Minggu, 11 September 2011

Tumpang Tindih Atas Kepemilikan Tanah (Bundle Of Rights)


Di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong”
 Posted by Tuntopos on 19/01/2011 in Tuntopos News | 0 Comment

Konflik pengelolaan lahan di Indonesia bukanlah barang baru lagi, pada Zaman Hindia Belanda pun hal ini telah berlansung dimulai semenjak ditetapkannya Agrarische Wet 1870 yang mengatur tentang Domainverklering (tanah Negara) oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian pada tahun 1927 ditetapkannya Bosch Ordonantie 1927 (mengatur masalah kehutanan) yang isinya mengikuti Domeinverklaring yakni penguasaan pemerintah terhadap sumber daya alam.
Didalam Bosch Ordonantie ini pemberlakuannya hanya di Jawa dan Madura sedangkan Agrarische Wet 1870 berlaku di daerah-daerah yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaan lansung Pemerintah Hindia Belanda dengan ditetapkannya batas hutan BW di setiap wilayah hutan di Indonesia.
Didalam doktrin Res Nullius yang memiliki ajaran bahwa kepemilikan terhadap bumi tidak bisa di kelompokkan didalam kepemilikan seseorang atau kelompok tertentu, dalam artian seluruh tanah berada pada posisi absente atau tanah tak berpenghuni dan tak berpunya, maka menjadi alasan yang jelas bagi pemerintah  hindia belanda untuk mencaplok seluruh kawasan hutan, tanah ulayat yang berada dan menjadi semacam identitias kelompok tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan milik Negara karena tidak memiliki alat bukti atau dapat dibuktikan secara tertulis didepan hukum Pemerintah Hindia Belanda (Domeinverklaring).
Pasca Indonesia merdeka,seiring dengan semangat kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan dan menasionalkan peraturan-peraturan yang ditinggalkan oleh pemerintah hindia belanda, namun secara substansi yang menyangkut arah pengaturan, kemudian penguasaan Negara dalam hal proses regeler khususnya pada permasalahan tanah dan penguasaan Negara kejadiannya hampir sama, dimana didalam agrarische wet 1870 yang mengatur tentang domainverklaring, maka didalam UUPA 1960, Domainverkalring Cuma berganti nama menjadi Hak Menguasai Negara.
Begitupun dengan penetapan kawasan hutan dan penguasaan serta pengaturan terhadap kawasan hutan berikut dengan proses peruntukannya, melalui UU 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang secara jelas mencabut Bosc Ordonantie 1927 yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, berusaha untuk menjamin keberadaan masyarakat adat beserta entititas pendukungnya, namun yang menjadi patokan dalam proses permasalahan tentang pengakuan hak masyarakat adat dalam UU ini masih mengikuti prilaku UU ibunya (Bosc Ordonantie 1927) yakni dimana  pengakuan Negara masih terbatas dalam bentuk yang terbatas yang menggantungkan diri didalam kebijakan umum pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Tentu mengenai proses pengakuan ini tetap menjadi semacam ancaman pokok yang melandasi seluruh konflik tenurial di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lebong, khususnya pada masyarakat eks marga juru kalang.
Dalam tinjauan sejarah masyarakat eks juru kalang dalam menempatkan posisi kepemilikan komunitas terhadap tanah yang sekarang menjadi kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat) adalah berdasarkan pada kebutuhan akan ruang penghidupan untuk masyarakat berladang, kebutuhan akan wilayah hunian, dan kebutuhan komunitas, dalam hal penempatan suatu kawasan sebagai tanah marga.
Pola penyebaran masyarakat adat Jurukalang hingga menjadi desa bermula dari tempat yang bernama Talang-Talang atau pemukiman-pemukiman penduduk yang berada di wilayah  perkebunan, dimana sekumpulan kecil orang-orang membangun pondok-pondok yang digunakan untuk menjaga kebun dari ancaman hama serta dilatarbelakangi juga oleh jarak wilayah perkebunan dengan desa asal yang memiliki jarak tempuh yang cukup jauh.
Maka dari proses pemukiman yang bernama talang ini pada  kemudian hari mengalami  perkembangan secara kuantitas jumlah jiwa yang menghuni suatu daerah talang sampai pada bertambahnya kuantitas lahan yang menjadi kawasan areal perkebunan masyarakat. Maka atas perkembangan tersebut, beberapa kelompok masyarakat yang berada di talang berinisiatif untuk menjadikan talang tersebut menjadi desa.
Pada tahun 1971 Pemerintahan Marga maka tanah marga yang selama ini menjadi milik mareka beralih menjadi tanah Negara, salah satunya adalah Bukit Dinding (Tebo Dinding) menjadi area Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), hal ini terjadi ketika diperbaharui kembali patok hutan BW oleh Pemerintah Indonesia.
Jika ditarik kebelakang lagi mengenai sejarah keberadaan hutan BW ini, maka pada pra kolonialis hadir ditanah Rejang, kondisi Masyarakat Rejang pada waktu itu merupakan satu kesatuan, yang egaliter tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya, dimana dalam proses pengolahan tanah atau kawasan setiap masyarakat memiliki hak yang sama dengan proses regelernya diserahkan kesetiap tetua yang dipercayai sebagai orang yang bijaksana, adil.
Kemudian pada masa kolonial, Pemerintah Kolonial dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda, memperbaharui seluruh sistem penguasaan tanah, termasuk dalam menetapkan batasan kawasan berdasarkan kebutuhan belanda dengan jalan memecah kesatuan masyarakat dalam bentuk marga-marga.
Pada zaman marga-marga ini, proses regelernya dibawah kondisi kompromis antara  kepentingan masyarakat adat dalam lingkup suatu marga dan kepentingan pemerintah kolonial dalam menjamin kekuasaannya di tanah jajahan.
Proses pengklasifikasian jenis hutan sudah mulai berlansung atas dasar kesepakatan antara Marga dengan Pemerintah Kolonial (Wedana), yang merupakan cikal bakal dari kelahiran dari hutan BW (Boscweissen) dengan menetapkan jenis hutan kedalam tiga bentuk yakni hutan marga, hutan rakyat dan hutan cadangan, dengan memberikan sedikit keluasan bagi masyarakat dengan jarak 500 meter setelah batas BW untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat.
Baru kemudian pada tahun 1983 Sistem Pemerintahan Marga dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Dengan pencabutan sistem marga ini berimbas secara lansung dengan proses pengelolaan kawasan hutan, dan pada tahun inipulalah bisa dikatakan bahwa seluruh klaim tanah adat, tanah marga, dihapus oleh Pemerintah Indonesia, kemudian menggantinya dengan patok Tata Guna Hutan Kesepepakatan (TGHK, 1984).
Dari laporan assesment yang dilakukan oleh Yayasan Akar pada wilayah Eks Marga Jurukalang ini, jika dipriodeisasikan proses pengelolaan masyarakat pada lahan yang diklaim oleh pemerintah sebagai Hutan Negara adalah sebagai berikut[1]:

1. Zaman Sebelum Penjajahan
Masyarakat sudah mulai membuka hutan untuk berkebun di daerah Bukit Pedinding dan Mudik Keligai dengan bertanam padi darat.  Pemukiman masyarakat masih berbentuk Kutai di pinggir Sungai Ketahun, pada waktu itu belum ada sistem pengairan irigasi tekhnis, masyarakat hanya mengandalkan hasil panen dari Padi Darat (Padi Siam) yang dipanen setahun sekali.  Kondisi hutan di sekitar Bukit Serdang masih memiliki kerapatan yang tinggi, maka dari kondisi ini pola interaksi masyarakat ke hutan tidak hanya sebatas berburu,dan meramu hasil hutan tapi mempunyai dimensi lain, kepercayaan terhadap gaib, dengan mengukuhkan bahwa hutan sebagai pusat pertahanan komunitas, dengan pandangan bahwaa perwujudan dari kedaulatan mereka berasal dari tanah yang mereka atur sendiri keberfungsiannya menurut system yang mereka miliki.
Masyarakat juru kalang pada masa ini memiliki mitologi sendiri tentang fungsi hutan yang berada di sekitar mereka yang mereka wariskan secara turun temurun (mitologi disini adalah perangkat khusus bagi masyrakat jurukalang untuk menyajikan kebijaksanaan tentang keselarasan alam dimana manusia juga berada didalamnya), yakni Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi[2]
2.  Zaman Penjajahan Belanda
Pada era tahun 1927 hingga 1932 Penjajah Belanda memasang patok BW di wilayah hutan masyarakat juru kalang, dan menetapkan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan lindung.  Pada masa ini masyarakat sudah mengenal tanaman kopi yang ditanam di kebun mereka (jenis kopi lokal/kopi rejang). Sebelumnya pemerintah hindia belanda mulai memberlakukan system domainverklaring melalui agrarische wet tahun 1870, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada dibawah pemerintah hindia belanda secara lansung dikuasai oleh pemerintah hindia belanda dalam proses regelernya.
Posisi ini mendudukkan masyarakat jurukalang pada posisi yang kompromis, dimana system kutai yang diganti oleh pemerintah hindia belanda dengan system kerasidenan (wedana), dan memposisikan dan membagi tanah masayrakat juru kalang ke dalam tiga cluster seperti yang telah diceritakan diawal tulisan ini.

3.  Zaman Penjajahan Jepang
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan pemukiman masih di pinggir sungai Danau Pada masa ini masyarakat sudah ada yang membuka hutan di sekitar pitok nutus (bukit pedinding) untuk berkebun.
Pada masa penjajahan jepang ini tidak banyak perubahan kebijakan pemilikan dan pengolahan tanah, karena pemerintah jepang sendiri masih menggunakan system hokum yang tellah di buat oleh pemerintah hindia belanda
4.  Zaman Orde Lama
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan Bukit Mangkurajo, pada era ini pembukaan lahan untuk penanaman tanaman kopi semakin meluas di daerah sekitar bukit serdang.

5.  Zaman Orde Baru
Pada masa ini pemukiman masyarakat semakin meluas di pinggir sungai ketahun, masyarakat sudah mulai bertanam padi sawah dengan pengairan berasal dari aliran DAS Ketahun dan beberapa sub DAS yang berada di sepanjang DAS Ketahun.  Pertanian masyarakat masih bertumpu di wilayah Hutan adat Jurukalang dengan alasan kesuburan tanahnya.
Pembukaan lahan di ke dua bukit ini semakin meluas, khususnya untuk bertanam kopi. Kemudian pada tahun 1995, desa ini mengalami musibah banjir yang mengakibatkan dusun terpecah menjadi dua yaitu dusun bawah dan dusun atas.  Banyak lahan persawahan masyarakat di pinggir sungai ketahun rusak dan tidak termanfaatkan, begitu juga beberapa lahan yang ada di sekitar desa yang mengakibatkan lahan tidur semakin luas.
Pada masa ini pemerintah merubah status Bukit Pedinding menjadi kawasan hutan lindung dan konservasi sebagai TNKS dan HL Rimbo Pengadang Reg.43 yang pada akhirnya memicu konflik tenurial wilayah kelola tradisional masyarakat.  Pada tahun 1997 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebagian hutan dan lahan budidaya masyarakat di Bukit Pedinding dan diikuti oleh program reboisasi dan rehabilitasi lahan melalui penanaman beberapa tanaman pelindung seperti sengon.

6. Zaman Sekarang
Pada masa sekarang, walaupun wilayah kelola tradisional mereka di bukit Pedinding telah diklaim menjadi hutan negara (TNKS), namun sebagian masyarakat masih tetap berkebun disana.  Ketidakjelasan tata batas dan kesuburan tanah menjadi Alasan mereka untuk tetap berkebun di sana. Di sisi lain tingkat pembukaan lahan pada kawasan hutan ini semakin luas untuk memenuhi kebutuhan lahan baru bagi masyarakat.
Apalagi volume tanah terlantar (lahan kritis/tidak produktif) semakin meningkat, pada posisi lain juga semenjak bergeraknya pola desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kabupaten lebong semakin memperketat pengawasannya terhadap kawasan hutan, dan kembali menggunakan streotif masyarakat perambah kepada masyarakat jurukalang  


Kuli Kontrak Menjadi Penduduk Bengkulu


 Sejarah Bengkulu 1908-1941
Dr Lindayanti  MHum

Dari hasil penelitian A.M.P.A. Scheltema [1] disebutkan bahwa 48% dari kuli yang diberangkatkan pada tahun 1928 berasal dari daerah-daerah Banyumas Barat, daerah Bagelen, yaitu Purworejo, Kutoarjo, dan Kebumen, dan Jawa Timur, yaitu Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk,  Jombang, dan  Malang. [2] Mereka berasal dari kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa yang kepadatan penduduknya di atas 500 orang/km2, seperti Tegal, Karanganyar, Banyumas, Purbolinggo,    Purworejo,    Kebumen,   dan   beberapa     daerah      di Vorstenlanden.[3] 
Para  kuli kontrak bekerja di perusahaan-perusahaan yang berada di Luar Pulau Jawa, salah satunya adalah di Bengkulu. Sehabis kontrak sebagian dari kuli kontrak tidak kembali ke daerah asal tetapi menetap di Bengkulu. Kehidupan bekas kuli kontrak setelah menetap di Bengkulu akan dibahas dalam bab ini, dari terbentuknya desa migran kuli di sekitar lahan milik perusahaan, bekas kuli kontrak yang mengikuti prgram kolonisasi,  dan kuli kontrak  yang terjebak  di lahan milik perusahaan akibat terjadi kemelut politik tahun 1942.      
A. Desa-desa pionir  di Rejang dan Lebong
Orang dari Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak direkrut dengan berbagai cara.  Sebagian dari mereka ada yang mendaftar langsung pada agen tenaga kerja di kota, mendaftar kerja melalui werek, mengikuti jejak saudara atau teman sedesa yang telah lebih dahulu menjadi kuli kontrak. Sebagian lain terpaksa menjadi kuli karena diculik, dibohongi oleh werek ataupun dijual oleh keluarganya.
Selanjutnya, calon kuli dibawa ke agen besar,  misalnya  Deli Planters Vereeniging ( D.P.V.) atau Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (A.V.R.O.S). Setelah calon kuli didaftar oleh agen dan diperiksa kesehatannya oleh dokter perusahaan maka kuli kontrak diberangkatkan ke  berbagai perkebunan di Sumatera.  Menurut pengalaman beberapa orang kuli, saat mereka mendaftar, mereka hanya mengetahui akan dipekerjakan di perkebunan Deli-Sumatera. Sampai mereka diberangkatkan   kuli kontrak tidak mengetahui, dimana mereka akan ditempatkan.
Para kuli ini bekerja berdasarkan kontrak yang dilengkapi peraturan poenale sanctie. Setelah habis kontrak,  sebagian besar kuli kembali ke daerah asal dan sebagian lain menetap di Bengkulu. Para bekas kuli kontrak yang kembali ke Jawa sebagian mendaftar kembali menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar pada agen tenaga kerja. Selanjutnya, mereka akan diberangkatkan kembali sebagai kuli kontrak ke perusahaan perkebunan ataupun pertambangan lain.
Untuk mendapat gambaran mengenai jumlah kuli yang menetap di Bengkulu dapat dilihat dari  perbandingan jumlah kuli yang masuk dan keluar. Misalnya,   pada  tahun  1917  kuli masuk ke Bengkulu berjumlah  718 orang,   sedangkan   kuli   keluar   hanya   berjumlah   365 orang. (Gambar 6.1). Perbedaan   jumlah  kuli   ini  dapat disebabkan  kuli  meninggal dunia, memperpanjang  kontrak kerja, ataupun menetap  di Bengkulu. Bekas kuli kontrak  yang memutuskan untuk menetap dapat disebabkan karena terjerat hutang pada perusahaan  ataupun mereka memang berminat menetap.   Migran bekas kuli yang memutuskan  menetap di Bengkulu dapat menempuh jalan sebagai  berikut:
1)     menetap di desa penduduk asli orang Rejang dan menikah dengan seorang wanita Rejang
2)     membuka sebuah perkampungan baru  di lahan milik perusahaan  ataupun di tanah milik  marga setempat
3)     menetap  di desa kolonisasi yang dibuka oleh pemerintah.
Sebagian dari bekas kuli memilih bertempat tinggal di luar tanah konsesi perusahaan, sebagian lain menetap dan mendirikan pemukiman baru di tanah konsesi perusahaan. Menurut laporan aspirant kontrolir Lebong pada tahun 1905, banyak bekas  kuli kontrak  bertempat tinggal di desa-desa orang Rejang dan migran menikah dengan seorang wanita Rejang. [4] 
Bekas kuli kontrak yang menetap di tanah konsesi perusahaan berkaitan dengan kebijakan perusahaan untuk mengatasi kekurangan kuli. Perusahaan mengalami kekurangan tenaga kerja karena sebagian besar kuli setelah habis kontrak tidak memperpanjang kontrak, kuli meninggal dunia ataupun kuli sakit.  Biaya mendatangkan kuli, baik dari Singapura maupun dari  Jawa,   sangat   mahal,[5] sedangkan usaha perusahaan mengambil kuli  dari dusun   sekitar   tidak   berhasil [6]  maka  perusahaan      mengambil
kebijakan menyediakan lahan bagi kuli yang bersedia tetap bekerja di perusahaan.  Bagi kuli yang telah berkeluarga dan kadangkala  membawa serta anak dan isterinya,  perusahaan menyediakan pondok dan makan bagi anak dan isteri kuli.
Sebagian bekas kuli kontrak  berminat dengan tawaran perusahaan, mereka  mendirikan pemukiman di tanah konsesi milik perusahaan. Misalnya, pada tahun 1905 pada tanah konsesi milik Perusahaan Tambang di Lebong Donok terdapat kampung migran kuli bernama Kampung Jawa  dan dihuni 40 orang Sunda dan   orang   Jawa    bekas   kuli  kontrak. Pada tahun 1907 jumlah penduduk di Kampung Jawa meningkat menjadi 80 orang seiring dengan semakin banyaknya bekas kuli kontrak yang menetap.[7] 
Pemukiman kuli lainnya adalah   Ladang Palembang,[8]  tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang telah dibuka menjadi perladangan  oleh orang-orang  Palembang.  Semula Ladang Palembang  dijadikan  tempat tinggal  bagi kuli yang tidak dapat bekerja lagi, karena sakit ataupun  sudah tua.  Dalam perkembangan selanjutnya,  Ladang Palembang  menjadi tempat tinggal bekas kuli kontrak yang masih muda dan sehat. Mereka membuka ladang, disamping tetap bekerja sebagai kuli  lepas di perusahaan tambang.   
Pemukiman orang-orang dari Jawa dipimpin  oleh seorang kepala kampung pribumi, terlepas dari  kekuasaan Datuk Pasar Muara Aman.  Akan tetapi kampung  berada dalam  pemerintahan marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.   Para bekas kuli kontrak ini disamakan kedudukannya dengan penduduk marga setempat, yaitu Marga Suku IX. Oleh sebab itu mereka diwajibkan mengikuti kerja wajib marga dan  membayar pajak sebesar f. 8/tahun.
Selain di Lebong,  pemukiman bekas kuli kontrak terdapat di sekitar perkebunan di Rejang.  Misalnya, Kampung Jawa, yaitu sebuah perkampungan bekas kuli kontrak yang berada di dekat dusun Curup.  Pada tahun 1903, Kampung Jawa dihuni oleh sekitar 86 orang bekas kuli kontrak perkebunan.  Selanjutnya, di sekitar Perkebunan  Soeban Ajam  terdapat beberapa perkampungan bekas kuli, pada tahun 1907  penduduk di kampung-kampung tersebut berjumlah antara 300 sampai 400 orang dan beberapa orang dari mereka menikah dengan seorang wanita dari suku Rejang.[9] Selanjutnya, di Kepahiang terdapat  pemukiman bekas kuli kontrak bernama Kampung Pensiunan. Pada tahun 1903 Kampung Pensiunan (Kepahiang)  berpenduduk 86 orang dan bertambah menjadi 118 orang pada tahun 1907.
Para bekas kuli ini  menetap atas kemauan sendiri,  tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka  membuka lahan persawahan dan kebun di tanah marga, sebagian dari mereka masih tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan perkebunan. Sebagian bekas kuli hanya bekerja di ladang dan berkebun. Mereka menanami  kebun dengan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)  dan hasilnya dijual ke Curup, atau Kepahiang. Perkampungan bekas kuli kontrak di Rejang maupun di Lebong memiliki seorang kepala kampung dari Jawa. Meskipun demikian kampung tetap berada di dalam pemerintahan marga.[10] Pertumbuhan pemukiman-pemukiman bekas kuli kontrak di sekitar perkebunan telah mengubah Curup, dari sebuah dusun kecil  menjadi  pusat perekonomian daerah Rejang. Status Dusun Curup meningkat menjadi Pasar Curup dan dipimpin oleh seorang datuk.

B.  Kuli dan  Kolonisasi
B.1. Kolonisasi Kuli di Lebong
Sebelum pemerintah melaksanakan program   kolonisasi,  perusahaan-perusahaan tambang telah memberikan sebagian tanah konsesi bagi kuli yang bersedia menetap. Oleh sebab itu saat pemerintah membuka daerah kolonisasi di Lebong  maka tujuan kolonisasi bukan hanya untuk membuka lahan pertanian tetapi  untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan tambang. Di Lebong terdapat dua macam  desa migran kuli, yaitu desa migran kuli  yang berdiri dengan bantuan pemerintah dan  tanpa bantuan pemerintah. Desa migran kuli yang dibantu pemerintah, misalnya Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur,  sedangkan desa migran kuli tanpa bantuan pemerintah, antara lain  Ladang  Palembang,  Kampung  Jawa  Baru,  Ajer Dingin,  Lebong Supit.
Pemerintah melakukan pencarian penduduk baru ke Pulau Jawa untuk menambah penduduk di desa kolonisasi kuli. Misalnya, pada bulan Mei  tahun 1911 pemerintah  mengutus orang Banten ke Pandeglang untuk mencari orang-orang yang bersedia pindah  ke Lebong. Penduduk baru yang berhasil dibawa berjumlah  77 orang dan ditempatkan di tiga desa migran kuli, Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur. Kedatangan mereka menambah penduduk  Desa  Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur sehingga penduduk di ketiga desa tersebut berjumlah 268 orang pada tahun 1912. (Gambar. 2)
Di luar desa migran kolonisasi, menurut laporan kontrolir Rejang Lebong, pada tahun 1912 di Lebong terdapat sekitar 257 orang bekas kuli kontrak yang menetap. Mereka    berada    di   perkampungan yang terletak di tanah milik perusahaan tambang, misalnya  Ladang Palembang, Kampung Jawa   Baru,    Ajer   Dingin,  Lebong   Supit,  dan   Ajer Pulang.  Sebagian lain, yaitu sekitar 20 orang bertempat tinggal di kampung-kampung orang Lebong.[11] Para bekas kuli kontrak yang menetap selain  bekerja di perusahaan tambang, juga berladang dan menjual berbagai produk pertanian, dan hasil  hutan, antara lain kayu  ke  perusahaan.    
Ketiga desa kolonisasi kuli yang mendapat bantuan pemerintah, yaitu Sukaraja, Kotamanjur, dan Sukabumi berada dekat  dengan perusahaan dan pusat pemerintahan di Muara Aman.[12] Desa dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda bekas kuli kontrak dan peserta kolonisasi yang didatangkan langsung dari Jawa. Perkampungan  terletak di dataran cocok untuk persawahan, sehingga mereka selain bekerja sebagai kuli dapat bertani. Diantara ketiga desa tersebut, lahan sawah beririgasi hanya terdapat di Kotamanjur, sedangkan lahan di Sukabumi dan Sukaraja adalah sawah tadah hujan. Kebanyakan dari mereka mencari tambahan penghasilan dengan bekerja di perusahaan, menjual kayu bakar, ataupun hasil padi mereka.         
Jumlah penduduk di ketiga desa migran kolonisasi kuli dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dari sekitar 282 orang pada tahun   1914   menjadi    496  orang pada tahun 1918. (Gambar. 6.3)   
Akan tetapi desa-desa  migran ini mengalami permasalahan kekurangan penduduk wanita. Misalnya, pada tahun 1918 jumlah  penduduk  wanita   dewasa  hanya   113  orang, sedangkan penduduk laki-laki dewasa berjumlah  245 orang.  (Gambar. 6.4)  Hal ini   menyebabkan  angka kelahiran  anak  pun   rendah.  Ketimpangan komposisi penduduk  bertambah karena banyak  migran laki-laki yang masih lajang menikah dengan wanita Lebong. Laki-laki migran setelah menikah meninggalkan desa kolonisasi dan menetap  di  desa  isteri.  Oleh  sebab  itu  pemerintah  di  Bengkulu
mengeluarkan kebijakan mengutamakan  perekrutan wanita lajang  untuk ditempatkan di desa-desa kolonisasi di Lebong.
 Pada tahun 1919  pemerintah membuka desa kolonisasi baru, yaitu Desa Magelang Baru. Penduduk di Desa  Magelang Baru berasal dari regentschap Magelang.  Dilaporkan bahwa pada tahun 1924  penduduk di Magelang Baru   berjumlah 147 orang dengan perincian:  64 orang laki-laki, 43 orang wanita, dan 40 anak.[13]  Setelah ini pemerintah Bengkulu tidak menambah penduduk desa kolonisasi dengan cara mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa, tetapi pemerintah  mengutamakan program kolonisasi  bekas kuli kontrak  yang sudah berkeluarga. Misalnya, pada tahun 1924 pemerintah merekrut bekas kuli  dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong sebanyak 18 orang dan 12 migran spontan yang datang atas biaya sendiri, [14] untuk ditempatkan di Desa Magelang Baru. Meskipun demikian, pada tahun 1925 penduduk Desa Magelang Baru berkurang  menjadi 136 orang,  dengan perincian: 59 orang laki-laki, 36 orang wanita,  dan  41 anak..[15]  Hal ini disebabkan penduduk meninggal dunia ataupun mereka meninggalkan desa kolonisasi.
Penduduk hidup dari  bertanam padi dan palawija,  memelihara ternak: ayam dan bebek. Di samping sebagai petani,  mereka memiliki pilihan kerja lain, misalnya bekerja sebagai kuli di Dinas Pekerjaan Umum ataupun bekerja pada perusahaan tambang emas perak milik pemerintah di Tambang Sawah dan Lebong Simpang.           

B.2  Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di  Tanah Konsesi Milik
       Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
Di bekas tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, sampai saat penelitian berlangsung (tahun 2005), dihuni oleh bekas kuli dan keturunan kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Mereka adalah keturunan kuli kontrak dan lahir di Bengkulu. Kebanyakan mereka pun bekerja sebagai kuli tambang, akan tetapi hanya sebagian kecil bekas kuli perusahaan tambang yang masih hidup, misalnya Sukarjo dan Jumat. Para keturunan kuli kontrak ini memberi nama dusun dan desa mereka sesuai dengan nama tempat di perusahaan tambang. Misalnya, mereka yang tinggal di bekas lokasi rumah sakit perusahaan menamai dusun mereka Dusun Rumah Sakit, sedangkan mereka yang menempati bekas lokasi pemondokan kuli orang Cina menamai dusun mereka Dusun Pondok Cina. Selain dusun-dusun di bekas kompleks perusahaan tambang, keturunan kuli kontrak juga bertempat tinggal di dusun yang telah lama dibuka di tanah milik perusahaan, misalnya Dusun Ladang Palembang.
Di Dusun Ladang Palembang terdapat satu keluarga keturunan kuli kontrak yang dapat memberi keterangan tentang orangtua mereka, yaitu keluarga Sofyan. Ayah Sofyan bernama Suwanda, seorang kuli kontrak berasal dari Cirebon.[16]  Suwanda berangkat menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar langsung ke agen tenaga kerja. Pada sekitar tahun 1930-an dia berangkat sebagai kuli kontrak untuk Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah  habis kontrak, Suwanda dan beberapa kawannya tidak pulang ke Jawa, melainkan mendirikan pemukiman di lahan konsesi tambang milik Perusahaan Redjang-Lebong, yaitu di Ladang Palembang. Ladang Palembang saat itu masih berupa hutan dan berpenduduk sedikit. Mereka  membuka ladang sambil  tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan tambang. Kemudian Suwanda menikah dengan Hindun, seorang kuli kontrak wanita dan memiliki 12 orang anak,  salah satunya bernama Sofyan. (Gambar. 6.5)
Setelah  Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940,   Suwanda  bekerja  sendiri   sebagai  penambang tradisional di  bekas   lahan   tambang  milik perusahaan.[17]  Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas  penambangan,  misalnya    Lebong Simpang,     Lebong Sulit[18]   bahkan  sampai ke  Lebong Tandai.  Hal  ini disebabkan  kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan  bekas penambangan  lainnya. Mereka bekerja  kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.           
Sofyan  hanya  sempat  sekolah sampai kelas lima Sekolah Rakyat   yang letaknya di desa Lebong Tambang.[19]  Setelah itu Sofyan    mengikuti  ayahnya  bekerja sebagai penambang tradisonal. Kemudian  Sofyan  menikah  dengan   Aisyah,  cucu dari seorang kuli  kontrak    yang     bernama  Rodiah   dari   Bogor. [20] Dari hasil perkawinannya Sofyan memiliki  lima orang anak. Tiga orang anaknya   bekerja   menjadi   petani,   di samping   itu   mereka   juga   bekerja sebagai penambang tradisional.[21]
Selain itu, di lokasi bekas kompleks perusahaan tambang masih dapat ditemui beberapa orang keturunan  kuli kontrak yang pernah bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan, misalnya Sukarjo dan Jumat. (Gambar. 6.6)  Jumat   adalah   anak  dari   kuli  kontrak yang bernama   Kanta  yang  berasal dari Cimahi (Jawa Barat).[22]  Kanta berangkat kerja menjadi kuli kontrak, sekitar tahun 1920-an, dan dipekerjakan sebagai kuli tambang di Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah kontrak habis Kanta memilih menetap di Lebong Donok dan menikah dengan Marni, seorang kuli kontrak di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.[23]  Marni dan Kanta memiliki 4 orang anak, yaitu Jumat, Sumi, Rasih, dan Mikan. Kanta adalah kuli tambang dalam yang nasibnya seperti kebanyakan kuli tambang dalam lainnya, Kanta terserang sakit TBC (tuberculose) dan meninggal dalam usia relatif muda di bawah usia 50 tahun.
Sebagai anak kuli tambang, Jumat  bersekolah hanya sampai kelas 3 di sekolah desa.   Pada   saat    itu   anak-anak   kuli tambang masih sedikit  yang  bersekolah,  satu  kelas  hanya    berisi  20 anak laki-laki, dan lima orang murid wanita.[24]  Setelah dewasa  Jumat mengikuti jejak ayahnya menjadi kuli  tambang  dan  setelah Perusahaan Tambang  Redjang-Lebong ditutup Jumat bersama kawan-kawannya melanjutkan bekerja sebagai penambang tradisional. Dari hasil pernikahannya Jumat memiliki  6 orang anak. Keenam anaknya bertempat tinggal menyebar di berbagai daerah dan tidak satupun yang menjadi penambang.
Sebelum tentara Jepang masuk  ke Indonesia tahun 1942,  Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah berhenti beroperasi dan sebagian kuli pindah kerja ke Tanjung Enim dan Perusahaan Tambang Simau di Lebong Tandai, sedangkan sebagian kuli lain tetap tinggal di area penambangan milik perusahaan. Mereka bekerja bersawah, berkebun, dan melakukan penambangan di bekas area penambangan. Pada saat  tentara  Jepang masuk ke Bengkulu  perusahaan tambang diduduki oleh tentara Jepang. Tentara mengangkut besi-besi, mesin perusahaan dengan bantuan para kuli yang masih berada di sekitar perusahaan.[25] Bekas kuli perusahaan diwajibkan bertanam padi (Oryza sativa L.)  dan jagung (Zea mays L.),  hasilnya diserahkan pada tentara Jepang.
Selanjutnya, pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia (tahun1945-1950) tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong  diduduki oleh tentara Indonesia. Untuk membiayai perjuangan mereka, para tentara menjual atap  seng bekas pondok kuli perusahaan kepada penduduk yang mampu. Saat terjadi nasionalisasi perusahaan tahun 1950-an,  tanah bekas Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang berada  di marga Suku IX  secara resmi diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Para bekas kuli yang bertempat tinggal di  bekas penambangan diberi kesempatan membeli tanah dengan harga murah. Pembelian itu dimulai dari pengukuran tanah pekarangan dan sawah dan selanjutnya untuk  menebus surat tanah itu, mereka  membayar dengan  dua setengah gram emas. Penggantian itu tidak memberatkan karena para kuli dengan mudah bisa memperoleh emas tersebut dengan cara menggali di bekas penambangan. Oleh karena itu, setelah nasionalisasi perusahaan tambang ini, di sekitar bekas penambangan   milik   Perusahaan  Tambang   Redjang-Lebong telah berdiri  desa-desa migran bekas kuli.
Bekas kuli dan keturunannya yang tinggal di sekitar penambangan selain hidup dengan bersawah, mereka juga masih melakukan penggalian tambang di bekas lahan penambangan, misalnya di Lebong Tambang dan Lebong Sulit. Bekas-bekas kuli tambang, misalnya Sukarjo, Jumat, dan Sofyan masih tetap bekerja menambang emas di bekas lahan penambangan di Lebong Tambang, Lebong Sulit di bekas konsesi tambang Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, bahkan  di Lebong Tandai  yang terletak di Bengkulu Utara.   
B.3. Kolonisasi Kuli di Rejang
Sejak awal program kolonisasi dilaksanakan pengusaha swasta  Barat   di   Rejang   tidak   keberatan dengan kolonisasi yang akan diselenggarakan oleh pemerintah.[26] Malahan, pengusaha perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij memanfaatkannya sebagai penyedia tenaga kerja bagi perkebunan.  Program     kolonisasi   di   Bengkulu  dapat   terlaksana   atas    perjuangan    Kontrolir     Rejang  D.G.  Hooijer.[27]   Pada   tahun   1908  percobaan kolonisasi dimulai di daerah Rejang dengan bantuan dana dari para kepala  Marga Selupu Rejang,  Merigi, dan Bermani Ilir. Migran kolonisasi yang datang pada tanggal 1 Maret 1908, sebanyak 66 orang dewasa dan 56 anak-anak, [28] yang ditempatkan di  dekat perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij berjumlah 26 orang dewasa dan 18 anak-anak. Para peserta kolonisasi selain bertani, mereka bekerja sebagai kuli di perkebunan  Algemeen Tabak Maatschappij.
Migran kolonisasi yang ditempatkan di dekat perkebunan sejak tanggal 3 Maret 1908 sudah harus bekerja membersihkan lahan belukar muda yang dipenuhi alang-alang (Imperata cylindrica L.)  untuk dijadikan lahan perkebunan tembakau. Setelah itu, lahan ditanami  tembakau (Nicotania tabacum L.),  tetapi penanaman pertama ini mengalami kegagalan karena  tanah yang  belum cukup asam sehingga belum siap untuk ditanami. Di samping berkebun tembakau,  mereka juga harus mempersiapkan lahan untuk membangun rumah dan memotong batang pohon untuk dijadikan kayu bakar dan dijual pada penduduk asli, sehingga  mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sebesar 50 sen/hari. 
Pada bulan pertama kedatangannya,  migran mendapatkan jatah makanan,  misalnya beras, teh, garam, ikan, sabun, dan minyak. Di samping itu mereka mendapat uang sebesar 25 sen/ minggu/kepala keluarga. Bulan berikutnya mereka hanya mendapat jatah beras dan ikan karena keperluan lain  sudah dapat dibeli sendiri dari hasil menjual kayu ataupun bekerja di perusahaan. Setelah empat setengah bulan  kebun tembakau sudah dapat dipanen. Mereka menyetorkan daun tembakau (Nicotania tabacum L.)  ke perusahaan dan sebagai gantinya mereka mendapatkan surat bukti yang dapat ditukarkan dengan bahan kebutuhan hidup melalui Kontrolir.   Pemerintah sengaja mengatur agar administratur perkebunan tidak memberikan bayaran uang bagi daun tembakau dari para migran  karena dikhawatirkan mereka akan membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang yang tidak perlu. Uang kontan hanya dapat mereka terima apabila mereka  bekerja di perkebunan tembakau.
Saat kaum lelaki mengurus kebun tembakau dan membuka lahan untuk berladang, kaum wanita dan anak-anak bekerja di gudang perusahaan. Akan tetapi, dalam praktiknya perusahaan kebun tetap mengalami kesulitan mendapatkan kuli karena migran kolonisasi lebih suka berladang daripada kerja di perusahaan. Misalnya, setelah lima  bulan kedatangannya,  migran orang Sunda yang mau bekerja di gudang hanya tiga orang dan itu pun hanya untuk beberapa hari.
Kelangkaan kuli terutama terjadi pada bulan Agustus ketika mereka sibuk membersihkan ladang untuk menanam padi. Pada saat itu  tidak ada migran kolonisasi yang bekerja di gudang,  baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak. Setelah masa tanam,  biasanya para wanita dan  anak-anak  yang berusian sembilan sampai 14 tahun kembali bekerja di gudang. Dalam satu minggu pekerja wanita dan anak bisa mendapatkan penghasilan sebesar f. 6,90. Biasanya  migran laki-laki hanya bekerja di perusahaan selama dua hari dengan upah sebesar f. 1, setelah itu mereka kembali bekerja di ladang.
Enam bulan setelah kedatangan migran di Dusun Air Sempiang telah berdiri  15  rumah migran kolonisasi dan lahan seluas sepertiga bau sudah ditanami padi ladang.[29]   Mereka telah memiliki uang sendiri untuk membeli padi seharga f. 2,50/pikul.  Untuk  membuka persawahan, mereka harus membangun saluran irigasi terlebih dahulu. Selain bertanam padi, migran menanami pekarangannya dengan  sayuran. Hasil sayur mereka jual ke Pasar Kepahiang.
Berdasarkan pengalaman keberhasilan menggabungkan kolonisasi kuli dan pertanian itu maka  pemerintah Bengkulu lebih memilih merekrut bekas kuli kontrak daripada mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa. Kolonisasi model ini adalah salah satu cara untuk mengatasi kekurangan kuli di perusahaan-perusahaan swasta Barat di Bengkulu. Dalam rangka menjalankan program kolonisasi bagi bekas kuli kontrak, pemerintah memberikan  pinjaman uang sebesar f. 15/kepala keluarga bagi bekas kuli yang bersedia menetap.
Program kolonisasi kuli yang dilaksanakan pada tahun 1920  diikuti  19 orang  bekas kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perkebunan Kopi Soeban Ajam. Mereka ditempatkan di desa-desa migran kolonisasi yang telah ada di daerah Rejang dan Lebong. Selanjutnya, pada tahun 1921 sejumlah orang bekas kuli kontrak dari   perkebunan  tembakau  Nederlandsch-Indie  Landbouw  Syndicaat (N.I.L.S.), dan Perkebunan Ajer Sempiang  yang mengikuti kolonisasi ditempatkan di areal persawahan Lubuk Blimbing (Marga Suku Tengah Kepungut-Rejang). [30]   Desa migran Lubuk Belimbing terletak di tanah beririgasi yang disiapkan  oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga migran tidak mengalami kesulitan menggarap lahan. Tujuan pembukaan desa kolonisasi ini adalah para  migran dari Jawa dapat memberi contoh bagi penduduk pribumi  dalam menggarap sawah.[31]
Pembukaan desa kolonisasi bekas kuli  Lubuk Belimbing menelan biaya f. 16.000 untuk membangun saluran irigasi. Akan tetapi, program ini gagal karena saluran irigasi tidak dapat berfungsi baik. Akibat kesulitan hidup di desa kolonisasi  Lubuk Belimbing, pada tahun 1923  banyak penduduk  meninggalkan  desa. Sampai dengan tahun 1928 areal persawahan yang dibuka tahun 1923 belum menghasilkan padi yang mencukupi  untuk hidup sehingga mereka masih harus berladang. Di samping itu, mereka hidup dari
hasil kebun kopinya.[32] Oleh sebab  itu, jumlah penduduk pada tahun 1928 makin berkurang,  yaitu  tahun  1921  Desa   Lubuk   Blimbing  berpenduduk sebanyak 94 orang, pada tahun 1928 desa hanya dihuni  60 orang karena sebagian penduduk pindah ke desa kolonisasi lain.[33]
Selain itu, masih  banyak  bekas kuli kontrak yang menetap dan membuka pemukiman baru tanpa bantuan pemerintah. Misalnya, Desa Suro Muncar (Pulau Geto), Desa Pekalongan (Merigi Kelubak). Desa Pekalongan  adalah desa-desa yang didirikan atas inisiatif bekas kuli kontrak dan migran spontan dari Pulau Jawa dengan cara meminta izin untuk mendapatkan tanah pada kepala marga setempat. Oleh karena mereka penduduk pendatang, maka diwajibkan membayar uang yang disebut “Sawah Bukit” ke kas marga [34] dan  dengan sendirinya desa ini tergabung dalam ikatan marga dan  mereka mempunyai hak dan kewajiban sama dengan penduduk asli. Menurut laporan kontrolir Rejang, pada tahun 1928 di Rejang terdapat sekitar 29 desa yang dibuka atas inisiatif para bekas kuli kontrak. Desa-desa ini terdapat di Marga Merigi,  Desa Pekalongan di dekat Desa Suro Muncar dan  Pulau  Geto,  Desa Karanganyar  yang terletak di dekat Kepahiang, dan Kampung Jawa di Curup.[35]

B.4 Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di  Perkebunan Soeban Ajam
Bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2005) dihuni oleh orang-orang Jawa, Rejang, dan suku lainnya. Komposisi penduduk Desa Suban Ayam tahun 2005 adalah 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. [36] Orang Jawa di Desa Suban Ayam pun tidak semua merupakan keturunan kuli kontrak perkebunan, karena pada tahun 1960an desa menerima transmigrasi pindahan dari  Pekik Nyaring (Bengkulu Utara),  dan transmigrasi  swakarsa dari Bengkulu Utara.[37]  Keturunan kuli kontrak perkebunan dan pernah bekerja di perkebunan,  hanya bersisa sekitar 4 orang, antara lain Rohid dan Husen.
Rohid, adalah anak seorang kuli kontrak  asal Subang yang bernama Ampai. Ampai sebelum bekerja dan menetap di Suban Ayam,  selalu berpindah-pindah kerja dari satu perkebunan ke perkebunan lain. Dimulai dari Jawa, Ampai berangkat kerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek.[38]  Pada mulanya Ampai  menjadi kuli kontrak karena bujukan seorang werek. Werek menawarkan upah  sekitar f.1/hari untuk bekerja di perkebunan Sumatera. Hal ini menarik bagi remaja yang belum memiliki pekerjaan. Akhirnya Ampai mendaftar menjadi kuli kontrak dan dipekerjakan di sebuah perkebunan di Aceh.
Selama Ampai bekerja sebagai kuli  kontrak tidak pernah mengalami kekerasan fisik meskipun upah tidak  sebesar yang dikatakan oleh werek.  Setelah habis masa kerja Ampai tidak memperpanjang kontrak, dia pulang ke  Jawa. Sesampai di Jawa Ampai mendaftar ke agen tenaga kerja dan diberangkatkan sebagai kuli kontrak untuk  perkebunan di  Deli. Akhirnya, pada tahun 1925 Ampai bekerja sebagai kuli kontrak di Perkebunan Soeban Ajam. Selanjutnya, dia menikah dengan seorang kuli kontrak wanita perkebunan Suban Ajam.  dan  memiliki anak bernama Rohid.[39] Oleh karena kedua orangtuanya bekerja sebagai kuli,  Rohid bersama anak-anak lain diasuh oleh seorang babu yang disediakan perusahaan. Saat berumur kurang lebih 12 tahun Rohid mulai bekerja di perkebunan.
Rohid bersama beberapa anak bekas kuli kontrak yang menetap di sekitar perkebunan, bekerja menjadi penyadap karet. Upah yang diterima tergantung dari hasil getah yang didapat setiap harinya. Para penyadap karet mulai pukul 04.00 sampai pukul 09.00 menyadap karet, setelah itu mereka pulang ke rumah untuk makan.[40]   Baru pada pukul 12.00 mereka kembali ke kebun untuk mengambil getah hasil sadapan. Berbeda dari para kuli kontrak, kuli-kuli harian tidak mendapatkan santunan  dari perusahaan.  Sebagai kuli bebas, tentu saja Rohid tidak memperoleh  fasilitas dari perkebunan, misalnya pemondokan, perawatan rumah sakit, atau memperoleh pensiun dari perusahaan. Dalam sehari, seorang kuli bisa mendapatkan  kurang lebih 15 liter getah dan mendapatkan upah sebesar 45 sen.[41]
Setelah dewasa, Rohid menikah dengan Painah dari Desa Tangsi Baru  di Perkebunan Kaba Wetan. Painah juga anak seorang kuli kontrak.  Ayah Painah bekerja di Perkebunan Kaba Wetan yang kemudian  setelah habis masa kontraknya menetap di lokasi perkebunan dan menjadi kuli bebas, sedangkan isterinya berhenti menjadi kuli kontrak dan bekerja sebagai penjual makanan di lokasi perusahaan. [42] Demikian halnya dengan Rohid dan Painah, setelah menikah Rohid tetap bekerja di perkebunan dan isterinya menjadi penjual makanan di lokasi Perkebunan Soeban Ajam, seperti yang dilakukan oleh ibunya.
Bekas   kuli   kontrak    lain    yang   menetap  di  lahan   milik Perkebunan Soeban  Ajam adalah Anirang.[43]  Anirang yang berasal dari Banten berangkat menjadi kuli kontrak sekitar tahun 1920-an.  Anirang bekerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek   dan ditempatkan di Perkebunan Dempo. Setelah kontrak habis, Anirang mendaftar lagi menjadi kuli kontrak dan ditempatkan di Perkebunan Soeban Ajam.  Setelah kontrak habis Anirang menetap di lahan perkebunan dan tetap bekerja menjadi kuli bebas.  Kemudian Anirang menikah dengan Sawinah dan memiliki seorang anak bernama Husen. (Gambar. 6.7)
Pada tahun 1941 Perkebunan Soeban Ajam tutup, kebanyakan  kuli perkebunan pindah kerja ke Perkebunan Kaba Wetan, termasuk Anirang.  Di perkebunan Kaba Wetan Anirang  menjadi mekanik  pabrik, dan menjadi mandor pada pembangunan jalan perkebunan. Sekitar setahun bekerja, Anirang meninggalkan perkebunan, selanjutnya dia menetap di desa migran Permu.   Pada tahun 1943, saat tentara Jepang menduduki Perkebunan Soeban Ajam, Anirang  pulang ke Suban Ayam.   
Pada saat itu kebun-kebun kopi dibongkar dan diganti tanaman jagung (Zea mays L.)  dan jarak (Ricinus communis L.).  Para bekas kuli perkebunan dipekerjakan oleh Jepang untuk menanam jagung dan rami (Boehmeria nivea L.).  Perkebunan dibagi menjadi dua, yaitu separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Pondok Seng (Sambirejo)  ditanami jarak, jagung, dan rami,  sedangkan separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Kali Padang hanya ditanami jagung.  Apabila seorang kuli dapat menyetor jagung 3 ton/sekali panen, maka akan dibebaskan dari kerja paksa, sedangkan mereka yang tidak sanggup akan dibawa Jepang untuk ikut kerja paksa.[44]
Setelah Indonesia merdeka,  perkebunan diambil alih oleh pemerintah RI, dan pemerintah membagikan tanah perkebunan  kepada bekas kuli perkebunan dengan pembayaran ganti rugi yang murah.[45]  Desa-desa pun terbentuk, misalnya Desa Kali Padang, Air Duku, dan Suban Ayam.  Masing-masing  desa   memiliki   kepala desa   sendiri, dan Anirang diangkat menjadi kepala desa pertama  Desa Suban Ayam.[46] Selanjutnya, pada tahun 1946 diadakan pemilihan kepala desa, Paimun, seorang bekas kuli kontrak yang menetap di perkebunan Soeban Ajam terpilih sebagai kepala desa. Sampai tahun 2005   desa Suban Ayam telah memiliki 10 orang  kepala desa, kebanyakan  orang Jawa. [47]

C.  Perubahan Politik dan Nasib Kuli di Perkebunan Kaba Wetan
Nasib bekas kuli bekerja di Perkebunan Kaba Wetan berbeda dengan mereka di Suban Ayam maupun di Lebong Donok. Mereka dapat menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar ganti rugi yang murah karena setelah Indonesia merdeka perusahaan tidak dioperasikan lagi. Akan tetapi bekas kuli Perkebunan Kaba Wetan mengalami sengketa tanah setelah berhasil mengambil alih lahan perusahaan. Hal ini disebabkan setelah Indonesia merdeka perusahaan dioperasikan kembali, sehingga pemerintah mengambil kembali lahan perusahaan yang telah diduduki oleh para bekas kuli.  Di lahan bekas perkebunan berdiri desa-desa yang dihuni oleh keturunan kuli perkebunan, antara lain  Kolonisasi Air Sempiang yang sekarang bernama Kampung Bogor dan perluasan dari Kampung Bogor diberi nama Kampung Babakan Bogor, Air Sempiang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lambou, Barat Wetan, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren.  Diantara keturunan kuli kontrak tersebut masih terdapat beberapa orang bekas kuli perkebunan, misalnya Jamal dan Maeran.
Jamal, (Gambar. 6.8)    adalah salah satu kuli kontrak periode terakhir sebelum Perkebunan Kaba Wetan jatuh ke tangan tentara Jepang. Jamal yang berasal dari desa  Salam (Yogyakarta), sebelum berangkat menjadi kuli kontrak bekerja sebagai pemain ketoprak keliling   yang  tidak  memiliki  tanah.[48] Selanjutnya,    Jamal  mengikuti pamannya  yang  sudah.bekerja di Perkebunan Kaba Wetan bekerja sebagai kuli di Perkebunan Kaba Wetan dengan kontrak selama  tiga tahun.   Pada tahun 1935 Jamal beserta calon kuli lainnya diberangkatkan naik  kereta api dari Yogyakarta menuju Jakarta,  kemudian  mereka diangkut dengan kapal menuju Bengkulu. Sampai di Pelabuhan Bengkulu mereka dijemput truk milik perusahaan perkebunan dan  dibawa ke Perkebunan Kaba Wetan di Kepahiang
Jamal  menandatangi  kontrak  kerja  untuk  masa  3 tahun   dengan bayaran  3000  rupiah uang putih (f. 30)[49] dan mendapatkan upah harian  sebesar 30 sen.[50]  Akan tetapi, upahnya setiap  hari  dipotong  sebanyak satu sen untuk biaya makan. Setiap bulan perusahaan memberikan bahan makanan berupa beras, minyak, gula dan lain-lain. Selain upah, perusahaan juga memberi fasilitas berupa pemondokan kuli; alat kerja untuk   berladang,   misalnya    pacul  dan  parang;  penanganan kesehatan gratis di rumah sakit perusahaan.[51]  Saat  bekerja  menjadi kuli, Jamal mendapatkan peningkatan status menjadi  mandor kecil dan kemudian meningkat lagi menjadi mandor besar.
Penghapusan poenale sanctie, bukan berarti tidak terjadi lagi kekerasan terhadap kuli. Misalnya, menurut cerita yang berkembang pada kalangan kuli di Perkebunan Suban Ayam,  di afdeeling Kali Padang (Suban Ayam) pernah ada kuli  digantung sampai mati oleh mandor besar Musa (orang Banten). [52]Di samping itu, hukuman ringan pada kuli yang mangkir kerja oleh mandor masih sering terjadi.  Pengalaman menjadi kuli kontrak ini  tidak berlangsung lama. Oleh karena nasib Jamal dan para kuli kontrak lainnya  di Perkebunan Kaba Wetan berubah saat  tentara Jepang mengambil alih perkebunan.
 Pada tanggal 23 Februari 1943 Keresidenan Bengkulu secara resmi jatuh ke tangan Jepang dan dengan gerak cepat tentara Jepang menuju ke dataran tinggi Rejang dan Lebong.[53] Rejang Lebong memiliki posisi strategis bagi Jepang, sebagai daerah lumbung beras dan pusat perusahaan perkebunan dan pertambangan. Perusahaan-perusahaan milik pengusaha swasta Barat diambilalih. Nasib perusahaan beserta kuli yang ditinggalkan Belanda tidak sama satu dengan yang lain. Perkebunan yang tidak menguntungkan dirombak menjadi  kebun tanaman pangan, sedangkan perkebunan yang menguntungkan tetap dipertahankan.  Misalnya, pada pertengahan April 1943 Perkebunan teh Kaba Wetan dibongkar karena hasil teh tidak dapat diekspor ke luar negeri.[54] Selanjutnya, para bekas kuli dikerahkan untuk mengganti dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang (Arachis hypogeae L.), dan umbi-umbian.
Selama masa pendudukan  Jepang, kegiatan perkebunan terhenti. Para bekas kuli  dibiarkan mengambil alih tanah perkebunan. Jamal mendapatkan kesempatan memperoleh tanah dan dia mendirikan rumah dan membuka   ladang   di lahan perkebunan.[55]  Sejak   itu,   para   bekas    kuli  memiliki   tanah   pekarangan  dan  lahan   pertanian. Di bekas lahan perkebunan itu para bekas kuli mendirikan rumah yang di sekitarnya ditanami jagung  dan sayuran. Kehidupan menjadi sulit karena mereka tidak mendapatkan upah kerja lagi. Mereka hidup hanya dari hasil pertanian  yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kehidupan semacam ini berjalan terus sampai Indonesia merdeka.
Pada tahun 1949 dilaksanakan perjanjian Konferensi Meja Bundar yang berisi antara lain bahwa perkebunan swasta asing harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sedangkan perkebunan milik pemerintah Hindia  Belanda   diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk perusahaan milik swasta asing yang sudah tidak beroperasi.[56]  Perkebunan Kaba Wetan sejak tahun 1950, diputuskan menjadi milik pemerintah Indonesia, dan pelaksanaannya diserahkan kepada daerah masing-masing. Oleh karena setelah merdeka Bengkulu dimasukkan dalam pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan, maka pengelola perkebunan adalah pemerintah daerah di Palembang. Selanjutnya, Perkebunan Kaba Wetan dikelola oleh perusahaan swasta  N.V. Kenawen Palembang,[57] Saat itu keadaan tanaman teh (Camellia sinensis L.)  di perkebunan sudah rusak. Sebagian lahan perkebunan  telah menjadi lahan pertanian dan terdapat rumah-rumah yang dihuni oleh bekas kuli perkebunan.          
Sebelum perkebunan dapat berfungsi dengan baik pada tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu pada pertengahan bulan Agustus 1957 Mayor Nawawi beserta pasukannya yang menjadi pendukung gerakan PRRI di Sumatera Barat dan melakukan desersi ke Bengkulu. Pada saat pasukan melewati areal perkebunan, mereka melakukan pembakaran pabrik dan kebun, dan membunuh sekitar 11 orang di Kaba Wetan.  Setelah peristiwa PRRI ini seluruh aktivitas perkebunan teh terhenti. Dalam masa vakum ini lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk setempat  dengan status hak pakai yang artinya penduduk  hanya memiliki hak untuk menggunakan lahan, tidak dapat memilikinya, ataupun menjualnya.
Selanjutnya, pada tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu 1974-1979) berencana membuka kembali perkebunan Kaba Wetan. Saat  perkebunan didata ulang hanya lahan seluas 1.900 ha dapat digunakan karena selebihnya adalah dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah seluas 1.000 ha diserahkan kepada P.T. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan. Dari lahan seluas 1.000 ha,   kurang lebih 250 ha.  terdapat lahan milik empat desa, yaitu Desa Tangsi Baru, Desa Tangsi Duren, Desa Barat Wetan, dan Desa Aer Sempiang, pekuburan umum, jurang, sungai, dan jalan,  sehingga kegiatan pertama dari perusahaan adalah memberi ganti rugi untuk tanaman penduduk.
 Pada masa peralihan ini terjadi ketegangan antara penduduk dan perusahaan, karena  masalah ganti rugi yang dirasa terlalu kecil. Akhirnya pada pertengahan tahun 1989 warga mulai pindah ke dalam batas-batas desa, dan pada sekitar tahun 1990-an perusahaan perkebunan mulai beroperasi. Di bekas lahan Perkebunan Kaba Wetan ini sejak tahun 1990-an terdapat dua perkebunan teh : Perkebunan Teh  Trisula milik pengusaha Taiwan dan Perkebunan Teh  Sarana Mandiri Mukti milik Pemerintah Daerah Bengkulu.  Kedua perkebunan ini  lebih suka mempekerjakan orang dari Jawa dibandingkan dengan pekerja orang Rejang, karena pekerja orang Jawa dan orang Sunda  dianggap lebih tekun bekerja.[58]
Orang-orang dari Jawa yang bermukim di Barat Wetan dan Babakan Bogor kebanyakan bekerja di Perkebunan Trisula, sedangkan orang-orang dari Jawa   yang berada di desa Air Sempiang, yang lebih dikenal dengan sebutan desa Lambou, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren bekerja di Perkebunan Sarana Mukti Mandiri .[59]  
              Para bekas kuli dan keturunannya yang menetap di Bengkulu, memiliki kehidupan baru yang berbeda-beda. Misalnya, desa-desa migran kuli di bekas penambangan Lebong Donok merupakan pemukiman  homogen yang hanya dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda keturunan kuli tambang.  Kebanyakan dari keturunan kuli tambang masih  bekerja sebagai penambang.
 Desa migran Suban Ayam, yang berada di  bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, merupakan  pemukiman yang dihuni oleh bermacam-macam suku, selain keturunan kuli perkebunan. Hal ini dapat terjadi karena letak  desa yang berdekatan dengan desa penduduk asli Rejang dan berada di sepanjang jalan propinsi. Kebanyakan keturunan kuli perkebunan bekerja sebagai petani, baik bertanam padi maupun sayuran.
 Desa-desa migran kuli yang berada di  Perbukitan  Kaba, sangat berbeda dari desa migran dari Jawa lainnya. Desa-desa mereka terletak di perbukitan dan  terpisah jauh dari desa-desa penduduk asli, sehingga kehidupan desa migran kuli ini terkesan eksklusif.  Pada saat  perkebunan Kaba Wetan berhenti berproduksi, terjadi peralihan status dari kuli kontrak menjadi petani bebas. Setelah bertahun-tahun mereka dan keturunannya hidup bertani dan berkebun, tetapi saat perkebunan teh pada tahun 1990-an  diaktifkan kembali,  banyak dari  keturunan kuli  yang menjadi pekerja perkebunan. Karena hidup  bertani dan bekerja sebagai pekerja upahan di perkebunan lebih baik daripada hanya bekerja sebagai petani.
             
( Dikutip dari dan seizin  Dr. Lindayanti. M.Hum “ (BAB VI) KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU  1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007) Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”

DAFTAR PUSTAKA
1.        A.M.P.A. Scheltema, “Eenige gegevens betreffende den economischen toestand in de regentscahppen, van waar in 1928 de meeste contractkoelies vertrokken” dalam Koloniale Studien, dertiende jrg. (Weltevreden: G. Kolff & Co., 1929), hlm. 411-429                
2.        Ibid., hlm.  412              
a.        Berdasarkan data dari Kantor Pusat Statistik bekerja sama dengan Kantor Perburuhan (Kantoor van Arbeid) dan dari Kontrolir ketenagakerjaan ( Wervingscontroleurs), tahun 1928  dalam Indisch Verslag, 1930, hlm. 53
3.        Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476 afs. No: 1486/20. Adanya perkawinan antara laki-laki dari Jawa dengan perempuan Rejang maka hak dan kewajiban laki-laki dari Jawa itu akan sama dengan warga Rejang asli.  
4.        Disebutkan bahwa ongkos mendatangkan kuli setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengolah 1 ton batuan tambang, Verslag  van de Directie der Mijnbouwmaatschappij Ketahoen, 1905.
5.        Menurut laporan kontrolir onderafdeeling Rejang W.A. de Laat de Kantoor,  orang Rejang belum  terbiasa   memenuhi  kebutuhan hidup dengan kerja  upahan. Mereka beranggapan pekerjaan semacam ini  memalukan dan tidak terhormat. Akan tetapi hal ini tidak berlaku, apabila mereka bekerja di perkebunan milik orang pribumi yang dibayar dengan cara bagi hasil. Mvo. Onderafdeeling Redjang, KIT. 946, hlm. 44 
6.        Ibid.  Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476, Afschrift No. 1486/20
7.        Ladang Palembang sampai sekarang dihuni oleh  orang Sunda keturunan dari kuli kontrak yang dahulu  bekerja di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
8.        Mgs. 17 Juni 1911, loc cit.
9.        Ibid.
10.     J. van Breda de Haan, “Kolonisatie op de Buitenbezittingen” dalam Teysmania, (Batavia: G. Kolff & Co., 1915),  hlm. 415
11.     Kotamanjur,  letaknya 3 ½ pal (5,25 km) dari Muara Aman, Sukabumi letaknya 5 pal (7,5 km) dari Muara Aman, dan Sukaraja yang berpenduduk orang Sunda letaknya hanya 1 ½ pal ( 3 km) dari Muara Aman
12.     Koloniaal Verslag tahun  1925
13.     Ibid
14.     Koloniaal Verslag 1926
15.     Wawancara dengan Sofyan, anak  Suwanda kuli kontrak  Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang,  tanggal 9 April 2005
16.     Wawancara dengan Sofyan, anak  Suwanda kuli kontrak  Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang,  tanggal 9 April 2005 
17.     Dari Desa Ladang Palembang menuju penambangan Lebong Sulit hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama satu malam perjalanan
18.     Jarak Ladang Palembang  dan Lebong Tambang sekitar dua km
19.     Rodiah , pada tahun 2005 telah berumur sekitar 95 tahun dan masih hidup, akan tetapi sudah tidak dapat melihat dan mendengar. Menurut cucunya, Aisyah, Rodiah mulai bekerja menjadi kuli kontrak wanita di Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada sekitar tahun 1925. Rodiah menikah dengan seorang kuli kontrak dan menetap di desa Ladang Palembang. 
20.     Pada tahun 2000 salah seorang anak Sofyan meninggal dunia karena kecelakaan kerja sewaktu menambang emas di Gunung Pongkor (Bogor).
21.     Wawancara dengan Jumat, Pondok Cina-Muara Aman, tanggal 10 April 2005 
22.     Marni berasal dari Purworejo (jawa Tengah).  Marni  menjadi kuli kontrak karena diajak  adik perempuannya yang juga bekerja di perusahaan tambang  dan suami adiknya adalah jurutulis di kantor lobang. 
23.     Wawancara dengan Jumat,  Pondok Cina (Muara Aman), tanggal 10 April 2005
24.     Wawancara dengan Sukarjo, Lebong Tambang (Muara Aman), tanggal 9 April 2005
25.     Hal ini berlainan dengan asumsi umum bahwa para pemilik      perkebunan tidak setuju dengan kolonisasi karena  dianggap dapat  menyebabkan  kesulitan dalam    perekrutan  buruh dan akan menghabiskan tenaga kerja orang dari Jawa. Patrice Levang, op cit, hlm.36
26.     Percobaan kolonisasi di Kepahiang disetujui oleh  Menteri Jajahan Idenburg dan merupakan perkecualian dengan alasan karena tanah yang akan digunakan sebagai percobaan kolonisasi sangat subur maka  Menteri tidak keberatan asal dalam pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan  program emigrasi, Bijlagen 4 Januari 1909 no. 23/9 dalam  BT 25  Januari 1909 no. 17 
27.     Afs. No 158/20 10 September 1908
28.     Afs. No 158/20 loc cit.
29.     Mvo.  Onderafdeeling Redjang, KIT  946, op cit.,  hlm. 3
30.     Ibid., hlm. 2.
31.     Ibid., hlm. 3
32.     Mvo. Residentie Benkoelen, 1932, KIT 202, op cit.,  hlm.  67
33.     Mvo. Onderafdeeling Redjang, 1928, KIT. 936, op cit., hlm. 3
34.     Ibid., hlm. 2 
35.     Wawancara dengan Achmad Cholil, kepala desa Suban Ayam, tanggal  3 April 2005
36.     Wawancara dengan Achmad Cholil
37.     Wawancara dengan Rohid, anak dari Ampai dan bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam, di desa Suban Ayam tanggal 3 April 2005
38.     Wawancara dengan Rohid, bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di desa  Suban Ayam, tanggal  3 April 2005
39.     Wawancara dengan Paimin, bekas kuli harian Perkebunan Soeban Ajam, Tritunggal Curup, tanggal 5 April 2005
40.     Wawancara dengan Rohid, ibid.
41.      Wawancara dengan Painah, bekas kuli kontrak wanita dari Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di Desa Suban Ayam,  tanggal 3 April 2005
42.     Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam, tanggal 5 April 2005
43.     Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam, tanggal 5 April 2005
44.     Sejak tahun 1968 lahan perkebunan Soeban Ajam telah disertifikatkan  menjadi hak milik penduduk.
45.     Ibid. 
46.     Penduduk Suban Ayam tahun 2005  adalah: 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. Wawancara dengan kepala desa Suban Ayam  Achmad Cholil, tanggal 5 April 2005  
47.     Wawancara dengan Jamal, bekas mandor perkebunan Kaba Wetan sehingga  menetap di Air Sempiang-Kepahiang, tanggal 1 April 2005
48.     Wawancara dengan Maeran, bekas kuli kontrak  Perkebunan Kaba Wetan, Desa Barat Wetan, tanggal 3 April 2005
49.     Upah seorang kuli kontrak wanita sebesar 25 sen/hari dan  dipotong sebanyak 1 sen untuk biaya makan, Wawancara dengan Jamal, bekas kuli kontrak  Perkebunan Kaba Wetan, Desa Air Sempiang, tanggal 3 April 2005
50.     Rumah sakit perusahaan untuk penyakit ringan terletak di afdeeling Tngsi Baru, sedangkan kuli yang menderita penyakit berat dikirim ke Rumah Sakit Pusat Waringin Tiga.  
51.     Wawancara dengan Rohid, anak kuli kontrak Perkebunan Soeban Ajam, Desa Suban Ayam, tanggal 7 April 2005
52.     Kementerian  Penerangan,  Propinsi Sumatera Selatan, 1955, hlm. 168
53.     Perjuangan Rakyat Tanah Rejang, Sebuah Fragmen Perjuangan Fisik Rakyat di Kota Curup dan Sekitarnya, (Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, 2000), hlm. 22
54.     Pada  tahun  1953 desa Air Sempiang diakui secara resmi oleh pemerintah dan jamal dipilih sebagai kepala desa yang pertama di desa Air Sempiang. Kepala desa Air Sempiang baru diganti pada tahun 1993 dan penggantinya adalah anak dari Jamal.
55.     Karl. J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan melawan Petani (terj.),   
56.     (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm. 49
57.     Wawancara dengan Wakun Karyo, desa Tangsi Baru (Kaba Wetan), tanggal  2
58.     April 2005
59.     Wawancara dengan Wakunkaryo, di desa Tangsi Baru, tanggal 2 April 2005 
60.     Wawancara, Ibid.