Oleh Naim Emel Prahana
FENOMENA apa yang dipertontonkan para pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi dari berbagai unsur, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Semuanya merupakan implementasi dari karakteristik pegawai pemerintah. Yang selalu dualisme dalam berpijak, termasuk mengeluarkan pendapat. Sepanjang sejarah kemerdekaan republik ini, para abdi negara pada umumnya tidak memiliki identitas yang ‘pasti’. Ibarat ilalang, ke mana angin bertiup, ke sanalah mereka mencenderungkan kehidupannya. Kendati harus mengorbankan keyakinan atau ideologi pribadi dan keluarga.
Seandainya mereka sudah pensiun atau ‘dipensiunkan’, maka secara pasti pula pada umumnya mengeluarkan identitas diri sebagaimana mestinya. Koreksi, kritik, sampai ocehan kepada pejabat dan pegawai pemerintah atau kepada kebijakan pemerintah mengalir bagaikan air bah! Jika kita mengingat masa silam—disaat Orde Baru dikuasai oleh Golkar. Nyaris tidak satupun PNS atau pejabat yang bertindak netral—walau ketentuannya harus netral, terutama dalam pemilu, pemilihan kepala daerah dan sebagai.
Kenyataannya sangat kontroversial. Mengerti atau tidak, paham atau tidak, sejalan atau tidak, korban atau tidak, menderita atau tidak dan sebagainya. Mereka tetap membela panji-panji Golkar yang menjadi tulang punggung utama penguasa orde baru, era keemasan Soeharto sebagai presiden republik ini. Oleh karena itu, kendati seorang atasan meniduri isterinya—si pegawai negeri tetap diam (maaf!). semua serba ketakutan akan dicopot status kepegawaiannya atau dipindahkan ke lokasi tempat jin buang anak (sebuah istilah).
Mungkin demikian pula dengan apa yang terjadi dengan mantan Menteri Depkum dan HAM, Prof DR Yusril Ihza Mahendra. Yang secara terang-terangan mengatakan status Hendarman Supanji (Jaksa Agung) tidak sah. Sehingga, ia tidak mau diperiksa atas sangkaan melakukan korupsi ketika ia menjabat sebagai menteri. Mungkin pula, apa yang dilakukan Susno Duadji yang menentang keras atasannya ketika ia hendak diperiksa. Toh, akhirnya Sausno Duadji ditahan. Yang diprediksi, pada akhirnya persoalan itu penuh dengan deal-deal di balik layar.
Dari fenomena-fenomena yang dipertontonkan para penguasa dan mantan penguasa (petinggi dan mantan petinggi pemerintah) masuk dalam koridor legalitas pada illegaliisme. Artinya, sesuatu yang dilegalkan padahal tidak legal, namun hukum kita menganut ilegalisme penerapan. Sebab, penerapan hukum kita dikombinasikan dengan unsur politik. Politik sendiri selalu menekankan kepada kepentingan tujuan (mempertahankan status quo kekuasaan).
Sementara itu, pilar – pilar politik di Indonesia sangat rapuh, tidak mendasar dan betul-betul menjalankan politik kepentingan. Ketika lembaga legislatif disanjung-sanjung sebagai forum politik. Maka, apapun keputusannya, termasuk pengesahan berbagai UU (produk hukum) maupun peraturan daerah (perda) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selalu “bongkar pasang”, selalu diingkari ketika berbenturan dengan kepentingan mereka (walau mereka sendirilah yang membuat peraturan itu).
Legalitas dalam ilegalisme dapat dilihat dan dirasakan hampir semua warga masyarakat, seperti perjudian. Undang-undang yang dibuat dan dijadikan acuan aparat penegak hukum, pada kenyataannya perjudianpun tetap berjalan. Baik yang benar-benar liar dan ilegal maupun yang dibungkus dengan praktek-praktek sosial, semacam kuis berhadiah dan sebagainya. Termasuk masalah narkoba dan miras yang masuk dalam paket UU Narkotika.
Yang paling spektakuler tentu masalah ilegalisme korupsi yang dilegalkan dengan berbagai bungkus kamuflase. Terutama UU Narkotika yang baru (2009). Pengguna atau lazim disebut sebagai orang yang menyalahgunakan narkotika sekitar 80% dimasukkan ke dalam daftar ‘korban’. Ketika bicara soal korban, maka kita harus membongkar bahasa Indonesia kembali. Definisi ‘korban’ dalam bahasa Indonesianya itu, apa? Apakah seorang yang ketagihan minuman keras, dianggap sebagai korban? Korban itu sediri apa. Tolong dijelaskan.
Tetapi, siapakah yang mampu menjelaskan, kendati banyak pakar hukum, pakar bahasa sampai pakar-pakaran di Indonesia ini. Tetapi, tetap saja belum mampu melahirkan sebuah teori sendiri. Kecuali teori-teori yang mengutip teori-teori lama dari orang asing. Orang Indonesia sangat bangsa dalam bukunya, dalam tesisnya, dalam tulisannya mengutip dan menulis bahasa asing. Bahasa ibu pertiwinya sendiri diabaikan, dianggap tidak ‘bertuah’—tidak bermakna. Oleh karena itu, mari kita lanjutkan pepatah yang mengatakan “katakan YA kalau benar, katakan TIDAK kalau memang salah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar