Sabtu, 16 Oktober 2010

Development Plan 5 Year



KALAU dikatakan seago-ago (semuanya) saja pemerintah menggunakan uang rakyat tanpa perencanaan pembangunan yang matang, banyak benarnya. Kalau di zaman Soekarno (kalau boleh bicara soal figur presiden-pemimpin bangsa), setiap tahun atau lima tahun ada nama-nama proses pembangunan yang harus dikejar dan dilaksanakan. Yang kemudian dikemas dengan berbagai nama, termasuk Pembangunan Semesta, Repelita dan sebagainya. Demikian pula di zaman Soeharto, Repelita menjadi Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Lepas dari dua pemimpin atau dua presiden Indonesia itu, pembangunan di Indonesia sepertinya tidak terencana dengan baik. Sehingga membuka peluang praktek korupsi semakin melebar di semua aspek kehidupan. Luar biasa bangsa ini. Pembangunan yang sudah direncanakan, bisa saja dibatalkan manakala ada proyek momentum, seperti PON, MTQ, Islamic Centre, Pemilukada, Pilpres, Pemilgub dan lainnya. Yang biasanya dikemas dalam paket multiyears. Atau anggaran penanggulangan bencana alam yang tiba-tiba dan mendadak disahkan dengan mengambil pos pembangunan lainnya.
Hal-hal demikian, sangat jelas mengarah kepada “tidak terencananya pembangunan” di Indonesia saat ini. Kalau pembangunan itu terencana, tidak mungkin setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri pemerintah sibuk membenahi Jalan Pantai Utara (Pantura), Lintas Selasan, termasuk ruas jalannyanya yang tersebar di provinsi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Benar-benar tidak terencana. Pembangunan berskala besar menggunakan anggaran besar, hanya disahkan secara mendadak.
Akhirnya polemik tak berkesudahan. Dan, proses pembangunan yang tak terencanapun hanya sebatas memenuhi pandangan mata. Belum juga usai para pemudik melewati jalan yang dibangun secara mendadak itu, ruas jalannya sudah pada berlubang lagi. Memang semua orientasi pembangunan saat ini menjadi kawasan komoditas para pejabat, pemborong dan comunitas masyarakat yang hanya mementingkan diri sendiri.
Di Lampung pembangunan yang tidak terencana yang kemudian menjadi sangkaan-sangkaan terjadi korupsi yang mengalahkan pos anggaran pembangunan lainnya sudah lama terjadi. Misalnya pembangunan Islamic Center di Mengalah, Sukadana, Gunungsugih dan lainnya. Termasuk pembangunan dadakan fasilitas pelayanan umum seperti Terminal di Gunungsugih, rumah sakit di Sukadana, rehaz rumah-rumah dinas bupati dan walikota setiap tahunnya dan rehaz total rumah dinas tersebut manakala bupati atau walikotanya berganti.
Sungguh ironis, siapa yang dapat memberikan masukan yang dapat diterima oleh kepala daerah beserta anggota legislatifnya? Permainan vicious circle (lingkaran setan) kental sekali. Untuk mengesahkan sebuah peraturan daerah (Perda), apalagi banyak, pihak eksekutif harus mengeluarkan anggaran cukup besar kepada anggota DPRDnya. Untuk menjamu petugas BPK yang Sangay rajin memeriksa administrasi keuangan Pemdakab atau Pemdakot, juga pihak eksekutif harus mengeluarkan biaya cukup lumayan.
Kemudian anggaran-anggaran yang dititpkan di pos anggaran di Dinas/Instansi/Badan/Lembaga pemerintah lainnya, ada indikasi hanya sebuah titilan dana murni untuk para pejabat, yang realisasinya ke masyarakat Sangat kecil. Termasuk pembelian kendaraan dinas yang tiap tahunnya diluncurkan pihak eksekutif di kabupaten, kota, provinsi hingga ke departemen atau di lingkungan istana negara. Pembangunan yang tidak terencana tersebut seperti singkat uraian di atas, tidak akan membuahkan hasil pembangunan yang berkualitas dan tidak akan mungkin dapat dinikmati oleh rakyat banyak.

Tidak ada komentar: