Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 September 2008

Sastra Dan Komunitas

Sastra Dan Komunitas
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan
RAGAM perebutan kekuasaan dalam dunia sastra (seni dan budaya), terkadang tidak lagi menjadi jejak-jekak perkembangan sastra di Indonesia. Kendati, semacam komunitas sastra—seperti komunitas masyarakat seni budaya lainnya, komunitas-komunitas itu menjadi pernik-pernik perjalanan sastra itu sendiri. Untuk memelihara jejak tadi, dibutuhkan seorang kritikus dan penulis sastra yang bijak dan berpola pikir maju.

Pasca Kongres Komunitas Sastra Indonesia—KSI di Kudus awal 2008, tepatnya 19—22 Januari 2008 lalu. Disebut-sebut sebagai kongres pertama KSI memberikan saya semacam “catatan tengah” tentang pergulatan sastrawan Indonesia selama ini. Yang pernah dan masih diombang-ambingkan oleh icon-icon community—komunitas. Perdebatan pun melahirkan kelompok-kelompok penggiat sastra dan kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengklaim wadah komunikasi mereka sebagai komunitas sastra.
Menyangkut peran, kelompok atau komunitas sastra dalam bentuk apapun, termasuk penggiatnya (sastrawannya) memiliki peran positif dan konstruktuf dalam perkembangan sastra Indonesia; dulu, esok dan seterusnya. Hanya saja, perdebatan mengenai komunitas itu sendiri membuat perkembangan sastra Indonesia tidak lebih dari debat kusir yang menginggalkan substansi kesastraan itu sendiri.
Menjelang tahun 1987 dikotonomi sastra di Indonesia benar-benar tidak baik dan sehat. Disebut-sebut ada komunitas sastra koran, sastra buku, sastra kamar, sastra lokal, sastra Jakarta, sastra konstektual, sastra pedalaman dan dikotonomi lainnya. Ide dasar penyebutan itu hanya melihat alur penempatan karya-karya sastra itu sendiri. Di sisi lain, perdebatan sengit antara sastra pop dengan sastra serius versi akademisi berlangsung terus. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah ada yang mau mempertemukan perbedaan dan persamaannya.
Itulah, pada Forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, banyak sastrawan menjadi antipati untuk membangun dunianya dengan kesepakatan untuk kembali ke daerah masing-masing. Sementara di daerahnya sastra belum mendapat tempat sebagaimana mestinya. Kendati, denyut sastra di tengah masyarakat sudah menjadi filosofi kehidupan sehari-hari.
Dari sejumlah banyak media cetak yang peduli terhadap karya sastra—toh mitos Jakarta dan beberapa media cetak tertentu dijadikan kultus sebagai kiblat sastra. Itu, tidak ada referensi tertulis atas komitmen yang dikeluarkan dalam moment tertentu. Tapi, secara lisan dan karena adanya kamus sebutan komunitas sastra—menjadi kultus Jakarta dan media cetak tertentu, tetap hidup langgeng hingga saat ini.
Biodata penyair atau cerpenis yang menyebut karyanya pernah dimuat di majalah Horizon, Kompas atau menjadi peserta forum-forum sastra, menjadi biografi yang populer. Sekaligus melenyapkan penyair atau cerpenis yang yang karyanya dimuat di koran atau majalah di luar kedua media cetak tersebut. Ini kenyataan, padahal tidaklah demikian.
Parni Hardi menulis, “ Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya!”.
Dengan panjang lebar Parni Hardi menjelaskan, komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya. Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.

Uraian sederhana dan singkat Parni Hardi itu ada benarnya. Walau tidak menjabarkan soal sastra lokal, sastra komunityas atau komunitas sastra. Belum lagi soal sastra lisan yang banyak melahirkan sastrawan besar, karena kemampuannya meng-teks-kan karya sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sastra lisan yang cenderung berisi filosofi kehidupan masyarakatnya, jika ditulis ulang, kualitas dan populeritas materi maupun penulisnya dapat melampaui penulis sastra yang hanya bergelut dengan sastra tulisan.
Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang sastra itu; lisan atau tulisan. Sebab, sastra yang membumi adalah sastra yang tidak dibatasi oleh waktu, ruang dan tempat serta tidak hilang karena perkembangan peradaban manusia. Sayangnya, sastrawan sendiri lebih suka dikelompok-kelompokkan dan lebih merasa bangga jika disebut-sebutkan sebagai anggota sebuah komunitas sastra tertentu.
Urutan yang pantas kita satukan adalah proses kreatif dunia sastra itu sendiri. Dari bahasa lisan (sastra lisan) kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan, kemudian dimusikalisasikan, dipentaskan, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (sesuai penilaian objektifnya). Pada fase berikutnya, mulailah sastra diajarkan di lembaga-lembaga formal (lembaga pendidikan) dengan membuat struktur, mekanisme dan format sastra dan karyanya.
Dan, selanjutnya sastra terus dikembangkan dan berkembang sedemikian pesat dan terus, terus berkembang tanpa henti. Politikus, penulis buku ilmu dan pengetahuan serta teknologi pun akhirnya mengutip karya-karya sastra seseorang (puisi khususnya). Itu berarti, para penulis karya sastra berusajha bagaimana mempublikasikan karya sastra untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Perjalanan dalam perkembangan sastra itulah yang menjadi itu, bahwa karya sastra yang bagus itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Karya-karya sastra yang berdurasi sekian kurun waktu—seperti lagu-lagu anak-anak muda saat ini. Ketika lagu baru ke luar, maka lagu sebelumnya yang ngetop dan ngepop sirna secara otomatis. Karya sastra bukan seperti itu. Ia lahir tanpa paksaan, ia besar tanpa dicipta-ciptakan atau direkayasa sedemikian rupa oleh penghargaan yang diberikan oleh kelompok/komunitas sastra itu sendiri.
Lalu, masihkah kita mempersoalankan nama “sastra tradisionil” dengan “sastra modern”? atau kelas-kelas dalam kelompok penggiat sastra Indonesia. Hemat saya, persoalan itu diangkat ke permukaan, karena kedangkalan para sastrawan itu sendiri—dengan catatan mereka adalah anggota sebuah komunitas sastra.
Akhirnya, saya berpikir. Kalaulah sastra Indonesia itu diinginkan menjadi karya sastra dunia. Maka, pemahaman lebih luas tentang penggiat, karya dan sastra itu harus melekat pada diri sastrawan, kritikus, cerpenis, penyair dan penulis sastra. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk mempublikasi—menyebarkan sastra (karya sastra) yang lisan yang tulisan ke semua lapisan masyarakat. Di mana dan kapanpun.

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
Udo Z. Karzi
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung -- spesifiknya Bandar Lampung -- saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan ... bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatanseluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).

Sastra Lampung Punah
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. "Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka," katanya
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung -- apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra -- kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional , misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung - sebagai istilah - dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat "Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah" bisa (mungkin) benar jika "sastrawan Lampung" yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka "sastrawan Lampung" sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, "Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh." Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung-- dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung.
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia:

Defemiliarisasi Tari Bedana

Defemiliarisasi Tari Bedana
Dalam acara pesta muda mudi, ketika disuruh berdiri kemudian memilih musik untuk bergembira dan menari, apa yang akan Anda pilih? Pasti mengemuka pilihan; disko, remik, dangdut, poco- poco, cha- cha, ska, atau justru meneriakkan terserah DJ! Mustahil rasanya untuk memilih, “Tari Bedana aja!” Bahkan ketika pertanyaannya dibuat pilihan ganda sekalipun, mungkin malah muncul pertanyaan, “apa sih Tari Bedana itu?”
DO YOU KNOW? Tari Bedana adalah perwujudan luapan suka cita atas wiraga (gerak badan) untuk mencapai ekstase, dalam batas- batas tertentu ketika menari diiringi gamelon khasnya, jiwa kita seperti mengembarai lembah- lembah hijau di bawah kaki gunung Rajabasa, semua berubah indah. Riang. Estetika Tari Bedana membuat kedirian kita berasa selalu muda. Penuh antusiasme. Dan pada kesempatan lain, ketika menyaksikan langsung Tari Bedana dipentaskan dengan sunggingan senyum manis muli-mekhanai, kita serasa diguyur air pegunungan yang atis. Secara otomatis terpancing “begitu ingin” larut dalam tari.
Tari Bedana yang diyakini bernafaskan keislaman ini merupakan tari tradisional, mencerminkan tata kehidupan masyarakat Lampung yang ramah dan terbuka sebagai simbol persahabatan dan pergaulan. Terdapat nilai akulturasi antara tata cara atau pranata sosio- kultural adat gaul anak muda Lampung dengan berpegang teguh pada aturan Islam.
Budaya dengan unsur spiritualistik memiliki aspek lokalitas, mulai menjadi kebutuhan terpenting untuk membentengi_ meminjam bahasa Edward W. Said_ imperealisme kebudayaan, yang tertuang dalam bukunya “Kebudayaan dan Kekuasaan.” Sebelum sampai pada defenisi tentang seni Islam, perlu kiranya kita merujuk pada khazanah lama yang positif agar tidak terjebak pada nativisme budaya.
Penulis berharap agar kekayaan budaya Lampung, selain tidak ambigu, anti modernitas, dan terpenting jangan sampai budaya itu terputus. Kekhawatiran pada keterputusan budaya (cultural discontinuity) ini, perlu dirumuskan sistematika pelestarian yang terukur dan efektif. Dari sinilah permulaan dibutuhkannya al- turats atau tradisi diteliti dan diinventarisir.
Fundamen pemikiran untuk pelestarian Tari Bedana, termasuk semua khazanah budaya Lampung yang lain, secara kritis harus memperhitungkan pertama, oublie (yang dilupakan). Terkait pencermatan pada pertanyaan adakah yang dilupakan dalam ragam gerak yang terstruktur pada Tari Bedana yang familiar dikonsumsi publik saat ini. Ragam satu sampai sembilan dengan komposisi gerakan; khesek gantung, khesek injing, tahtim dan penghormatan, jimpang, ayun, humbak moloh, belitut, gelek, dan gantung adalah ragam struktur gerak elegan, tetapi masih perlu kajian empirik untuk benar- benar membuktikan tidak ada yang dilupakan.
Masuk pada pertanyaan kritis kedua, travesty atau adakah yang dipalsukan dalam gerakan Tari Bedana? Dari sini sebenarnya penulis berusaha mengkaji fungsinya secara ideologis- filosofis. Maka refleksi dari yang dilupakan dan yang dipalsukan itulah pisau analitik sebagai alat untuk sampai pada keindahan yang lain yang belum terpikirkan (impense). Sangat terbuka ruang kontemplatif agar embrional keramahan budaya lokal dapat lebih mempertegas bangunan peradaban Lampung di masa depan.
Sebab maraknya seni budaya yang diarahkan atau mengekor pada westernisasi, bahkan diadopsi secara sporadis, meminjam ramalan John Neisbit tentang kemungkinan yang terjadi pada banyak orang akibat derasnya arus informasi dan komunikasi tentang idealnya; berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globally). Bukan sebaliknya. Karena pengaruh itulah Tari Bedana dipastikan tergeser oleh seni koreografi (seni kontemporer) lain yang lebih terkesan modern misalnya; ciliders, dance, aerobic, dan lain sebagainya. Berikut dentingan gamelan khas yang mengiringinya, mungkinkah agar eksis perlu aransement dan atau ditambah alat musik modern jika dinilai bebunyiannya terlalu kolot, ndesit, dan ortodoks?
Bahkan sebenarnya paradigma yang stigmatis, ketika Tari Bedana kurang bagus untuk acara pesta muda- mudi nikahan tetangga atau tari latar lagu pop alternatif. Tari Bedana dengan konsep keramahan budaya lokal seyogyanya dapat membentengi atau minimal menjadi alternatif seni koreografi. Persoalannya adalah sejauh mana tingkat sosialisasi dan berapa banyak anak muda yang menguasai wiraga itu? Seandainya seperti Tari Komando misalnya, yang semua anak Pramuka dari penggalang, penegak, sampai pandega begitu fasih menguasai gerakan berikut improvisasi dengan iringan musik apa pun, mungkin kelestarian Tari Bedana bukan persoalan.
Tafsir dari Khesek Gantung ke Gantung
Seni islam, dari defenisinya terlalu membuat bias, cenderung dikotomis. Maka meminjam motodologi almarhum Prof. Dr. Kuntowijoyo terkait dengan budaya profetik, sebuah strategi sosial- budaya dengan meletakkan tradisi lokal dalam muatan nilai keislaman agar manunggal sebagai nafas estetika. Yaitu sisi lain keindahan dan kebenaran yang mengajak ke jalan Tuhan. Sekarang ini Tari Bedana boleh terkesan ndeso, kampungan, atau ketinggalan zaman dibanding seni tari modern semacam cha- cha, dansa, dll (yang juga tari tradisi Brazil dan Inggris). Akan tetapi menurut prediksi Kuntowijoyo tahun 2020 adalah titik pangkal realisasi ide jika strategi profetik berhasil merealisasi program seni kemanusiaan sebagai kelanjutan dari berbagai aksi pembaharuan sosial- budaya berbasis kesadaran keagamaan. Keniscayaan dan jangan heran jika nanti Tari Bedana sebagai icon dan jenis tarian pavorit pengiring gembira. Padahal orang yang menguasai dan faham Tari Bedana semakin langka.
Kalau boleh ditafsirkan, konseptual gerak Tari Bedana dari ragam satu; kehesek gantung sampai pada ragam sembilan sebagai gerak penutup yang bernama gantung, memiliki makna keramahan dan kebahagiaan hidup. Sekaligus mengandung aspek moral tata laku antara bujang- gadis, berinteraksi saling melempar senyum tetapi tidak bersentuhan, bahkan tidak saling menatap atau implisit sama- sama menundukkan pandangan (ghodob absor), anggun dan santun, barangkali inilah salah satu nafas islam dalam Tari Bedana.
Selain itu, prosesi tahtim dan penghormatan yang terletak pada posisi ragam ke tiga, sebuah pembangkangan kultural atau defemiliarisasi yang menarik. Akan tetapi setelah mencermati lebih lanjut, sebelum ragam khesek injing pada posisi ke dua, gerakan khesek gantung menggambarkan aturan wudhu, arena bersuci untuk sampai pada ritual ibadah penyembahan pada Tuhan. Lihatlah ketika memutar tangan (khesek gantung) yang kemudian mengayunkan tangan. Di sini tahtim dan penghormatan (seolah mengusap wajah) menjadi sinergi untuk gerakan wudhu.
Dalam kerangka filosofis, tari ini mengandung keagungan profetik, terkait pada hipotesa ini terbuka ruang dialogis yang interpretatif. Tari Bedana memang tidak seterkenal poco- poco, hal ini didasari, selain intensitas manggung, kecintaan pada khasanah budaya lokal kita sebagai masyarakat Lampung layak dikritisi. Ini kemudian berimbas pada sosialisasi.
Masuk juga produksi karya berkesenian para seniman kita yang tidak (kurang berakar) pada keramahan seni tradisi.
Logikanya adalah, kekuatan seni yang berbasiskan kearifan budaya lokal dengan sentuhan nilai islami ternyata sulit mendapat tempat karena bersentuhan dengan sensivitas publik yang banyak dipecundangi nafsu. Tetapi metodologis profetik yang digunakan untuk penafsiran budaya, sebenarnya juga sudah menjadi ilmu alat mengkaji apakah seni ini mengajak pada ketuhanan atau mengajak pada penjajaan syahwat. Utamanya lagu- lagu dangdut atau pop Lampung dalam video CDnya, kenapa tak berlatar Tari Bedana? Lebih penting, pesta muda mudi ketika ada pernikahan, kenapa tidak menari Bedana saja ketimbang joget takberaturan, lebih parah Orgen(an) dengan lagu Goyang Dombret, dimana sang biduanita bergoyang ke arah mikrofonnya dan disaksikan anak- anak usia sekolah. Ironinya lagi, hajatan itu dirumah tokoh adat Lampung! Diposting oleh KangEndri-Lampung

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.

Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.

Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.

Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya

Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya
Endri Y. (Pecinta Sastra, tinggal di Lampung)

Pada zaman global, dimana sekat politik- geografis bukan lagi hambatan informasi. Saat inilah kebudayaan bukan hanya ditentukan akal budi manusia saja. Tetapi kapital, informasi, media, dan manusianya, semua memiliki peran strategis- ketergantungan.
Sedangkan esensi peta posisi budaya berada hanya pada hasil penciptaan para manusia yang telah tercerahkan. Dalam lingkup mencipta gerak budaya “yang tercerahkan” itu adalah seniman dan teolog. Keduanya menjadi pendulum kesejarahan yang terus diproduksi dan mereproduksi diri dalam hadirnya untuk memandu arah zaman.
Telaah Martin Buber yang terkenal, I require a you to become, becoming I, I say you. Jika dikaitkan dengan relevansi keterbukaan masyarakat yang tercermin dalam ranah budaya yang inklud pada kedirian, menemukan kebenarannya. Masuk di dalamnya akulturasi- akulturasi pada hampir semua diri- budaya sebagaimana filosofi Buber itu, “aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau”.
Dapat dikatakan, nafas semangat teolog adalah kemampuan untuk sejauh mungkin menembus medan- medan tersulit (fisik dan metafisik) untuk kemudian bersinergis “menjadi” manusia dengan dimensi watak ketuhanan. Sabar dan ikhlas. Memberi tanpa pamrih. Menebar cinta kasih. Kehidupannya lebur dalam lika- liku jalan immaterial. Dan tentu, selalu larut dalam pengembaraan- pengembaraan intelektual
Tidak jauh berbeda, seniman dalam ranah pengembara ke manifes mencerahkannya, senada dengan teolog. Ketika teolog bergerak pada ranah indrawi- batiniah ke ketentraman hidup “yang ada”. Seniman berjuang untuk mengantar estetika pada fisik- indrawi untuk eksis. Keduanya berkhidmat demi menjadi manfaat bagi manusia lain.
Adalah Gus Tf Sakai yang mengalirkan pembeda kategoris, antara agamawan dan seniman sebagai dua kutub pengarah dengan keberbagaiannya. Dia membuat eksistensi kesenimanan terlegitimasi untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia, mengarahkan dan mengantarkan. Bedanya terletak pada beban nilai yang terbatas dan tidak terbatas. Kontekstual- eksklusif dan universal- inklusif.
Dalam paham ini, kedua pencerah (teolog dan seniman) itu sekarang berusaha melingkupi dan melampaui nilai yang dibawanya untuk kontekstual dan universal sekaligus.
Bagi seniman, yang dikenal berkarya dalam kandungan nilai universal mulai digagas karya seni yang kontekstual untuk kalangan sendiri, intern, dan spesifik. Indikator utamanya, marak komunitas dan karyanya tersegmentasi untuk komunitasnya. Pun teolog, yang tanda kajian- nasehatnya dulu eksklusif dan hanya beredar untuk kalangan sendiri kini melangkah ke aksi sosial, praksis semakin peduli pada universalisme kemanusiaan. Misalnya, peran agamawan yang aktif dalam kampanye hidup sehat, memberantas kemiskinan, dan semacamnya. Padahal dengan usaha mendekonstruksi teologi awalnya.

Radikalisasi Peran
Terkait dengan teori pemberontakan dengan anjuran cinta kasih sebagai manifestasi watak ketuhanan para teolog dan seniman ini, terjadi radikalisasi perubahan peran atau sekedar penyelarasan peran sesuai tuntutan zaman. Albert Camus, membuat peta ziarah intelektual atas kontemplasinya terhadap filsafat Eropa (Pemberontak, 2000) terjemahan dari buku (The Rebel, 1956).
Salah satu hasil permenungan Camus adalah Sade, yang membenarkan kebinalan manusia dalam term libido terkejam. Dimana logika itu pada dasarnya dibangun oleh hasrat, nafsu kebalikan dari pemikiran tradisional. Sade, sebagaiman dianalisis Albert Camus, memberikan pembenaran terhadap fitnahan, pencurian, dan pembunuhan dan kita diharapkan sabar terhadap kejahatan- kejahatan.
Dari sini, pengarusutamaan kepasrahan diri adalah kemutlakan absolut. Ketika seluruh institusi pengelompokan pengatasnama ‘pemberdayaan’ menjadi mitos, sekedar langkah- langkah dan celoteh utopis para agamawan atau seniman, rajutan kata- kata, teks- teks, karya- karya yang imajiner dan terkesan menipu. Sangat dibutuhkan peran radikal teolog dan seniman dalam ranah gerakan tersebut di atas. Bukan hanya berkutat pada kontekstual, universal, tetapi lebih pada praksis sosial dari produk pemikirannya. Yaitu terwujudnya kebudayaan global yang tercerahkan itu. Yang tentram dengan keberbagaiannya dan kebebasan nilainya.
Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkebudayaan perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas, (September, 2007); “Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030” khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) pencerahan teolog dan seniman, diperlukan rekonsiliasi dengan masa lalu.
Proyek rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu.
Terkait dengan masa lalu, maka penting pula bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting __perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa__ sebab, “lupa” bagi para pencerah itu (teolog dan seniman) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural.
Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh sejati para seniman dan teolog. Karena karya seni dan teologi tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan “kehadiran” sebagai zeitgeist zaman.

Persepsi Tubuh Kebudayaan
Adalah Maurice Merleau- Ponty (1908- 1961) seorang filosof besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Untuk sampainya pada pembacaan “persepsi tubuh kebudayaan kita” perlu diperhatikan bahwa, bagi Merleau Ponty istilah “persepsi” mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.
Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubyektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan artefak dan karya pencerahan.
Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung karya seni dan teologi. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan teolog. Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana pula tubuh itu menggerakkan.
Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai- nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda- tanda, sampai pada penyuguhan hiburan serta ketentraman adalah muatan kebajikan produksi karya seni dan teologi.
Di ranah tubuh budaya yang mampu menggiring manusia ke pergerakan menuju kutub- kutub matrial di luar kesejatiannya sebagai manusia, sangat diperlukan basis pengembang nilai, pengumpul tatal- tatal altruis yang berserakan untuk mampu menegasikan budaya ke proses pencerahan paripurna. Dan tidak ada yang lebih mampu untuk tugas estetis seberat itu selain seniman dan teolog. (*)

Sastra Indonesia: Kaum Muda Dan Perempuan

Sastrawan Lampung

Sastrawan Lampung
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


1. Agus S. Santo
2. Ahmad Rich
3. Ahmad Yulden Erwin
4. Alex R. Nainggolan
5. A.M. Zulqornain
6. Andriansyah
7. Anton Kurniawan
8. Ari Pahala Hutabarat
9. Aris Hadianto
10. Bahirul Al-Varizi
11. Bambang Karyawan HB
12. Binhad Nurrohmat
13. Budi Elpiji
14. Budi P. Hatees
15. Christian Heru Cahyo Saputro
16. Dadang Ruhiyat
17. Dahta Gautama
18. Dina Oktaviani
19. Djuhardi Basri
20. Dyah Merta
21. Edy Samudra Kertagama
22. Elya Harda
23. Fitri Yani
24. Gunawan Pharikesit
25. Hasanuddin Z. Arifin
26. Hendra Z.
27. Hendri Rosevert
28. Iin Mutmainnah
29. Imas Sobariah
30. Inggit Putria Marga
31. Isbedy Stiawan ZS
32. Iswadi Pratama
33. Ivan Sumantri Bonang
34. Iwan Nurdaya-Djafar
35. Jimmy Maruli Alfian
36. Kuswinarto
37. Lupita Lukman
38. M. Arman AZ.
39. Maulana Suryaning Widy
40. M. Yunus
41. Naim Emel Prahana
42. Nersalya Renata
43. Oyos Saroso HN
44. Panji Utama
45. Rahmadi Lestari
46. Ratno Fadillah
47. Rifian A. Chepy
48. Sugandhi Putra
49. Sutarman Sutar
50. Sutjipto
51. Syaiful Irba Tanpaka
52. Tarpin A. Nasri
53. Thamrin Effendi
54. Ucok Hutasuhut
55. Udo Z. Karzi
56. Y. Wibowo

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*
Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda
Laut adalah lambang kehidupan yang dinamis. Birahi laut berarti dinamika kehidupan yang penuh gairah. Dan, begitulah kurang lebih sajak-sajak Dino Umahuk dalam buku kumpulan sajaknya, Metafora Birahi Laut (Lapena, 2008), penuh imaji kehidupan yang bergairah sekaligus bergejolak, dalam metafor-metafor yang unik.
Berbagai tema tentang kehidupan, interaksi antara manusia (sang penyair) dengan alam, dengan sesama manusia, dalam rasa cinta dan gairah untuk mereguknya, dirangkum sang penyair dalam sajak-sajaknya. Kadang-kadang terbersit rasa duka, derita, suka cita. Namun, semua dalam gairah cinta, untuk mereguk makna hidup sampai akarnya. Dan, kegairahan itu mengkristal dalam sajak “Metafora Birahi Laut” (hlm 63) yang dipilih menjadi judul buku ini.

Coba kita simak sajak tersebut:
MEPOTAFORA BIRAHI LAUT
Ini birahi tumbuh dari laut
Ketika ombak pasang
Dan badai melarungkan segumpal kemesraan
Ke dalam jasad yang bernama Adam
Ini birahi datang dari laut
Ketika langit merah saga
Dan senja melabuhkan dahaga ke dada
Laki-laki bernama anak Maluku
Ini puisi tak sekadar kata
Ia tumbuh berbunga mantera
Ketika musim telah tiba
Janji kan dia tunaikan di rahim perempuan
Ini cinta tidak biasa
Ia lahir dari birahi laut
Ketika ombak bersetubuh dengan pantai
Dan dupa menguap dari ketiak malam

2005

Dalam kegairahan seperti ‘birahi laut’ itu Dino tampak begitu lahap untuk menulis apa saja, yang sempat dijumpai dan menggoda imaji puitiknya sepanjang pengembaraannya, sepanjang petualangannya menaklukkan tantangan hidup yang keras, puncak gunung, dan perempuan. ‘’Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri,’’ tulis Ikranegara pada pengantar pendeknya.
Karena kegairahannya itu Dino mencatat apa saja sepanjang petualangannya. Sejak persoalan politik sampai kegelisahan individualnya, sejak persoalan yang sekular sampai yang bernuansa religius seperti “Sajak Lautan Sajadah” (hlm 37). Dalam sajak ini, penyair yang dalam sajak ‘’Membunuh Tirani’’ (hlm 59) menyebut dirinya sebagai ‘’lelaki malam yang lahir dari bisa ular’’ – yang melihat kehidupan sebagai padang penaklukan yang menggairahkan --berubah menjadi manusia religius yang memandang kehidupan (lautan) sebagai hamparan sajadah untuk ‘’kembali’’ berserah diri pada-Nya.
Sangat menarik untuk menyimak sajak tersebut, sbb.

SAJAK LAUTAN SAJADAH
Lautan adalah hamparan sajadah menapaki makrifat-Mu
Di wajah kesadaran yang Kau titipkan lewat rinai hujan
Air mata meninggikan derajat beberapa doa
Malam adalah jerat antara surga dan neraka
Di antara huruf Kaf dan Nun yang menjelma gedung-gedung
Kebebalan serupa batu cadas yang luruh di tetesan wudhu
Pada penghabisan kesekian dari sujud di Kursi-Mu
Alif Lam Mim bersekutu sebagai janji
Sebagai Adam yang mentahmidkan cahaya
Lautan adalah hamparan huruf-huruf mengeja ayat-Mu
Seperti tangis yang menunggu di pintu rahim
Usai berikrar meniti nasib

Banda Aceh, 20 Juni 2007

Pada sajak lainnya yang bernuansa religius, yakni ‘’Ajari Aku membaca-Mu’’ (hlm 16), Dino terkesan tak kuasa, atau gagap, dalam membaca tanda-tanda kebesaran dan kehendak Tuhan. Fenomena alam adalah ayat-ayat Tuhan (sunatullah) yang tidak tertulis dan bertebaran seluas hamparan sajadah kehidupan, tapi tak semua orang mampu menangkap maknanya.

Maka, sang penyair petualang, Dino Umahuk, pun minta pada Tuhan agar diajari untuk membacanya. Sedang Tuhan, sejak turunnya wahyu pertama ke-Islaman, sudah memerintahkan pada manusia (melalui Nabi Muhammad SAW) untuk membacanya – iqra bismi rabbikalladzi khalaq! Perintah membaca yang memiliki pengertian sangat luas.

Membaca apapun – teks tertulis maupun teks alam dan kehidupan yang terhampar penuh kekerasan -- tanpa kemampuan untuk memahami maknanya, tanpa bekal kearifan untuk memaknainya, dapat juga mengundang rasa putus asa, frustrasi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri, seperti terbersit pada sajak ‘’Agama Bunuh Diri’’ (yang ditulis pada tahun 1999, hlm 15) berikut ini:

Bila nanti siang kau shalat jumat
Barangkali di masjid Al-Fatah
Atau hari minggu nanti kau ikut kebaktian atau misa
Mungkin di gereja Maranatha mungkin di Keuskupan
Tolong tanyakan pada Muhammad dan Isa yang agung itu
Apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
Agar kita saling membunuh?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri

Untunglah Dino tidak benar-benar bunuh diri karena memang dilarang oleh agama. Untunglah Dino akhirnya menyadari bahwa manusia memang bodoh dan fana, dan hanya Tuhan yang Maha Tahu segalanya, dan memang selayaknyalah dia minta diajari oleh-Nya, seperti tersirat dalam sajak “Ajari Aku membaca-Mu’’, yang ditulisnya pada Maret 2007, sehingga dia memahami bahwa alam dan kehidupan adalah hamparan sajadah panjang untuk ‘’kembali’’ pada-Nya, seperti tersurat pada ‘’Sajak Lautan Sajadah’’. Periode penciptaan 2007 agaknya periode ‘’kesadaran’’ bagi Dino, dan sajak-sajak yang ditulisnya rata-rata bernuansa religius.
Seberagam tema yang dikemas dalam sajak-sajaknya, beragam pula pola pengucapan sajak-sajak Dino. Ada sajak-sajak yang begitu lugas dan kurang puitis, seperti ‘’Agama Bunuh Diri’’ (hlm 15), ada sajak yang memiliki baris-baris yang tidak seimbang kepanjangannya (ada baris-baris panjang, ada baris-baris yang hanya satu dua kata) seperti ‘’Sajak Kelelawar’’ (hlm 36), ada pula sajak-sajak yang sangat indah, rapi, sekaligus puitis serta simbolik, seperti ‘’Sajak Lautan Sajadah’’ dan ‘’Metafora Birahi Laut’’.
Agaknya, seperti juga kebanyakan penyair lain, proses kepenyairan Dino Umahuk adalah juga proses pencarian – pencarian jati diri sekaligus pencarian pola estetik. Syukurlah, melalui pencarian panjang selama hampir 10 tahun (1999-2007), akhirnya Dino menemukan yang dicarinya: jati diri yang religius dan pola pengucapan yang rapi, imajis dan simbolik, dengan citraan-citraan alam yang puitis. Karena itu, selamat untuk Dino Umahuk. Semoga dapat ikut memberi makna positif bagi tradisi kepenyairan di Indonesia untuk saat ini dan selanjutnya.

Pamulang, Maret 2008
*Disampaikan pada acara Bedah buku kumpulan puisi Dino Umahuk Metafora Birahi Laut dan kongkow-kongkow sahabat pencinta puisi Forum Lingkar Pena (FLP) Sabtu 15 Maret 2008 di Perpustakaan Diknas, library@senayan Jakarta

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.

Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.

Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.

Masa Depan Seni Tradisi Indonesia Terancam

Peta Bahasa-Budaya Lampung

Peta Bahasa-Budaya Lampung
Oleh Esai Udo Z. Karzi
"Esai Udo Z. Karzi Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada Budi P. Hatees, Asarpin, dan Irfan Anshory yang melalui tulisan mereka telah merangsang saya untuk kembali berwisata bahasa-budaya Lampung. Banyak hal yang ingin saya tanggapi sebenarnya. Tapi, dalam ruang yang terbatas ini, saya hanya ingin menuliskan sedikit pengetahuan yang sebisa mungkin mendasarkan pada referensi yang pernah ada. Satu hal yang ingin saya katakan, saya hanya praktisi bahasa Lampung yang barangkali tidak terlalu hirau dengan tata bahasa Lampung. Beberapa akademisi toh sudah melahirkan beberapa penelitian bahasa dan budaya Lampung. Perpustakaan Universitas Lampung bisa menjadi saksi dari berapa banyak penelitian tentang bahasa-budaya Lampung ini.
Bahasa MDMD Pilihan kata dalam Mak Dawah Mak Dibingi (MDMD), saya pungut dari bahasa keseharian di sebuah tempat bernama Liwa. Beberapa kata, ada juga yang disunting dan 'diperbaiki' Irfan Anshory (Talangpadang) dan karena itu beberapa kosa kata Lampung Talangpadang masuk ke situ. Kata-kata yang saya gunakan juga bukan kata yang – ada yang bilang – bahasa Lampung tinggi. Ah, sebenarnya bahasa Lampung cukup demokratis dengan tidak membeda-bedakan mana bahasa kasar dan mana bahasa halus. Saya penutur asli bahasa Lampung di Liwa (nama marga/kecamatan) di Kabupaten Lampung Barat.
Ada semacam konvensi yang menjadi ciri khas varian (sub dari sub dari subnya lagi) bahasa Lampung; yang membuat bahasa Lampung Liwa menjadi 'berbeda' dibanding dengan kecamatan tetangganya Kecamatan Batu Brak dan Belalau; Kecamatan Pesisir Tengah, Utara, dan Selatan; serta Kecamatan Sukau dan masuk ke wilayah Sumatera Selatan, bahasa Lampung Ranau. Belum lagi, kalau bahasa Lampung di luar Lampung Barat.
Kebiasaan ‘buruk’ orang Liwa adalah suka menyederhanakan kata bahasa Lampung dan membuatnya lebih gampang diucapkan. Misalnya, kata lawang (Pubian), luangan (Belalau) menjadi longan (gila); haku menjadi aku (kata saya); hamu menjadi amu (katamu); hani menjadi ani (katanya); haga menjadi aga (mau, ingin); kuwawa menjadi kawa (berani); radu menjadi adu (sudah); sinji menjadi inji (ini); dan sebagainya. Saya ingat misalnya, pernah bersitegang soal kata 'sulan'. Bagi orang Krui (calon Kabupaten Pesisir Barat), 'sulan' berarti tikar, tempat duduk, ditiduri juga boleh. Tapi bagi orang Liwa sulan berarti tempat tidur atau kasur. Sedangkan tikar disebut orang Liwa dengan 'jengan'. Ada lagi, 'culuk'. Di Liwa, 'culuk' dengan pengucapan yang berbeda bisa bermakna beda juga; bisa berarti tangan, bisa pula berarti korek api. Tapi di Sukau, korek api disebut 'kusut'. Sementara bahasa Pubian (Gedongtataan), 'culuk' malah berarti 'jari telunjuk'. Wah, sesama orang Lampung bisa saling menyesatkan kalau berbicara. Hahahaa... Bahasa Lampung Bahasa Lampung yang dituturkan di Liwa, hanya salah satu varian saja dari bahasa Lampung. Meskipun banyak sekali dialek dan subdialek bahasa Lampung, tidak bisa dinafikan bahasa Lampung itu sama: bahasa Lampung. Karena itu bahasa Abung, Tulangbawang, Komering, Ranau, Kayu Agung, Way Kanan, Cikoneng, dan sebagainya tetap memiliki hak yang sama untuk disebut sebagai bahasa Lampung. Dalam bahasa Sunda, ada awi (bambu), dalam bahasa Sumbawa terdapat punti (pisang), dalam bahasa Batak ada bulung (daun). Jika dalam bahasa Lampung terdapat pula awi, punti, dan bulung bukan berarti bahasa Lampung bahasa hibrida (nyontek dari mana-mana), tetapi ini berarti membuktikan bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik. Jadi, bukan Lampung nyontek Batak atau Batak nyontek Lampung, tetapi karena semuanya memang satu asal. Kemudian, Asarpin menyebutkan kata 'babai' untuk menunjukkan perempuan. Dalam soal ini Asarpin bisa keliru. Sebab, "babai" sebenarnya berarti menggendong/memomong anak. Yang dimaksudkan mungkin "bebai". Dalam bahasa Tagalog bebai berarti perempuan agung, hanya dipakai untuk menyebutkan perempuan yang terhormat. Bisa jadi ini arti aslinya dalam bahasa Austronesia purba. Bahasa Lampung memanggil ibu dengan ‘ina’ yang dalam bahasa Austronesia berarti 'orang diagungkan'. Jadi, agak gegabah jika Asarpin mengatakan bebai (perempuan) sama dengan babui (babi). Dalam buku Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (Balai Pustaka, 1964), Prof. Dr. Slametmuljana tidak menyinggung-nyinggung bahasa Lampung. Mungkin dia tidak sempat meneliti bahasa Lampung. Dia membandingkan bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan beberapa bahasa lain sama dengan bahasa-bahasa di Indocina (Khmer, Palaung, Shan, dan lain-lain). Slametmuljana tidak mengatakan bahasa-bahasa Nusantara mengambil dari mereka, tetapi dia membuktikan suku-suku Nusantara berasal dari sana satu akar dengan mereka (bukan meniru mereka); sesama ahli waris Austronesia purba. Istilah bahasa hibrid untuk bahasa Lampung harus ditolak karena tidak memiliki dasar ilmiahnya. Bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu karena masih banyak menyimpan kosakata Austronesia purba. Dalam Perbendaharaam Kata-kata dalam Berbagai Bahasa Polinesia, Pustaka Rakjat, Djakarta, 1956 hal 16-31), Prof. Dr. Otto Demwolff dari Jerman mendaftar kosakata yang dilestarikan bahasa Lampung: apui (api), bah (bawah), balak (besar), bingi (malam), buok (rambut), heni (pasir), hirung/irung (hidung), hulu/ulu (kepala), ina (ibu), ipon (gigi), iwa (ikan), luh (air mata), pedom (tidur), pira (berapa), pitu (tujuh), telu (tiga), walu (delapan), dan sebagainya. Di atas semua itu sebenarnya saya hendak mengatakan bahasa Lampung bisa modern, bergaya, dan berdaya. Tak hanya lisan, tetapi juga tulisan. Bagi saya keberagaman bahasa Lampung toh justru memperkaya khazanah budaya Lampung. Kalaulah di Kota Bandar Lampung dan Metro kita sulit mendengar orang berbicara Lampung, maka satu-satunya jalan untuk mengenalkan orang (siswa) pada bahasa Lampung, ya harus dengan teks (tulisan). Lain soal kalau di kabupaten-kabupaten yang bahasa Lampungnya masih dituturkan sehari-hari. Aksara Kaganga Kalau Asarpin masih meragukan keaslian aksara Kaganga dan menduga sebagai asimilasi huruf Batak dan Bugis, saya justru mengatakan aksara Lampung, Batak dan Bugis memang bersaudara. Sebab, salah satu teori asal-usul suku Lampung menyebutkan suku Lampung memang mempunyai hubungan darah dengan Batak dan Bugis, di samping tentu saja Pagaruyung di Sumatera Barat. Aksara Lampung itu sebagaimana dipelajari siswa di sekolah sekarang ini sesungguhnya sudah beberapa kali mengalami proses pembakuan oleh akademisi dan para tetua adat. Terdapat 20 huruf induk yang bisa dihapal (seperti huruf Arab): ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gra.
Kalau diperhatikan, Lampung juga mengenal huruf r (ra), meski hampir tidak ada kata Lampung yang menggunakan huruf r. Lalu, huruf terakhir, ketika saya browsing saya malah menemukan huruf gra bukan kh atau gh. Sehingga, saya katakanlah sebagai pengguna jadi huruf, cukup mengernyitkan kening juga. Kok gra bukan kha atau gha yang sering diributkan selama ini. Soal huruf kh atau gh. Keputusan guru-guru bahasa Lampung sebenarnya membakukan dengan huruf gh bukan kh. Tapi, sampai sekarang tetap saja ada yang memakai kh. Ketika saya membaca buku Pelajaran Bahasa Lampung terbitan Gunung Pesagi, saya juga menemukan dualisme pemakaian huruf. Semua sebenarnya sudah diganti dengan gh, tetapi di beberapa tempat di buku-buku itu masih terselip huruf kh. Dan, sampai sekarang, masih saja terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai. Lalu, ketika saya pulang ke Liwa, saya kok tidak asing dengan orang Jawa yang pasih berbahasa Lampung. Ada yang berhasil bertutur hampir 100% dengan penutur asli bahasa Lampung, ada yang kedengaran tetap terasa dialek Jawanya, dan ada juga pasih berbahasa Lampung, tetapi tetap menggunakan huruf r dan tidak bisa mengucapkan huruf gh. Dengan melihat itu, saya pun memutuskan menuliskan huruf r menggantikan huruf gh itu. Tentu saja, dalam pelisanan perlu dijelaskan, bahwa r dibaca gh. Entah mengapa, pemakaian huruf r ini seperti mendapat pembenaran ketika Lampung Post yang bekerja sama dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Unila menyelenggarakan rubrik Pah Bubahasa Lampung (Ayo Berbahasa Lampung); secara konsisten memakai huruf r. Dengan argumen, satu huruf satu bunyi. Menyebut beberapa literatur seperti H. N. van der Tuuk, “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), deel 18, 1872, pp. 118-156; C. A. van Ophuijsen, “Lampongsche Dwerghert-Verhalen”, BKI (Bijdragen Koninklijk Instituut), deel 46, 1896, pp. 109-142; dan Dale Franklin Walker, “A Grammar of the Lampung Language”, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1973; semua ilmuwan itu memakai r, bukan ch, kh atau gh. Dan, semuanya menyatakan kekagumannya terhadap bahasa Lampung yang memiliki aksara sendiri. Kata mereka, *****a sedikit suku-suku Nusantara yang memiliki aksara. Salah satunya yang memiliki aksara sendiri, yaitu bahasa Lampung. Menurut Irfan Anshory, penggunaan huruf r pada bahasa Lampung hanya masalah ejaan. Bukan mengubah fonem. Kalimat "radu ruwa rani mak ratong" tetap diucapkan seperti biasanya orang Lampung berbicara. Di Talangpadang dan beberapa tempat lain ejaan r sudah lama dipakai dalam penulisan adok (gelar), misalnya Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, dan lain-lain. Pemakaian huruf ejaan r justru mengembalikan ke bahasa Arab asli: riwayat, kabar, kursi, laher, sabar, water, bulan muharam, rejob, dan sebagainya. Ejaan kh dipakai dalam dalam menuliskan yang memang memakai ‘kha’ dalam bahasa Arab: akhir, khusus, khas, dan sebagainya. Budaya Lampung Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi (lihat: http://id.wikipedia.org). Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami Lampung secara kultural. Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampungmiskin telaah, riset, dan studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung. Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten. Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat orang Lampungterpecah-pecah. Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin. Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi. Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga. Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung. Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui. Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan. Peta Bahasa-Budaya Dari kategorisasi itu, terlihat ada Ranau, Komering, dan Kayu Agung di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang sejatinya orang Lampung (beretnis Lampung). Di Provinsi Banten ada wilayah Cikoneng yang beretnis Lampung dan bertutur dengan bahasa Lampung. Satu lagi, yang agaknya perlu penelitian, di Bengkulu ada wilayah yang bertutur dengan bahasa Lampung. Mereka menyebut diri Lampung Bengkulu. Dengan demikian, peta Provinsi Lampung tidak akan memadai untuk membicarakan, termasuk memberdayakan dan mengembangkan, bahasa-budaya Lampung. Untuk bisa melihat Lampung secara utuh dalam pengertian suku, bahasa, dan budaya yang dibutuhkan adalah peta bahasa-budaya Lampung. Sebenarnya, tidak perlu membuat yang baru karena sebenarnya peta dimaksud sudah ada. Kebudayaan Lampung itu riil, misalnya mewujud dalam tubuh suku Lampung, sistem kebahasaan, keberaksaraan, adat-istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Jadi, tidak perlu merasa rendah diri mengatakan tidak ada kebudayaan Lampung atau kebudayaan Lampung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sehingga tidak tampak lagi kebudayaan Lampung itu yang mana. Yang terjadi adalah selalu ada tendensi untuk meniadakan atau setidaknya membonsai bahasa-budaya Lampung. Kalaulah bahasa-budaya Lampung itu relatif tidak dikenal dan sering luput dari perbincangan di tingkat nasional; katakanlah di banding dengan budaya Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain -- tidak lain tidak bukan karena relatif belum ada kajian dan ilmuwan yang mampu membedah kebudayaan Lampung secara lebih komprehensif, sistematis, dan tentu saja ilmiah. Pertanyaannya, siapakah yang akan menjalankan peran ini jika Unila saja menghapus Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung? n * Udo Z. Karzi, buku puisi Lampungnya, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) meraih Hadiah Sastera Rancage 2008 untuk kategori Sastra Lampungt. "

Minggu, 14 September 2008

Tidurlah Dengan Mimpi

 Cerpen Naim Emel Prahana

“Yah, memang sudah saatnya kita pergi,” kata Nurdin kepadaku saat kami berada di pojok kota yang penuh dengan rumah-rumah kumuh.
“Kalau memang. Apa boleh buat, semuanya pasti ada solusi. Ya, ya kan?” kataku seraya menggerakkan telunjuk ke arah papan nama proyek di seberang jalan yang penuh dengan lubang.
“Ok!” jawab Nurdin.
Betapa ingatku ucapan kami itu dua puluh empat tahun silam. Yang belum mengerti apa itu mesin tik. Apalagi komputer seperti sekarang ini. Kudengar pula banyak omong orang, bahwa zaman sekarang adalah zaman komputer.
Tapi itulah kini. Kawan-kawanku menyebutnya teknologi canggih sebagai upaya mempertahankan hidup. Apa untuk mengganti zaman batu. Di mana saat itu orang-orang hanya mengenakan sehelai daun alam untuk menutupi auratnya. Kini, pabrik-pabrik kain ada di mana-mana. Kain untuk membuat baju corak dan motifnya sangat kaya.
Tapi, itu kan tidak mudah didapat, jikalau aku tak punya uang. Karena aku masih ingat waktu sekolah dasar. Seorang guru lantang berkata.
“kalau kelak dikemudian hari kalian sudah tamat sekolah, lalu pergi ke kota atau tempat lain. Saya sangat senang dan bangga, apalagi kalau kalian nantinya berhasil di tempat orang. Kalain harus ingat itu. Hanya bapak selalu terbayang, apakah di tempat orang yang jauh dari dusun kita, kalian itu cukup memiliki uang? Kalau tidak, bapak selalu terbayang dan bapak sungguh sedih............” kata Pak Halimi waktu memberikan pelajaran Bahasa Inggris.
Kini aku tidak tahu lagi, teman-teman se dusun dulu. Entah di mana. Yang tinggal di dusun memang masih ada. Mereka sudah memegang status penunggu harta pusaka nenek moyang. Dari rumah ke kebun ke sawah ke hutan dan ke sungai, kembali lagi ke rumah menjelang malam tiba.
Seterusnya begitu. Bila sempat setelah mandi mengobrol dengan sanak keluarga di warung di pinggir jalan. Yah, itulah hiburan satu-satunya, selebihnya hanya malam gelap gulita. Listrik sudah lama dicabut zaman Belanda hengkang dari dusun kami.
Sepanjang waktu sepanjang malam, setelah lampu dinding mulai kehabisan minyak. Semuanya tidur pulas, tidurnya orang kampung tidur yang ikhlas dan pasrah. Itu tidak sama dengan tidurnya orang kota yang gemerlapan dengan sinar lampu. Terang benderang di seluruh pelosok kota. Gemerlapnya lampu diskotik, karaoke dan pasar malam. Luar biasa keadaan di kota.
“Dusunku, Cuma sebuah perkampungan yang berada di sisi kiri kanan Bukit Barisan membujur dari Tenggara ke Utara. Nyanyian paling meriah adalah perpaduan suara katak, jangkrik, burung hantu dan teriakan siamang malam. Itu sangat mempesona. Kesejukan yang datang dari tengah hutan, membuat semuanya lelap dalam tidur yang teratur.
Mencoba mencari tahu, di mana dan apa kerja kawan-kawan yang juga pergi ke kota? Sehingga tak terasa doa pun mengalir dalam harapan-harapan pertemuan. Kembali, kembali harapan itu terbuang di tengah hiruk pikuknya suasana kota. Tidak siang tidak juga malam. Malah, waktu di kota lebih dari dua puluh empat jam sehari semalam.
Padahal, waktu sekolah di dusun. Pak guru hanya mengajarkan sehari semalam itu hanya dua pulug empat jam.
“Itu kenangan!”
“Kini mengerang bagaikan banteng lapar yang siap mengejar dan menerkam siapa saja yang mempermainkannya.”
Kemudian akupun beranjak dari pikiran yang menggeluti selama beberapa hari lalu. Aku ingin memberikan kehidupan dalam hidup ini, kepada siapa saja. Kepada apa yang bisa kuberikan, walau hanya selembar kertas kosong yang kurobek dari buku tulis anakku.
Aku sudah tak pernah lagi melihat, meneliti dan membaca lagi setumpuk ijazah dan fotocopynya di sorok lemari. Perjalanan hidup yang sudah di makan usia, telah membuang jauh-jauh kemungkinan-kemungkinan jauh milyuner di negeri ini. Atau jadi politiskus ternama dengan populeritas yang dikenal hingga anak-anak di sekolah taman kanak-kanak.
Atau, bahkan menjadi komentator beberapa acara di stasiun televisi. Betapa jauh rasanya status itu untuk dapat digenggam. Sebab, sejak kecil di dusun, kami diajarkan sopan santun berpakaian. Misalnya, sepulang sekolah kami diharuskan mengganti pakaian dengan pakaian mirip pakaian tidur. Tapi, bahannya dari belacu. Itu sangat membanggakan kalau ada anak di dusun yang punya pakaian untuk bermain yang dibuat dari kain ang dikenal namanya belacu.
Juga, di dusun kami tidak dibolehkan makan di depan pintu. Juga, tidak boleh menyapu rumah di malam hari. Kepada orangtua harus hormat, baik tegur sapa maupun tutur kata aat berbicara. Begitu juga dengan guru. Betapa takutnya kami ketika itu bila berjumpa dengan guru di jalanan.
Kalau melihat ada sosok guru dikejauhan. Kami sudah mulai berancang-ancang untuk bersembunyi atau pergi. Kami tidak sama sekali mengenal rokok apalagi merokok. Karena waktu itu kebanyakan orangtua itu merokok dari daun nipah. Daun nipah yang dipotong-potong sepanjang 10 centimeter itu, kemudian dibuka gulungannya dan dimasukkan tembakau.
“Semuanya dibuat sendiri oleh orangtua kami di dusun”
“Kami tidak mengenal koran!”
“Kami juga tidak mengenal televisi”
“Kami hanya punya radio transistor biasanya merek Cawang atau Philip yang lebih mahal dan mewah!”
Namun, semuanya itu tidak pernah membuat angka kemiskinan melonjak setiap tahun. Walau tidak banyak yang mempunyai kebun sayuran. Tapi, kami sudah dapat memetik berbagai jenis sayuran di pinggiur sawah atau pinggir Kali (sungai). Mulai dari sayuran pakis, genjer, kangkung, selada, jantung pisang dan ikan-ikan dari Kali. Tinggal kami pancing atau memasang tajur (sejenis pancing khusus untuk menangkap ikan berukuran besar) di malam hari. Itulah keadaan dulu, di mana zaman belum semaju sekarang ini.
Setahun lalu, aku pulang dusun bersama anak dan isteri. Sepintas dusunku tidak berubah. Jumlah sekolah masih seperti dulu. Walau jalan sudah diaspal. Tapi, rumah-rumah masih seperti dulu. Tidak ada tambahan. Malahan terasa makin sepi dan tak ada gairah.
Selama dua hari di dusun, barulah kusadari tentang kota di dusun. Anak-anak muda di dusun sudah lebih gila-gilaan dibandingkan anak kota. Pakaian, cara berpakaian dan sopan santunnya. Memang luar biasa majunnya. Anak-anak kecil dan remaja seperti tidak pernah menanggung beban dengan memanggil paman atau waknya dengan sebutan kamu. Seenaknya bercengkrama dengan kata-kata panas dan memanaskan suasana. Para orangtua kulihat hanya menatap. Menatap kepada anak-anak mereka dengan tatapan kosong. Walau kulihat diraut wajahnya ada kemarahan. Tapi, semuanya diam, diam dan tidak menegur apapun.
Sambil menatap pebukutan yang membuju di depan rumah kami yang panggung terbuat dari kayu. Aku berdiri di berendo (teras). Sambil menyapa embun pagi yang membuat lingkungan dusun berada di suhu dingin. Dengan memandang lingkungan pegunungan, aku bertanya; “kemanakah kawan-kawan dulu yang pernah bercita-cita ingin membangun dusun dengan tetap melestarikan akhlak dan sopan santun?”
“Di mana mereka?”
Adakah mereka mendengar panggilanku yang keras sekerasnya menghantam pegunungan Bukit Barisan di dalam diam dan bisuku saat berada di dusun?
“Entahlah”
Dusun dengan orang-orang dusun yang kukenal kebiasaannya tempo dulu. Kini hanyalah bayangan yang melintas di antara bukit-bukit yang sudah gundul. Air-air Kali yang sudah menjadi kecil. Perjumpaan di tengah jalan antar orang dusun yang biasanya penuh dengan tegur sapa, sopan dan ramah. Entah, entah dimana?
Anak-anak perempuan yang belum nikah sampai kepada wanita-wanita ibu rumah tangga. Kulihat betapa bangganya mereka mengenakan celana pendek tidak sampai lutut. Baju kaos sempit hingga memperuncing dua buah rudal di balik kaos ukuran kecil dan sempit itu. Sampai pula banyak yang bangga berlalulalang di jalan dengan mengenakan pakaian separuh badan.
Di bagian depan cuma memperlihatkan celah-celah pebukitan dan di bagian punggung hampir separuh badan, tidak ada kain bajunya. Lalu aku berbisik, “inikah yang mereka sebut zaman modern?”
Orang-orang dusun sudah sama dengan orang-orang di kota. Bahkan, lebih malas untuk berusaha dan bekerja. Mereka cukup nongkrong di warung-warung atau di rumah-rumah penduduk yang gaul. Sementara anak-anak mudanya sudah tidak lagi mengenal sawah, kebun atau ladang. Mereka mondar-mandir dengan sepeda motor yang suara knalpotnya meraung-raung.
“Begitu bangganya mereka berlaku demikian”
Kini, dalam pikiranku terjadi pergulatan yang sangat dilematis. Di kota, semuanya serba harta, jabatan, status dan kemegahan. Aku tak punya. Di dusun, semuanya serba gaya, padahal mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Aku harus di mana. Bisakah mimpiku jadi tempat tinggal untuk mereka? Kalau bisa, tidurlah senyenyak-nyenyaknya.

Metro, Juli 2008.