Rabu, 14 Juli 2010

Seratus Ribu Lima Tahun

Oleh Naim Emel Prahana
USAI. Usai sudah perhelatan pesta demokrasi di 6 (enam) kabupaten—kota di Lampung, hasil penghitungan suara sementara (terakhir) di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten—kota, sudah rampung. Perolehan suara sudah diketahui dan sudah diinformasikan secara luas ke tengah masyarakat. Hanya sekian persen saja masyarakat yang menggunakan hak pilihnya yang membaca informasi hasil penghitungan akhir suara pemilukada itu. Namun, masyarakat secara berantai dari mulut ke mulut sudah mengetahui, siapa memperoleh suara terbanyak.
Dari perhelatan pemilukada itu, beberapa catatan sudah dapat disimpulkan, antara lain; (1) uang faktor utama perolehan suara, (2) Mobilisasi mesin parpol tidak berjalan optimal (atau memang begitulah profile parpol di Indonesia ini), (3) materi kampanye dan sosialisasi belum tepat menyentuh kebutuhan masyarakat, (4) figur calon tidak jadi jaminan perlehan suara (pemenang), (5) trik licik dan penipuan—janji-janji manis masih jadi faktor pendukung perolehan suara banyak, (6) peranan KPPS, petugas TPS, PPK dan KPU masih menjadi penentu utama perolehan suara. Membaca kesimpulan di atas, menjadi evaluasi semua elemen masyarakat terutama pemerintah dan KPU untuk membaca, menyimak dan mengkritisi ulang UU Pemilu dan Peraturan KPU. Banyak hal yang tidak tercantum di dalam peraturan-peraturan tersebut, yang di lapangan banyak terjadi. Sehingga, persepsi dan penyelesaian sengketa dan kasus—pelanggaran yang muncul. Akhirnya hanya menjadi bagian tidak penting dari sah atau tidaknya pasangan calon ditetapkan sebagai pemenang.
Artinya, apapun bentuk kejahatan dan pelanggaran pemilukada, tidak akan menggugurkan pasangan yang (mungkin) memperoleh suara ada trik kejahatan dan pelanggaran. Sebab, kualifikasi Penegak Hukum (Gakkum) pemilukada sangat diragukan independensi—netralitasnya untuk menegakkan aturan yang sebenarnya. Khususnya menyangkut hasil pemilukada. Keraguan atau kecurigaan terhadap eksistensi oknum anggota KPU, Panwas, PPS, KPPS dan PPK masih menggayut dalam benak warga masyarakat. Banyak hasil pemilukada yang memunculkan banyak masalah urgent, tetapi penetapan dan pelantikan pasangan yang memperoleh suara terbanyak tetap berjalan (sesuai tahapan pemilukada). Sedangkan kejahatan dan pelanggaran berjalan di sisi lain, seperti tidak ada kaitannya sama sekali. Keprihatinan kita memang sangat dalam. Apalagi, dalam praktek pemilukada soalo money politic tidak ada definisi yang jelas--detail dalam aturannya. Oleh karena itu, pemilukada di suatu kabupaten—kota atau di provinsi, tetap saja meninggalkan bekas luka yang mendalam. Bila kita diajak untuk hitung-hitung, satu suara dihargai Rp 100.000,- untuk waktu lima tahun. Jika, dibagikan, maka seorang yang menjual suaranya dengan harga Rp 100.000,- per lima tahun, ia sebenarnya hanya mendapatkan uang Rp 20.000 per tahun atau Rp 166,- per bulan atau hanya Rp 5,5,- per hari.
Itulah perhitungannya, namun menurut beberapa tokoh masyarakat, maternya warga masyarakat dalam pemiulukada memang hanya sekian persen. Namun, situasi dan tradisi itu memang sudah dirusak ketika berlangsungnya pemilu legislatif—yang serba uang. Akhirnya, warga masyarakat sudah terbiasa. Warga akan memberikan suaranya, jika ada yang membayar. Bayaran itupun akan dibading-bandingkan antara pemberian pasangan A dengan pasangan lainnya.

Pemersatu Bangsa-Bangsa

Oleh Naim Emel Prahana
HAMPIR sebulan penuh masyarakat dunia memfokuskan perhatiannya ke Afrika Selatan—negara yang sekian ratus tahun dijajah Belanda—sang kolonial. Afrika Selatan seakan tenggelam dipojok benua Afrika. Akan tetapi, gejolak yang membawa negara itu merdeka dan maju dari teriakan, perjuangan dan pengorbanan Nelson Mandela beberapa tahun silam. Kini, makin bersinar. Siapa yang tahu, negara kaya emas, tembaga dan hasil tambang lain itu mampu membelalakkan mata masyarakat dunia.
Moment Kejuaraan sepakbola dunia dari tanggal 17 Juni sampai 17 Juli 2010, benar-benar memukau. Ratusan juta pasang mata tertuju ke stadion-stadion sepakbola di Afrika yang dibangun sangat bagus, kalau tidak mau dibilang spektakuler. Olahraga benar-benar fair play. Olahraga tidak mengenal suku, rasa, kaya, miskin atau negara adikuasa, negara berkembang dan negara miskin. Olahraga yah ‘olahraga’
Itu dibuktikan, ketika pertandingan final kejuaraan dunia 2010. dunia negara Eropa yang sama-sama ingin menjadi juara “dunia baru”, bertanding menguras tenaga, ketrampilan olah-bola, kecerdikan, dan ketahanan mental yang membela nama bangsa masing-masing. Permainan sedikit keras tidak melunturkan sportivitas olahraga. Yang menang wajar meluapkan kegembiraannya. Yang kalah, juga tidak terpuruk. Spanyol perkasa, Belanda “luar biasa”.
Dengan sepuluh pemain melawan sebelas pemain Spanyol. Mental calon juara patut dibanggakan. Kalau ada riak protes di lapangan terhadap kepemimpinan wasit, itu masih standar normal. Juara Dunia Baru lahir lagi untuk ke delapan kalinya. Sepanjang sejarah kejuaraan sepakbola dunia, beberapoa negara menjadi “juara baru” dalam siatuasi yang penuh fair play. Inilah juara-juara baru yang dilahirkan sepanjang sejarah piala dunia; (1) 1930 Uruguay (vs Argentina 4-2), (2).
1934: Italia (vs Cekoslowakia 2-1), (3). 3-1954: Jerman Barat (vs Hongaria 3-2), (4). 1958: Brasil (vs Swedia 5-2), (5). 1966: Inggris (vs Jerman Barat 4-2), (6). 1978: Argentina (vs Belanda 3-1), (7). 1998: Prancis (vs Brasil 3-0) dan (8) Spanyol (vs Belanda 1-0).
Tidak tanggung, RCTI yang menytiarkan secara langsung pertandingan-pertandingan kejuaraan dunia bersama Global TV, mendatangkan Presiden SBY, untuk memberi komentar. Dapat dibayangkan, presiden Indonesia saja yang sepakbolanya morat-marit, rileks semalaman untuk menonton pertandingan final antara Spanyol dan Belanda yang disiarkan langsung. La Furia Roja julukan Spanyol akhirnya menjadi juara mengikuti jejak Brasil, Italia, Jerman, Argentina, Uruguay, Inggris, dan Prancis. dari stadion.
Luar biasa dunia olahraga yang mampu menjadi pemersatu bangsa-bangsa di dunia. Sementara di Indonesia, sepakbola—salah satu olahraga yang mulai digemari. Seringkali pertandingan diakhiri dengan amuk massa dan berujung tindakan anarkis. Mungkin baik sekali kalau pelaksanaan pertandingan piala dunia di Afrika Selatan dijadikan momentum membangun karakter damai di dunia olahgraga di Indonesia.