Oleh Naim Emel
Prahana
Praktisi hukum dan pengamat sosial budaya
TERINGAT akan prinsip ekonomi;
“dengan modal sekecil-kecilnya dapat untung sebesar-besarnya” pada saat
persiapan dan tahapan pemilukada serentak digulirkan sampai saat ini.
Pemilukada serentak dalam pelaksanaan para kontestannya, tidak banyak berubah.
Sisi de yure (hukum) ada beberapa
item baru yang ditetapkan pemerintah yang dijalankan pihak penyelenggara
pemilukada. Tapi, persisnya memang tetap sama dengan pemilukada sebelum ini.
Pelaksanaan
ketentuan-ketentuan dasar hukum pemilukada belum sepenuhnya dijadikan pedoman.
Ada pedoman di balik layar yang lebih dominan dijalankan di tengah hirukpikuk
kampanye para kontestan maupun kampanye formalitas yang difasilitasi oleh KPU
dan Panwas bidang sosialisasi pemilukada.
Apakah masyarakat
yang punya hak pilih (suara) dan yang tidak memilih sekarang ini sudah dapat
dikategori “pemilih cerdas” – yang notabene bisa menghasilkan kepala daerah,
juga cerdas? Tidak ada jawaban satupun yang dekat dengan kenyataan. Semua
jawaban tergantung kubu – tim sukses masing-masing yang sudah klimaks mendukung
masing-masing pasangan. “Sah-sah saja mau bicara apa dan dalilnya apa”
Catatan-catatan
sebelum ini tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pemilukada pada
intinya belum bergeser ke arah demokratisasi yang diamanatkan oleh
undang-undang. Bisa jadi dari waktu ke waktu riil pelaksanaannya semakin tidak
proporsional menjauhi sikap profesional. Namun demikian pemilukada tetap
berlangsung.
Sekarang masyarakat
diajak temu kangen, kumpul calon pemilih, temu warga pendukung jalur independen
dan kampanye wajib bagi pasangan calon di lapangan terbuka atau gedung.
Mungkin yang
tersirat dan yang tersurat beda pada tatatan realitasnya. Karena sudah
kebiasaan disuguhi amplop, bahan makanan atau bahan pakaian (jadi atau belum
jadi). Sekarang mah adem ayem. Mereka
bilang, belum akan memberikan apa-apa, masih penggalangan. Kubu masyarakat
bilang, “kita lihat saja, kalau nggak ada
apa-apanya, yah terpaksa kita dukung yang lain!”
Itu, di atas adalah
bahasa yang merupakan ungkapan antara harapan dan kekecewaan masyarakat yang
sudah dininabobokkan dan diperdayai selama berlangsungnya pemilukada langsung.
Pemilih – warga demikian, sah-sah saja, kok!
Selaras dengan kebiasaan calon terpilih (baik legislatif maupun kepala daerah)
setelah terpilih mereka semakin jauh dari masyarakatnya.
Padahal, ketika mau
meminta dukungan, mereka (baik legislatif maupun kepala daerah) tahan
menyembah-nyembah datang door to door!.
Bahasanyapun diucap sangat-sangat santun, draf program “jika mereka terpilih”
luar biasa harapan yang dijanjikan.
Sekarang mah suasananya berbeda. Misalnya warga
yang pulang dari temu warga dan paslon (pasangan calon) ketika ditegur warga
lain yang nggak ikut, langsung dijawab, “Cuma dikasih nasi bungkus doang!”
“Masak iya sih?”
tanya warga yang nggak ikut lagi.
“Bener, Cuma itu!”
Percakapan tersebut
semakin mengarahkan, bahwa kebiasaan money politic dalam pemilukada sudah
mendarah daging di tengah masyarakat. Siapa yang untung? Tentu saja para calon.
Bagaimana dengan peraturan perundang-undangannya. Masih tetap diselimuti kabul
tebal di musim kemarau.
Dari percakapan –
percakapan soal pemilukada di tengah masyarakat. Catatan-catatan sebelumnya
sangat gamplang dibeberkan dan disampaikan secara lisan pula dari mulut ke
mulut. Dari kumpulan ke kumpulan warga. Baik mereka yang sering begadang main
gaple atau catur di tingkat RT maupun di warung-warung ‘nongkrong’ di pasar.
Prinsip ekonomi di
awal tulisan ini, sekarang jadi trend. “Se Kota versus Sebungkus Nasi” jadi
landasan untuk merebut kekuasaan yang nantinya akan menguasai warga yang menerima
dan yang tidak menerima se kota dan sebungkus nasi tadi. Pelayanan kepada
rakyatpun disamaratakan. Baik kepada pendukung maupun warga yang tidak
mendukung, aspirasi rakyat tetap jadi formalitas belaka.
Apalagi warga yang
sepanjang harinya menunggu kiriman; uang, sabun, gula pasir, mentega, susu dan
kaos, selembar kalender dan puncak penantian adalah kiriman pada saat “seragan
fajar”. Betulkah serangan fajar menentukan kemenangan paslon? Bagaimana dengan
ketentuan peraturan tentang item-item money
politic? Sejauh mana sanksi, jika sampai batas yang telah ditentukan,
paslon yang PNS, anggota DPR dan DPRD, pejabat BUMN dan BUMD, anggota TNI dan
Polri. Demikian pula tentang laporan harta kekayaan pribadi(LHKP), termasuk
masalah dana kampanye yang melebihi dari satu miliar? Persoalan siapakah jika
terjadi demikian?
Atau bagaimana
mungkin hanya “nasi kotak dan nasi bungkus” bisa ditukar dengan kekuasaan
selama lima tahun dengan berbagai atribut dan sumber PADs (pemasukan asli diri
sendiri). Jika dibentangkan benang uraiannya, memang tidak ketemu yang namanya
paslon menang jadi kepala daerah akan memenuhi janji-janji politiknya kepada
pendukung mereka. Bahasa pesimisnya adalah ketika paslon menang hanya ada dua
pokok pikiran yang harus dipenuhi sebagai target.
Pertama:
bagaimanapun caranya mereka harus mengembalikan cost (biaya) politik yang sudah dikeluarkan sebelum masa jabatan
periode pertama mereka berakhir. Kedua: bagaimanapun caranya paslon yang menang
itu memberikan kemudahan-kemudahan kepada kroni-kroninya, termasuk anak, isteri
dan keluarga sendiri dalam banyak hal.
Jadi, kesimpulannya
adalah nasi kotak dan nasi bungkus yang ditukarkan dengan kekuasaan selama lima
tahun bukan menjadikan status pemilis sebagai pemilih cerdas dan kepala daerah
yang dipilih, juga bukan kepala daerah yangt cerdas. Pelaksanaan defisini
demokrasi telah menjadikan bonekaboneka—‘bonek’ dan jalur-jalur serangga tanah
penmgrusak habitat di atas permukaan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar