Sejarah
Bengkulu 1908-1941
Dr Lindayanti
MHum
Dari hasil
penelitian A.M.P.A. Scheltema [1]
disebutkan bahwa 48% dari kuli yang diberangkatkan pada tahun 1928 berasal dari
daerah-daerah Banyumas Barat, daerah Bagelen, yaitu Purworejo, Kutoarjo, dan
Kebumen, dan Jawa Timur, yaitu Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk,
Jombang, dan Malang. [2]
Mereka berasal dari kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa yang kepadatan
penduduknya di atas 500 orang/km2, seperti Tegal, Karanganyar, Banyumas,
Purbolinggo, Purworejo,
Kebumen, dan
beberapa daerah di
Vorstenlanden.[3]
Para kuli
kontrak bekerja di perusahaan-perusahaan yang berada di Luar Pulau Jawa, salah
satunya adalah di Bengkulu. Sehabis kontrak sebagian dari kuli kontrak tidak
kembali ke daerah asal tetapi menetap di Bengkulu. Kehidupan bekas kuli kontrak
setelah menetap di Bengkulu akan dibahas dalam bab ini, dari terbentuknya desa
migran kuli di sekitar lahan milik perusahaan, bekas kuli kontrak yang
mengikuti prgram kolonisasi, dan kuli kontrak yang terjebak
di lahan milik perusahaan akibat terjadi kemelut politik tahun 1942.
A. Desa-desa
pionir di Rejang dan Lebong
Orang dari Jawa
yang bekerja sebagai kuli kontrak direkrut dengan berbagai cara. Sebagian
dari mereka ada yang mendaftar langsung pada agen tenaga kerja di kota,
mendaftar kerja melalui werek, mengikuti jejak saudara atau teman sedesa yang
telah lebih dahulu menjadi kuli kontrak. Sebagian lain terpaksa menjadi kuli
karena diculik, dibohongi oleh werek ataupun dijual oleh keluarganya.
Selanjutnya, calon
kuli dibawa ke agen besar, misalnya Deli Planters Vereeniging (
D.P.V.) atau Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra
(A.V.R.O.S). Setelah calon kuli didaftar oleh agen dan diperiksa kesehatannya
oleh dokter perusahaan maka kuli kontrak diberangkatkan ke berbagai
perkebunan di Sumatera. Menurut pengalaman beberapa orang kuli, saat
mereka mendaftar, mereka hanya mengetahui akan dipekerjakan di perkebunan
Deli-Sumatera. Sampai mereka diberangkatkan kuli kontrak tidak
mengetahui, dimana mereka akan ditempatkan.
Para kuli ini
bekerja berdasarkan kontrak yang dilengkapi peraturan poenale sanctie. Setelah
habis kontrak, sebagian besar kuli kembali ke daerah asal dan sebagian
lain menetap di Bengkulu. Para bekas kuli kontrak yang kembali ke Jawa sebagian
mendaftar kembali menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar pada agen tenaga
kerja. Selanjutnya, mereka akan diberangkatkan kembali sebagai kuli kontrak ke
perusahaan perkebunan ataupun pertambangan lain.
Untuk mendapat
gambaran mengenai jumlah kuli yang menetap di Bengkulu dapat dilihat dari
perbandingan jumlah kuli yang masuk dan keluar. Misalnya, pada
tahun 1917 kuli masuk ke Bengkulu berjumlah 718
orang, sedangkan kuli keluar
hanya berjumlah 365 orang. (Gambar 6.1). Perbedaan jumlah kuli
ini dapat disebabkan kuli meninggal dunia, memperpanjang
kontrak kerja, ataupun menetap di Bengkulu. Bekas kuli kontrak
yang memutuskan untuk menetap dapat disebabkan karena terjerat hutang
pada perusahaan ataupun mereka memang berminat menetap.
Migran bekas kuli yang memutuskan menetap di Bengkulu dapat
menempuh jalan sebagai berikut:
1) menetap di desa penduduk
asli orang Rejang dan menikah dengan seorang wanita Rejang
2) membuka sebuah
perkampungan baru di lahan milik perusahaan ataupun di tanah
milik marga setempat
3) menetap di desa
kolonisasi yang dibuka oleh pemerintah.
Sebagian
dari bekas kuli memilih bertempat tinggal di luar tanah konsesi perusahaan,
sebagian lain menetap dan mendirikan pemukiman baru di tanah konsesi
perusahaan. Menurut laporan aspirant kontrolir Lebong pada tahun 1905, banyak
bekas kuli kontrak bertempat tinggal di desa-desa orang Rejang dan
migran menikah dengan seorang wanita Rejang. [4]
Bekas kuli kontrak
yang menetap di tanah konsesi perusahaan berkaitan dengan kebijakan perusahaan
untuk mengatasi kekurangan kuli. Perusahaan mengalami kekurangan tenaga kerja
karena sebagian besar kuli setelah habis kontrak tidak memperpanjang kontrak,
kuli meninggal dunia ataupun kuli sakit. Biaya mendatangkan kuli, baik
dari Singapura maupun dari Jawa, sangat mahal,[5]
sedangkan usaha perusahaan mengambil kuli dari dusun sekitar
tidak berhasil [6]
maka perusahaan mengambil
kebijakan
menyediakan lahan bagi kuli yang bersedia tetap bekerja di perusahaan.
Bagi kuli yang telah berkeluarga dan kadangkala membawa serta anak
dan isterinya, perusahaan menyediakan pondok dan makan bagi anak dan
isteri kuli.
Sebagian bekas kuli
kontrak berminat dengan tawaran perusahaan, mereka mendirikan
pemukiman di tanah konsesi milik perusahaan. Misalnya, pada tahun 1905 pada
tanah konsesi milik Perusahaan Tambang di Lebong Donok terdapat kampung migran
kuli bernama Kampung Jawa dan dihuni 40 orang Sunda dan
orang Jawa bekas kuli kontrak.
Pada tahun 1907 jumlah penduduk di Kampung Jawa meningkat menjadi 80 orang seiring
dengan semakin banyaknya bekas kuli kontrak yang menetap.[7]
Pemukiman kuli
lainnya adalah Ladang Palembang,[8]
tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang telah dibuka menjadi
perladangan oleh orang-orang Palembang. Semula Ladang
Palembang dijadikan tempat tinggal bagi kuli yang tidak dapat
bekerja lagi, karena sakit ataupun sudah tua. Dalam perkembangan
selanjutnya, Ladang Palembang menjadi tempat tinggal bekas kuli
kontrak yang masih muda dan sehat. Mereka membuka ladang, disamping tetap
bekerja sebagai kuli lepas di perusahaan tambang.
Pemukiman
orang-orang dari Jawa dipimpin oleh seorang kepala kampung pribumi,
terlepas dari kekuasaan Datuk Pasar Muara Aman. Akan tetapi
kampung berada dalam pemerintahan marga yang dikepalai oleh seorang
pasirah. Para bekas kuli kontrak ini disamakan kedudukannya dengan
penduduk marga setempat, yaitu Marga Suku IX. Oleh sebab itu mereka diwajibkan
mengikuti kerja wajib marga dan membayar pajak sebesar f. 8/tahun.
Selain di
Lebong, pemukiman bekas kuli kontrak terdapat di sekitar perkebunan di
Rejang. Misalnya, Kampung Jawa, yaitu sebuah perkampungan bekas kuli
kontrak yang berada di dekat dusun Curup. Pada tahun 1903, Kampung Jawa
dihuni oleh sekitar 86 orang bekas kuli kontrak perkebunan. Selanjutnya,
di sekitar Perkebunan Soeban Ajam terdapat beberapa perkampungan
bekas kuli, pada tahun 1907 penduduk di kampung-kampung tersebut
berjumlah antara 300 sampai 400 orang dan beberapa orang dari mereka menikah
dengan seorang wanita dari suku Rejang.[9]
Selanjutnya, di Kepahiang terdapat pemukiman bekas kuli kontrak bernama
Kampung Pensiunan. Pada tahun 1903 Kampung Pensiunan (Kepahiang)
berpenduduk 86 orang dan bertambah menjadi 118 orang pada tahun 1907.
Para bekas kuli
ini menetap atas kemauan sendiri, tidak mendapat bantuan dari
pemerintah. Mereka membuka lahan persawahan dan kebun di tanah marga,
sebagian dari mereka masih tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan
perkebunan. Sebagian bekas kuli hanya bekerja di ladang dan berkebun. Mereka
menanami kebun dengan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dan
hasilnya dijual ke Curup, atau Kepahiang. Perkampungan bekas kuli kontrak di
Rejang maupun di Lebong memiliki seorang kepala kampung dari Jawa. Meskipun
demikian kampung tetap berada di dalam pemerintahan marga.[10]
Pertumbuhan pemukiman-pemukiman bekas kuli kontrak di sekitar perkebunan telah
mengubah Curup, dari sebuah dusun kecil menjadi pusat perekonomian
daerah Rejang. Status Dusun Curup meningkat menjadi Pasar Curup dan dipimpin
oleh seorang datuk.
B. Kuli
dan Kolonisasi
B.1. Kolonisasi
Kuli di Lebong
Sebelum pemerintah
melaksanakan program kolonisasi, perusahaan-perusahaan
tambang telah memberikan sebagian tanah konsesi bagi kuli yang bersedia
menetap. Oleh sebab itu saat pemerintah membuka daerah kolonisasi di Lebong
maka tujuan kolonisasi bukan hanya untuk membuka lahan pertanian
tetapi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan tambang. Di
Lebong terdapat dua macam desa migran kuli, yaitu desa migran kuli
yang berdiri dengan bantuan pemerintah dan tanpa bantuan pemerintah. Desa
migran kuli yang dibantu pemerintah, misalnya Sukaraja, Sukabumi, dan
Kotamanjur, sedangkan desa migran kuli tanpa bantuan pemerintah, antara
lain Ladang Palembang, Kampung Jawa Baru,
Ajer Dingin, Lebong Supit.
Pemerintah
melakukan pencarian penduduk baru ke Pulau Jawa untuk menambah penduduk di desa
kolonisasi kuli. Misalnya, pada bulan Mei tahun 1911 pemerintah
mengutus orang Banten ke Pandeglang untuk mencari orang-orang yang bersedia
pindah ke Lebong. Penduduk baru yang berhasil dibawa berjumlah 77
orang dan ditempatkan di tiga desa migran kuli, Sukaraja, Sukabumi, dan
Kotamanjur. Kedatangan mereka menambah penduduk Desa Sukaraja, Sukabumi,
dan Kotamanjur sehingga penduduk di ketiga desa tersebut berjumlah 268 orang
pada tahun 1912. (Gambar. 2)
Di luar desa
migran kolonisasi, menurut laporan kontrolir Rejang Lebong, pada tahun 1912 di
Lebong terdapat sekitar 257 orang bekas kuli kontrak yang menetap.
Mereka berada di perkampungan
yang terletak di tanah milik perusahaan tambang, misalnya Ladang
Palembang, Kampung Jawa Baru, Ajer
Dingin, Lebong Supit, dan Ajer
Pulang. Sebagian lain, yaitu sekitar 20 orang bertempat tinggal di
kampung-kampung orang Lebong.[11]
Para bekas kuli kontrak yang menetap selain bekerja di perusahaan
tambang, juga berladang dan menjual berbagai produk pertanian, dan hasil
hutan, antara lain kayu ke perusahaan.
Ketiga desa
kolonisasi kuli yang mendapat bantuan pemerintah, yaitu Sukaraja, Kotamanjur,
dan Sukabumi berada dekat dengan perusahaan dan pusat pemerintahan di
Muara Aman.[12] Desa dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda bekas kuli
kontrak dan peserta kolonisasi yang didatangkan langsung dari Jawa.
Perkampungan terletak di dataran cocok untuk persawahan, sehingga mereka
selain bekerja sebagai kuli dapat bertani. Diantara ketiga desa tersebut, lahan
sawah beririgasi hanya terdapat di Kotamanjur, sedangkan lahan di Sukabumi dan
Sukaraja adalah sawah tadah hujan. Kebanyakan dari mereka mencari tambahan
penghasilan dengan bekerja di perusahaan, menjual kayu bakar, ataupun hasil
padi mereka.
Jumlah penduduk di
ketiga desa migran kolonisasi kuli dari tahun ke tahun mengalami peningkatan,
dari sekitar 282 orang pada tahun 1914 menjadi
496 orang pada tahun 1918. (Gambar. 6.3)
Akan tetapi
desa-desa migran ini mengalami permasalahan kekurangan penduduk wanita.
Misalnya, pada tahun 1918 jumlah penduduk wanita
dewasa hanya 113 orang, sedangkan penduduk laki-laki
dewasa berjumlah 245 orang. (Gambar. 6.4) Hal ini
menyebabkan angka kelahiran anak pun
rendah. Ketimpangan komposisi penduduk bertambah karena
banyak migran laki-laki yang masih lajang menikah dengan wanita Lebong.
Laki-laki migran setelah menikah meninggalkan desa kolonisasi dan menetap
di desa isteri. Oleh sebab itu
pemerintah di Bengkulu
mengeluarkan
kebijakan mengutamakan perekrutan wanita lajang untuk ditempatkan
di desa-desa kolonisasi di Lebong.
Pada tahun
1919 pemerintah membuka desa kolonisasi baru, yaitu Desa Magelang Baru.
Penduduk di Desa Magelang Baru berasal dari regentschap Magelang.
Dilaporkan bahwa pada tahun 1924 penduduk di Magelang
Baru berjumlah 147 orang dengan perincian: 64 orang
laki-laki, 43 orang wanita, dan 40 anak.[13]
Setelah ini pemerintah Bengkulu tidak menambah penduduk desa kolonisasi dengan
cara mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa, tetapi pemerintah
mengutamakan program kolonisasi bekas kuli kontrak yang sudah
berkeluarga. Misalnya, pada tahun 1924 pemerintah merekrut bekas kuli
dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong sebanyak 18 orang dan 12 migran spontan
yang datang atas biaya sendiri, [14]
untuk ditempatkan di Desa Magelang Baru. Meskipun demikian, pada tahun 1925
penduduk Desa Magelang Baru berkurang menjadi 136 orang, dengan
perincian: 59 orang laki-laki, 36 orang wanita, dan 41 anak..[15]
Hal ini disebabkan penduduk meninggal dunia ataupun mereka meninggalkan
desa kolonisasi.
Penduduk hidup
dari bertanam padi dan palawija, memelihara ternak: ayam dan bebek.
Di samping sebagai petani, mereka memiliki pilihan kerja lain, misalnya
bekerja sebagai kuli di Dinas Pekerjaan Umum ataupun bekerja pada perusahaan
tambang emas perak milik pemerintah di Tambang Sawah dan Lebong
Simpang.
B.2
Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di Tanah Konsesi Milik
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
Di bekas tanah
konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, sampai saat penelitian
berlangsung (tahun 2005), dihuni oleh bekas kuli dan keturunan kuli kontrak
dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Mereka adalah keturunan kuli kontrak
dan lahir di Bengkulu. Kebanyakan mereka pun bekerja sebagai kuli tambang, akan
tetapi hanya sebagian kecil bekas kuli perusahaan tambang yang masih hidup,
misalnya Sukarjo dan Jumat. Para keturunan kuli kontrak ini memberi nama dusun
dan desa mereka sesuai dengan nama tempat di perusahaan tambang. Misalnya,
mereka yang tinggal di bekas lokasi rumah sakit perusahaan menamai dusun mereka
Dusun Rumah Sakit, sedangkan mereka yang menempati bekas lokasi pemondokan kuli
orang Cina menamai dusun mereka Dusun Pondok Cina. Selain dusun-dusun di bekas
kompleks perusahaan tambang, keturunan kuli kontrak juga bertempat tinggal di
dusun yang telah lama dibuka di tanah milik perusahaan, misalnya Dusun Ladang
Palembang.
Di Dusun Ladang
Palembang terdapat satu keluarga keturunan kuli kontrak yang dapat memberi
keterangan tentang orangtua mereka, yaitu keluarga Sofyan. Ayah Sofyan bernama
Suwanda, seorang kuli kontrak berasal dari Cirebon.[16]
Suwanda berangkat menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar langsung ke agen
tenaga kerja. Pada sekitar tahun 1930-an dia berangkat sebagai kuli kontrak
untuk Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah habis kontrak, Suwanda
dan beberapa kawannya tidak pulang ke Jawa, melainkan mendirikan pemukiman di
lahan konsesi tambang milik Perusahaan Redjang-Lebong, yaitu di Ladang
Palembang. Ladang Palembang saat itu masih berupa hutan dan berpenduduk sedikit.
Mereka membuka ladang sambil tetap bekerja sebagai kuli bebas di
perusahaan tambang. Kemudian Suwanda menikah dengan Hindun, seorang kuli
kontrak wanita dan memiliki 12 orang anak, salah satunya bernama Sofyan.
(Gambar. 6.5)
Setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940, Suwanda bekerja sendiri sebagai penambang tradisional di bekas lahan tambang milik perusahaan.[17] Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas penambangan, misalnya Lebong Simpang, Lebong Sulit[18] bahkan sampai ke Lebong Tandai. Hal ini disebabkan kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan bekas penambangan lainnya. Mereka bekerja kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.
Setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940, Suwanda bekerja sendiri sebagai penambang tradisional di bekas lahan tambang milik perusahaan.[17] Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas penambangan, misalnya Lebong Simpang, Lebong Sulit[18] bahkan sampai ke Lebong Tandai. Hal ini disebabkan kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan bekas penambangan lainnya. Mereka bekerja kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.
Sofyan hanya
sempat sekolah sampai kelas lima Sekolah Rakyat yang
letaknya di desa Lebong Tambang.[19]
Setelah itu Sofyan mengikuti ayahnya
bekerja sebagai penambang tradisonal. Kemudian Sofyan menikah
dengan Aisyah, cucu dari seorang kuli
kontrak yang bernama
Rodiah dari Bogor. [20]
Dari hasil perkawinannya Sofyan memiliki lima orang anak. Tiga orang
anaknya bekerja menjadi petani,
di samping itu mereka juga
bekerja sebagai penambang tradisional.[21]
Selain itu, di
lokasi bekas kompleks perusahaan tambang masih dapat ditemui beberapa orang
keturunan kuli kontrak yang pernah bekerja sebagai kuli bebas di
perusahaan, misalnya Sukarjo dan Jumat. (Gambar. 6.6) Jumat
adalah anak dari kuli kontrak yang
bernama Kanta yang berasal dari Cimahi (Jawa Barat).[22]
Kanta berangkat kerja menjadi kuli kontrak, sekitar tahun 1920-an, dan
dipekerjakan sebagai kuli tambang di Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah
kontrak habis Kanta memilih menetap di Lebong Donok dan menikah dengan Marni,
seorang kuli kontrak di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.[23]
Marni dan Kanta memiliki 4 orang anak, yaitu Jumat, Sumi, Rasih, dan
Mikan. Kanta adalah kuli tambang dalam yang nasibnya seperti kebanyakan kuli
tambang dalam lainnya, Kanta terserang sakit TBC (tuberculose) dan meninggal
dalam usia relatif muda di bawah usia 50 tahun.
Sebagai anak kuli
tambang, Jumat bersekolah hanya sampai kelas 3 di sekolah desa.
Pada saat itu anak-anak
kuli tambang masih sedikit yang bersekolah,
satu kelas hanya berisi 20 anak laki-laki,
dan lima orang murid wanita.[24]
Setelah dewasa Jumat mengikuti jejak ayahnya menjadi kuli
tambang dan setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup
Jumat bersama kawan-kawannya melanjutkan bekerja sebagai penambang tradisional.
Dari hasil pernikahannya Jumat memiliki 6 orang anak. Keenam anaknya
bertempat tinggal menyebar di berbagai daerah dan tidak satupun yang menjadi
penambang.
Sebelum tentara
Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, Perusahaan Tambang
Redjang-Lebong telah berhenti beroperasi dan sebagian kuli pindah kerja ke
Tanjung Enim dan Perusahaan Tambang Simau di Lebong Tandai, sedangkan sebagian
kuli lain tetap tinggal di area penambangan milik perusahaan. Mereka bekerja
bersawah, berkebun, dan melakukan penambangan di bekas area penambangan. Pada
saat tentara Jepang masuk ke Bengkulu perusahaan tambang
diduduki oleh tentara Jepang. Tentara mengangkut besi-besi, mesin perusahaan
dengan bantuan para kuli yang masih berada di sekitar perusahaan.[25]
Bekas kuli perusahaan diwajibkan bertanam padi (Oryza sativa L.) dan
jagung (Zea mays L.), hasilnya diserahkan pada tentara Jepang.
Selanjutnya, pada
masa revolusi kemerdekaan Indonesia (tahun1945-1950) tanah konsesi milik
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong diduduki oleh tentara Indonesia. Untuk
membiayai perjuangan mereka, para tentara menjual atap seng bekas pondok
kuli perusahaan kepada penduduk yang mampu. Saat terjadi nasionalisasi
perusahaan tahun 1950-an, tanah bekas Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang
berada di marga Suku IX secara resmi diambil alih oleh pemerintah
Indonesia.
Para bekas kuli
yang bertempat tinggal di bekas penambangan diberi kesempatan membeli
tanah dengan harga murah. Pembelian itu dimulai dari pengukuran tanah
pekarangan dan sawah dan selanjutnya untuk menebus surat tanah itu,
mereka membayar dengan dua setengah gram emas. Penggantian itu
tidak memberatkan karena para kuli dengan mudah bisa memperoleh emas tersebut
dengan cara menggali di bekas penambangan. Oleh karena itu, setelah
nasionalisasi perusahaan tambang ini, di sekitar bekas penambangan
milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
telah berdiri desa-desa migran bekas kuli.
Bekas kuli dan
keturunannya yang tinggal di sekitar penambangan selain hidup dengan bersawah,
mereka juga masih melakukan penggalian tambang di bekas lahan penambangan,
misalnya di Lebong Tambang dan Lebong Sulit. Bekas-bekas kuli tambang, misalnya
Sukarjo, Jumat, dan Sofyan masih tetap bekerja menambang emas di bekas lahan
penambangan di Lebong Tambang, Lebong Sulit di bekas konsesi tambang Perusahaan
Tambang Redjang-Lebong, bahkan di Lebong Tandai yang terletak di
Bengkulu Utara.
B.3. Kolonisasi
Kuli di Rejang
Sejak awal program
kolonisasi dilaksanakan pengusaha swasta Barat di
Rejang tidak keberatan dengan kolonisasi yang
akan diselenggarakan oleh pemerintah.[26]
Malahan, pengusaha perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij memanfaatkannya
sebagai penyedia tenaga kerja bagi perkebunan. Program
kolonisasi di Bengkulu
dapat terlaksana atas
perjuangan Kontrolir Rejang
D.G. Hooijer.[27]
Pada tahun 1908 percobaan kolonisasi dimulai di
daerah Rejang dengan bantuan dana dari para kepala Marga Selupu
Rejang, Merigi, dan Bermani Ilir. Migran kolonisasi yang datang pada
tanggal 1 Maret 1908, sebanyak 66 orang dewasa dan 56 anak-anak, [28]
yang ditempatkan di dekat perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij
berjumlah 26 orang dewasa dan 18 anak-anak. Para peserta kolonisasi selain
bertani, mereka bekerja sebagai kuli di perkebunan Algemeen Tabak
Maatschappij.
Migran kolonisasi
yang ditempatkan di dekat perkebunan sejak tanggal 3 Maret 1908 sudah harus
bekerja membersihkan lahan belukar muda yang dipenuhi alang-alang (Imperata
cylindrica L.) untuk dijadikan lahan perkebunan tembakau. Setelah itu,
lahan ditanami tembakau (Nicotania tabacum L.), tetapi penanaman
pertama ini mengalami kegagalan karena tanah yang belum cukup asam
sehingga belum siap untuk ditanami. Di samping berkebun tembakau, mereka
juga harus mempersiapkan lahan untuk membangun rumah dan memotong batang pohon
untuk dijadikan kayu bakar dan dijual pada penduduk asli, sehingga mereka
bisa mendapat penghasilan tambahan sebesar 50 sen/hari.
Pada bulan pertama
kedatangannya, migran mendapatkan jatah makanan, misalnya beras,
teh, garam, ikan, sabun, dan minyak. Di samping itu mereka mendapat uang
sebesar 25 sen/ minggu/kepala keluarga. Bulan berikutnya mereka hanya mendapat
jatah beras dan ikan karena keperluan lain sudah dapat dibeli sendiri
dari hasil menjual kayu ataupun bekerja di perusahaan. Setelah empat setengah
bulan kebun tembakau sudah dapat dipanen. Mereka menyetorkan daun
tembakau (Nicotania tabacum L.) ke perusahaan dan sebagai gantinya mereka
mendapatkan surat bukti yang dapat ditukarkan dengan bahan kebutuhan hidup
melalui Kontrolir. Pemerintah sengaja mengatur agar administratur
perkebunan tidak memberikan bayaran uang bagi daun tembakau dari para
migran karena dikhawatirkan mereka akan membelanjakan uang tersebut untuk
membeli barang yang tidak perlu. Uang kontan hanya dapat mereka terima apabila
mereka bekerja di perkebunan tembakau.
Saat kaum lelaki
mengurus kebun tembakau dan membuka lahan untuk berladang, kaum wanita dan
anak-anak bekerja di gudang perusahaan. Akan tetapi, dalam praktiknya
perusahaan kebun tetap mengalami kesulitan mendapatkan kuli karena migran
kolonisasi lebih suka berladang daripada kerja di perusahaan. Misalnya, setelah
lima bulan kedatangannya, migran orang Sunda yang mau bekerja di
gudang hanya tiga orang dan itu pun hanya untuk beberapa hari.
Kelangkaan kuli
terutama terjadi pada bulan Agustus ketika mereka sibuk membersihkan ladang
untuk menanam padi. Pada saat itu tidak ada migran kolonisasi yang
bekerja di gudang, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak. Setelah masa
tanam, biasanya para wanita dan anak-anak yang berusian
sembilan sampai 14 tahun kembali bekerja di gudang. Dalam satu minggu pekerja
wanita dan anak bisa mendapatkan penghasilan sebesar f. 6,90. Biasanya
migran laki-laki hanya bekerja di perusahaan selama dua hari dengan upah
sebesar f. 1, setelah itu mereka kembali bekerja di ladang.
Enam bulan setelah
kedatangan migran di Dusun Air Sempiang telah berdiri 15 rumah
migran kolonisasi dan lahan seluas sepertiga bau sudah ditanami padi ladang.[29]
Mereka telah memiliki uang sendiri untuk membeli padi seharga f.
2,50/pikul. Untuk membuka persawahan, mereka harus membangun
saluran irigasi terlebih dahulu. Selain bertanam padi, migran menanami
pekarangannya dengan sayuran. Hasil sayur mereka jual ke Pasar Kepahiang.
Berdasarkan
pengalaman keberhasilan menggabungkan kolonisasi kuli dan pertanian itu
maka pemerintah Bengkulu lebih memilih merekrut bekas kuli kontrak
daripada mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa. Kolonisasi model ini
adalah salah satu cara untuk mengatasi kekurangan kuli di perusahaan-perusahaan
swasta Barat di Bengkulu. Dalam rangka menjalankan program kolonisasi bagi
bekas kuli kontrak, pemerintah memberikan pinjaman uang sebesar f.
15/kepala keluarga bagi bekas kuli yang bersedia menetap.
Program kolonisasi
kuli yang dilaksanakan pada tahun 1920 diikuti 19 orang bekas
kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perkebunan Kopi Soeban
Ajam. Mereka ditempatkan di desa-desa migran kolonisasi yang telah ada di
daerah Rejang dan Lebong. Selanjutnya, pada tahun 1921 sejumlah orang bekas
kuli kontrak dari perkebunan tembakau Nederlandsch-Indie
Landbouw Syndicaat (N.I.L.S.), dan Perkebunan Ajer Sempiang yang
mengikuti kolonisasi ditempatkan di areal persawahan Lubuk Blimbing (Marga Suku
Tengah Kepungut-Rejang). [30]
Desa migran Lubuk Belimbing terletak di tanah beririgasi yang disiapkan
oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga migran tidak mengalami kesulitan menggarap
lahan. Tujuan pembukaan desa kolonisasi ini adalah para migran dari Jawa
dapat memberi contoh bagi penduduk pribumi dalam menggarap sawah.[31]
Pembukaan desa
kolonisasi bekas kuli Lubuk Belimbing menelan biaya f. 16.000 untuk
membangun saluran irigasi. Akan tetapi, program ini gagal karena saluran
irigasi tidak dapat berfungsi baik. Akibat kesulitan hidup di desa
kolonisasi Lubuk Belimbing, pada tahun 1923 banyak penduduk
meninggalkan desa. Sampai dengan tahun 1928 areal persawahan yang dibuka
tahun 1923 belum menghasilkan padi yang mencukupi untuk hidup sehingga
mereka masih harus berladang. Di samping itu, mereka hidup dari
hasil kebun
kopinya.[32] Oleh sebab itu, jumlah penduduk pada tahun 1928 makin
berkurang, yaitu tahun 1921 Desa
Lubuk Blimbing berpenduduk sebanyak 94 orang, pada tahun 1928
desa hanya dihuni 60 orang karena sebagian penduduk pindah ke desa
kolonisasi lain.[33]
Selain itu,
masih banyak bekas kuli kontrak yang menetap dan membuka pemukiman
baru tanpa bantuan pemerintah. Misalnya, Desa Suro Muncar (Pulau Geto), Desa
Pekalongan (Merigi Kelubak). Desa Pekalongan adalah desa-desa yang
didirikan atas inisiatif bekas kuli kontrak dan migran spontan dari Pulau Jawa
dengan cara meminta izin untuk mendapatkan tanah pada kepala marga setempat.
Oleh karena mereka penduduk pendatang, maka diwajibkan membayar uang yang
disebut “Sawah Bukit” ke kas marga [34]
dan dengan sendirinya desa ini tergabung dalam ikatan marga dan
mereka mempunyai hak dan kewajiban sama dengan penduduk asli. Menurut laporan
kontrolir Rejang, pada tahun 1928 di Rejang terdapat sekitar 29 desa yang
dibuka atas inisiatif para bekas kuli kontrak. Desa-desa ini terdapat di Marga
Merigi, Desa Pekalongan di dekat Desa Suro Muncar dan Pulau
Geto, Desa Karanganyar yang terletak di dekat Kepahiang, dan
Kampung Jawa di Curup.[35]
B.4 Kehidupan
Bekas Kuli Kontrak di Perkebunan Soeban Ajam
Bekas lahan
Perkebunan Soeban Ajam, pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2005) dihuni
oleh orang-orang Jawa, Rejang, dan suku lainnya. Komposisi penduduk Desa Suban
Ayam tahun 2005 adalah 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari
macam-macam suku. [36]
Orang Jawa di Desa Suban Ayam pun tidak semua merupakan keturunan kuli kontrak
perkebunan, karena pada tahun 1960an desa menerima transmigrasi pindahan dari
Pekik Nyaring (Bengkulu Utara), dan transmigrasi swakarsa
dari Bengkulu Utara.[37]
Keturunan kuli kontrak perkebunan dan pernah bekerja di perkebunan, hanya
bersisa sekitar 4 orang, antara lain Rohid dan Husen.
Rohid, adalah anak
seorang kuli kontrak asal Subang yang bernama Ampai. Ampai sebelum
bekerja dan menetap di Suban Ayam, selalu berpindah-pindah kerja dari
satu perkebunan ke perkebunan lain. Dimulai dari Jawa, Ampai berangkat kerja
menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek.[38]
Pada mulanya Ampai menjadi kuli kontrak karena bujukan seorang werek.
Werek menawarkan upah sekitar f.1/hari untuk bekerja di perkebunan
Sumatera. Hal ini menarik bagi remaja yang belum memiliki pekerjaan. Akhirnya
Ampai mendaftar menjadi kuli kontrak dan dipekerjakan di sebuah perkebunan di
Aceh.
Selama Ampai
bekerja sebagai kuli kontrak tidak pernah mengalami kekerasan fisik
meskipun upah tidak sebesar yang dikatakan oleh werek. Setelah
habis masa kerja Ampai tidak memperpanjang kontrak, dia pulang ke Jawa.
Sesampai di Jawa Ampai mendaftar ke agen tenaga kerja dan diberangkatkan
sebagai kuli kontrak untuk perkebunan di Deli. Akhirnya, pada tahun
1925 Ampai bekerja sebagai kuli kontrak di Perkebunan Soeban Ajam. Selanjutnya,
dia menikah dengan seorang kuli kontrak wanita perkebunan Suban Ajam.
dan memiliki anak bernama Rohid.[39]
Oleh karena kedua orangtuanya bekerja sebagai kuli, Rohid bersama
anak-anak lain diasuh oleh seorang babu yang disediakan perusahaan. Saat
berumur kurang lebih 12 tahun Rohid mulai bekerja di perkebunan.
Rohid bersama
beberapa anak bekas kuli kontrak yang menetap di sekitar perkebunan, bekerja
menjadi penyadap karet. Upah yang diterima tergantung dari hasil getah yang
didapat setiap harinya. Para penyadap karet mulai pukul 04.00 sampai pukul
09.00 menyadap karet, setelah itu mereka pulang ke rumah untuk makan.[40]
Baru pada pukul 12.00 mereka kembali ke kebun untuk mengambil getah hasil
sadapan. Berbeda dari para kuli kontrak, kuli-kuli harian tidak mendapatkan
santunan dari perusahaan. Sebagai kuli bebas, tentu saja Rohid
tidak memperoleh fasilitas dari perkebunan, misalnya pemondokan,
perawatan rumah sakit, atau memperoleh pensiun dari perusahaan. Dalam sehari,
seorang kuli bisa mendapatkan kurang lebih 15 liter getah dan mendapatkan
upah sebesar 45 sen.[41]
Setelah dewasa,
Rohid menikah dengan Painah dari Desa Tangsi Baru di Perkebunan Kaba
Wetan. Painah juga anak seorang kuli kontrak. Ayah Painah bekerja di
Perkebunan Kaba Wetan yang kemudian setelah habis masa kontraknya menetap
di lokasi perkebunan dan menjadi kuli bebas, sedangkan isterinya berhenti
menjadi kuli kontrak dan bekerja sebagai penjual makanan di lokasi perusahaan. [42]
Demikian halnya dengan Rohid dan Painah, setelah menikah Rohid tetap bekerja di
perkebunan dan isterinya menjadi penjual makanan di lokasi Perkebunan Soeban
Ajam, seperti yang dilakukan oleh ibunya.
Bekas
kuli kontrak lain yang
menetap di lahan milik Perkebunan
Soeban Ajam adalah Anirang.[43]
Anirang yang berasal dari Banten berangkat menjadi kuli kontrak sekitar tahun
1920-an. Anirang bekerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek
dan ditempatkan di Perkebunan Dempo. Setelah kontrak habis, Anirang
mendaftar lagi menjadi kuli kontrak dan ditempatkan di Perkebunan Soeban Ajam.
Setelah kontrak habis Anirang menetap di lahan perkebunan dan tetap
bekerja menjadi kuli bebas. Kemudian Anirang menikah dengan Sawinah dan
memiliki seorang anak bernama Husen. (Gambar. 6.7)
Pada tahun 1941
Perkebunan Soeban Ajam tutup, kebanyakan kuli perkebunan pindah kerja ke
Perkebunan Kaba Wetan, termasuk Anirang. Di perkebunan Kaba Wetan
Anirang menjadi mekanik pabrik, dan menjadi mandor pada pembangunan
jalan perkebunan. Sekitar setahun bekerja, Anirang meninggalkan perkebunan,
selanjutnya dia menetap di desa migran Permu. Pada tahun 1943, saat
tentara Jepang menduduki Perkebunan Soeban Ajam, Anirang pulang ke Suban
Ayam.
Pada saat itu
kebun-kebun kopi dibongkar dan diganti tanaman jagung (Zea mays L.) dan
jarak (Ricinus communis L.). Para bekas kuli perkebunan dipekerjakan oleh
Jepang untuk menanam jagung dan rami (Boehmeria nivea L.). Perkebunan
dibagi menjadi dua, yaitu separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan
afdeeling Pondok Seng (Sambirejo) ditanami jarak, jagung, dan rami,
sedangkan separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Kali
Padang hanya ditanami jagung. Apabila seorang kuli dapat menyetor jagung
3 ton/sekali panen, maka akan dibebaskan dari kerja paksa, sedangkan mereka
yang tidak sanggup akan dibawa Jepang untuk ikut kerja paksa.[44]
Setelah Indonesia
merdeka, perkebunan diambil alih oleh pemerintah RI, dan pemerintah
membagikan tanah perkebunan kepada bekas kuli perkebunan dengan
pembayaran ganti rugi yang murah.[45]
Desa-desa pun terbentuk, misalnya Desa Kali Padang, Air Duku, dan Suban Ayam.
Masing-masing desa memiliki kepala
desa sendiri, dan Anirang diangkat menjadi kepala desa pertama
Desa Suban Ayam.[46]
Selanjutnya, pada tahun 1946 diadakan pemilihan kepala desa, Paimun, seorang
bekas kuli kontrak yang menetap di perkebunan Soeban Ajam terpilih sebagai
kepala desa. Sampai tahun 2005 desa Suban Ayam telah memiliki 10
orang kepala desa, kebanyakan orang Jawa. [47]
C.
Perubahan Politik dan Nasib Kuli di Perkebunan Kaba Wetan
Nasib bekas kuli
bekerja di Perkebunan Kaba Wetan berbeda dengan mereka di Suban Ayam maupun di
Lebong Donok. Mereka dapat menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar
ganti rugi yang murah karena setelah Indonesia merdeka perusahaan tidak
dioperasikan lagi. Akan tetapi bekas kuli Perkebunan Kaba Wetan mengalami
sengketa tanah setelah berhasil mengambil alih lahan perusahaan. Hal ini
disebabkan setelah Indonesia merdeka perusahaan dioperasikan kembali, sehingga
pemerintah mengambil kembali lahan perusahaan yang telah diduduki oleh para
bekas kuli. Di lahan bekas perkebunan berdiri desa-desa yang dihuni oleh
keturunan kuli perkebunan, antara lain Kolonisasi Air Sempiang yang sekarang
bernama Kampung Bogor dan perluasan dari Kampung Bogor diberi nama Kampung
Babakan Bogor, Air Sempiang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lambou,
Barat Wetan, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren. Diantara keturunan kuli
kontrak tersebut masih terdapat beberapa orang bekas kuli perkebunan, misalnya
Jamal dan Maeran.
Jamal, (Gambar.
6.8) adalah salah satu kuli kontrak periode terakhir sebelum
Perkebunan Kaba Wetan jatuh ke tangan tentara Jepang. Jamal yang berasal dari
desa Salam (Yogyakarta), sebelum berangkat menjadi kuli kontrak bekerja
sebagai pemain ketoprak keliling yang tidak memiliki
tanah.[48] Selanjutnya,
Jamal mengikuti pamannya yang sudah.bekerja di Perkebunan Kaba
Wetan bekerja sebagai kuli di Perkebunan Kaba Wetan dengan kontrak selama
tiga tahun. Pada tahun 1935 Jamal beserta calon kuli lainnya
diberangkatkan naik kereta api dari Yogyakarta menuju Jakarta,
kemudian mereka diangkut dengan kapal menuju Bengkulu.
Sampai di Pelabuhan Bengkulu mereka dijemput truk milik perusahaan perkebunan
dan dibawa ke Perkebunan Kaba Wetan di Kepahiang
Jamal
menandatangi kontrak kerja untuk masa 3
tahun dengan bayaran 3000 rupiah uang putih (f. 30)[49] dan mendapatkan upah harian
sebesar 30 sen.[50] Akan tetapi, upahnya setiap
hari dipotong sebanyak satu sen untuk biaya makan. Setiap bulan
perusahaan memberikan bahan makanan berupa beras, minyak, gula dan lain-lain.
Selain upah, perusahaan juga memberi fasilitas berupa pemondokan kuli; alat
kerja untuk berladang, misalnya pacul
dan parang; penanganan kesehatan gratis di rumah sakit
perusahaan.[51] Saat bekerja menjadi
kuli, Jamal mendapatkan peningkatan status menjadi mandor kecil dan
kemudian meningkat lagi menjadi mandor besar.
Penghapusan poenale
sanctie, bukan berarti tidak terjadi lagi kekerasan terhadap kuli. Misalnya,
menurut cerita yang berkembang pada kalangan kuli di Perkebunan Suban
Ayam, di afdeeling Kali Padang (Suban Ayam) pernah ada kuli digantung
sampai mati oleh mandor besar Musa (orang Banten). [52]Di samping itu, hukuman ringan pada kuli
yang mangkir kerja oleh mandor masih sering terjadi. Pengalaman menjadi
kuli kontrak ini tidak berlangsung lama. Oleh karena nasib Jamal dan para
kuli kontrak lainnya di Perkebunan Kaba Wetan berubah saat tentara
Jepang mengambil alih perkebunan.
Pada tanggal
23 Februari 1943 Keresidenan Bengkulu secara resmi jatuh ke tangan Jepang dan
dengan gerak cepat tentara Jepang menuju ke dataran tinggi Rejang dan Lebong.[53] Rejang Lebong memiliki posisi strategis
bagi Jepang, sebagai daerah lumbung beras dan pusat perusahaan perkebunan dan
pertambangan. Perusahaan-perusahaan milik pengusaha swasta Barat diambilalih.
Nasib perusahaan beserta kuli yang ditinggalkan Belanda tidak sama satu dengan
yang lain. Perkebunan yang tidak menguntungkan dirombak menjadi kebun
tanaman pangan, sedangkan perkebunan yang menguntungkan tetap
dipertahankan. Misalnya, pada pertengahan April 1943 Perkebunan teh Kaba
Wetan dibongkar karena hasil teh tidak dapat diekspor ke luar negeri.[54] Selanjutnya, para bekas kuli dikerahkan
untuk mengganti dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang (Arachis
hypogeae L.), dan umbi-umbian.
Selama masa
pendudukan Jepang, kegiatan perkebunan terhenti. Para bekas kuli
dibiarkan mengambil alih tanah perkebunan. Jamal mendapatkan kesempatan
memperoleh tanah dan dia mendirikan rumah dan membuka ladang
di lahan perkebunan.[55] Sejak itu,
para bekas kuli
memiliki tanah pekarangan dan
lahan pertanian. Di bekas lahan perkebunan itu para bekas kuli
mendirikan rumah yang di sekitarnya ditanami jagung dan sayuran.
Kehidupan menjadi sulit karena mereka tidak mendapatkan upah kerja lagi. Mereka
hidup hanya dari hasil pertanian yang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Kehidupan semacam ini berjalan terus sampai Indonesia
merdeka.
Pada tahun 1949
dilaksanakan perjanjian Konferensi Meja Bundar yang berisi antara lain bahwa
perkebunan swasta asing harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah,
sedangkan perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda diambil
alih oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk perusahaan milik swasta asing
yang sudah tidak beroperasi.[56] Perkebunan Kaba Wetan sejak tahun
1950, diputuskan menjadi milik pemerintah Indonesia, dan pelaksanaannya
diserahkan kepada daerah masing-masing. Oleh karena setelah merdeka Bengkulu
dimasukkan dalam pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan, maka pengelola
perkebunan adalah pemerintah daerah di Palembang. Selanjutnya, Perkebunan Kaba
Wetan dikelola oleh perusahaan swasta N.V. Kenawen Palembang,[57] Saat itu keadaan tanaman teh (Camellia
sinensis L.) di perkebunan sudah rusak. Sebagian lahan perkebunan
telah menjadi lahan pertanian dan terdapat rumah-rumah yang dihuni oleh bekas kuli
perkebunan.
Sebelum perkebunan
dapat berfungsi dengan baik pada tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu
pada pertengahan bulan Agustus 1957 Mayor Nawawi beserta pasukannya yang
menjadi pendukung gerakan PRRI di Sumatera Barat dan melakukan desersi ke
Bengkulu. Pada saat pasukan melewati areal perkebunan, mereka melakukan
pembakaran pabrik dan kebun, dan membunuh sekitar 11 orang di Kaba Wetan.
Setelah peristiwa PRRI ini seluruh aktivitas perkebunan teh terhenti.
Dalam masa vakum ini lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk
setempat dengan status hak pakai yang artinya penduduk hanya
memiliki hak untuk menggunakan lahan, tidak dapat memilikinya, ataupun
menjualnya.
Selanjutnya, pada
tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu 1974-1979)
berencana membuka kembali perkebunan Kaba Wetan. Saat perkebunan didata
ulang hanya lahan seluas 1.900 ha dapat digunakan karena selebihnya adalah
dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah seluas 1.000 ha diserahkan kepada
P.T. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan. Dari lahan seluas 1.000
ha, kurang lebih 250 ha. terdapat lahan milik empat desa,
yaitu Desa Tangsi Baru, Desa Tangsi Duren, Desa Barat Wetan, dan Desa Aer
Sempiang, pekuburan umum, jurang, sungai, dan jalan, sehingga kegiatan
pertama dari perusahaan adalah memberi ganti rugi untuk tanaman penduduk.
Pada masa
peralihan ini terjadi ketegangan antara penduduk dan perusahaan, karena
masalah ganti rugi yang dirasa terlalu kecil. Akhirnya pada pertengahan tahun
1989 warga mulai pindah ke dalam batas-batas desa, dan pada sekitar tahun
1990-an perusahaan perkebunan mulai beroperasi. Di bekas lahan Perkebunan Kaba
Wetan ini sejak tahun 1990-an terdapat dua perkebunan teh : Perkebunan
Teh Trisula milik pengusaha Taiwan dan Perkebunan Teh Sarana
Mandiri Mukti milik Pemerintah Daerah Bengkulu. Kedua perkebunan
ini lebih suka mempekerjakan orang dari Jawa dibandingkan dengan pekerja
orang Rejang, karena pekerja orang Jawa dan orang Sunda dianggap lebih
tekun bekerja.[58]
Orang-orang dari
Jawa yang bermukim di Barat Wetan dan Babakan Bogor kebanyakan bekerja di
Perkebunan Trisula, sedangkan orang-orang dari Jawa yang berada di
desa Air Sempiang, yang lebih dikenal dengan sebutan desa Lambou, Tangsi Baru,
dan Tangsi Duren bekerja di Perkebunan Sarana Mukti Mandiri .[59]
Para bekas kuli dan keturunannya yang menetap di Bengkulu, memiliki
kehidupan baru yang berbeda-beda. Misalnya, desa-desa migran kuli di bekas
penambangan Lebong Donok merupakan pemukiman homogen yang hanya dihuni
oleh orang Jawa dan orang Sunda keturunan kuli tambang. Kebanyakan dari
keturunan kuli tambang masih bekerja sebagai penambang.
Desa migran
Suban Ayam, yang berada di bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam,
merupakan pemukiman yang dihuni oleh bermacam-macam suku, selain
keturunan kuli perkebunan. Hal ini dapat terjadi karena letak desa yang
berdekatan dengan desa penduduk asli Rejang dan berada di sepanjang jalan
propinsi. Kebanyakan keturunan kuli perkebunan bekerja sebagai petani, baik
bertanam padi maupun sayuran.
Desa-desa
migran kuli yang berada di Perbukitan Kaba, sangat berbeda dari
desa migran dari Jawa lainnya. Desa-desa mereka terletak di perbukitan dan
terpisah jauh dari desa-desa penduduk asli, sehingga kehidupan desa
migran kuli ini terkesan eksklusif. Pada saat perkebunan Kaba Wetan
berhenti berproduksi, terjadi peralihan status dari kuli kontrak menjadi petani
bebas. Setelah bertahun-tahun mereka dan keturunannya hidup bertani dan
berkebun, tetapi saat perkebunan teh pada tahun 1990-an diaktifkan
kembali, banyak dari keturunan kuli yang menjadi pekerja
perkebunan. Karena hidup bertani dan bekerja sebagai pekerja upahan di
perkebunan lebih baik daripada hanya bekerja sebagai petani.
( Dikutip dari dan
seizin Dr. Lindayanti. M.Hum “ (BAB VI) KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN
KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU 1908-1941”
Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah
Mada 9 Agustus 2007) Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu
dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra
Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI
BENGKULU 1927-1988”
DAFTAR PUSTAKA
1.
A.M.P.A.
Scheltema, “Eenige gegevens betreffende den economischen toestand in de
regentscahppen, van waar in 1928 de meeste contractkoelies vertrokken” dalam
Koloniale Studien, dertiende jrg. (Weltevreden: G. Kolff & Co., 1929), hlm.
411-429
2.
Ibid.,
hlm.
412
a.
Berdasarkan
data dari Kantor Pusat Statistik bekerja sama dengan Kantor Perburuhan (Kantoor
van Arbeid) dan dari Kontrolir ketenagakerjaan ( Wervingscontroleurs), tahun
1928 dalam Indisch Verslag, 1930, hlm. 53
3.
Mgs.
17 Juni 1911 no. 1476 afs. No: 1486/20. Adanya perkawinan antara laki-laki dari
Jawa dengan perempuan Rejang maka hak dan kewajiban laki-laki dari Jawa itu
akan sama dengan warga Rejang asli.
4.
Disebutkan
bahwa ongkos mendatangkan kuli setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk
mengolah 1 ton batuan tambang, Verslag van de Directie der
Mijnbouwmaatschappij Ketahoen, 1905.
5.
Menurut
laporan kontrolir onderafdeeling Rejang W.A. de Laat de Kantoor, orang
Rejang belum terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dengan
kerja upahan. Mereka beranggapan pekerjaan semacam ini memalukan
dan tidak terhormat. Akan tetapi hal ini tidak berlaku, apabila mereka bekerja
di perkebunan milik orang pribumi yang dibayar dengan cara bagi hasil. Mvo.
Onderafdeeling Redjang, KIT. 946, hlm. 44
6.
Ibid.
Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476, Afschrift No. 1486/20
7.
Ladang
Palembang sampai sekarang dihuni oleh orang Sunda keturunan dari kuli
kontrak yang dahulu bekerja di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
8.
Mgs. 17
Juni 1911, loc cit.
9.
Ibid.
10. J.
van Breda de Haan, “Kolonisatie op de Buitenbezittingen” dalam Teysmania,
(Batavia: G. Kolff & Co., 1915), hlm. 415
11. Kotamanjur,
letaknya 3 ½ pal (5,25 km) dari Muara Aman, Sukabumi letaknya 5 pal (7,5 km)
dari Muara Aman, dan Sukaraja yang berpenduduk orang Sunda letaknya hanya 1 ½
pal ( 3 km) dari Muara Aman
12. Koloniaal
Verslag tahun 1925
13. Ibid
14. Koloniaal Verslag 1926
15. Wawancara dengan Sofyan, anak Suwanda
kuli kontrak Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa
Ladang Palembang, tanggal 9 April 2005
16. Wawancara
dengan Sofyan, anak Suwanda kuli kontrak Perusahaan Tambang Rejang
–Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang, tanggal 9 April 2005
17. Dari
Desa Ladang Palembang menuju penambangan Lebong Sulit hanya dapat ditempuh
dengan jalan kaki selama satu malam perjalanan
18. Jarak
Ladang Palembang dan Lebong Tambang sekitar dua km
19. Rodiah
, pada tahun 2005 telah berumur sekitar 95 tahun dan masih hidup, akan tetapi
sudah tidak dapat melihat dan mendengar. Menurut cucunya, Aisyah, Rodiah mulai
bekerja menjadi kuli kontrak wanita di Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada
sekitar tahun 1925. Rodiah menikah dengan seorang kuli kontrak dan menetap di
desa Ladang Palembang.
20. Pada tahun 2000 salah seorang anak Sofyan
meninggal dunia karena kecelakaan kerja sewaktu menambang emas di Gunung
Pongkor (Bogor).
21. Wawancara dengan Jumat, Pondok Cina-Muara
Aman, tanggal 10 April 2005
22. Marni
berasal dari Purworejo (jawa Tengah). Marni menjadi kuli kontrak
karena diajak adik perempuannya yang juga bekerja di perusahaan
tambang dan suami adiknya adalah jurutulis di kantor lobang.
23. Wawancara
dengan Jumat, Pondok Cina (Muara Aman), tanggal 10 April 2005
24. Wawancara dengan Sukarjo, Lebong Tambang
(Muara Aman), tanggal 9 April 2005
25. Hal
ini berlainan dengan asumsi umum bahwa para pemilik
perkebunan tidak setuju dengan kolonisasi karena dianggap dapat
menyebabkan kesulitan dalam perekrutan buruh dan
akan menghabiskan tenaga kerja orang dari Jawa. Patrice Levang, op cit, hlm.36
26. Percobaan
kolonisasi di Kepahiang disetujui oleh Menteri Jajahan Idenburg dan
merupakan perkecualian dengan alasan karena tanah yang akan digunakan sebagai
percobaan kolonisasi sangat subur maka Menteri tidak keberatan asal dalam
pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan program emigrasi, Bijlagen 4
Januari 1909 no. 23/9 dalam BT 25 Januari 1909 no. 17
27. Afs. No 158/20 10 September 1908
28. Afs.
No 158/20 loc cit.
29. Mvo.
Onderafdeeling Redjang, KIT 946, op cit., hlm. 3
30. Ibid., hlm. 2.
31. Ibid.,
hlm. 3
32. Mvo.
Residentie Benkoelen, 1932, KIT 202, op cit., hlm. 67
33. Mvo.
Onderafdeeling Redjang, 1928, KIT. 936, op cit., hlm. 3
34. Ibid.,
hlm. 2
35. Wawancara dengan Achmad Cholil, kepala desa
Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
36. Wawancara dengan Achmad Cholil
37. Wawancara
dengan Rohid, anak dari Ampai dan bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam, di desa
Suban Ayam tanggal 3 April 2005
38. Wawancara
dengan Rohid, bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di desa
Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
39. Wawancara dengan Paimin, bekas kuli harian
Perkebunan Soeban Ajam, Tritunggal Curup, tanggal 5 April 2005
40. Wawancara dengan Rohid, ibid.
41. Wawancara
dengan Painah, bekas kuli kontrak wanita dari Perkebunan Soeban Ajam dan
menetap di Desa Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
42. Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam,
tanggal 5 April 2005
43. Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam,
tanggal 5 April 2005
44. Sejak tahun 1968 lahan perkebunan Soeban Ajam
telah disertifikatkan menjadi hak milik penduduk.
45. Ibid.
46. Penduduk
Suban Ayam tahun 2005 adalah: 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10%
campuran dari macam-macam suku. Wawancara dengan kepala desa Suban Ayam
Achmad Cholil, tanggal 5 April 2005
47. Wawancara
dengan Jamal, bekas mandor perkebunan Kaba Wetan sehingga menetap di Air
Sempiang-Kepahiang, tanggal 1 April 2005
48. Wawancara dengan Maeran, bekas kuli
kontrak Perkebunan Kaba Wetan, Desa Barat Wetan, tanggal 3 April 2005
49. Upah seorang kuli kontrak wanita sebesar 25
sen/hari dan dipotong sebanyak 1 sen untuk biaya makan, Wawancara dengan
Jamal, bekas kuli kontrak Perkebunan Kaba Wetan, Desa Air Sempiang,
tanggal 3 April 2005
50. Rumah sakit perusahaan untuk penyakit ringan
terletak di afdeeling Tngsi Baru, sedangkan kuli yang menderita penyakit berat
dikirim ke Rumah Sakit Pusat Waringin Tiga.
51. Wawancara dengan Rohid, anak kuli kontrak
Perkebunan Soeban Ajam, Desa Suban Ayam, tanggal 7 April 2005
52. Kementerian Penerangan, Propinsi
Sumatera Selatan, 1955, hlm. 168
53. Perjuangan Rakyat Tanah Rejang, Sebuah Fragmen
Perjuangan Fisik Rakyat di Kota Curup dan Sekitarnya, (Pemerintah Kabupaten
Rejang Lebong, 2000), hlm. 22
54. Pada tahun 1953 desa Air Sempiang
diakui secara resmi oleh pemerintah dan jamal dipilih sebagai kepala desa yang
pertama di desa Air Sempiang. Kepala desa Air Sempiang baru diganti pada tahun
1993 dan penggantinya adalah anak dari Jamal.
55. Karl.
J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan melawan Petani (terj.),
56. (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm. 49
57. Wawancara dengan Wakun Karyo, desa Tangsi Baru
(Kaba Wetan), tanggal 2
58. April 2005
59. Wawancara
dengan Wakunkaryo, di desa Tangsi Baru, tanggal 2 April 2005
60. Wawancara,
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar