Sabtu, 28 Februari 2009

Ayah, Kampung dan Perjalanan







SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukitkemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Tidak ada komentar: