Oleh Naim Emel Prahana
USAI. Usai sudah perhelatan pesta demokrasi di 6 (enam) kabupaten—kota di Lampung, hasil penghitungan suara sementara (terakhir) di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten—kota, sudah rampung. Perolehan suara sudah diketahui dan sudah diinformasikan secara luas ke tengah masyarakat. Hanya sekian persen saja masyarakat yang menggunakan hak pilihnya yang membaca informasi hasil penghitungan akhir suara pemilukada itu. Namun, masyarakat secara berantai dari mulut ke mulut sudah mengetahui, siapa memperoleh suara terbanyak.
Dari perhelatan pemilukada itu, beberapa catatan sudah dapat disimpulkan, antara lain; (1) uang faktor utama perolehan suara, (2) Mobilisasi mesin parpol tidak berjalan optimal (atau memang begitulah profile parpol di Indonesia ini), (3) materi kampanye dan sosialisasi belum tepat menyentuh kebutuhan masyarakat, (4) figur calon tidak jadi jaminan perlehan suara (pemenang), (5) trik licik dan penipuan—janji-janji manis masih jadi faktor pendukung perolehan suara banyak, (6) peranan KPPS, petugas TPS, PPK dan KPU masih menjadi penentu utama perolehan suara. Membaca kesimpulan di atas, menjadi evaluasi semua elemen masyarakat terutama pemerintah dan KPU untuk membaca, menyimak dan mengkritisi ulang UU Pemilu dan Peraturan KPU. Banyak hal yang tidak tercantum di dalam peraturan-peraturan tersebut, yang di lapangan banyak terjadi. Sehingga, persepsi dan penyelesaian sengketa dan kasus—pelanggaran yang muncul. Akhirnya hanya menjadi bagian tidak penting dari sah atau tidaknya pasangan calon ditetapkan sebagai pemenang.
Artinya, apapun bentuk kejahatan dan pelanggaran pemilukada, tidak akan menggugurkan pasangan yang (mungkin) memperoleh suara ada trik kejahatan dan pelanggaran. Sebab, kualifikasi Penegak Hukum (Gakkum) pemilukada sangat diragukan independensi—netralitasnya untuk menegakkan aturan yang sebenarnya. Khususnya menyangkut hasil pemilukada. Keraguan atau kecurigaan terhadap eksistensi oknum anggota KPU, Panwas, PPS, KPPS dan PPK masih menggayut dalam benak warga masyarakat. Banyak hasil pemilukada yang memunculkan banyak masalah urgent, tetapi penetapan dan pelantikan pasangan yang memperoleh suara terbanyak tetap berjalan (sesuai tahapan pemilukada). Sedangkan kejahatan dan pelanggaran berjalan di sisi lain, seperti tidak ada kaitannya sama sekali. Keprihatinan kita memang sangat dalam. Apalagi, dalam praktek pemilukada soalo money politic tidak ada definisi yang jelas--detail dalam aturannya. Oleh karena itu, pemilukada di suatu kabupaten—kota atau di provinsi, tetap saja meninggalkan bekas luka yang mendalam. Bila kita diajak untuk hitung-hitung, satu suara dihargai Rp 100.000,- untuk waktu lima tahun. Jika, dibagikan, maka seorang yang menjual suaranya dengan harga Rp 100.000,- per lima tahun, ia sebenarnya hanya mendapatkan uang Rp 20.000 per tahun atau Rp 166,- per bulan atau hanya Rp 5,5,- per hari.
Itulah perhitungannya, namun menurut beberapa tokoh masyarakat, maternya warga masyarakat dalam pemiulukada memang hanya sekian persen. Namun, situasi dan tradisi itu memang sudah dirusak ketika berlangsungnya pemilu legislatif—yang serba uang. Akhirnya, warga masyarakat sudah terbiasa. Warga akan memberikan suaranya, jika ada yang membayar. Bayaran itupun akan dibading-bandingkan antara pemberian pasangan A dengan pasangan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar