah propinsi dan kabupaten telah melakukan kegiatan perbaikan dan peningkatan kualitas jalan, bahkan dengan membangun jalur-jalur jalan yang baru. Untuk jalur antardesa, kecamatan, dan kabupaten dalam propinsi maupun jalur antarpropinsi.
Pada tahun 2005, ada beberapa rencana dan pembuatan jalan yang mendapat reaksi dan tanggapan dari berbagai pihak, misalnya, rencana pembuatan jalan penghubung Mukomuko Bengkulu – Kerinci Jambi dirancang sedemikian rupa dengan jalan terowongan bawah tanah yang membelah TNKS. Rencana pembuatan jalan Kabupaten Lebong ke Kabupaten Merangin, Jambi, dan Rupit, Sumatera Selatan.

Jalan di Kabupaten Lebong
Kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan ketetapan UU No. 39 Tahun 2003 merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. Kabupaten yang berbatasan dengan dua propinsi ini: Jambi dan Sumatera Selatan, memiliki luasan sekitar 192.924 ha dan sebagian besarnya merupakan daerah dengan kemiringan lebih dari 40%. Daerah dengan kemiringan >40% ini mencapai 121.209 ha atau 62,8%-nya.
Wilayah Kabupaten Lebong dilewati 2 sungai besar, Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat, yang mengalir ke Kabupaten Bengkulu Utara dan bermuara ke Samudera Hindia. Salah satu sungai yang telah dimanfaatkan adalah Sungai Ketahun sebagai pembangkit PLTA Tes yang dikelola oleh PLN dengan daya 17,2 MW.
Sungai-sungai kecil di Kabupaten Lebong merupakan DAS Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat. Pada saat ini, sungai-sungai kecil tersebut sebagian telah dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber irigasi dan air bersih. Data Kabupaten Lebong menunjukan luas persawahan yang telah dikelola saat ini seluas 12.856 ha yang tersebar di 5 kecamatan, selain untuk mengairi sawah air irigasi juga dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya ikan kolam dan air deras, tercatat pada tahun 2003 sektor ini mampu memproduksi ikan sebanyak 2.181 ton dengan luas total kolam 3.131 ha.
Mata pencaharian penduduk kabupaten ini sebagian besar merupakan petani, baik petani lahan menetap maupun petani lahan berpindah. Sedangkan sebagian penduduk lainnya sebagai PNS, TNI/Polri, dan buruh. Kepadatan penduduk kabupaten berpenghuni 103.997 jiwa ini sekitar 0,54 jiwa/Ha. Selintas kepadatan ini sangat kecil, namun kalau dibandingkan dengan lahan yang dapat dan diolah diluar 71%, yang merupakan kawasan hutan TN, CA, dan HL, maka kepadatan penduduk kabupaten ini mencapai 1,9 jiwa/ha.

Kontribusi TNKS bagi daerah
Kawasan taman nasional merupakan kawasan hutan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan, untuk menunjukkan nilai istimewanya, dunia menetapkan Taman Nasional sebagai warisan dunia. Taman nasional Kerinci Sebelat (TNKS) merupakan habitat satwa langka, daerah tangkapan air untuk ratusan sungai besar dan kecil di Pulau Sumatera bagian tengah, menjadi produsen oksigen dan filter polusi udara, dan banyak fungsi dan keistimewaan lain dari kawasan ini.
Sederet manfaat TNKS di mata dunia, namun di mata Pemerintah Daerah Lebong dan masyarakat, manfaat dari penetapan dan keberadaan TNKS sangat kecil. Keberadaan TNKS hanya mengurangi lahan budidaya, membatasi pemanfaatan kawasan hutan, bahkan ancaman pengusiran dan penjara bagi pandangan masyarakat awam.
Asisten 1 Kabupaten Lebong, Rahman Chandra, mengatakan bahwa keberadaan TNKS menjadi dilematis, berdasarkan fisik wilayah penetapan kawasan konservasi di Lebong merupakan keharusan, tetapi nilai tambah bagi kabupaten yang menjaga kawasan ini dapat dikatakan sangat kecil. Bantuan langsung ke pemerintah daerah yang ada hanya berbentuk pembuatan tanggul tebing, pembuatan bak air, dan GERHAN. Pemerintah daerah tidak dapat mengelola dan memanfaatkan kawasan, tidak dapat memetik hasil langsung dari kawasan hutan. Berbeda dengan daerah yang memiliki kawasan hutan produksi, selain menjaga, juga dapat memperoleh PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari kawasan hutan tersebut, seperti mengelola hasil hutan kayu dan non kayu.

Jalan Dalam TNKS
Bupati Lebong, Drs. Dalhadi Umar, melalui Dinas Kehutanan, Drs.Safuan Thoyib, sudah membicarakan rencana pembuatan jalan memotong TNKS dengan kepala Balai Taman Nasional Kerinci Sebelat, Ir. Suhartono. Kelanjutan dari pembicaraan dan upaya-upaya tersebut, saat ini telah dilakukan pembangunan jalan untuk jalur Desa Tapus, Kecamatan Rimbopengadang, menuju Desa Tes—Kotadonok, Kabupaten Lebong, yang dilaksanakan pada tanggal 23 September hingga 21 Desember 2005.
Menurut beberapa tokoh adat Tapus, mereka mendukung pembuatan jalan tersebut, namun yang seharusnya diutamakan pembangunan dan perbaikan jalan yang telah ada. Misalnya, jalan Desa Rimbo Pengadang ke Desa Tapus yang kondisinya telah rusak berat dan jalan menuju Desa Bandaragung yang belum dilakukan pengerasan.
Jalan tembus yang membelah TNKS ini melewati lokasi: Tapus, Talang Macan, Tanah putus, dan Turan Lalang. Volume jalan, panjang 12 Km dan lebar 8m dengan nilai kontrak Rp 1.242.168.000. Jalan tersebut lebih kurang sepanjang 8 Km, di antaranya dalam TNKS. Dengan kontraktor pembuatan jalan dilakukan oleh CV. ANDRI Bengkulu.
Selain jalur jalan tersebut rencana pembuatan jalan menembus TNKS lainnya adalah jalan tembus Desa Ketenong, Kecamatan Lebong Utara, menuju Kabupaten Meranging, Jambi, serta pembangunan jalan Desa Bandaragung, Kecamatan Rimbo Pengadang, menuju Kecamatan Rupit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Informasi yang diperoleh WALHI Bengkulu dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Lebong saat dengar pendapat (hearing) pada tanggal 1 Desember 2005, bahwa pembuatan jalan tersebut merupakan rencana yang telah diwacanakan sejak lama, bahkan sebelum pemekaran Kabupaten Lebong.
Mereka menyadari pembukaan jalan dalam TNKS tersebut bukan hal yang mudah, dalam arti harus mendapat izin dan memiliki kajian yang kuat tentang dampak negatif dan positif jika dibukanya jalan. Merujuk dari rencana penetapan Lebong sebagai kabupaten konservasi, tentu pengelolaan wilayah di kabupaten ini harus spesifik, terbatas, dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi, termasuk rencana pembuatan jalan ini.
Dalam dokumen Bentuk Penyusunan RTRW anggaran tahun 2005 disebutkan, dalam skenario I struktur ruang Kabupaten Lebong, perlu ditunjang oleh pembukaan akses jalan menuju ke arah lintas tengah Sumatera, tepatnya Propinsi Jambi. Dari jalur ini, diharapkan Kabupaten Lebong dapat mengambil manfaat sebagai pelintasan barang maupun manusia.
Dampak Kerusakan Hutan TNKS
Kajian fisik topografi wilayah Kabupaten Lebong tidak mendukung untuk pembukaan lahan, salah satunya kerena daerah yang memiliki kemiringan di atas 40% mencapai luas 121.209,8 Ha atau sekitar 69,8%. Dengan kondisi tersebut, pembukaan lahan harus dengan pertimbangan dan pola-pola konservasi pengelolaan terbatas. Jika pengelolaannya tidak dengan memperhatikan kondisi tersebut, maka erosi, bencana longsor, dan banjir akan terjadi.
Dengan dilakukannya pembukaan jalan dalam taman nasional ini, maka akses, dan tekanan aktivitas manusia terhadap kawasan akan sangat tinggi. Pembukaan lahan, penebangan liar dalam kawasan taman nasional semakin tidak terkendali.
Pembukaan kawasan ini akan mengakibatkan terjadinya dampak, seperti kerusakan habitat dan ekosistem, rusaknya daerah tangkapan air dan DAS, terjadi erosi, pendangkalan sungai, tidak stabilnya debit air, longsor, dan banjir.
Kontak:
Supintri Yohar [0813.7349.9788 / 0736-347.150].
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: liem
Email liem
Tanggal Buat: 02 Dec 2005 | Tanggal Update: 02 Dec 2005