Rabu, 05 Mei 2010

Kampanye “Kecap No 1”

kolom Naim Emel Prahana

MUSIM kampanye pilkada (pemilukada) di beberapa kabupaten/kota di Lampung secara resmi belum. Akan tetapi, kampanye lewat acara kamuflase nyaris tanpa waktu, apalagi melalui atribut (alat peraga) seperti baleho, spanduk, banner dan stiker maupun kaos. Merek atau tulisan di alat peraga itu memang penuh dengan rayuan. Kalau tidak kita katakan “rayuan gombal”
Tapi, itulah namanya kampanye! Bahasa yang disampaikan semuanya bahasa janji, rayuan yang manis-manis antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Bahkan, saling intip apa mereka di alat peraga pasangan lain. Maka, pasangan lainnya lagi membuat tandingan.
Semuanya seperti merek kecap. Sebab, kecap yang dijual di pasar, semuanya memasang merek kualitas nomor 1. di dalam kampanye alat peraga yang berbentuk teks (tulisan) membuat yang membacanya sering geleng kepala. Kok semuanya nomor 1. bahkan, membawa-bawa nama dalam ajaran agama. Misalnya “Pesan Rahmat”. Padahal, kata Rahmat itu merupakan singkatan. Namun, jika sepintas masyarakat membacanya berkpmentar, “wah, alim banget tu pasangan
Tapi, memang itulah potret yang terjadi di tengah masyarakat kita. Black Campaign (kampanye hitam) sudah menjadi lumrah dan tujuannya bagaimana menjatuhkan pasangan lainnya. Bisa dikatakan hal itu sebagai menghalalkan segala macam pelanggaran atau tindak amoral, asusila sampai ke asosial. Padahal, masyarakat sebenarnya sudah tahu. Siapa pasangan calon yang itu dan yang ini atau yang di sana.
Pada akhirnya, warga masyarakatpun menjalankan strategi, siapapun calonnya mereka dekati, yang penting uang. “Soal suara, itu nanti,” kata mereka. Kacau sudah demokrasi di tengah masyarakat dewasa ini. Demokrasi yang didasarkan kepada materi (salah satu bentuk kehancuran sistem demokrasi).
Apaboleh buat, pelanggaran atau tindak pidana dalam pemilu, pilpres atau pemilukada memang tidak jelas. Padahal, aturannya sudah sangat jelas. Pelanggaran dan tindak pidana dalam pilkada pada akhirnya menjadi proyek pihak berkepentingan dalam penyelenggaraan pilkada. Semua bisa diatur, walau sudah diekspos di media massa. Itulah hebatnya demokrasi Indonesia saat ini.
Yang lebih parah lagi banyak calon yang incumbent memanfaatkan jabatannya untuk memobilisir fasilitas jabatan dan uang rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri. Apalagi sekarang, calon incumbent hanya cuti sebentar sebelum hari pencoblosan. Banyak anggaran yang sudah di poskan di APBD, dipakai oleh calon incumbent. Anehnya, penegakan hukum di daerah, membenarkan penyalahgunaan penggunaan anggaran itu untuk kapnaye calon.
“Yah, mereka ingin tetap menjadi nomor satu di daerahnya, apapun pertaruhannya, mereka lakukan sampai mendatangkan dukun/orang piunter lintas daerah..!”
Luar biasa, nomor satu itu memang kecap. Nama kecap itu akhirnya dipatri oleh kosa kata dalam bahasa Iondonesia sebagai orang yang suka membual—“mengecap”. Tong kosong nyaring bunyinya. Masih banyak harapan untuk berlaku sopan, jujur dan jentelmen (gentlemen) dalam pilkada. Kita tidak mau mendengar adanya humar error atau kekhilafan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU pemilu.
Gakumpun mulai memasang jaringan, jaringan itu selalu dilekatkan dengan lebel like and dislike.

Tidak ada komentar: