Jumat, 28 Agustus 2009

Foto Agustusan 2009 RT 09 Yosomulyo





foto





Foto Kehidupan 2009

Bunga Rampai Penyair


Bunga Rampai Penyair
(Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Kamis, 13 Agustus 2009

Haruskah Mati Tiap Malam

Surat Pembaca

Kalau boleh saya mengatakan, “PLN, Haruskah Hidup Jam 01.00 WIB”. pertanyaan yang sangat jelas arah dan maksudnya usai Pemilu legislatif dan pilpres 2009. Semuanya didominasi kemenangan Partai Demokrat (PD) yang janji-janjinya melalui iklan politik di televisi, surat kabar dan pernyataan SBY sendiri begitu membesarkan hati dan imbalannya PD memenangi pemilu dan pilpres 2009.
Tapi, apa imbalan yang diberikan kepada rakyat? Baru saya merayakan kemenangannya, rakyat hanya diberi imbalan listrik yang mati terus-menerus. Jadwal pemadaman yang dimuat di media massa cetak tetap saja tidak mampu mengalahkan PEMADAMAN yang tak terjadwal.
Akhir-akhir ini PLN di Lampung, khususnya di Kota Metro, terutama di beberapa kelurahan di Kecamatan Metro Pusat lampu listrik (PLN) terlalu sering dan keenakan dipadamkan. PEMADAMAN sering terjadi setiap hari antara pukul 08.00 s/d 15.00 WIB. Lalu malam harinya pukul 17.30 sd pukul 01.00 WIB. Daripada kotak-katik PEMADAMAN, apakah tidak baiknya pemerintah cq PLN membuat jadwal PEMADAMAN 1 minggu dan hidupnya hanya siang minggu saja atau mati 6 hari hidup 1 hari. Kan, persoalannya makin jelas dan rakyat tidak disiksa dengan kesewenangan PLN untuk MATI dan HIDUPKAN listrik di luar jadwal atau SEENAKNYA.
Kalau tidak, seyogyanya pemerintah provinsi Lampung dan kabupaten/kota menganggarkan pembangunan listrik PLTD untuk tidak tergantung kepada PLN, sehingga aktivitas rakyat tidak dirugikan sebagaimana terjadi saat ini.
Terima kasih.
Naim Emel Prahana

TKI Juga Manusia


Oleh Naim Emel Prahana

Indonesia labour (tenaga kerja Indonesia) juga manusia. Jangan hanya memandang mereka yang bekerja di luar negeri dari kacamata devisa (uang) saja. Tetapi, bagaimana TKI itu dapat dijamin selama mengerahkan tenaga kerjanya di luar negeri dengan manusia itu sama di mata Tuhan.
Selama ini pemerintah dan masyarakat hanya berdebat soal TKI yang mengalami nasib buruk di tangan para majikannya di luar negeri. Sejauh itu, belum ada perhatian serius pemerintah untuk bagaimana melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, di mana dan kapanpun. Jumlah TKI yang bernasib buruk di luar negeri selama ini, memang tidak sebanyak jumlah TKI yang ada di luar negeri. Tetapi, jumlah mereka yang diperlakukan tidak manusia cukup besar.
Setelah kejadian beruntun menimpa TKI—khususnya TKW terutama di Malaysia, Singapura, Hongkong dan Arab Saudi, Depnakerstrans akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengiriman TKI. Kebijakan itu banyak ditantang oleh pihak-pihak yang selama ini mengeruk keuntungan dengan pengiriman TKI ke luar negeri, seperti Perusahaan Jasa Tenbaga kerja Indonesia (PJTKI) di Indonesia dan perusahaan penyalur tenaga kerja di luar negeri.
Pokok persoalannya memang kembali kepada perlindungan ‘manusia’ yang melekat pada TKI—TKW dan faktor penyebab banyaknya TKI ke luiar negeri, sementara kekayaan alam Indonesia melimpah ruah. Mungkin, kita tidak tidak sependapat dengtan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, yang hanya melihat dari pangsa pasar TKI di luar negeri cukup besar. Khususnya pangsa (bursa) pembantu rumah tangga (PRT).
Apapun alasannya, penghentian pengiriman TKI ke luar negeri jangan hanya sebatas ke Malaysia, tetapi ke semua negara tujuan pengiriman TKI selama ini. Penghentian pengiriman TKI jangan didasarkan penolakan negara tujuan pengiriman TKI. Sebab, penolakan penghentian pengiriman TKI itu, tidak mendasar. Indonesia punya hak mengatur dan menjaga keselamatan atas setiap warganegaranya yang akan bekerja ke luar negeri.
Jika ada pihak-pihak menolak penghentian pengiriman TKI, semata-mata hanya mereka khawatir pendapatan yang besar sebagai lembaga jasa pengiriman TKI akan tidak ada lagi. Artinya, PJTKI dan lembaga sejenisnya itu, hanya memikirkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan negara dan bangsa. Apalagi memikirkan kepentingan orang Indonesia—bangsanya sendiri.
Sebagai catatan, perbedaan antara orang Indonesia yang bekerja (dikirim) ke luar negeri dengan orang asing yang masuk ke Indonesia atau ke negeri lain. Terletak pada tujuan dan strategi pemerintah (negara asal imigran). Orng China pergi ke negara lain bertujuan untuk menjadi warga yang menguasai ekonomi di msuatu negara dan menjadi tumpuan pemerintahnya, jika erjadi perang. Mereka akan dapat dijadikan pasukan khusus yang menyerang dari dalam negeri di mana mereka berdiam.
Sedangkan orang Indonesia ke luar negeri, kebanyakan menjadi budak—status budak sangat dekat dengan perlakuan yang tidak manusiawi yang harus mereka terima. Kita tidak perlu lagi dengan BNP2TKI, PJTKI atau sebangsanya. Karena lembaga-lembaga itu tidak melihat TKI—TKW sebagai manusia, melainkan hanya melihat dari sisi komoditas belaka.
Di kampung-kampung, asal para TKI—TKW yang dikirim ke luar negeri tidak pernah tercatat oleh pemerintah, apalagi PJTKI atau BNP2TKI. Jika kita bertanya kepada tetangga para TKI—TKW, juga bertanya kepada keluarga mereka yang ditinggalkan oleh TKI—TKW soal kesejahteraan dari hasil kerja TKI—TKWI di luar negeri. Ternyata, tidak ada perubahan.
Bahkan, sawah, sapi, kerbau atau hutang tetap tidak terbayarkan. Padahal asumsinya, bekerja di luar negeri itu berlimpahan uang. Kenyataannya, sebagian besar keluarga TKI—TKW tidak mengalami peningkatan ekonomi dan sosial. Bahkan, banyak keluarga TKI—TKW yang berantakan. Perceraian salah satu akibat kepergian TKI—TKW ke luar negeri, sudah tidak asing lagi di kampung asal TKI—TKW selama ini.
Akibat buruk yang lebih besar adalah penghinaan terhadap bangsa Indonesia oleh bangsa lain, terutama kasus-kasus pelecehan seksual, penganiyaan, penyiksaan, pemerasaan para majikan di tempat TKI—TKW bekerja. Belum lagi penindasan dan pemerasan yang dilakukan oleh PJTKI yang semata-mata melihat TKI—TKW sebagai tambang emas. Bukan sebagai manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Mungkinkah bangsa Indonesia adalah benar bangsa yang suka dijajah?
Untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran akibat penghentian pengiriman TKI—TKW ke luar negeri, pemerintah harus menyiapkan lapangan pekerjaan yang memadai di dalam negeri. Kemudian pemerintah maupun swasta di dalam negeri dlam rekrutmen tenaga kerja, tidak boleh pilih kasih. Artinya, selama ini banyak perusahaan menerima karyawan (tenaga kerja) dengan sistim pilih kasih.
Di dunia perbankan, tenaga kerja yang banyak diterima berasal dari WNI keturunan Tionghoa. Di lowongan pekerjaan pada dinas-dinas, instansi dan badan pemerintah yang banyak diterima adalah kroni-kroni para pejabat. Kesempatan tenaga kerja berasal dari keluarga kurang mampu hanya pada pekerjaan-pekerjaan kasar; buruh, sopir, pembantu dan sebagainya. Jadi, pemerataan penerimaan tenaga kerja di Indonesia masih like and dislike.
Kondisi itulah yang membuat banyak anggota keluarga orang Indonesia—terutama dari keluarga yang tidak mampu, nekat bekerja di luar negeri. Apalagi sistem yang dijalankan PJTKI sangat menggiurkan. Sebagai contoh, sebuah PJTKI (cabang dari Jakarta) di Kabupaten/Kota di Lampung rekrutmen calon TKI—TKW mereka lakukan dengan cara menyebarluaskan makelar-makelar ke desa-desa.
Setiap makelar yang mendapatkan seorang PJTKI diberi imbalan Rp 50.000,- sampai Rp 150.000,-sementara, koordinator cabang PJTKInya mendapat uang berkisar antara Rp 7.000.000,- sampai Rp 10.000.000,- per calon TKI—TKW. Penulis pernah berbincang lama dengan koordinator PJTKI di Kota Metro. Kewajiban koordinator cabang PJTKI di daerah (kabupaten/kota) hanya membawa TKI ke Jakarta. Sedangkan yang membawa TKI—TKW dari kampung-kampung dibebankan kepada makelar.
Menyangkut keberadaan cabang PJTKI, apakah legal atau ilegal di kabupaten/kota, selama ini pemerintah daerah tidak pernah mau tahu. Sepertinya pemerintah menutup mata pengiriman TKI—TKW dari daerah-daerah mereka. Bahkan, PJTKI pun tidak pernah memberikan data tentang jumlah TKI—TKW yang mereka ekspor ke Jakarta kemudian di ekspor lagi ke luar negeri. Intinya, pengiriman TKI—TKW ke luar negeri penuh dengan praktek pemerasan dan penindasan serta penipuan.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Benarkah 'Drakula' pelaku dua peledakan bom di Jakarta?


Benarkah 'Drakula' pelaku dua peledakan bom di Jakarta?
Radio Nederland Wereldomroep
20 July 2009

Pernyataan Presiden SBY yang mengaitkan bom Marriot-Ritz-Carlton dengan pilpres menjadi dubius. Banyak yang menilai SBY membuat blunder, tetapi menurut Wimar Witoelar, mantan jubir Presiden Gus Dur dan komentator, pernyataan SBY itu penting.




Wimar Witoelar [WW]: Pertama kali dalam hidup, saya lihat Presiden SBY ini mengetahui persoalan dan tahu kapan dia harus tegas, begitu ya. Karena ini suatu hal yang perlu dimarahin oleh seorang pemimpin nasional. Masalah kita adalah bomnya, bukan pernyataan SBY. Biar aja. Tapi dia sebagai presiden menetapkan kita tidak akan terima teroris dan masih ada di antara kita, orang-orang yang melakukan kejahatan yang masih berkeliaran di masyarakat, dan yang jahat itu yang melakukan bom tentu, tapi yang juga membiarkan bom dan menggunakan peristiwa bom ini untuk melakukan serangan-serangan terhadap presiden.

Aboeprijadi Santoso [AS]: Tapi juga beliau memberi sugesti bahwa dalam kasus bom ini pilpres tersangkut dengan menyindir salah seorang yang dikatakan pernah menghilangkan orang. Prabowo, kan?

WW: Jelas, jelas yang dimaksud. Anda sebut namanya, saya takut sebut namanya. Drakula ya.

AS: Oh, itu drakulanya?

WW: Drakula itu tidak perlu kita sebut, ya.

AS: Apa maknanya nih, penyindiran terhadap drakula?

WW: Peringatan. Supaya orang itu jangan lengah. Jangan anggap semua warga negara itu sama. Ada warga negara yang lolos dari pengadilan HAM 10 tahun yang lalu.

Demikian Wimar Witoelar ketika menghadiri aksi solidaritas dan dukacita di muka Hotel Marriot. Juga pengacara Todung Mulya Lubis yang membacakan pernyataan Masyarakat Anti Kekerasan.


Beban pembuktian

Todung Mulya Lubis [TML]: Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewujudkan sumpahnya untuk secepat mungkin menangkap dan mengadili pelaku, jaringan, dan otak di belakang setiap aksi kekerasan.

AS: Bapak Todung Mulya Lubis, jadi mana yang prioritas ini? Kita mencari pelakunya atau kita mencari ketenangan?

TML: Kita kecolongan. Itu yang harus kita bayar dengan sangat mahal. Dan menurut saya presiden tidak bisa melepaskan tanggung jawab.

AS: Lalu Presiden SBY menanggapi ini kita khawatirkan bisa menjadi drakula.

TML: Ya memang ini kan satu tudingan.

AS: Siapa sebenarnya drakula ini? Ikut pilpres?

TML: Ikut pilpres. Tapi kan tudingan ini sudah dibantah. Nah, karena itu sekarang beban pembuktian ada pada presiden.

AS: Ini blunder yang jadi bumerang bagi SBY?

TML: Bisa jadi blunder kalau itu tidak bisa dibuktikan.

Demikian laporan koresponden Aboeprijadi Santoso dari Jakarta.

Laporan ini bisa didengar di website Radio Nederland Wereldomroep

Menanti Lagi Tangan Dingin Mahfud MD


Menanti Lagi Tangan Dingin Mahfud MD
Perspektif Online
31 July 2009

oleh: Didiet Adiputro

Rangkaian pemilu 2009 sudah berakhir. Suatu hal yang kita syukuri adalah bahwa pada umumnya semua berjalan tenang, lancar dan damai. Juga ada kesan kebebasan tanpa paksaan. Jelas hanya ada satu kemenangan yaitu kemenangan rakyat. Akan tetapi kemenangan rakyat ini sedikit terusik oleh banyaknya sengketa pemilu yang dipersoalkan para elit, entah siapa yang salah tapi hebatnya rakyat tetap tenang menyadari kekurangan dalam penyelenggaraan Pemi;u, sementara para elit terus meradang makin keras setelah hasil diumumkan.

Sengketa pilpres mengkonfrontasikan pihak pemenang yakni SBY–Boediono terhadap pasangan lain yaitu Mega–Pro dan JKWiranto. Namun demikian friksi ini tidak terlalu kencang berhembus di masyarakat, karena telah terbukti SBY mampu menang mutlak satu putaran.

Namun ada peristiwa lain yang dapat menggoncangkan konstalasi politik belakangan ini. Yaitu putusan Mahkamah Agung yang menganulir keputusan penetapan jumlah kursi bagi anggota DPR yang telah ditetapkan KPU. Dengan sendirinya berarti MA telah membatalkan aturan KPU ttg tata cara penghitungan kursi tahap II bagi anggota DPR yang diatur dalam peraturan KPU no 15/2009. Hal ini diputuskan setelah adanya judicial review oleh beberapa anggota partai khususnya kader Partai Demokrat.

Sayangnya pembatalan peraturan ini diumumkan MA setelah perhitungan suara selesai. Tak mengherankan bahwa keputusan ini membuat berang partai–partai yang perolehan kursinya akan menurun bila keputusan MA dijalankan.

Tekanan dan intimidasi terhadap KPU sebagai pelaksana undang-undang mulai bermunculan untuk mengacuhkan putusan MA. Misalnya Partai Gerindra yang diprediksi kehilangan 16 kursi , PPP 17 kursi, PKS 7 kursi.

Sementara kubu yang akan diuntungkan dari putusan ini adalah Partai Demokrat yang bertambah 31 kursi, Golkar 19 kursi, dan PDIP 16 kursi. Mereka ini mendukung KPU melaksanakan putusan MA. Yang uniknya, ketiga partai besar pengusung capres yang berbeda ini sepakat membentuk Koalisi Konstitusi dan Keadilan yang mengusulkan KPU menaati keputusan MA. Jadi kepentingan pragmatis caleg dan partai politik yang telah berinvestasi banyak sangat terlihat disini. Koalisi pilpres nampaknya ingin ditahan sebentar .

Kemelut politik ini tampaknya bisa menemukan titik final dengan terbit putusan MK tentang hal ini. Meskipun MK tidak boleh menilai vonis MA, tapi vonis MA tersebut bisa digugat KPU ke MK sebagai sengketa hasil pemilu. MK bisa mengadili keputusan KPU tentang penerapan vonis MA, tanpa menilai vonis MA itu sendiri. Jadi MK hanya berwenang menilai keputusan KPU. Keputusan MK ini harus diupayakan terbit secepat mungkin, karena jika KPU mendiamkan putusan MA ini , maka dengan sendirinya putusan ini mulai berlaku efektif setelah 90 hari.

Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi

Kita tunggu gebrakan selanjutnya dari para hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan kemelut ini. Sejauh ini mereka selalu membuat keputusan brilliant di saat–saat penting. Mulai dari memperbolehkan calon independen, pemakaian sistem suara terbanyak dalam pemilu , sampai yang terbaru dengan memperbolehkan pemilih memakai KTP dalam pilpres.

Hapuskan Program Gratis


APAKAH dimaksud dengan Gratis itu “Cuma-Cuma” atau “tidak dikenakan beban apapun dalam semua urusannya?” kalau pertanyaan masyarakat itu kemudian memunculkan gonjang-ganjing pembicaraan di tengah masyarakat dewasa ini. Pantas disimak dan diperhatikan. Khususnya program gratis di dunia pendidikan dan kesehatan.
Karena, program gratis untuk sekolah SD—SMA (negeri) itu, kenyataannya tidaklah gratis. Berbagai pungutan terjadi dengan berbagai alasan. Apalagi sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang saat ini banyak disoroti berbagai kalangan. Di sekolah reguler saja, pungutan yang join dengan komite sekolah masih tetap dilakukan. Kemungkinan terjadinya pungutan itu memang ada peluang dari pasal-pasal peraturannya sendiri. Sehingga celah itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh oknum kepala sekolah dan beberapa anggota dewan guru.
Hal yang sama juga berlaku di dunia kesehatan; puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit yang tidak ada sama sekali realitas program gratis tersebut. Semua warga yang berobat harus mengeluarkan isi kantong, agar bisa dilayani; baik di rumah sakit, puskesmas atau sekolah-sekolah yang ditentukan untuk melaksanakan prgram gratis bagi masyarakat.
Tidak diketahui persis, kapan permainan retorika gratis itu diterus pemerintah. makin lama retorika gratis itu makin membuat masyarakat bingung dan diberatkan beban kehidupan sosial mereka. Sementara itu, segelintir keluarga masyarakat yang punya (baik jabatan, materi, kekuasaan) terkadang sering menikmati pelayanan gratis di sekolah dan di rumah sakit atau puskesmas
Anak keluarga pejabat, pengusaha dan keluarga the haves untuk masuk ke sekolah, cukup dengan telepon, demikian juga dengan pelayanan rumah sakit. Tapi, kalau warga biasa. Maka, harus benar-benar menjalani proses birokrasi di balik program pendidikan gratis dan kesehatan gratis.
Seyogyanya pemerintah, khususnya pemerintah daerah di era otonomi ini menjelaskan kriteria program gratis tersebut beserta batasan-batasannya. Jika di sekolah ada program gratis karena sudah disuplai habis-habisan oleh pemerintah pusat. Ada apa dengan formulir bantuan “katanya” sukarela. Tetapi, dipungut setiap siswa yang masuk di SMP dan SMA Negeri yang RSBI. Anehnya lagi, bantuan berupa pungutan itu dilakukan setiap tahun kepada siswa yang belajar di sekolah RSBI.
Sekarang, pihak mana yang mengaudit penggunaan dana-dana bantuan dari pemerintah pusat dan dana-dana bantuan pungutan yang dilakukan sekolah bersama komite sekolah? Selama ini tidak pernah diaudit oleh siapapun, kecuali kalau sudah timbul permasalahan penggunaan keuangan itu sendiri, setelah memasuki ruang publik (masyarakat).
Kalau tidak, maka ratusan miliar dana bantuan yang diberikan dan dikelola oleh sekolah, tetap hening, sepi, dan lengang. Kecuali suara mesin mobil baru kepala-kepala sekolah dan bendaharanya berikut para oknum pejabat di Dinas Pendidikan yang selalu mendapat cipratan uang-uang ‘siluman’.
Untuk itu, agar kebangkitan dunia pendidikan dan kualitas dunia kesehatan di Indonesia membaik. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkan uang negara yang dipergunakan dunia pendidikan tanpa pertanggungjawaban yang baik dan tanpa pengawasan yang jelas. Pihak mana yang ikut andil mengawasi dan berhak mengoreksi. Walaupun dalam juklaknya ada, tetapi kenyataannya tidak ada. Hapuskan saja program gratis itu.

Konflik Jabatan

RUSAKNYA hubungan antar makhluk ciptaan Allah di muka bumi ini, nyaris 99% disebabkan oleh manusia dengan kata lain kalau dalam kamus kecelakaan (musibah) sering disebut dengan human eror. Ternyata human eror itu terjadi dan sering terjadi pada pasangan kepala daerah. Misalnya bupati dan wakilnya, walikota dan wakilnya, gubernur dan wakilnya. Terutama menjelang akhir jabatan periode kepala daerah.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini di Lampung hampir semua pasangan kepala daerah yang diujung jabatan mereka, terjadi konflik yang kurang baik untuk penyelengara pemerintahan di daerah. Kita sebut saja di Way Kanan, Tanggamus, Tulangbawang, Kota Metro, Lampung Tengah, Lampung Barat dan untuk tingkat provinsi. Seharusnya tidak terjadi disharmonisasi hubungan pasangan menjelang akhir periode jabatan mereka. Kendati, masing-masing ingin mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di daerahnya. Selalu yang menjadi korban adalah masyarakat luas, karena mesin penyelenggara roda pemerintahan di daerah terasa terhambat karena konflik tersebut.
Masih sangat jelas ingatan kita, bagaimana konflik bupati dan wakil bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurnajaya dengan Syamsi Achmad yang waktu dipasangkan diyakini ‘duo’ Achmad itu akan selalu berkasih sayang dalam menjalankan roda pemerintahan. Ternyata, godaan kursi nomor satu di daerah kekuasaan mereka lebih penting dibandingkan dengan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang proporsional serta profesional.
Juga, terjadi konflik yang luar biasa tajamnya antara walikota Metro Mozes Herman dengan Lukman Hakim menjelang akhir perioda jabatan mereka 2004. Kini, antara Lukman Hakim—yang dulu semasa walikota Mozes Herman adalah wakil—yangmenjadi walikota hubungannya dengan wakilnya Djohan diakhir periode jabatannya sudah merah menyala—tinggal menunggu ledakan rusaknya hubungan keduanya.
Masih di Lampung, bagaimana hubungan Tamanuri dengan wakilnya selama dua periode jabatannya sebagai bupati Way Kanan—sampai-samnpai saling lapor melaporkan. Betulkah jabatan kepala daerah yang lima tahun itu adalah segala-galanya dalam hidup seorang pejabat politis di negeri ini? Sehingga persaudaraan dan kepentingan daerah diabaikan karena memburu kursi BE 1 di daerah masing-masing.
Demikian pula hubungan yang sangat harmonis antara Fauzan Sa’ie dengan Bambang Kurniawan diawal periode jabatan mereka, akhirnya menjadi bara api dalam sekam dan membakar hubungan keduanya. Pertarungan konflik itu akhirnya dimenangkan oleh wakil bupati, Bambang Kurniawan ST. Demikian pula masa bupati Lampung Selatan antara Zulkifli Anwar dengan Muchtar Husein—yang akhirnya dimenangkan oleh Zulkifli Anwar. Di Lampung Tengah, Andy Achmad pun mengalahkan Syamsi Achmad, di Way Kanan Tamanuri mengalahkan wakilnya. Hanya di Metro konflik antara walikota dan wakil walikotanya dimenangkan oleh wakil walikotanya. Apakah pada pilkada tahun 2010 mendatang, wakil walikota, Djohan yang sudah lama berancang-anjang ingin merebut kursi BE 1 di Kota metro mampu mengalahkan Lukman Hakim. Sebagaimana Lukman Hakim tahun 2004 mampu mengalahkan Mozes Herman? Kita tunggu konflik yang terus menajam antara keduanya.
Bagaimana dengan Bandarlampung, apakah Khaelani mampu mengalahkan Eddy Sutrisno dalam pilkada 2010 mendatang atau malah menjadi bulan-bulanan Mas Tris ada puncak konflik keduanya? Wait and see.