Oleh Kyai Ma'ruf
Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat diminta menyambutnya dengan
khusyuk. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan umat Islam wajib
berpuasa, sementara bagi mereka yang tidak berpuasa diharapkan
menghormati orang yang sedang berpuasa.
“Kita
menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk memasuki Ramadhan dengan
penuh suasana yang khusyuk dan tidak boleh ada pelanggaran,” kata Ketua
MUI KH Ma’ruf Amin saat jumpa pers di Kantor MUI Pusat Jakarta, Selasa
(31/05) lansir Kiblat.Net.
Kyai Ma'ruf dan Ketua NU Said Agil Siradj
Kekhusyukan
yang dimaksud oleh Kyai Ma’ruf salah satunya adalah dengan menjalankan
ibadah puasa, bagi yang beragama Islam. “Kalau yang tidak puasa tentu
harus menghormati yang puasa. Jangan dibalik, orang puasa menghormati
yang tidak puasa. Itu terbalik,” ujarnya.
Seruan
tersebut juga ditujukan kepada orang-orang di luar agama Islam. Mereka
diminta menghormati kaum muslimin yang tengah beribadah puasa.
Selain itu, Kyai Ma’ruf mengimbau agar mereka tak melakukan hal-hal yang merusak kesucian Ramadhan.
Kepada
para penjual makanan, ulama yang juga Rais Aam PBNU itu mengharap agar
mereka menutup lapaknya di siang hari. Tetapi jika mereka berjualan di
wilayah yang juga dihuni orang orang diluar Islam, diharapkan tak
membuka tempat jualan secara keseluruhan.
“Kalau di daerah-daerah orang yang berpuasa ya ditutup di siang hari,” pungkasnya.
*/nugarislurus.com – 11/06/2016
Dalam fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
وقد أفتى جماعة من أهل العلم بوجوب إغلاق المطاعم في نهار رمضان ، والله أعلم .
Para ulama memfatwakan, wajibnya menutup warung makan di siang hari ramadhan. Allahu a’lam.
(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 2097)
Buka Warung di Siang Ramadhan
Pemerintah
mengusulkan agar warung tidak tutup ketika ramadhan. Toleransi untuk
orang yang tidak berpuasa. Bagaimana pandangan ustaz.. Bolehkah kita
buka warung untuk melayani orang yang tidak puasa?. Mohon pencerahannya.
Ubaid
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Seringkali
orang berlindung dengan kata toleransi dengan maksud menihilkan aturan
syariat islam. Di bali, muslimah dilarang berjilbab. Lembaga keuangan
syariah digugat keberadaannya. Karyawan muslim, kurang mendapatkan
kebebasan dalam beribadah. Semua beralasan dengan satu kata, toleransi.
Di kupang, NTT, keberadaan masjid digugat. Untuk mendirikan masjid baru, prosedurnya sangat dipersulit. Demi toleransi.
Di daerah muslim minoritas, orang islam sering mejadi ‘korban’ penganut agama lain. Semua untuk mewujudkan tolerasi.
Sayangnya, ini tidak berlaku untuk acara nyepi di Bali yang sampai menutup bandara. Atau topi santa bagi pegawai, ketika natal. Kita bisa melihat, adakah reaksi negatif dari kaum muslimin?
Ini membuktikan bahwa umat islam Indonesia adalah umat paling toleran.
Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari bahasa para tokoh yang bersembunyi di balik kata toleransi.
Menjual Makanan Di Siang Hari Ramadhan
Kita akan menyebutkan beberapa ayat, yang bisa dijadikan acuan untuk membahas acara makan di siang hari ramadhan.
Pertama, Allah melarang kita untuk ta’awun (tolong-menolong) dalam dosa dan maksiat.
Allah berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan maksiat.” (QS. al-Maidah: 2).
Sekalipun
anda tidak melakukan maksiat, tapi anda tidak boleh membantu orang lain
untuk melakukan maksiat. Maksiat, musuh kita bersama, sehingga harus
ditekan, bukan malah dibantu.
Tidak
berpuasa di siang hari ramadhan tanpa udzur, jelas itu perbuatan
maksiat. Bahkan dosa besar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
diperlihatkan siksaan untuk orang semacam ini
“Dia
digantung dengan mata kakinya (terjungkir), pipinya sobek, dan
mengalirkan darah.” (HR. Ibnu Hibban, 7491; dishahihkan Al-A’dzami)
Siapapun
pelakunya, tidak boleh didukung. Sampaipun orang kafir. Karena pendapat
yang benar, orang kafir juga mendapatkan beban kewajiban syariat.
Sekalipun andai dia beramal, amalnya tidak diterima, sampai dia masuk
islam.
An-Nawawi mengatakan,
والمذهب الصحيح الذي عليه المحققون والأكثرون : أن الكفار مخاطبون بفروع الشرع ، فيحرم عليهم الحرير ، كما يحرم على المسلمين
Pendapat
yang benar, yang diikuti oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dan
mayoritas ulama, bahwa orang kafir mendapatkan beban dengan
syariat-syariat islam. Sehingga mereka juga diharamkan memakai sutera,
sebagaimana itu diharamkan bagi kaum muslimin. (Syarh Shahih Muslim, 14/39).
Diantara
dalil bahwa orang kafir juga dihukum karena meninggakan syariat-syariat
islam, adalah firman Allah ketika menceritakan dialog penduduk surga
dengan penduduk neraka,
إِلَّا
أَصْحَابَ الْيَمِينِ ( ) فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ ( ) عَنِ
الْمُجْرِمِينَ ( ) مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ( ) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ
الْمُصَلِّينَ ( ) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
Kecuali golongan kanan ( ) berada di dalam syurga, mereka tanya menanya ( )
tentang (keadaan) orang-orang kafir ( ) Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” ( )
Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ( )
dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. (QS. al-Muddatsir: 39 – 44)
Dalam
obrolan pada ayat di atas, Allah menceritakan pertanyaan penduduk surga
kepada penduduk neraka, ‘Apa yang menyebabkan kalian masuk neraka?’
Jawab mereka: “Karena kami tidak shalat dan tidak berinfak.”
Padahal jika mereka shalat atau infak, amal mereka tidak diterima.
Inilah
yang menjadi landasan fatwa para ulama yang melarang menjual makanan
kepada orang kafir ketika ramadhan. Karena dengan begitu, berarti kita
mendukungnya untuk semakin berbuat maksiat.
Dalam Hasyiah Syarh Manhaj at-Thullab dinyatakan,
ومن ثم أفتى شيخنا محمد بن الشهاب الرملي بأنه يحرم على المسلم أن يسقي الذمي في رمضان بعوض أو غيره، لأن في ذلك إعانة على معصيته
Dari
sinilah, guru kami Muhammad bin Syihab ar-Ramli, mengharamkan setiap
muslim untuk memberi minum kafir dzimmi di bulan ramadhan, (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh Manhaj at-Thullab, 10/310)
Kedua, Allah memerintahkan kita untuk mengagungkan semua syiar islam
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah,
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS. al-Hajj: 32)
Bulan
ramadhan, termasuk syiar islam. Di saat itulah, kaum muslimin sedunia,
serempak melakukan puasa. Karena itu, menjalankan puasa bagian dari
mengagungkan ramadhan. Hingga orang yang tidak berpuasa, dia tidak boleh
secara terang-terangan makan-minum di depan umum, disaksikan oleh
masyarakat lainnya. Tindakan semacam ini, dianggap tidak mengagungkan
kehormatan ramadhan.
Dulu para
sahabat, mengajak anak-anak mereka yang masih kecil, untuk turut
berpuasa. Sehingga mereka tidak makan minum di saat semua orang puasa.
Sahabat
Rubayi’ bintu Mu’awidz menceritakan bahwa pada pagi hari Asyura,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa sahabat ke
berbagai kampung di sekitar Madinah, memerintahkan mereka untuk puasa.
فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ
Kemudian kami melakukan puasa setelah itu dan kami mengajak anak-anak kami untuk turut berpuasa.
Rubayi’ melanjutkan,
فَنَجْعَلُ
لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى
الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الإِفْطَارِ
Kami
buatkan untuk mereka mainan dari kapas. Jika mereka menangis minta
makan, kami berikan boneka itu ketika waktu berbuka. (HR. Muslim no.
2725).
Kita bisa tiru model
pembelajaran yang diajarkan para sahabat. Sampai anak-anak yang masih
suka main boneka, diajak untuk berpuasa. Karena menghormati kemuliaan
ramadhan.
Orang yang udzur, yang
tidak wajib puasa, jelas boleh makan minum ketika ramdhan. Tapi bukan
berarti boleh terang-terangan makan minum di luar. Sementara membuka
rumah makan di siang ramadhan, lebih parah dibandingkan sebatas makan di
tempat umum.
Karena alasan inilah, para ulama memfatwakan untuk menutup rumah makan selama ramadhan.
Dalam fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
وقد أفتى جماعة من أهل العلم بوجوب إغلاق المطاعم في نهار رمضان ، والله أعلم .
Para ulama memfatwakan, wajibnya menutup warung makan di siang hari ramadhan. Allahu a’lam.
(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 2097)
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber : konsultasisyariah.com – Jun 11, 2015
(nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar