Minggu, 31 Januari 2016

Politik ‘Nasi” Bungkus vs se Kotak Nasi



Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum dan pengamat sosial budaya

TERINGAT akan prinsip ekonomi; “dengan modal sekecil-kecilnya dapat untung sebesar-besarnya” pada saat persiapan dan tahapan pemilukada serentak digulirkan sampai saat ini. Pemilukada serentak dalam pelaksanaan para kontestannya, tidak banyak berubah. Sisi de yure (hukum) ada beberapa item baru yang ditetapkan pemerintah yang dijalankan pihak penyelenggara pemilukada. Tapi, persisnya memang tetap sama dengan pemilukada sebelum ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dasar hukum pemilukada belum sepenuhnya dijadikan pedoman. Ada pedoman di balik layar yang lebih dominan dijalankan di tengah hirukpikuk kampanye para kontestan maupun kampanye formalitas yang difasilitasi oleh KPU dan Panwas bidang sosialisasi pemilukada.
Apakah masyarakat yang punya hak pilih (suara) dan yang tidak memilih sekarang ini sudah dapat dikategori “pemilih cerdas” – yang notabene bisa menghasilkan kepala daerah, juga cerdas? Tidak ada jawaban satupun yang dekat dengan kenyataan. Semua jawaban tergantung kubu – tim sukses masing-masing yang sudah klimaks mendukung masing-masing pasangan. “Sah-sah saja mau bicara apa dan dalilnya apa”
Catatan-catatan sebelum ini tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pemilukada pada intinya belum bergeser ke arah demokratisasi yang diamanatkan oleh undang-undang. Bisa jadi dari waktu ke waktu riil pelaksanaannya semakin tidak proporsional menjauhi sikap profesional. Namun demikian pemilukada tetap berlangsung.
Sekarang masyarakat diajak temu kangen, kumpul calon pemilih, temu warga pendukung jalur independen dan kampanye wajib bagi pasangan calon di lapangan terbuka atau gedung.
Mungkin yang tersirat dan yang tersurat beda pada tatatan realitasnya. Karena sudah kebiasaan disuguhi amplop, bahan makanan atau bahan pakaian (jadi atau belum jadi). Sekarang mah adem ayem. Mereka bilang, belum akan memberikan apa-apa, masih penggalangan. Kubu masyarakat bilang, “kita lihat saja, kalau nggak ada apa-apanya, yah terpaksa kita dukung yang lain!
Itu, di atas adalah bahasa yang merupakan ungkapan antara harapan dan kekecewaan masyarakat yang sudah dininabobokkan dan diperdayai selama berlangsungnya pemilukada langsung. Pemilih – warga demikian, sah-sah saja, kok! Selaras dengan kebiasaan calon terpilih (baik legislatif maupun kepala daerah) setelah terpilih mereka semakin jauh dari masyarakatnya.
Padahal, ketika mau meminta dukungan, mereka (baik legislatif maupun kepala daerah) tahan menyembah-nyembah datang door to door!. Bahasanyapun diucap sangat-sangat santun, draf program “jika mereka terpilih” luar biasa harapan yang dijanjikan.
Sekarang mah suasananya berbeda. Misalnya warga yang pulang dari temu warga dan paslon (pasangan calon) ketika ditegur warga lain yang nggak ikut, langsung dijawab, “Cuma dikasih nasi bungkus doang!”
“Masak iya sih?” tanya warga yang nggak ikut lagi.
“Bener, Cuma itu!”
Percakapan tersebut semakin mengarahkan, bahwa kebiasaan money politic dalam pemilukada sudah mendarah daging di tengah masyarakat. Siapa yang untung? Tentu saja para calon. Bagaimana dengan peraturan perundang-undangannya. Masih tetap diselimuti kabul tebal di musim kemarau.
Dari percakapan – percakapan soal pemilukada di tengah masyarakat. Catatan-catatan sebelumnya sangat gamplang dibeberkan dan disampaikan secara lisan pula dari mulut ke mulut. Dari kumpulan ke kumpulan warga. Baik mereka yang sering begadang main gaple atau catur di tingkat RT maupun di warung-warung ‘nongkrong’ di pasar.
Prinsip ekonomi di awal tulisan ini, sekarang jadi trend. “Se Kota versus Sebungkus Nasi” jadi landasan untuk merebut kekuasaan yang nantinya akan menguasai warga yang menerima dan yang tidak menerima se kota dan sebungkus nasi tadi. Pelayanan kepada rakyatpun disamaratakan. Baik kepada pendukung maupun warga yang tidak mendukung, aspirasi rakyat tetap jadi formalitas belaka.
Apalagi warga yang sepanjang harinya menunggu kiriman; uang, sabun, gula pasir, mentega, susu dan kaos, selembar kalender dan puncak penantian adalah kiriman pada saat “seragan fajar”. Betulkah serangan fajar menentukan kemenangan paslon? Bagaimana dengan ketentuan peraturan tentang item-item money politic? Sejauh mana sanksi, jika sampai batas yang telah ditentukan, paslon yang PNS, anggota DPR dan DPRD, pejabat BUMN dan BUMD, anggota TNI dan Polri. Demikian pula tentang laporan harta kekayaan pribadi(LHKP), termasuk masalah dana kampanye yang melebihi dari satu miliar? Persoalan siapakah jika terjadi demikian?
Atau bagaimana mungkin hanya “nasi kotak dan nasi bungkus” bisa ditukar dengan kekuasaan selama lima tahun dengan berbagai atribut dan sumber PADs (pemasukan asli diri sendiri). Jika dibentangkan benang uraiannya, memang tidak ketemu yang namanya paslon menang jadi kepala daerah akan memenuhi janji-janji politiknya kepada pendukung mereka. Bahasa pesimisnya adalah ketika paslon menang hanya ada dua pokok pikiran yang harus dipenuhi sebagai target.
Pertama: bagaimanapun caranya mereka harus mengembalikan cost (biaya) politik yang sudah dikeluarkan sebelum masa jabatan periode pertama mereka berakhir. Kedua: bagaimanapun caranya paslon yang menang itu memberikan kemudahan-kemudahan kepada kroni-kroninya, termasuk anak, isteri dan keluarga sendiri dalam banyak hal.
Jadi, kesimpulannya adalah nasi kotak dan nasi bungkus yang ditukarkan dengan kekuasaan selama lima tahun bukan menjadikan status pemilis sebagai pemilih cerdas dan kepala daerah yang dipilih, juga bukan kepala daerah yangt cerdas. Pelaksanaan defisini demokrasi telah menjadikan bonekaboneka—‘bonek’ dan jalur-jalur serangga tanah penmgrusak habitat di atas permukaan bumi.

Catatan Pinggir Di Sebuah Warung Bubur



Oleh Naim Emel Prahana

SUARA bernada tinggi itu tak begitu keras terdengar. Lantaran pembicaranya berada di pusat pasar yang penuh dengan keramaian. Serius tidak serius, tapi ‘serius’. Tidak serius, juga tidak juga! Orang bilang itu obrolan di warung. Bolehlah. Tapi, ada yang perlu dicatat – digaris bawahi dari obrolan semacam itu. Isinya konstektual sekali. Masalahnya, apakah itu mewakili lapisan masyarakat tertentu, atau tidak. Boleh dikesampingkan dulu.
Sebab, obrolan pasar atau ngobrol di warung kopi adalah pribadi-pribadi warga masyarakat, terkadang sangat informatif. Untuk banyak hal yang telah, sedang dan akan terjadi. Juga, ada benarnya obrolan di pasar di era global informasi itu ada kebodohan atau mungkin serangkaian informasi yang tengah terjadi di tengah masyarakat itu sendiri.
’Kayaknya begitu’. Apalagi suasana menjelang  pemungutan suara pemilukada (pilkada) serentak tanggal 9 Desember 2015 ini. Sepertinya, semua dikeluarkan. Mulai dari sendal, sepatu, sarung tangan, kaos-kaos kaki dan tangan. Topi dan tentunya pos anggaran untuk mengobrol tadi. Persis lahirnya banyak pengamat, motivator, inisiator atau penyambung lidah ’katanya’.
Itulah fenomena keterbukaan demokrasi dengan tingkat kemajuan melebihi kecepatan berjalannya kondisi di tengah masyarakat itu sendiri. Pemilihan kepala daerah disebut-sebut sebagai ’pilkada’ itu adalah bagian dari dinamika pembangunan karakter manusia. Over acting atau ada deleting tertentu. Itulah kewajaran bahwa tingkat pendidikan masyarakat sangat bervariatif.
Ngobrol di warung kopi pada umumnya melewati fase-fase perdebatan masalah tertentu. Bisa urgen bisa tidak masalahnya. Ketika itu memasuki wilayah demikian obrolan di warung kopi menjadi debat kusir yang tidak ada kesimpulannya. Kecuali memunculkan watak individu anggota masyarakat itu sendiri.

****

Dari situ akan muncul sikap individualisme yang tinggi. Mengarah kepada pengeritik dan penerima kritikan. Sebagian besar pasti menimbang, memperhatikan dan memutuskan debat kusir itu tidak perlu dibawa pulang ke rumah atau ke kantor. Tapi, tradisi lisan sering pula tidak menimbang, tidak memperhatikan dan tidak memutuskan isi debat itu secara bijak.
Terajilah sikut-sikutan berawal ngobrol di warung kopi. Apalagi pilkada serntak 9 Desember 2015 memunculkan lebih dari satu pasangan calon kepala daerah. Debat kusir, juga harus diakomodir sebagai proses demokratisasi di suatu masyarakat. Proses itu tidak bisa 100% mencapai garis finish. Setidak-tidaknya menjadi laga penting terhadap respon warga atas proses demokrasi tadi.
Standarisasi konteks obrolan pilkada memang tidak bisa dicapai dari ”obrolan di warung kopi”. Tapi, akan mencapai tujuannya, jika informasi itu memiliki banyak data riil yang disampaikan secara santun, beretika dan bermoral.
Yang bilang, ”Semua rakyat sudah ngecap politik di Indonesia itu jelek”
Adagium tersebut tidak benar. Sebab, dalam hal politik yang buruk selama ini, rakyat tidak menjeneralisir keburukan seorang politikus menjadi kejahatan politik secara keseluruhan. Banyak kasus politisi terjerat tindak pidana korupsi, narkoba, arogansi yang dipublikasikan secara luas tersebut.
Rakyat – masyarakat tidak ’lantas’ menyebut semua politisi atau diunia politik di Indonesia kacau balau, jahat, jelek, atau rusak! Masyarakat hanya mengaitkan dengan partai si politisi yang terjerat kasus hukum. Tapi, di lain sisi masyarakat tetap tidak memberikan lebel apa-apa terhadap politisi yang tidak bersalah.
Artinya, seperti anggota polisi terjerat kasus kejahatan. Maka, secara otomatis masyarakat menyebutkannya dengan ”kejahatan polisi” – korpnya dikait-kaitkan. Sedang anggota polisi lainnya, tidak. Tetap mereka hormati. Di situ tergambar jelas bahwa obrolan di warung kopi tidak ada jaminannya kalau apa yang disampaikan seseorang itu mewakili rakyat luat.
” Yang jelas mewakili karakternya sendiri!”

*****
Sama halnya, juga masalah apa yang menimpa beberapa da’i – uztad yang sering populer lewat acaranya di televisi atau beritanya di media cetak, elektronik dan media sosial. Masyarakat sudah cerdas, memilah, memilih dan menyimpulkan apa yang didengar, dilihat, ditemui atau dibaca masalahnya.
”Tidak serta merta,” demikian bisa disimpulkan. Sayangnya, kesimpulan yang baik dan benar itu, pada tahapan realitasnya selalu dibenturkan kepada individual yang mungkin memiliki karakter (sifat) yang temperamental, emosional, egois sehingga debat di warung kopi atau warung apa saja sering menimbulkan konflik komunikasi selanjutnya.
Pada tatanan obrolan masuk lebih dalam ke pemilukada. Salah satu yang selalu ikut serta dalam pembicaraan adalah money politic. Masyarakat hanya tahu ’suap’ dan tidak mau mengurus sebab akibatnya. Dalam pesta demokrasi seperti pilkada, ”uang berpengaruh besar terhadap kecenderungan warga menyanjung pasangan calon (paslon). Tapi, uang bukan jaminan sebuah kemenangan di pilkada
Demikianlah profile pemilik suara yang cerdas mengatakan debat kusir itu. Mereka akan terima dan menerima siapa yang akan memberikannya. Coblosan di kertas suara memiliki faktor pengaruh yang multifaktor. Apalagi pemilih yang hanya memberikan suara, tidak terkait dengan komunitas paslon pilkada.
Namun demikian, obrolan di warung kopi, warung apa saja (warung bubur, red) pasti memiliki nilai tersendiri terhadap apa yang sedang terjadi dan bagaimana kejadian selanjutnya. Masyarakat di pasar adalah ”masyarakat bebas”. Mereka bukan pemain, bukan politikus, bukan pengamat. Tetapi mereka setiap saat masuk ke wilayah pengamat, politikus maupun menjadi pemain yang bisa berperan dan bisa tidak. ”semua tergantung kepada sesuatu yang sedang terjadi!”
Asumsinya, bisakah masyarakat pada umumnya yang sudah menjadi cerdas ’memilih’ kemudian memilih ’pemimpin’ yang standarnya sudah cerdas juga? Di situ akan berlaku hukum relativitas.

LIBURAN dan JALAN-JALAN DI JOGJAKARTA





































LIBURAN dan jalan-jalan bareng memang asyik. Apalagi yang dikunjungi adalah daerah wisata yang sangat terkenal seperti Jogjakarta, Solo dan Bandung. Seperti gambar kami ketika ke daerah pariwisata tersebut di di atas:

Topeng Monyet di Halaman Rumahku

 Seni dan Ketrampilan Topeng monyet beberapa waktu lalu di Jakarta dilarang, karena dianggap telah melakukan penganiyaan terhadap satwa monyet. Namun, topeng monyet sangat disukai masyarakat, terutama anak-anak. Belum lama ini Topeng monyet mampir di rumah saya. Praktis anak saya minta dimainkan di halaman rumah. Naim EP)