Jumat, 14 November 2008

Sejarah Transmigrasi di Bengkulu

Sejarah Transmigrasi di Bengkulu
Oleh Naim Emel Prahana

Pendahuluan
Awal abad ke XX di Indonesia (Hindia Belanda) ramai diberitakan tentang kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Dengan adanya kelebihan penduduk tersebut, dikhawatirkan munculnya persoalan-persoalan serius mengenai kelaparan yang akhirnya membuat rakyat menjadi melarat.

Pada September 1902 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan instruksi kepada Asisten Residen Sukabumi, HG Heyting dengan beslit (surat) No 17 tanggal 30 September 1902. dalam surat itu diminta Asisten Residen Sukabumi untuk mempelajari secermat mungkin untuk memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke daerah seberang (ke pulau-pulau yang ada di luar Pulau Jawa).

Desember 1902, Asisten Residen Sukabumi, Heyting mengeluarkan rancangan anggaran belanja untuk penyelenggaraan perpindahan penduduk atau waktu itu disebut dengan kolonisasi, sedangkan pendudukan (rakyat) yang akan dipindahkan disebut dengan nama kolonis. Anggaran belanja itu akan dipergunakan untuk memindahkan penduduk dari 5 daerah di pulau Jawa ke 5 daerah di luar pulau Jawa. Anggaran belanjanya direncanakan sebesar f 7 miliun.

Akan tetapi, rencana itu belum dilaksanakan, karena pemerintah Belanda hanya menginginkan perpindahan pendudukan itu untuk satu daerah saja dan itu sebagai percobaan programn kolonisasi. Akibatnya, Heyting kembali mengajukan usulan, agar diadakan program percobaan kolonisasi (transmigrasi). Program itu tidak mengirimkan kolonis ke luar pulau Jawa melainkan perpindahan penduduk dari daerah Kedu ke selatan, yaitu ke Banyuwangi pada tahun 1905.

Boleh jadi, Heyting adalah tokoh transmigrasi (kolonisasi) di Indonesia. Walau demikian keputusan parlemen Belanda (Tweede Kamer) 1904 yang mengutus 2 (duia ) anggotanya ke Hindia Belanda, yaitu Cramer dan Fock . Perpindahan pendudukan dari daerah Kedu dan Madura ke Banyuwangi yang tak pernah terlaksanya, telah memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah Hiandia Belanda. Terutama efektivitas penggunaan anggaran untuk mengirim para kolonis ke luar Jawa.

Cramer dan Fock sangat setuju jika perpidahan penduduk itu diarahkan dari Jawa ke luar Jawa. Sebab, program kolonisasi dari Kedua ke Banyuwangi diperintahkan untuk dihentikan.

Maka, tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda memulai program kolonisasi ke Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan Palembang. Namun, setelah dipertimbangkan, maka program kolonisasi pertama dilakukan ke Telukbetung (Lampung)—tepatnya di Gedong Tataan (dalam wilayah keresidenan Lampung).

Program kolonisasi tahun 1905 ke Gedong Tataan itu, kemudian disusul ke daerah-daerah lain di Lampung, seperti Gedong Dalam (Sukadana), Wonosobo dan sebagainya. Antara tahun 1905—1915 proghram kolonisasi diserahkan dan dipimpin oleh asisten wedana. Akan tetapi sejak tahun 1915 program kolonisasi di Lampung dipimpin oleh administrator bank. Dan, system kolonisasi pun diganti dengan system yang baru yaitu system utang.

Kolonisasi Bengkulu
Pada tahun 1905 diadakanlah pembicara antara pemerintah dengan resideng Bengkulu tentang perconaan pengiriman kolonis ke wilayah itu. Daerah yang dipilih adalah daerah Rejang Lebong sekitar 4 pal jaraknya dari tanah konsesi maskapai tambang Rejang Lebong.

Dari hasil penelitian dio daerah Bengkulu (Rejang), maka pada tahun 1908 kontrolir Kepahiang DG Hoeyer bersama dengan beberapa kepala marga (pasirah) mengajukan usul kolonisasi ke daerah Bengkulu. Dengan tujuan, agar ilmu yang tinggi dibidang pertanian masyarakat Jawa akan dapat memajukan daerah Bengkulu. Usulan itu diterima oleh pemerintah Belanda.

Pada tahun 1909 dikirimkanlah kolonis pertama ke daerah kepahiang. Para kolonis yang dikirim itu berasal dari daerah Bogor dan Periangan. Program itu berhasil dengan baik sekali. Maka, ke luarlah beslit No 17 tanggal 25 Januari 1909 dengan menyerahkan uang f 20.000,- sebagian uang itu untuk membantu kas marga (restitutie). Sebagian lagi untuk biaya pemindahan para kolonis dari daerah Pesundan ke Kepahiang.

Kemudian, 1909 itu juga dibuka 3 (tiga) desa kolonisasi di daerah rejang, yaitu Permu, Air Sompiang dan Talang Benih. Para kolonis yang pandai bercocok tanam itu, di daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan masalah kesehatan. Oleh karena itu tanggal 20 Desember 1910 ke luarlah beslit No 23 yang isinya pemerintah menyediakan anggaran sebesar f 5.000,-untuk memindahkan kolonis suku Jawa ke daerah dekat Muara Aman (Lebong) dan f 3.000,-biaya untuk perbaikan saluran air yang melalui daerah itu.

Keadaan para kolonis di daerah Lebong lebih baik daripadfa keadaan kolonis di daerah Permu, Air Sompeang dan Talang Benih. Pada tahun 1911 pemerintah mendatangkan lagi kolonis dari JawaTengah dan Periangan yang ditempatkan di Sukabumi, dekat Muara Aman.

Tahun 1912 beberapa kolonis di Sukabumi dikirim ke Jawa, untuk mencari para kolonis baru yang akan diberangkatkan ke daerah Lebong. Sampai tahun 1915 di daerah Rejang sudah terdapat 791 jiwa kolonis dan di daerah Lebong sebanyak 268 jiwa kolonis. Pada tahun 1919 pemerintah membuka lagi daerah kolonisasi di Lebong yang diberi nama Magelang Baru. Keadaan para kolonis di Sukabumi dan Magelang Baru di Lebong itu keadaannya sangat baik dan sejahtera.

Para kolonis itu awalnya bekerja di kebun-kebun milik orang lain, kemudian setelah kebun-kebun kopi mereka berhasil. Mereka pun memperluas areal perkebunan dengan cara yang lebih baik lagi. Dalam tahun 1930 Bank Rayat di Lebong menyediakan uang sebesar f 5.000,-untuk pemindahan 43 keluarga kolonis dari daerah keresidenan Banyumas (Jawa Tengah). Para kolonis itu ditempatkan di dekat Kota Bengkulu 10 keluarga, Perbo 35 keluarga, di Perbo sudah tersedia tanah seluas 200 bau yang siap dikerjakan dan diairi.

Antara bulan Februari—Maret 1931 di daerah Perbo didatangkan lagi (ditempatkan) 600 jiwa kolonis. Mereka terdiri dari korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Kemudian ditempatkan lagi di Rejang kolonis dari Begelen sebanyak 150 jiwa. Pembukaan lahan-lahan kolonisasi terus dilakukan. Pada tahun 1932 di sebelah Timur Curup yaitu di Pelalo didatangkan lagi kolonis berasal dari Blitar (Jawa Timur), yang kedudukan mereka berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah.

Kolonisasi-kolonisasi baru tersu dibuka oleh pemerintah. Pada tahun 1935 pmerintah membuka daerah kolonisasi baru bernama Lubuk Mampo sebanyak 200 keluarga yang berasal dari buruh kontrak di Jawa. Untuk anggaran pengiriman biaya para kolonis itu ditanggung oleh Departemen Kehakiman.

Sebab, setelah tahun 1935 pemerintah meletakkan kewajiban pada kolonis untuk membayar ongkos pemindahan f 12,50 setiap keluarga. Sebagai balasannya, para kolonis untuk 1 keluarga mendapat 1 bau pekarangan dan 1 bau tanah sawah. Tanah-tanah itu dapat diperluas sekuat mereka mengerjakannya. Maka, ketika mereka panen sangat membutuhkan tenaga bawon.

Akhir tahun 1938 luas tanah yang sudah ditanami mencapai 1.766 bau, sedangkan sampai tahun 1939 luas areal sawah sudah mencapai 1.600 bau. Hasil panennya di Rejang Lebong mencapai 20—29 kwintal padi kering per hektar. Di Kemumu hasil lading sekitar 24 kwintal per hektar dan di Perbo 19 kwintal per hektar padi kering. Sedangkan hasil sawahnya antara 12 kwintal—44 kwintal per hektar padi kering.

Tanah kolonisasi di Kemumu luasnya mencapai 1.200 bau yang sangat cocok untuk dijadikan lahan sawah. Dari tanah seluas itu, 200 baunya sudah ditanami dan 396 bau tahun 1940 dibagikan lagi. Di antaranya 90 bau untuk tanah pekarangan para kolonis.

Di Perbo luas tanah sawah kolonis 456,5 bau yang telah dibagikan kepada 445 keluarga (1.752 jiwa). Pembagiannya adalah 301,5 bau yang sudah ditanami, sisanya 112 bau dibagikan lagi kepada keluarga kolonis. Untuk tanah pekarangan yang sudah dibagikan mencapai luas 120 bau. Untuk keluarga kolonis yang baru dating mendapat bantuan bahan makanan selama 1 minggu. Selanjutnya mereka akan mendapat hasil dari upahan di sawah milik kolonis yang sudah lama menetap. Para kolonis yang baru, setelah 1—4 bulan sudah dapat memetik hasil berupa palawija yang ditanam di lahan-lahan yang sudah dibagikan.




Hasil Pertanian 1939
(per hektar )
daerah padi sawah padi lading
kolonisasi dalam kwintal dalam kwintal

Kemumu 25 29
Perbo 17 16
Rejang Lebong 17 18

Biasanya keluarga kolonis sehabis panen padi sawah atau lading menanam palawija yang hasilnya sangat baik. Mereka menghasilkan kacang 6,5 kwintal per hektar, kacang kedelai 7 kwintyal per hektar.

Akhir tahun 1940 di Kemumu jumlah keluarga kolonisasi sebanyak 281 KK atau 1.396 jiwa dan di Perbo 445 KK atau 1.792 jiwa. Sedangkan jumlah kolonis di seluruh keresidenan Bengkulu akhir tahun 1940 berjumlah 7.443 jiwa (orang), diantaranya 4.295 orang (kl. 1.273 keluarga) menetap di Rejang Lebong yang telah membuka 1.685 bau tanah.

Setelah pecah perang dunia ke II (PD II), di daerah keresidenan Bengkulu belum ada keluarga kolonis yang besar. Namun, kehadiran para kolonis di Bengkulu, khususnya di Kepahiang, Curup dan Muara Aman dan sekitarnya banyak memberikan aspirasi kepada penduduk asli Rejang tentang tata cara bertani dan lainnya.

Program kolonisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1905—1941, kemudian ketika Indonesia sudah merdeka. Maka program kolonisasi itu diganti namanya menjadi program transmigrasi yang mulai diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1950—1951.

Namun di daerah Bengkulu pengiriman transmigrasi tidak seperti di daerah lainnya di Indonesia, seperti ke Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi, Maluku. Program transmigrasi pemerintah RI merupakan pemindahan keluarga dari Jawa ke luar pulau Jawa.

Untuk daerah Bengkulu, antara tahun 1980—1985 diadakan program transmigrasi yang ditempatkan di Mangkurajo. Suatu daerah pegunungan antara Desa Kotadonok dan Sawah Mangkurajo atau di jalan menuju ke Tambang emas Lebong Simpang. Program transmigrasi di Mangkurajo itu diadakan saat Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir.

Penempatan keluarga trans di Mangkurajo memang tidak berjalan mulus. Hampir 40 % keluarga trans meningggalkan daerah pemukimannya. Hanya di bagian Barat mendekati daerah Bioa Puak (Air Pauh) keadaan keluarga trans agak baik dan sukses. Sampai sekarang mereka sudah berhasil menggarap lahan yang sudah mereka terima, bahkan sudah dapat menambah luas lahan untuk perkebunan kopi dan tanaman lainnya.
Kesulitannya hanya masalah air. Karena, letak lokasi transmigrasi di Mangkurajo itu berada di atas bukit barisan yang cukup tinggi di atas permukaan laut. Walaupun di kaki bukit barisan (buki Mangkurajo) terdapat aliran sungai (Bioa) yang disebut Bioa Puak (Air Pauh), Bioa Putiak (Air Putih), Bioa Tamang, Bioa Tiket, Bioa Telang dan sungai-sungai kecil lainnya.












Tidak ada komentar: