“Yah, memang sudah saatnya kita pergi,” kata Nurdin kepadaku saat kami berada di pojok kota yang penuh dengan rumah-rumah kumuh.
“Kalau memang. Apa boleh buat, semuanya pasti ada solusi. Ya, ya kan?” kataku seraya menggerakkan telunjuk ke arah papan nama proyek di seberang jalan yang penuh dengan lubang.
“Ok!” jawab Nurdin.
Betapa ingatku ucapan kami itu dua puluh empat tahun silam. Yang belum mengerti apa itu mesin tik. Apalagi komputer seperti sekarang ini. Kudengar pula banyak omong orang, bahwa zaman sekarang adalah zaman komputer.
Tapi itulah kini. Kawan-kawanku menyebutnya teknologi canggih sebagai upaya mempertahankan hidup. Apa untuk mengganti zaman batu. Di mana saat itu orang-orang hanya mengenakan sehelai daun alam untuk menutupi auratnya. Kini, pabrik-pabrik kain ada di mana-mana. Kain untuk membuat baju corak dan motifnya sangat kaya.
Tapi, itu kan tidak mudah didapat, jikalau aku tak punya uang. Karena aku masih ingat waktu sekolah dasar. Seorang guru lantang berkata.
“kalau kelak dikemudian hari kalian sudah tamat sekolah, lalu pergi ke kota atau tempat lain. Saya sangat senang dan bangga, apalagi kalau kalian nantinya berhasil di tempat orang. Kalain harus ingat itu. Hanya bapak selalu terbayang, apakah di tempat orang yang jauh dari dusun kita, kalian itu cukup memiliki uang? Kalau tidak, bapak selalu terbayang dan bapak sungguh sedih............” kata Pak Halimi waktu memberikan pelajaran Bahasa Inggris.
Kini aku tidak tahu lagi, teman-teman se dusun dulu. Entah di mana. Yang tinggal di dusun memang masih ada. Mereka sudah memegang status penunggu harta pusaka nenek moyang. Dari rumah ke kebun ke sawah ke hutan dan ke sungai, kembali lagi ke rumah menjelang malam tiba.
Seterusnya begitu. Bila sempat setelah mandi mengobrol dengan sanak keluarga di warung di pinggir jalan. Yah, itulah hiburan satu-satunya, selebihnya hanya malam gelap gulita. Listrik sudah lama dicabut zaman Belanda hengkang dari dusun kami.
Sepanjang waktu sepanjang malam, setelah lampu dinding mulai kehabisan minyak. Semuanya tidur pulas, tidurnya orang kampung tidur yang ikhlas dan pasrah. Itu tidak sama dengan tidurnya orang kota yang gemerlapan dengan sinar lampu. Terang benderang di seluruh pelosok kota. Gemerlapnya lampu diskotik, karaoke dan pasar malam. Luar biasa keadaan di kota.
“Dusunku, Cuma sebuah perkampungan yang berada di sisi kiri kanan Bukit Barisan membujur dari Tenggara ke Utara. Nyanyian paling meriah adalah perpaduan suara katak, jangkrik, burung hantu dan teriakan siamang malam. Itu sangat mempesona. Kesejukan yang datang dari tengah hutan, membuat semuanya lelap dalam tidur yang teratur.
Mencoba mencari tahu, di mana dan apa kerja kawan-kawan yang juga pergi ke kota? Sehingga tak terasa doa pun mengalir dalam harapan-harapan pertemuan. Kembali, kembali harapan itu terbuang di tengah hiruk pikuknya suasana kota. Tidak siang tidak juga malam. Malah, waktu di kota lebih dari dua puluh empat jam sehari semalam.
Padahal, waktu sekolah di dusun. Pak guru hanya mengajarkan sehari semalam itu hanya dua pulug empat jam.
“Itu kenangan!”
“Kini mengerang bagaikan banteng lapar yang siap mengejar dan menerkam siapa saja yang mempermainkannya.”
Kemudian akupun beranjak dari pikiran yang menggeluti selama beberapa hari lalu. Aku ingin memberikan kehidupan dalam hidup ini, kepada siapa saja. Kepada apa yang bisa kuberikan, walau hanya selembar kertas kosong yang kurobek dari buku tulis anakku.
Aku sudah tak pernah lagi melihat, meneliti dan membaca lagi setumpuk ijazah dan fotocopynya di sorok lemari. Perjalanan hidup yang sudah di makan usia, telah membuang jauh-jauh kemungkinan-kemungkinan jauh milyuner di negeri ini. Atau jadi politiskus ternama dengan populeritas yang dikenal hingga anak-anak di sekolah taman kanak-kanak.
Atau, bahkan menjadi komentator beberapa acara di stasiun televisi. Betapa jauh rasanya status itu untuk dapat digenggam. Sebab, sejak kecil di dusun, kami diajarkan sopan santun berpakaian. Misalnya, sepulang sekolah kami diharuskan mengganti pakaian dengan pakaian mirip pakaian tidur. Tapi, bahannya dari belacu. Itu sangat membanggakan kalau ada anak di dusun yang punya pakaian untuk bermain yang dibuat dari kain ang dikenal namanya belacu.
Juga, di dusun kami tidak dibolehkan makan di depan pintu. Juga, tidak boleh menyapu rumah di malam hari. Kepada orangtua harus hormat, baik tegur sapa maupun tutur kata aat berbicara. Begitu juga dengan guru. Betapa takutnya kami ketika itu bila berjumpa dengan guru di jalanan.
Kalau melihat ada sosok guru dikejauhan. Kami sudah mulai berancang-ancang untuk bersembunyi atau pergi. Kami tidak sama sekali mengenal rokok apalagi merokok. Karena waktu itu kebanyakan orangtua itu merokok dari daun nipah. Daun nipah yang dipotong-potong sepanjang 10 centimeter itu, kemudian dibuka gulungannya dan dimasukkan tembakau.
“Semuanya dibuat sendiri oleh orangtua kami di dusun”
“Kami tidak mengenal koran!”
“Kami juga tidak mengenal televisi”
“Kami hanya punya radio transistor biasanya merek Cawang atau Philip yang lebih mahal dan mewah!”
Namun, semuanya itu tidak pernah membuat angka kemiskinan melonjak setiap tahun. Walau tidak banyak yang mempunyai kebun sayuran. Tapi, kami sudah dapat memetik berbagai jenis sayuran di pinggiur sawah atau pinggir Kali (sungai). Mulai dari sayuran pakis, genjer, kangkung, selada, jantung pisang dan ikan-ikan dari Kali. Tinggal kami pancing atau memasang tajur (sejenis pancing khusus untuk menangkap ikan berukuran besar) di malam hari. Itulah keadaan dulu, di mana zaman belum semaju sekarang ini.
Setahun lalu, aku pulang dusun bersama anak dan isteri. Sepintas dusunku tidak berubah. Jumlah sekolah masih seperti dulu. Walau jalan sudah diaspal. Tapi, rumah-rumah masih seperti dulu. Tidak ada tambahan. Malahan terasa makin sepi dan tak ada gairah.
Selama dua hari di dusun, barulah kusadari tentang kota di dusun. Anak-anak muda di dusun sudah lebih gila-gilaan dibandingkan anak kota. Pakaian, cara berpakaian dan sopan santunnya. Memang luar biasa majunnya. Anak-anak kecil dan remaja seperti tidak pernah menanggung beban dengan memanggil paman atau waknya dengan sebutan kamu. Seenaknya bercengkrama dengan kata-kata panas dan memanaskan suasana. Para orangtua kulihat hanya menatap. Menatap kepada anak-anak mereka dengan tatapan kosong. Walau kulihat diraut wajahnya ada kemarahan. Tapi, semuanya diam, diam dan tidak menegur apapun.
Sambil menatap pebukutan yang membuju di depan rumah kami yang panggung terbuat dari kayu. Aku berdiri di berendo (teras). Sambil menyapa embun pagi yang membuat lingkungan dusun berada di suhu dingin. Dengan memandang lingkungan pegunungan, aku bertanya; “kemanakah kawan-kawan dulu yang pernah bercita-cita ingin membangun dusun dengan tetap melestarikan akhlak dan sopan santun?”
“Di mana mereka?”
Adakah mereka mendengar panggilanku yang keras sekerasnya menghantam pegunungan Bukit Barisan di dalam diam dan bisuku saat berada di dusun?
“Entahlah”
Dusun dengan orang-orang dusun yang kukenal kebiasaannya tempo dulu. Kini hanyalah bayangan yang melintas di antara bukit-bukit yang sudah gundul. Air-air Kali yang sudah menjadi kecil. Perjumpaan di tengah jalan antar orang dusun yang biasanya penuh dengan tegur sapa, sopan dan ramah. Entah, entah dimana?
Anak-anak perempuan yang belum nikah sampai kepada wanita-wanita ibu rumah tangga. Kulihat betapa bangganya mereka mengenakan celana pendek tidak sampai lutut. Baju kaos sempit hingga memperuncing dua buah rudal di balik kaos ukuran kecil dan sempit itu. Sampai pula banyak yang bangga berlalulalang di jalan dengan mengenakan pakaian separuh badan.
Di bagian depan cuma memperlihatkan celah-celah pebukitan dan di bagian punggung hampir separuh badan, tidak ada kain bajunya. Lalu aku berbisik, “inikah yang mereka sebut zaman modern?”
Orang-orang dusun sudah sama dengan orang-orang di kota. Bahkan, lebih malas untuk berusaha dan bekerja. Mereka cukup nongkrong di warung-warung atau di rumah-rumah penduduk yang gaul. Sementara anak-anak mudanya sudah tidak lagi mengenal sawah, kebun atau ladang. Mereka mondar-mandir dengan sepeda motor yang suara knalpotnya meraung-raung.
“Begitu bangganya mereka berlaku demikian”
Kini, dalam pikiranku terjadi pergulatan yang sangat dilematis. Di kota, semuanya serba harta, jabatan, status dan kemegahan. Aku tak punya. Di dusun, semuanya serba gaya, padahal mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Aku harus di mana. Bisakah mimpiku jadi tempat tinggal untuk mereka? Kalau bisa, tidurlah senyenyak-nyenyaknya.
Metro, Juli 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar