Sastra Dan Komunitas
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan
RAGAM perebutan kekuasaan dalam dunia sastra (seni dan budaya), terkadang tidak lagi menjadi jejak-jekak perkembangan sastra di Indonesia. Kendati, semacam komunitas sastra—seperti komunitas masyarakat seni budaya lainnya, komunitas-komunitas itu menjadi pernik-pernik perjalanan sastra itu sendiri. Untuk memelihara jejak tadi, dibutuhkan seorang kritikus dan penulis sastra yang bijak dan berpola pikir maju.
Pasca Kongres Komunitas Sastra Indonesia—KSI di Kudus awal 2008, tepatnya 19—22 Januari 2008 lalu. Disebut-sebut sebagai kongres pertama KSI memberikan saya semacam “catatan tengah” tentang pergulatan sastrawan Indonesia selama ini. Yang pernah dan masih diombang-ambingkan oleh icon-icon community—komunitas. Perdebatan pun melahirkan kelompok-kelompok penggiat sastra dan kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengklaim wadah komunikasi mereka sebagai komunitas sastra.
Menyangkut peran, kelompok atau komunitas sastra dalam bentuk apapun, termasuk penggiatnya (sastrawannya) memiliki peran positif dan konstruktuf dalam perkembangan sastra Indonesia; dulu, esok dan seterusnya. Hanya saja, perdebatan mengenai komunitas itu sendiri membuat perkembangan sastra Indonesia tidak lebih dari debat kusir yang menginggalkan substansi kesastraan itu sendiri.
Menjelang tahun 1987 dikotonomi sastra di Indonesia benar-benar tidak baik dan sehat. Disebut-sebut ada komunitas sastra koran, sastra buku, sastra kamar, sastra lokal, sastra Jakarta, sastra konstektual, sastra pedalaman dan dikotonomi lainnya. Ide dasar penyebutan itu hanya melihat alur penempatan karya-karya sastra itu sendiri. Di sisi lain, perdebatan sengit antara sastra pop dengan sastra serius versi akademisi berlangsung terus. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah ada yang mau mempertemukan perbedaan dan persamaannya.
Itulah, pada Forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, banyak sastrawan menjadi antipati untuk membangun dunianya dengan kesepakatan untuk kembali ke daerah masing-masing. Sementara di daerahnya sastra belum mendapat tempat sebagaimana mestinya. Kendati, denyut sastra di tengah masyarakat sudah menjadi filosofi kehidupan sehari-hari.
Dari sejumlah banyak media cetak yang peduli terhadap karya sastra—toh mitos Jakarta dan beberapa media cetak tertentu dijadikan kultus sebagai kiblat sastra. Itu, tidak ada referensi tertulis atas komitmen yang dikeluarkan dalam moment tertentu. Tapi, secara lisan dan karena adanya kamus sebutan komunitas sastra—menjadi kultus Jakarta dan media cetak tertentu, tetap hidup langgeng hingga saat ini.
Biodata penyair atau cerpenis yang menyebut karyanya pernah dimuat di majalah Horizon, Kompas atau menjadi peserta forum-forum sastra, menjadi biografi yang populer. Sekaligus melenyapkan penyair atau cerpenis yang yang karyanya dimuat di koran atau majalah di luar kedua media cetak tersebut. Ini kenyataan, padahal tidaklah demikian.
Parni Hardi menulis, “ Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya!”.
Dengan panjang lebar Parni Hardi menjelaskan, komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya. Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.
Uraian sederhana dan singkat Parni Hardi itu ada benarnya. Walau tidak menjabarkan soal sastra lokal, sastra komunityas atau komunitas sastra. Belum lagi soal sastra lisan yang banyak melahirkan sastrawan besar, karena kemampuannya meng-teks-kan karya sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sastra lisan yang cenderung berisi filosofi kehidupan masyarakatnya, jika ditulis ulang, kualitas dan populeritas materi maupun penulisnya dapat melampaui penulis sastra yang hanya bergelut dengan sastra tulisan.
Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang sastra itu; lisan atau tulisan. Sebab, sastra yang membumi adalah sastra yang tidak dibatasi oleh waktu, ruang dan tempat serta tidak hilang karena perkembangan peradaban manusia. Sayangnya, sastrawan sendiri lebih suka dikelompok-kelompokkan dan lebih merasa bangga jika disebut-sebutkan sebagai anggota sebuah komunitas sastra tertentu.
Urutan yang pantas kita satukan adalah proses kreatif dunia sastra itu sendiri. Dari bahasa lisan (sastra lisan) kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan, kemudian dimusikalisasikan, dipentaskan, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (sesuai penilaian objektifnya). Pada fase berikutnya, mulailah sastra diajarkan di lembaga-lembaga formal (lembaga pendidikan) dengan membuat struktur, mekanisme dan format sastra dan karyanya.
Dan, selanjutnya sastra terus dikembangkan dan berkembang sedemikian pesat dan terus, terus berkembang tanpa henti. Politikus, penulis buku ilmu dan pengetahuan serta teknologi pun akhirnya mengutip karya-karya sastra seseorang (puisi khususnya). Itu berarti, para penulis karya sastra berusajha bagaimana mempublikasikan karya sastra untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Perjalanan dalam perkembangan sastra itulah yang menjadi itu, bahwa karya sastra yang bagus itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Karya-karya sastra yang berdurasi sekian kurun waktu—seperti lagu-lagu anak-anak muda saat ini. Ketika lagu baru ke luar, maka lagu sebelumnya yang ngetop dan ngepop sirna secara otomatis. Karya sastra bukan seperti itu. Ia lahir tanpa paksaan, ia besar tanpa dicipta-ciptakan atau direkayasa sedemikian rupa oleh penghargaan yang diberikan oleh kelompok/komunitas sastra itu sendiri.
Lalu, masihkah kita mempersoalankan nama “sastra tradisionil” dengan “sastra modern”? atau kelas-kelas dalam kelompok penggiat sastra Indonesia. Hemat saya, persoalan itu diangkat ke permukaan, karena kedangkalan para sastrawan itu sendiri—dengan catatan mereka adalah anggota sebuah komunitas sastra.
Akhirnya, saya berpikir. Kalaulah sastra Indonesia itu diinginkan menjadi karya sastra dunia. Maka, pemahaman lebih luas tentang penggiat, karya dan sastra itu harus melekat pada diri sastrawan, kritikus, cerpenis, penyair dan penulis sastra. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk mempublikasi—menyebarkan sastra (karya sastra) yang lisan yang tulisan ke semua lapisan masyarakat. Di mana dan kapanpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar