Naim Emel Prahana
TERUS terang di era digital dan dunia maya (internet) peluang rakyat miskin untuk mendapatkan pekerjaan bagi anak-anak mereka semakin sulit. Termasuk memasuki lanjutan pendidikan yang mereka miliki. Kenapa semakin sulit? Karena rekrutmen sekarang ini praktis dikuasai oleh rakyat yang memiliki uang banyak. Setidak-tidaknya mereka adalah masyarakat yang memiliki akses hubungan yang luas. Seperti melalui internet.
Hampir 100 persen saat ini rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), apalagi swasta banyak menggunakan internet. Sedangkan anak orang miskin tidak memiliki akses rutin untuk menggunakan internet, karena sangat terbatasnya uang yang ada. Jangankan membuka internet, untuk membeli buku saja mereka sulit. Jaringan mereka memang luas di tengah kehidupan. Itupun hanya jaringan pergaulan sebagai makhluk sosial. Namun, jaringan atau akses untuk berinternet di Warung Internet (Warnet) atau mempunyai internet di handphone maupun untuk memiliki internet dengan perangkat komputer di rumah, tentu akan lebih sulit mereka dapati.
Sementara, banyak departemen (pemerintah) maupun (apalagi) swasta nyaris semuanya memakai internet untuk rekrutmen yang waktunya hanya beberapa hari. Semuanya butuh anggaran besar dan rutin bagi pengguna untuk menakses berbagai informasi lewat internet. Apakah rakyat miskin, kendati anak-anak mereka mempunyai kecerdasan luar biasa mampu menggunakan internet dalam pengertian cukup memiliki uang untuk mengkases rekrutmen lewat internet. Satu persoalan mengandung sekian banyak masalah yang harus (akhirnya) ditinggalkan dan pada gilirannya akan tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi PNS atau karyawan swasta lainnya.
Sangat ‘keterbatasan’ merupakan potret rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak ada solusinya dan tidak ada siapa-siapa yang akan membantu rakyat kecil dan miskin demikian. Sementara kita berteriak-teriak mengatasnamakan rakyat, memberikan pernyataan-pernyataan seperti akurat sekali dapat membantu rakyat kecil, miskin yang jumlahnya dua ratusan juta di Republik ini. Kenyataan sosial, terlalu pahit untuk dibahas di mana saja.
Kalaupun dapat dibahas di permukaan seminar, lokakarya, diklat, diskusi, debat di televisi dengan nara sumber yang sangat populer di mata masyarakat televisi. Itu hanya membuka akses proposal bagi masyarakat (oknum) pecundang yang selalu mentyasnamakan rakyat kecil. Sehingga muncullah apa yang dipopulerkan tentang “ekonomi kerakyatan”, “akad buadaya sendiri”, kemampuan sendiri sampai-sampai membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk peduli rtakyat kecil.
Peluang itu memang terbuka lebar, akan tetapi peluang besar itu masih sangat jauh dari kehidupan rakyat kecil yang miskin (kaum papa). Bagaimana mereka mau menggunakan fasilitas internet yang 100 persen (murni) adalah bisnis. Bisnis online bisnis yang masih sangtat awam di kehidupan masyarakat miskin dan masyarakat modern di tingkat generasi tua pun masih banyak yang gagap teknologi (gatek) internet padahal dunia internet adalah bagian tak terpisahkan dari dunia global sekarang ini, di ana Indonesia tidak dapat menghindari pengaruh dunia global tersebut.
Pertanyaannya; kapan rakyat miskin yang mendominasi penduduk Indonesia itu bisa mendapatkan perhatian riil dari pemerintah? Rakyat miskin tidak makan modul, tidak makan sertifikasi dengan pola-polanya, juga tidak makan akses internet. Alkan tetapi mereka tetap makan nasi, minum air putih dan ingin tidur damai, aman, nyenyak dan bisa merasakan nikmatnya kenyang. Kapan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar