Minggu, 21 September 2008

Budaya ‘Kedurei Agung’ Lebong akan Jadi Agenda Wisata


Budaya ‘Kedurei Agung’ yang menjadi tradisi masyarakat Kabupaten Lebong, mulai tahun ini akan dibakukan untuk menjadi agenda wisata tahunan, karena peringatannya sama meriahnya dengan peringatan Tabot di Kota Bengkulu, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Drs Yustin Hendri.
Ketika ditanya di Bengkulu, Jumat (15/2), ia menjelaskan, ‘Kedurei Agung’ merupakan tradisi sakral dan peminatnya sudah cukup banyak, budaya itu biasanya digelar jika ada musibah sebagai tolak balak.
Namun ke depan kendati tak ada bencana, budaya itu tetap akan diperinggati secara rutin, hari dan waktunya masih dalam pembahasan Badan Musyawarah Adat setempat.
Dalam acara ‘Kedurei Agung’ itu biasanya digelar berbagai tarian adat (tari Kejei) dan lomba puisi bahasa Lebong, dengan hadiah menarik. Jika sudah dibakukan peringatan hari ‘Kedurei Agung’ itu akan lebih dibuat meriah.
Kalau selama ini peringatan hari budaya Lebong itu hanya dihadiri oleh para tokoh masyarakat, tahun depan akan mengundang para pejabat baik lokal maupun nasional sehingga lebih meriah.
Yustin mengatakan, untuk mendukung kegiatan budaya Kedurei Agung dan pembenahan beberapa obyek wisata di Kabupaten Lebong, sekarang tengah dilatih sekitar 14 klub sanggar seni yang melibatkan putri-putri cantik asli Lebong.
Para anak sanggar itu mulai tahun ini secara rutin berlatih di beberapa obyek wisata andalan antara lain di kawasan Danau Tes, air panas, dan air terjun di Sungai Putih serta pada kawasan Lobang Kacamata eks
pertambangan emas Belanda.
Budaya ‘Kedurei Agung’ merupakan acara sakral yang masih terpendam, namun cukup menarik, dan hanya diperingati satu kali dalam setahun.
‘Kedurai Agung’ selama ini dipercayai warga sebagai acara tolak balak jika terjadi musibah, seperti banjir, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, karena itu diperingati secara adat.
Menurut dia, pada tahun anggaran 2008 ini, Dinas Pariwisata Lebong juga mulai menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau, dengan target mendatangkan 100 ribu pengunjung wisatawan lokal dan nusantara. (Ant/OL-03)

Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan

Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas
Permintaan warga di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat tidak muluk-muluk. Warga hanya ingin di desanya dibangun irigasi sehingga lahan telantar milik mereka di luar taman nasional dapat ditanami padi dua kali. Jika itu terwujud, merambah hutan tidak akan mereka lakukan lagi. Perambahan cukup sampai di lokasi sekarang ini.
Kami tidak akan merambah lagi. Buat apa? Kalau lahan bisa ditanami padi dua kali, penghasilan dari sawah pasti cukup, ujar Dodi, warga Kampung III, Desa Talang Donok, Kecamatan Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1,4 juta hektar, wilayahnya terdapat di empat provinsi, yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Jambi. Taman nasional ini adalah yang terluas di Sumatera.
Warga Talang Donok hanyalah salah satu warga desa di sekitar TNKS yang berharap di desanya dibangun irigasi. Sebagian warga desa itu, seperti diakui oleh Kepala Desa Talang Donok, Muslich, selama ini memang hidup dengan merambah hutan.
Mereka menanam nilam dan tanaman lain seperti sayuran di lahan TNKS atau hutan lindung di sekitarnya. Mereka tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup.
Di desa ini ada sekitar 500 hektar lahan tidur milik warga yang bisa ditanami padi kalau ada irigasi. Sekitar 500 hektar lahan tidur lain di desa-desa tetangga juga bisa diairi. Warga Talang Donok dan desa tetangga saya pastikan tidak akan masuk dan membuka hutan lagi karena kebutuhan hidup bisa dicukupi dari tanaman padi, papar Muslich.
Warga Desa Seblat Ulu di Kecamatan Lebong Utara juga berharap sama. Mereka ingin pemerintah atau lembaga mana pun, termasuk TNKS, membantu membangun irigasi untuk mengairi 200 hektar lahan tidur di desa itu. Selama ini, seluruh warga desa yang terdiri atas 20 keluarga mengandalkan hidup dengan membuka hutan TNKS di sebelah desa untuk menanam nilam dan tanaman lain.
Seluruh warga desa ini merambah hutan TNKS. Kami tidak bisa berbuat lain karena lahan yang seharusnya bisa ditanami padi telantar karena tidak bisa diairi. Kami berharap dibangun irigasi di desa kami, papar Muhajir, Kepala Desa Seblat Ulu.
Kebutuhan irigasi di desa-desa di sekitar TNKS diakui Bupati Lebong Dalhadi Umar. Menurut dia, jika ada bantuan pembangunan irigasi tentu warga tidak akan merambah hutan lagi. Mereka akan bisa hidup dari tanaman padi atau palawija di tanah milik mereka sendiri.
Di Desa Talang Donok, warganya sudah lama berharap bantuan irigasi. Mereka berjanji tidak akan merambah hutan lagi jika lahan mereka bisa ditanami padi, ucap Dalhadi.
Untuk membangun irigasi dengan membendung sungai yang melintas di desa-desa itu, tentu membutuhkan biaya tidak sedikit. Pemerintah daerah tidak mampu memenuhi keinginan itu terlebih lagi untuk Lebong yang baru berdiri sendiri sebagai daerah otonom dua tahun lalu.
Bantuan dari lembaga lain, termasuk badan-badan dunia yang menaruh perhatian terhadap pelestarian hutan paru-paru dunia, sangat dinantikan.
Selama bantuan yang dapat meningkatkan taraf hidup warga sekitar taman nasional belum terwujud, jangan harap hutan bisa terus terjaga. Demi perut, hutan akan terus dirambah dan juga ditebang secara liar. Akibat aksi-aksi ilegal tersebut, kerusakan hutan di Indonesia terus terjadi dan beberapa tahun ini kian parah.
Terpaksa merambah
Degradasi hutan di Indonesia memang kian parah. Setiap tahun dua juta hektar lebih hutan lenyap akibat ditebang orang- orang yang tidak bertanggung jawab dengan masa depan, termasuk nasib anak cucu mereka kelak.
Penebangan liar atau illegal logging dan perambahan hutan tak kunjung dapat dihentikan, bahkan ketika pemerintah gencar melakukan penertiban belakangan ini. Sebagian manusia yang rakus terus mengoyak hutan untuk mencari keuntungan besar sesaat. Sebagian lain melakukannya dengan terpaksa, juga atas nama nasib anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Kami terpaksa merambah hutan untuk menanam nilam. Kalau tidak begitu, dari mana saya mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarga. Tanah saya tidak bisa ditanami padi karena tidak ada air yang bisa mengairi, ujar Arpan, warga Desa Seblat Ulu.
Seblat Ulu adalah salah satu desa dari 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, salah satu hutan warisan dunia. Desa itu hanya bisa dijangkau dengan susah payah, baik dengan berjalan kaki selama tiga jam hingga empat jam dari desa terakhir yang bisa dijangkau mobil, atau dengan menggunakan ojek sepeda motor.
Seluruh warga desa yang berjumlah 120 keluarga telah lama hidup dengan merambah TNKS. Mereka menanam sayuran, dan tiga tahun ini nilam untuk menghidupi keluarga masing-masing. Tidak ada pilihan lain karena lahan milik warga di desa tidak bisa ditanami.
Warga Seblat Ulu dan juga Talang Donok adalah contoh dua desa 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, atau bagian dari 346 desa yang punya keterkaitan dengan TNKS. Mereka merambah hutan TNKS sekadar untuk membuka lahan dan menanam sayuran atau apa saja, yang hasilnya dapat dijual atau dikonsumsi untuk keluarga.
Paru-paru dunia
Warga desa-desa di sekitar TNKS dan taman nasional lain, seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Lampung dan Bengkulu, selalu dituding sebagai salah satu biang keladi kerusakan paru-paru dunia tersebut. Bersama para penebang liar yang hanya mencari kayu-kayu yang dapat dijual, para perambah selalu dipojokkan sebagai pelaku perusakan hutan.
Sudah lama warga dituntut pula agar turut menjaga taman nasional. Akan tetapi, apa yang bisa mereka lakukan jika bantuan untuk hidup mereka tak kunjung terwujud? Lantas ke mana mereka mengajukan bantuan tersebut selain kepada pemerintah daerah?
Saya tidak tahu apakah bisa meminta bantuan selain ke pemda (pemerintah daerah). Kalau ke pemda saya sudah berkali-kali mengajukan agar di sini dibangun irigasi, tetapi belum ada tanda-tanda terwujud, ujar Muslich pula.
Syamsul Bahri, Koordinator Pemangkuan Data TNKS, mengungkapkan, warga di sekitar TNKS sebenarnya bisa mengajukan permintaan batuan, tetapi tidak melalui pemerintah.
Bisa melalui lembaga swadaya masyarakat lokal, dan kami dari TNKS nanti menyalurkannya ke lembaga-lembaga donor. Disetujui atau tidak bantuan itu, tergantung lembaga donor tersebut, paparnya.
Kepala Seksi TNBBS wilayah Krui, Achmad Sutardi menyebutkan pula, pihaknya pernah menyalurkan permohonan bantuan warga ke lembaga donor melalui LSM tersebut. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar ada permohonan yang dipenuhi.
Selain proyek ICDP (Integrated Conservation Development Project) di TNKS yang berakhir tahun 2002, rakyat yang bermukim di sekitar memang tidak mendapatkan apa-apa, selain hidup dengan lingkungan alam nan permai. Akan tetapi, jika kebutuhan perut belum terpenuhi, mereka pun bisa berbuat apa saja termasuk merambah hutan.
Potensi tambang
Kondisi itu pun dialami pemerintah daerah yang sebagian wilayahnya berada di dalam taman nasional. Kabupaten Lebong di Provinsi Bengkulu adalah salah satunya. Tujuh puluh persen dari wilayah Lebong seluas 192.924 hektar berada di dalam TNKS. Bayangkan, bagaimana kami bisa membangun daerah, ungkap Dalhadi Umar, Bupati Lebong.
Padahal, di dalam TNKS sana, potensi tambang yang besar begitu menggoda Pemerintah Kabupaten Lebong. Jika saja deposit tambang—terbesar emas—bisa digali, niscaya akan mampu menambah pendapatan asli daerah. Dari uang itulah sebagian pembangunan daerah (PAD) akan dibiayai.
Sebagai salah satu daerah yang juga akan diusulkan menjadi kabupaten konservasi, Lebong tentu saja harus turut serta menjaga TNKS. Dalhadi pernah menyatakan komitmen Pemkab Lebong untuk secara aktif menjaga paru-paru dunia TNKS tersebut.
Tidak ada ampun bagi para pencuri kayu, mereka harus diberantas. Saya menyebut mereka bukan penebang liar tetapi pencuri kayu, ujar Dalhadi.
Akan tetapi, tekadnya itu tentu saja akan menjadi sebuah dilema karena pemkab tidak bisa berbuat apa-apa untuk menambah PAD dari potensi tambang di dalam TNKS. Oleh karena itu, Dalhadi minta perhatian pemerintah pusat, melalui kerja sama antardepartemen, untuk mencarikan jalan keluar. Apalagi selama ini kompensasi atas peran daerah ikut menjaga taman nasional belum ada.
Misalnya, perlu dicarikan teknologi, bagaimana penambangan tetap bisa dilakukan dengan tidak merusak hutan, ujarnya menambahkan.
Bagaimana akhir dari berbagai persoalan itu, tinggal menunggu waktu. Namun, apa pun masalah yang ada, tentu saja tidak harus menabrak kepentingan lebih besar, yaitu tetap terjaganya paru-paru dunia seperti TNKS, TNBBS, taman nasional lain, dan hutan lindung di Tanah Air.
Di sisi lain, upaya menjaga kelestarian alam pun harus dipikirkan bersama oleh umat manusia di Bumi ini, termasuk mengikutkan rakyat yang hidup di sekitar taman nasional.
Bukankah Bumi milik bersama? Jika Bumi tidak dijaga dan dibiarkan terus rusak, niscaya akan berbuah musibah besar yang akan merugikan banyak manusia. (jos/iam)
Lebong Perlu Payung Hukum
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas

Kabupaten Konservasi Tak Diperhatikan

Kabupaten Konservasi Tak Diperhatikan
September 2, 2007 oleh lebong , Kompas
Pemerintah Kabupaten Lebong, Bengkulu, yang merupakan kabupaten konservasi, mendesak pemerintah pusat memberikan kompensasi terhadap upaya daerah untuk menjaga konservasi hutan. Selama ini daerah itu dituntut untuk menjaga hutan, tetapi tak ada arahan atau kompensasi dari pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
Ketua Komisi II DPRD Lebong, Affan Jauhari, Selasa (10/4), mengatakan, hingga kini tidak ada bantuan apapun yang diterima Kabupaten Lebong. Padahal, sejak menjadi kabupaten konservasi tahun lalu, pemerintah kabupaten dituntut untuk melestarikan kawasannya.
Dia mempersoalkan UU No 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang dinilai tidak mengayomi kabupaten konservasi. Undang-undang itu hanya mengatur dana bagi hasil pemerintah pusat dan daerah terhadap ekspolitasi sumber daya alam. Namun, tidak ada kompensasi terhadap daerah yang menjaga kelestarian sumber daya alam.
“Padahal, pemerintah kabupaten konservasi juga harus mencari dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Ironisnya, upaya memelihara kelestarian hutan butuh biaya yang sangat besar, baik untuk pengamanan maupun sosialisasi agar masyarakat tidak merambah hutan,” kata Affan.
Ia mengkhawatirkan minimnya perhatian itu justru akan mendorong kabupaten konservasi untuk mengeksploitasi alam guna meningkatkan pendapatan daerah. Padahal, kelestarian hutan yang dirusak akan sangat membahayakan keseimbangan lingkungan.
Dari 198.000 hektar luas wilayah Kabupaten Lebong, sekitar 138.600 hektar atau 70 persen di antaranya merupakan kawasan konservasi. Dari luas areal konservasi itu, 15 persen merupakan hutan lindung, cagar alam 5 persen, dan 80 persen termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sementara itu, sekitar 90 persen penduduk wilayah itu hidup dari bertani.
“Pemerintah harus memberi panduan dan perhatian kepada kabupaten konservasi untuk mengelola lingkungan, tanpa mengabaikan pendapatan dan pembangunan,” katanya. (lkt)

Bumai Pat Petulai

BUMAI PAT PETULAI
Link: http://antonegypt.mutiply.com
Tentang Rejang
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu.Suku rejang diyakini berasal dari kerajaan maja pahit dan kemudian menyebar sampai ke daerah Lebong, kepahiang, sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan.
Suku rejang terbanyak menempati Kabupaten rejang Lebong dan kab. sekitarnya yang kini memekarkan diri menjadi kabupaten Rejang Lebong(induk), Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatra lainnya dengan bahasa Rejang. Suku Rejang menempati Bengkulu Utara, Lebong dan di kabupaten Rejang Lebong. Suku ini merupakan terbesar di provinsi Bengkulu.
Jika mengacu pada sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan istilah lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni

Dialek Lebong

Versi RMG Oleh Sabidin Ishak, Muara Aman
Adé ba duai basuak ngén si Matai Pat. Si Matai Pat yo, gén ne tun madeak si Matai Pat adé ba si temuan matai nak tukuk duai. Tapi kalaw tun kemliak matai ne o, kunai keuak coa ketén kerno si tenabaw ngen buk. Buk ne o ba kalaw si lok mengeliak si dapet maket. Ijai si, si Matai Pat yo, ting”ea ne nak daéra Pagar Ruyung. Uak si yo sebenea ne. Ijai si Matai Pat yo, si ijai rajo nak daéra Pagar Ruyung. A, do'o ba cerito si Matai Pat yo.
Pado do waktaw bilai si unu yo, si Dileak Pét yo, si yo lok menea Lebong yo jijai laut. Si lok menea Lebong yo jijay laut mako ba si mogoa makut pitok ngen musung. Terus si musung pitok. Do'o ba si becécér ba pitok yo menjijai Gunung Bukit Barisan. Gunung Bukit Barisan antaro gunung Bukit Barisan o adé ba benamo Gunung Sepikul. Gunung Sepikul yo kalaw padeak kémé pio adé ba Tebo Pabes ngén Tebo Tepuk. Nak pucak Tebo Tepuk o adé ba kes ne temot lok mengéwéa. Ijai waktaw si lok tembet nak Tungang, nak bioa unu, Tungang, Ulaw Du'es Tungang, si dong makut pitok nak unu Gunung Sepikul yo nano.
Jijai tun teko madeak, adé tun teko madeak, "Oi unu si Pait Dileak. Uku yo adé kelok ngen ko dié. Bedan ba kileak makut pitok o.
"Jano kelok nu?" padeak si Pait Dileak. "Uku adé sajai peting nien, utuk nu peting. Jano si peting?" padeak si Pait Dileak.
"Cerito yo kerno uku yo neluak tun magea ko, anok nu nak dasei matei."
"A, coa anok ku matei, a. Uleak ku kulo matei," padeak si Pait Dileak."
"Matei nien," padeak tun o. "Anok nu matei."
"A, coa, uleak kulo anok ku matei?" Si sakit coa, jano ngami udi madeak anok ku matei?"
A, jijai terus ba si beduai o sam“ut jawap. Padeak ne, si bi jengik ngen tun o. Tapi do'o si madeak, "Matei nien anok ku?"
A mako padeak semanei o, "Matei!"
A, temi'uk awei o bélék ba si moi umeak ne. A, si bélék moi umeak ne betemaw anok ne matei nien, saingo Gunung Sepikul o ba, di ati jijai. Si maket lok moi metis nak Tungang, bioa jano diyo nano, ulaw Du'es yo. A do'o ba gén ne Gunung Sepikul. Coa jijai si metis dan coa jijai ijai laut. Kalaw si metis do'o mako nenuak Lebong uyo, nenuak Cu'up yo, coa adé tingea manusio mako jijai laut.
A, si bélék. A si bélék o ba. Si Pait Dileak kemliak anok ne matei. Dan si coa jijai menea laut nak Lebong yo. A, sudo do'o, si bukti mako nadeak, Tebo Tepuk nak Gunung Sepikul yo nak das o adé penan datea. Penan datea dan adé butaw, butaw o penan ne temot. Penan ne temot si mengéwéa, mengéwéa ngen buluak pe'ing. Buluak pe'ing. Si mengéwéa kundei Tebo Tepuk. Penan ne mengéwéa nak Daneu Tés. Keuak ne mindi, coa ite nam madeak ke'uak, tapi waktaw o gén ne tun sidai, jolok ne tun beilmau. Aaa, di ba penan ne si mengéwéa o kundei Tebo Tepuk dan si mengéwéa nak Danaw Tés. Bies ne o adé gén ne buluak pe'ing, ataw padeak kémé pio buluak pe'ing kulo. A jijai do'o ba mako kémé madeak si o benamo Tebo Tepu.
Jijai pado suatu bilai si Matai Pat dapet kabar, sepasuak ne o si Pait Dileak adé gén ne tun madeak si Pait Dileak, gén ne tun jemolok si Pait Dileak. Mako tun jemolok si Pait Dileak. Jano gén nadeak ne pasti jijai, kecuali si midup barang gi matei, o coa jijai. Senupeak ne tun jijai butaw mako jijai butaw. Aaa, do'o ba si bejolok si Pait Dileak.
Ijai, ahir ne si o betemaw nak sadei Topos, gén ne daéra sadei Topos si betemaw duai basuak o. Si lok mujai ilmau, kegerot ilmaw ne duai basuak o. Si lok mujai gén ne si Pait dileak yo gén si Pait Dileak.
Ijai padeak si Matai Pat, "Wei! Pait Dileak, tun madeak ko si Pait Dileak. Uku adé ba si Matai Pat, uku gerot kulo, uku adé ba rajo nak daéra Pagar Ruyung, a. Ko adé ba rajo nak daéra Rejang Lebong. Jijai o uyo ite temrai kesidai te. Uyo api te dute. Ite kemnék pun nau. Sapei nak das o ite saling tejun. Kalaw uku tejun, ko temungaw nak beak," padeak si Matai Pat. "Kalaw ko tejun uku temungaw nak beak." Jijai ba si cerito ne o si Matai Pat yo.
Padeak si Pait Dileak, "Ko baé si Matai Pat! Ko tidoa dute nak beak, bé uku temjun ko kunei das pun nao o." A jijai o si meguling ba si Matai Pat nak beak o menukup. Jijai si Matai Pat menukup, tejun ba si Pait Dileak kunei das o. Aaa, si Pait Dileak tejun kunei das o. Mako waktaw si Pait Dileak tejun, dong melayang nak das, anu, si Matai Pat yo gemuling awok ne, melilai, mako coa si keno tenjun kunai si Pait Dileak.
Jijai o padeak si Matai Pat, "Uku coa keno tenjun nu. Ku'ang ko sidai. Uyo uku kulo temjun ko."
Jijai ngen adé ne o mako si coa keno si Matai Pat yo. Matai ne adé nak tukuk. Do'o si coa keno, laaa...dan si coa matei.
Aaa, sudo do'o dapet gilia ne, gilia ne yo. Si Pait Dileak tidoa menukup, mako tejun ba si Matai Pat. Si Pait Dileak coa dapet kemliak bawa tun tejun. Tejun, tepelat ba donok kedong ne saingo keno nak tumbuk ulaw jatung ne dan atei ne. Tegegea jatung ne, putus nyabai ne, putus. Matei ba si Pait Dileak.
Jijai si Pait Dileak matei, mako betawai ba tekarak-karak si Matai Pat yo. Si menang, beartai si sidai.
Tapi sudo do'o, si, kerno kebangaan ne si menang, si lok cemubo kemcep jano asai dileak Pait Dileak yo. Tun madeak si dileak ne yo, unu, pét. Jano si pét nien, jano si coa? Mako si, si gemulék si Pait Dileak dan si cubo menget ujung dileak nei didik. Si menget ujung dileak ne, mako matei ba kulo si Matai Pat. Kerno kepét dan kesidai kundei pado dileak si Pait Dileak mako matei ba si duai o.
Uyo kubua ne amen coa saleak adé nak Topos. Adé tun madeak nak daéra Pagar Ruyung. Do'o coa ku taw nien.
Do'o ba cerito ne. 2008-02-28

Bitter TonguePRIVATE

Bitter TonguePRIVATE
Dileak Pet English

There were two cousins, one of whom was named Four Eyes. The reason people called him Four Eyes was that he had two eyes in the nape of his neck. But if anyone tried to see the eyes from afar, they were not visible because they were covered with hair. If he wanted to use the eyes, he could just lift his hair. Four Eyes lived in the area of Pagar Ruyung. It is far from here, in fact. Four Eyes was king of the area of Pagar Ruyung. Aaa, that is the background about Four Eyes.
One day, Bitter Tongue decided to make Lebong into a lake. Indeed, he wanted to transform the whole Lebong country into a lake, so he started hauling earth by carrying it on his shoulders. He hauled away quite a lot of earth in this way. But he spilled some earth, and that became the Barisan Mountain Range. Aaa, there is a pair of mountains there named Mount Sepikul in the national language. This Mount Sepikul, when we speak in Rejang there are two mountains, Mount Kabes and Mount Tepuk. At the peak of Mount Tepuk, one can see the footprints of Bitter Tongue, where he used to go to catch fish. There he intended to make a fish-pond at Tunggang, at the river...umm...the Tunggang River. He was hauling the earth to Mount Sepikul/Mount Tepuk.
One day a man came and spoke to him: "Oi! Bitter Tongue! I have a message for you. Stop carrying that earth for a moment."
"What do you want?" said Bitter Tongue. "I have very important work to do, more important than talking to you. What's so important?"
"I was sent to relate some news to you. Your child in the village has died."
"Aaa, my child has not died. Why would my child die?" said Bitter Tongue.
"It's really dead," said the man. Your child is dead."
"O, no, why would my child die? It was not sick. Are you saying that my child has died, or not?"
So the two continued to talk to one another. That is to say, Bitter Tongue behaved toward the man in an extremely hostile manner. But again he said, "Is my child truly dead?"
Then the man said, "Yes, it's dead!"
Aaa, hearing that, he returned to his house. Aaa, he returned to his house and found his child really dead. That's why that Mount Sepikul was never completed. He intended to haul earth and build a fish-pond at the Tunggang River, the river we spoke of earlier, at Ulau Du'es. Aaa, the hill is called Mount Sepikul. He didn't finish damming up the river to make a lake. If he had dammed it up, then Lebong would have filled up, Curup would have filled up, there would be no people left, just a huge lake. Instead, he went home. He went home and saw his child was dead. He did not finish making a huge lake in Lebong country. The proof of this is at Mount Sepikul. At the top there is a flat place. It is the place where he sat fishing, fishing with a bamboo pole. A bamboo pole. He fished from Mount Tepuk. From his place he fished in Lake Tes. It is a long ways from here, I don't know how far, but at that time holy men, learned men, investigated. There they found the place where he fished from atop Mount Tepuk. He used to fish right down into Lake Tes. For his fishing rod, he had a bamboo pole -- the type of bamboo that we call here pe'ing. Aaa, so that's the place we call Mount Tepuk.
Now then, one day Four Eyes found out the reason why his cousin had the name `Bitter Tongue,' why people called him that. That's what people called him, Bitter Tongue. Anything Bitter Tongue foretold was certain to happen, except to make dead things alive again, that he couldn't do. He could curse people to become stone, and they become stone. That's one reason why he had the name Bitter Tongue.
So finally they met in the village of Topos. The name of the area is the village of Topos. The two cousins met there, and they began to test their knowledge of magic, test the strength of their powers. Four Eyes wanted to test the reason why Bitter Tongue had that name.
So Four Eyes said, "Wei! Bitter Tongue! People call you Bitter Tongue. I am Four Eyes. I am powerful, too. I am king in the area of Pagar Ruyung. You are king in the area of Rejang-Lebong. So now we will try our supernatural powers. Now, who of us will go first? We will climb a palm tree. When we get to the top, we will leap down. When I leap, you will be down below," said Four Eyes. "When you leap, I will be down below." That's what Four Eyes said.
Bitter Tongue said, "You be first, Four Eyes. You stay beneath the tree, and I will try to jump on you from the top of the palm tree."
So Four Eyes lay down face down. When Four Eyes was laying face down, Bitter Tongue leapt from the top of the tree. Aaa, Bitter Tongue leapt from the tree. As Bitter Tongue was jumping, while he was in mid-air, Four Eyes coiled his body and sprang away, so that he was not struck by the plummeting Bitter Tongue.
So Four Eyes said, "I was unharmed by your great leap. You do not have much power. Now I too will jump down on you."
Of course, it came out that way because of a trick. He failed to hit Four Eyes, who had eyes in the nape of his neck. Thus Four Eyes cannot be struck from behind or from above, you see? So he escaped death.
Aaa, after that Bitter Tongue got his turn. Bitter Tongue lay face down, and Four Eyes leaped from the top of the tree. Bitter Tongue couldn't see him falling, falling, and so he landed in the middle of his back. He struck him right over the heart and liver. His heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead.
When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure.
And that is the story.
Bitter Tongue is associated in legend with the Javanese-Hindu kingdom of Majapahit that ruled Java and many parts of Sumatra from the 13th to the 15th centuries. According to these legends, four Majapahit princes came to Lebong and became rulers. The new rulers replaced the old ajai system, apparently by means of peaceful election by the people. Bitter Tongue was not one of these historical princes, but is a personification of the power of Majapahit itself. See reference in this story and again in the Musi conversation on p. XX, where Bitter Tongue is said to have been able to turn people to stone.
Pagar Ruyung refers to a medieval Minangkabau kingdom. According to legend, after a series of disputes with the ruling queen, the Rejang people left this kingdom, moving southward and occupying their present homeland in the Barisan highlands. The first village settled is said to be Topos in the Lebong dialect area. Topos (called Tapus in the national language) is referred to later in this story.
The verb pikul, from which Sepikul is derived, means to shoulder two large containers fastened to a pole.
See p. where the legendary Bitter Tongue is said to have turned several people to stone.
See n. 1.
heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead. When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure. And that is the story.

Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)

Si Raja Tidur

Adik-adik, Putri Raja dalam berbagai cerita memang suka meminta banyak syarat yang aneh. Tidak sembarang calon bisa menikahi putri raja. Jangankan Pangeran, pengawal kepercayaan Putri saja harus didapat dengan seleksi ketat! Dulu di Tanah Betawi, Mirah, pendekar perempuan dari Marunda hanya mau menikah dengan seorang pendekar yang bisa mengalahkannya. Pendekar itu bukan sembarang pendekar. Mirah kan jagoan terkenal di Betawi pada zamannya. Nah, kali ini Paman Gery mau mengajak adik-adik pergi ke Bengkulu di Pulau Sumatera. Di sana kita akan bertemu dengan seorang putri cantik anak Raja Jungur yang arif dan bijak. Putri Serindu namanya. Sekarang ia sudah dewasa dan Raja Jungur mau seorang pengawal selalu mengawalnya. Pengawal itu akan digaji sangat besar. Tapi, Putri Serindu punya syarat sendiri. Asal tahu saja, Putri Serindu sangat jago berkuda dan rajin bekerja. Siapakah pengawal yang akan ia pilih?
"Oh, indah benar batu permata... Makin digosok, makin bersinar rupanya... Sudah besar Serindu kita... Makin menawan siapa yang meliriknya...," Raja Jungur bernyanyi dengan suara tebal.
"Ayah, jangan begitu. Putri Ayah sudah besar, masih diledek saja!" ujar Putri Serindu sambil tersenyum.
"Hahaha .. putriku, putriku! Kau itu belum pantas disebut dewasa, tapi juga tidak pantas lagi dikatakan putri kecil," kata Raja Jungur.
"Dengar Ayah, kuda putihku telah memanggil-manggil. Mungkin ia rindu kuajak berjalan-jalan, mencari tupai loncat-loncat di dalam hutan!" sahut Putri Serindu.
"Tidak tidak. Kau masih ingat peristiwa kemarin! Anak panah ikut berlari mengikutimu dari belakang. Sudah Ayah cium, ternyata ujung anak panah itu beracun!" kata Raja Jungur.
"Tapi, Ayah! Semua anak panah itu sudah kutebas dengan pedangku!" sahut Putri Serindu.
Itulah Putri Serindu adik-adik. Putri pemberani dari Bengkulu. Sejak kecil, seekor kuda putih besar sudah menjadi tunggangannya sehari-hari. Pedang adalah mainannya sejak pagi hingga malam hari. Ayahnya, Raja Jungur, sangat sayang pada putri kandung satu-satunya.
"Tanah Rejang yang Ayah pimpin sangat luas dan kaya hasil alam, Serindu. Banyak kerajaan lain yang ingin menjajah kita," kata Raja Jungur.
"Lalu, Ayah mau terus melarangku keluar istana?" tanya Putri Serindu tidak terimma.
Raja Jungur sadar, ia tidak mungkin melarang putri kesayangannya pergi. Satu-satunya jalan untuk membuat ia tidak khawatir adalah menunjuk satu pengawal kepercayaan untuk menjaga Puteri Serindu.
"Hahaha, jangan, jangan melipat muka seperti itu, Serindu. Ayah tak berani melarang-larang kau keluar. Aku hanya ingin kau dijaga seorang pengawal!" jawab Raja Jungur.
"Aku tak mau dikawal sembarang pengawal, Ayah!" sahut Putri Serindu sambil cemberut.
"Hahaha, tentu, tentu! Semuanya kuserahkan padamu, Putriku. Pilihlah pengawal terbaik untuk menjagamu," kata Raja Jungur.
Sejak kecil, Putri Serindu jarang sekali diperingatkan dan dilarang-dilarang oleh sang ayah. Segala keinginannya pasti dipenuhi. Makanya ia langsung cemberut ketika ayahnya melarang ia ke luar istana.
"Ayah benar! Apa jadinya bila anak panah di hutan waktu itu, mengenai leherku!" kata Putri Serindu dalam lamunannya.
"Gruduk, gruduk...," suara langkah kuda.
"Tupai, itu ada Tupai kecil di sana, Hulubalang!" sahut Putri Serindu senang.
"Tunggu, tunggu, Tuan Putri! Tunggu! Jangan, jangan ke sana, tunggu!" Hulubalang berteriak mencegah Putri Serindu.
"A... aaauuuh...!!" teriak Putri Serindu.
"Putrriiiii iii...," Hulubalang berteriak histeris.
"Untung saja Tupai itu juga tidak terkena anak panah! Kalau begitu, besok akan kuumumkan siapakah yang berhak menjadi pengawal terbaikku?" sahut Putri Serindu.
"Tuan Putri Serindu tiba. Salam hormat, angkat senjata, grak!" sahut Hulubalang memberi aba-aba.
"Bagaimana Putriku? Siapa yang harus Hulubalang cari untuk mengawalmu sepanjang hari? Ayah khawatir, Nak. Ayah takut kau celaka!" tanya Raja Jungur.
Setelah semalam Puteri Serindu tidur terbayang-bayang peristiwa serangan anak panah, ia datang menghadap ayahnya membawa satu persyaratan. Persyaratan mengenai siapa yang berhak menjadi pengawal terbaiknya.
"Aku sudah memutuskan, Ayah. Aku hanya pantas dikawal oleh seorang... Raja Tidur!" Putri Serindu berseru.

"Seorang Raja Tidur, Putriku?" tanya Raja Jungur.
Sebenarnya banyak sekali pasukan Raja Jungur yang berpengalaman yang bersedia mengawal Putri Serindu. Tapi, semua pasukan termasuk Hulubalang heran, apa maksud Tuan Putri? Mengapa ia mencari Si Raja Tidur sebagai pengawal terbaiknya?
"Baiklah, aku akan mengadakan sayembara. Siapa saja yang bisa tidur paling lama, dialah yang kunobatkan sebagai Raja Tidur. Dan dialah yang akan menjadi pengawal anakku sepanjang hari dan ia berhak atas upah yang besar!" kata Raja Jungur.
Kuda Hulubalang telah berlari cepat. Terompetnya telah ditiup dan terdengar sampai ke pelosok kampung. Hulubalang mencari siapakah Raja Tidur yang diinginkan Putri Serindu? Siapakah Raja Tidur pengawal Putri? Jangan lewatkan dongeng pagi berikutnya ya...
Adik-adik, siapakah Raja Tidur yang dipilih Putri Serindu? Kali ini Paman Gery akan melanjutkan kisah Putri Serindu, di Dongeng Pagi yang lalu meminta Raja Tidur-lah yang pantas menjadi pengawal terbaiknya. Raja Jungur telah mengutus hulubalang untuk menyebarkan sayembara mencari Raja Tidur. Aneh ya adik-adik, mengapa ya Putri Serindu memilih Raja Tidur sebagai pengawalnya?
”Pengumuman, pengumuman! Siapa yang paling lama bisa tidur?! Dia akan diangkat menjadi Raja Tidur. Dan dialah yang berhak menjadi pengawal terbaik Putri Serindu!” sahut Hulubalang.
"Tugas mengawal putri sangatlah berat, wahai Hulubalang. Apakah Raja akan menjamin rakyatnya yang berhasil tertidur, hidup dengan layak?" tanya Udin, pengemis lusuh yang biasa meminta-minta di keramaian kota.
"Raja sangat sayang pada putrinya. Dia akan menggaji besar pada siapa yang berhasil memenuhi keinginan Putri Serindu!" sahut Hulubalang.
"Hoahmm... Lalu bagaimana bila pengawal itu lapar?" tanya Midun penduduk yang lain.
"Raja akan memberikan hidangan lezat yang begitu melimpah setiap hari!" sahut hulubalang lagi.
Adik-adik, banyak orang berbondong-bondong mengikuti sayembara itu. Ada Udin, pengemis lusuh yang biasa meminta-minta di keramaian kota.
"Kau juga ikut Dun? Midun?" tanya Udin.
"Iya, Din nyam, nyam, aku ingin makan ayam enak setiap hari! Nyam, nyam, nyam! Kalau soal tidur sih, keciil...," kata Midun.
"Kalau begitu, sekalian ya! Daftarin aku Dun, tolong tuliskan namaku," pinta Udin.
Nah, adik-adik, Si Udin itu pengemis yang suka berbicara ‘sekalian ya’. Setiap memulai pekerjaan, Udin selalu mengharapkan bantuan orang lain. Kalau Midun. Badannya besar, makannya juga besar.
"Selamat datang wahai rakyat Tanah Rejang! Sampai ayam jago berkokok ketika matahari menjelang, Putriku akan memutuskan siapakah di antara kalian yang berhak menjadi Raja Tidur! Dialah yang berhak menjadi pengawal terbaik Serindu," sambut Raja Jungur.
Dalam lapangan luas di depan beranda tempat Raja Jurung berleha-leha, banyak rakyat Tanah Rejang yang berusaha tertidur pulas. Midun yang berbadan besar membawa kasur berukuran raksasa dari rumahnya.
"Dun, uh, uh, geser dong! Aku juga mau tidur nih! Geser dong!" sahut Udin.
"Uuh Din! Apa kau tak punya kasur sendiri! Kan kau tahu badanku besar!" ujar Midun.

"Aah Midun! Aku malas membawa kasur sendiri! Sekalian aja ya Dun! Sekalian aku tidur di kasurmu. Geser sedikit lagi dong Midun!" sahut Udin.
"Uuuh... tuh sudah ya Din. Jangan ganggu aku! Aku ngantuk... hoahmm...," kata Midun.
Seperti harapan Putri Serindu, di lapangan istana terhampar banyak penduduk Tanah Rejang yang tertidur pulas. Tapi, di antara banyak calon peserta, ada seorang pemuda yang bermana Anak Lumang. Sehari-hari ia suka membuat bubu, yaitu tempat ikan dari bambu.
"Aku ingin sekali menjadi pengawal putri dan mendapat banyak uang dari raja. Tapi, besok pasti pelanggan setiaku kecewa karena aku belum membuat bubu pesanannya," kata Anak Lumang.
Dari bubu yang ia jual di pasar-lah, Anak Lumang bisa mendapat uang untuk makan sehari-hari. Namun, Anak Lumang punya akal. Ia akan membuat bubu dulu sebelum tertidur pulas.
"Pasti enak sekali rasanya tertidur pulas. Apa sih sebenarnya mau Putri Serindu? Mengapa ia memilih pengawal yang pandai tertidur?" tanya Anak Lumang.
Ketika banyak peserta lain tertidur nyenyak, Anak Lumang malah terjaga. Ia meraut bambu menjadi seperti lidi dan diikatnya satu persatu dengan tali rotan.
"Untung kubawa semua perangkat dalam beronang. Uh... sedikit lagi selesai, baru aku bisa tidur," kata Anak Lumang.
Kali ini Anak Lumang mau membuat bubu yang besar, indah dan rapi. Tempat ikan berbahan bambu itu sudah dipesan Ajo Arif, seorang nelayan dari negeri sebrang. Parang, pisau, rotan, semua peralatan yang ia butuhkan untuk membuat bubu, Anak Lumang taruh dalam beronang, sejenis keranjang yang dibawa dengan cara digendong di belakang, dan talinya dikaitkan ke kepala.
"Dun, Dun, mau apa sih anak itu Dun? Bukannya tidur malah berisik! Dun, Dun...," tanya Udin.
Udin tidak bisa tidur. Rasanya lebih banyak nyamuk malam itu yang terus menggigitnya. Dan suara-suara yang muncul ketika Anak Lumang bekerja, membuat ia terus terjaga.
"Nah, sekarang selesai. Ajo Arif pasti senang dengan Bubu besar ini. Rasanya seratus ikan payau muat saja dimasukkan ke dalamnya. Hoahmm...," kata Anak Lumang.
Ketika ayam jago berkokok, Shubuh menjelang, barulah pekerjaan Anak Lumang selesai. Digantungkannya bubu itu di tiang dekat tempat ia tidur. Indah sekali hasilnya. Setelah ia membersihkan sampah bekas membuat bubu dan semua perlengkapannya ke dalam beronang, barulah Anak Lumang tertidur dengan pulas.
"Indah sekali Bubu itu! Waah... Siapa, siapa pembuat bubu itu pengawal?" tanya Putri Serindu.
"Hoamm... pembuat bubu itu anak yang tidak tidur sepanjang malam, Putri. Dia sih bukan Raja Tidur! Dia tidak bisa tidur dan terus bekerja sepanjang malam," jawab Udin.
"Baiklah. Kalau begitu, aku sudah menetapkan pilihan," kata Putri Serindu.
Siapa ya yang akan Putri Serindu pilih? Yang tertidur pulas malam tadi kan hanya Udin dan Midun. Bahkan sampai sekarang Midun masih tertidur.
"Wahai rakyat Tanah Rejang, aku sudah menetapkan pilihan. Yang terpilih menjadi pengawal terbaikku adalah.... Anak Lumang," kata Putri Lumang.
"Mengapa Anak Lumang yang terpilih? Bukankah ia tidak tidur semalaman Putri?" tanya Udin kecewa.

"Dengalah rakyat Tanah Rejang, Raja Tidur yang kucari bukanlah pemuda yang benar-benar senang dalam pulasnya tidur. Tapi, ia-lah yang suka bekerja, dan rajin sehingga ketika tiba waktu tidur, ia tidur dengan sangat nyenyak. Dialah Anak Lumang, pengawal terbaik yang kucari," jawab Putri Serindu.
Memang pantas Anak Lumang menjadi pengawal terbaik Putri Serindu. Putri yang selalu giat bekerja dan senang berpetualang itu membutuhkan pengawal hebat. Anak Lumang bahkan jarang tertidur pulas. Ia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan kuda putih putri sebelum matahari menampakkan diri.
"Kuda putihmu tidak sabar untuk kau bawa berpetualang pagi ini, Putri," kata Anak Lumang.
"Terima kasih Anak Lumang. Mungkin kau tak mengerti, tapi kuda putih ini tadi meringkik karena ingin berterima kasih kepadamu. Aku pergi!" sahut Putri Serindu.
Anak Lumang tak lagi hidup susah. Karena ia rajin dan giat bekerja seperti Putri Serindu, Raja Jungur tak segan-segan memberinya imbalan melimpah. Kini, selain menjadi pengawal putri, Anak Lumang adalah saudagar tersohor di pesisir Barat Bengkulu.

[Dongeng ini persembahan FeMale Radio]
http://femaleradio.net/
2008-02-28

Bitter TonguePRIVATE

Bitter TonguePRIVATE
Dileak Pet English

There were two cousins, one of whom was named Four Eyes. The reason people called him Four Eyes was that he had two eyes in the nape of his neck. But if anyone tried to see the eyes from afar, they were not visible because they were covered with hair. If he wanted to use the eyes, he could just lift his hair. Four Eyes lived in the area of Pagar Ruyung. It is far from here, in fact. Four Eyes was king of the area of Pagar Ruyung. Aaa, that is the background about Four Eyes.
One day, Bitter Tongue decided to make Lebong into a lake. Indeed, he wanted to transform the whole Lebong country into a lake, so he started hauling earth by carrying it on his shoulders. He hauled away quite a lot of earth in this way. But he spilled some earth, and that became the Barisan Mountain Range. Aaa, there is a pair of mountains there named Mount Sepikul in the national language. This Mount Sepikul, when we speak in Rejang there are two mountains, Mount Kabes and Mount Tepuk. At the peak of Mount Tepuk, one can see the footprints of Bitter Tongue, where he used to go to catch fish. There he intended to make a fish-pond at Tunggang, at the river...umm...the Tunggang River. He was hauling the earth to Mount Sepikul/Mount Tepuk.
One day a man came and spoke to him: "Oi! Bitter Tongue! I have a message for you. Stop carrying that earth for a moment."
"What do you want?" said Bitter Tongue. "I have very important work to do, more important than talking to you. What's so important?"
"I was sent to relate some news to you. Your child in the village has died."
"Aaa, my child has not died. Why would my child die?" said Bitter Tongue.
"It's really dead," said the man. Your child is dead."
"O, no, why would my child die? It was not sick. Are you saying that my child has died, or not?"
So the two continued to talk to one another. That is to say, Bitter Tongue behaved toward the man in an extremely hostile manner. But again he said, "Is my child truly dead?"
Then the man said, "Yes, it's dead!"
Aaa, hearing that, he returned to his house. Aaa, he returned to his house and found his child really dead. That's why that Mount Sepikul was never completed. He intended to haul earth and build a fish-pond at the Tunggang River, the river we spoke of earlier, at Ulau Du'es. Aaa, the hill is called Mount Sepikul. He didn't finish damming up the river to make a lake. If he had dammed it up, then Lebong would have filled up, Curup would have filled up, there would be no people left, just a huge lake. Instead, he went home. He went home and saw his child was dead. He did not finish making a huge lake in Lebong country. The proof of this is at Mount Sepikul. At the top there is a flat place. It is the place where he sat fishing, fishing with a bamboo pole. A bamboo pole. He fished from Mount Tepuk. From his place he fished in Lake Tes. It is a long ways from here, I don't know how far, but at that time holy men, learned men, investigated. There they found the place where he fished from atop Mount Tepuk. He used to fish right down into Lake Tes. For his fishing rod, he had a bamboo pole -- the type of bamboo that we call here pe'ing. Aaa, so that's the place we call Mount Tepuk.
Now then, one day Four Eyes found out the reason why his cousin had the name `Bitter Tongue,' why people called him that. That's what people called him, Bitter Tongue. Anything Bitter Tongue foretold was certain to happen, except to make dead things alive again, that he couldn't do. He could curse people to become stone, and they become stone. That's one reason why he had the name Bitter Tongue.
So finally they met in the village of Topos. The name of the area is the village of Topos. The two cousins met there, and they began to test their knowledge of magic, test the strength of their powers. Four Eyes wanted to test the reason why Bitter Tongue had that name.
So Four Eyes said, "Wei! Bitter Tongue! People call you Bitter Tongue. I am Four Eyes. I am powerful, too. I am king in the area of Pagar Ruyung. You are king in the area of Rejang-Lebong. So now we will try our supernatural powers. Now, who of us will go first? We will climb a palm tree. When we get to the top, we will leap down. When I leap, you will be down below," said Four Eyes. "When you leap, I will be down below." That's what Four Eyes said.
Bitter Tongue said, "You be first, Four Eyes. You stay beneath the tree, and I will try to jump on you from the top of the palm tree."
So Four Eyes lay down face down. When Four Eyes was laying face down, Bitter Tongue leapt from the top of the tree. Aaa, Bitter Tongue leapt from the tree. As Bitter Tongue was jumping, while he was in mid-air, Four Eyes coiled his body and sprang away, so that he was not struck by the plummeting Bitter Tongue.
So Four Eyes said, "I was unharmed by your great leap. You do not have much power. Now I too will jump down on you."
Of course, it came out that way because of a trick. He failed to hit Four Eyes, who had eyes in the nape of his neck. Thus Four Eyes cannot be struck from behind or from above, you see? So he escaped death.
Aaa, after that Bitter Tongue got his turn. Bitter Tongue lay face down, and Four Eyes leaped from the top of the tree. Bitter Tongue couldn't see him falling, falling, and so he landed in the middle of his back. He struck him right over the heart and liver. His heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead.
When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure.
And that is the story.
Bitter Tongue is associated in legend with the Javanese-Hindu kingdom of Majapahit that ruled Java and many parts of Sumatra from the 13th to the 15th centuries. According to these legends, four Majapahit princes came to Lebong and became rulers. The new rulers replaced the old ajai system, apparently by means of peaceful election by the people. Bitter Tongue was not one of these historical princes, but is a personification of the power of Majapahit itself. See reference in this story and again in the Musi conversation on p. XX, where Bitter Tongue is said to have been able to turn people to stone.
Pagar Ruyung refers to a medieval Minangkabau kingdom. According to legend, after a series of disputes with the ruling queen, the Rejang people left this kingdom, moving southward and occupying their present homeland in the Barisan highlands. The first village settled is said to be Topos in the Lebong dialect area. Topos (called Tapus in the national language) is referred to later in this story.
The verb pikul, from which Sepikul is derived, means to shoulder two large containers fastened to a pole.
See p. where the legendary Bitter Tongue is said to have turned several people to stone.
See n. 1.
heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead. When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure. And that is the story.
Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)

Si Pahit Lida

SI PAHIT LIDAH
Dileak Pet Bahasa Version RMG
(Menurut cerita, si Pahit Lidah itu kalau lihat tidak apa-apa tapi kata-katanya yang pahit).
Pahit Dileak atau si Pahit Lidah dan si Mata Empat bersaudara. Si Mata Empat ini mempunyai dua buah mata yang lain di tengkuknya. Tapi dari jauh, orang tidak bisa lihat matanya itu karena tertutup rambut. Jadi kalau dia mau melihat, rambutnya diangkat. Si Mata Empat ini menjadi raja di daerah Pagaruyung, yang sebenarnya jauh dari sini. Demikianlah cerita tentang si Mata Empat.
Suatu hari, si Pahit Lidah ingin membuat Lebong menjadi laut. Jadi dia mengangkut tanah dan diusungnya, tapi tanah itu jatuh berceceran dan menjadi gunung Bukit Barisan. Di antara Bukit Barisan itu ada gunung yang bernama gunung Sepekul yang kalau di sini disebut bukit Kabes dengan bukit Tepuk. Di puncak bukit Tepuk ini ada bekasnya mencari ikan (=mengail?) ketika dia mau membuat kolam/tebat di sungai Tunggang, hulu Du'es Tunggang. Waktu dia sedang mengangkut tanah di gunung Sepikul tadi, ada yang datang dan mengatakan, "Hai, si Pahit Lidah, saya ada perlu denganmu. Berhenti dulu!"
"Kau perlu apa," tanya si Pahit Lidah?
"Ini penting sekali," katanya.
"Apa yang penting," kata si Pahit Lidah?
"Saya disuruh orang memanggilmu, karena anakmu di rumah meninggal."
"Ah, mana bisa anak saya meninggal, dan mengapa dia bisa meninggal?"
"Betul, dia sudah tidak ada lagi."
"Ah, tidak mungkin. Dia tidak sakit, mengapa kau mengatakan bahwa dia sudah tidak ada?" Mereka terus berdebat. Si Pahit Lidah sudah tidak senang orang ini. Tapi akhirnya (=do'o? --not clear) dia mengatakan, "Anak saya betul-betul meninggal?"
Jawab laki-laki itu, "Meninggal!" Pulanglah Pahit Lidah ke rumahnya dan menemukan anaknya betul sudah meninggal. Karena itulah gunung Sepikul itu tanahnya belum diangkut untuk menutupi sungai Tunggang, di hulu Ulau Du'es ini. Karena itulah namanya gunung Sepikul yang tidak tertutup ataupun menjadi laut. Kalau ditutupinya itu, dipenuhinya Lebong dan Curup ini, maka tempat ini tidak bisa dihuni oleh manusia karena telah menjadi laut. Kepergiannya untuk melihat anaknya yang meninggal menyebabkan dia tidak jadi membuat laut di Lebong ini. Buktinya ada yaitu di bukit Tepuk di gunung Sepikul ini ada tempat datar dan ada juga batu tempat duduknya si Pahit Lidah waktu dia mengail dengan bambu betung. Dengan bambu betunglah dia mengail di bukit Tepuk di danau Tes. Tempat itu jauh di sana, tidak tahu kita bagaimana mengatakan jauhnya tapi tempat itu keramat atau disebut orang juga 'berilmu'. Jadi di sanalah dia mengail dulu, di bukit Tepuk di danau Tes dengan memakai bambu betung. Itulah sebabnya sehingga tempat itu bernama Bukit Tepuk.
Pada suatu hari, si Mata Empat mendengar bahwa saudaranya si Pahit Lidah itu dipanggil orang si Pahit Lidah sebab apapun yang dikatakannya pasti jadi, kecuali menghidupkan orang mati. Kalau dia menyumpahi orang menjadi batu maka orangpun menjadi batu, sehingga dia dijuluki si Pahit Lidah. Akhirnya di dusun Tapos, kedua saudara itu bertemu untuk menguji kesaktian ilmu masing-masing. Kedua saudara itu memang tinggi ilmunya. Si Mata Empat ingin tahu mengapa si Pahit Lidah disebut si Pahit Lidah. Jadi dia berkata, "Hai Pahit Lidah, kata orang kau pahit lidahnya. Saya si Mata Empat juga jagoan. Saya adalah raja di daerah Pagaruyung dan kau adalah raja daerah Rejang-Lebong. Sekarang kita mencoba siapa yang lebih ampuh ilmunya. Sekarang begini caranya," katanya. "Salah satu dari kita memanjat pohon enau, yang lainnya di bawah kemudian memanjat bergantian. Setibanya di atas pohon, dia terjun ke bawah di atas orang yang lagi tunggu itu," kata Mata Empat.
Keduanya setuju dengan peraturan itu. Si Pahit Lidah pun berkata, "Mata Empat, kau tidur dulu di bawah dan saya yang akan terjun dari atas pohon enau itu." Jadi si Mata Empat berbaring tertelungkup dan terjunlah si Pahit Lidah dari atas pohon. Waktu si Pahit Lidah sudah terjun dan semasih dia melayang, si Mata Empat berguling menjauh sehingga si Pahit Lidah tidak jatuh di atasnya. Kata si Mata Empat, "Kau terjun tidak kena saya, jadi kau kurang sakti. Sekarang giliran saya untuk terjun di atasmu." Sebenarnya si Mata Empat tidak kena karena dia bisa melihat dengan matanya yang di kuduknya itu. Jadi dia tidak mati. Sesudah itu gilirannya si Pahit Lidah. Dia menelungkup lalu terjunlah si Mata Empat. Si Pahit Lidah tidak dapat melihat si Mata Empat waktu dia terjun sehingga si Mata Empat dapat menginjak punggungnya tepat di tengah dan mengenai ulu hati dan jantungnya. Jantungnya berpindah dan putuslah nyawanya. Matilah si Pahit Lidah.
Si Mata Empat tertawa terbahak-bahak karena dia yang menang, jadi dia yang lebih sakti. Namun karena kebanggaannya itu dia mau mencicipi bagaimana rasanya lidah si Pahit Lidah. Kata orang lidahnya pahit, tapi apa betul-betul pahit dia, tidak tahu. Kemudian dia membalik si Pahit Lidah dan mencoba menggigit ujung lidahnya sedikit. Setelah tergigit, matilah si Mata Empat karena lidahnya pahit dan juga bertuah. Jadi matilah keduanya.
Sekarang kuburannya kalau tidak salah di Tapos, tapi kata orang ada di Pagaruyung. Saya tidak tahu betul tentang hal itu. Begitulah ceritanya. augie suribory. 4/29/88 *9:40 A.M.

BENTENG FORT MARBOROUGH

BENTENG FORT MARBOROUGH
by: dpr.go.id
Pendidikan sejarah di bangku sekolah merupakan salah satu mata pelajaran yang tergolong penting bagi semua siswa. Mata pelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai dasar pengenalan siswa akan sejarah bangsanya. Alur sejarah maupun tempat bersejarah Indonesia yang ada sejak zaman kerajaan hingga perjuangan merebut kemerdekaan tidak boleh hilang ditelan waktu.
Salah satu peninggalan bersejarah bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan adalah Benteng Fort Marborough di Bengkulu. Keberadaan benteng ini sampai sekarang jarang diketahui masyarakat meskipun perannnya sangat penting pada masa itu.
Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi X DPR yang membidangi Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Pariwisata, Perpustakaan serta Pemuda dan Olahraga dalam Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2007-2008 melakukan Kunker ke Provinsi Bengkulu. Tim yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno menemukan kurangnya perhatian yang diberikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap Benteng Fort Marborough.
Dalam Kunker tersebut, Ketua Tim Irwan Prayitno (F-PKS) menilai pendidikan di SD dan SMP di seluruh Indonesia harus ada pelajaran sejarah, termasuk sejarah kemerdekaan. Menurutnya salah satu daerah bersejarah dalam era merebut kemerdekaan dari penjajah adalah Bengkulu, terutama Benteng Fort Marborough.
Irwan berharap agar pendidikan untuk SD dan SMP perlu diinsentifkan juga kepada pelajaran yang berkaitan dengan sejarah dan perjuangan merebut kemerdekaan, sehingga dengan demikian Bengkulu akan menjadi satu tempat kunjungan bagi para pelajar dan juga masyarakat untuk melihat sejarahnya dan mengenang perjuangan para tokoh-tokoh pendahulu sebelumnya.
“Di Bengkulu banyak peninggalan-peninggalan sejarah,” kata Irwan.
Peninggalan sejarah di Bengkulu dapat terlihat sejak masa merebut kemerdekaan hingga zaman pemerintahan Soekarno. Irwan menilai tempat-tempat bersejarah tersebut jangan sampai hilang dan tidak diketahui generasi yang akan datang.
“Peninggalan sejarah di wilayah ini dapat terlihat sejak era perjuangan melepaskan dari penjajahan. Bahkan dari zaman abad 18 kolonial sampai kepada datangnya Soekarno untuk kemerdekaan merupakan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa ini, ” ujarnya.
Hal senada diungkap Anggota Tim Kunker Aan Rohanah (F-PKS) yang menilai Benteng Fort Marborough merupakan bukti sejarah bagi Indonesia. Benteng tersebut menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa dalam melawan penjajahan.
Ia meminta supaya keberadaan benteng ini dapat terus dijaga dan disosialisasikan melalui mata pelajaran sejarah yang diajarkan di bangku sekolah.
“Sebab ini ‘kan bukti sejarah perjuangan di Indonesia yang pernah dijajah oleh negara lain,” katanya.
Aan Rohanah berharap keberadaan Benteng Fort Marborough di Bengkulu dapat menjadi bagian sejarah dunia, tidak hanya bagi Indonesia. Selain menjadi bagian sejarah dunia, keberadaan benteng itu juga dapat memacu semangat perjuangan anak bangsa.
“Untuk bisa menjadi pemacu semangat perjuangan anak bangsa sekaligus juga untuk menunjukan perdamaian dunia, ini perlu juga dijadikan sebagai sejarah dunia untuk kalangan lain, tidak hanya untuk bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dalam Kunker, Aan menyarankan supaya pemerintah daerah Bengkulu membuat terobosan-terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat. Dengan membuat terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat maka secara otomatis akses ke dunia internasional juga terbuka sehingga potensi pariwisata diketahui masyarakat luas.
“Nanti pusat ikut membantu untuk melakukan hal-hal yang bisa diakses oleh dunia internasional dalam kepariwisataan,” katanya.

Potensi Pariwisata
Keberadaan Benteng Fort Marborough yang memiliki sejarah bagi Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya mempunyai potensi pariwisata yang belum tergali. Promosi yang kurang dilakukan pemerintah setempat menjadikan keberadaan benteng bersejarah tersebut tidak diketahui masyarakat luas.
Menurut Anggota Tim Kunker Ruth Nina M. Kedang (F-PDS), perlu ada kiat-kiat yang dilakukan pemerinath pusat dan pemerintah daerah Bengkulu dalam mempromosikan tempat bersejarah yang ada di wilayahnya, khususnya Benteng Fort Marborough.
“Pertama harus ada komitmen dari pemerintah daerah menjadikan ini sebagai desinasi wisata nasional,” katanya.
Lebih jauh Ruth Nina menjelaskan bahwa pemerintah daerah harus giat melakukan promosi potensi pariwisata yang ada. Promosi tersebut dapat dilakukan melalui event-event yang dapat menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke Bengkulu.
“Pemerintah daerah juga harus giat melakukan event-event, harus melakukan pemasaran ke seluruh Indonesia ataupun ke dunia untuk menarik wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang ke Indonesia, khususnya Bengkulu. Yang penting adalah pengembangan desinasinya melengkapi fasilitas dan event-event sebagai sarana promosi pariwisata,” ujarnya.
Nina menjelaskan bahwa daerah di Indonesia tidak seluruhnya pernah dijajah Inggris. Pendirian benteng pada masa itu juga menjadi daya tarik tersendiri dari sisi pariwisata saat ini.
“Tidak banyak daerah-daerah kita yang pernah dijajah oleh Inggris, apalagi mendirikan benteng pada zaman kolonial. Jadi sangat bagus, sangat baik untuk dijadikan potensi pariwisata nasional,” katanya.
Sementara itu Ferdiansyah (F-PG) meminta pemerintah daerah Bengkulu untuk serius menggarap potensi pariwisata yang ada diwilayahnya. Hal ini juga sebagai pendukung tahun kunjungan wisata Indonesia atau Visit Indonesia Year 2008.
“Kalau memang Bengkulu dijadikan salah satu obyek wisata apalagi menjadi salah satu kunjungan wisatawan mancanegara dalam konteks Visit Indonesia Year 2008 memang yang harus segera dipersiapkan adalah bagaimana mengemas semua potensi yang ada sehingga menarik untuk dikunjungi,” ungkapnya.
Ferdiansyah menilai potensi pariwisata yang ada di Bengkulu tidak kalah dengan yang ada di wilayah ataupun negara lain. Guna menunjang potensi pariwisata Bengkulu maka perlu disiapkan sumber daya manusia yang sangat memadai.
Ferdiansyah berharap pemerintah daerah setempat dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang memadai. Kemampuan tersebut diharapkan dapat menarik wisatawan lokal dan asing untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata yang ada di Provinsi Bengkulu. Menurutnya dengan adanya sumber daya manusia yang kompeten dapat meninggalkan kesan yang baik bagi wiatawan yang datang sehingga ketika mereka kembali ke negaranya akan menceritakan betapa terkesannya tempat wisata dan pelayanan yang diberikan di Bengkulu.
“Kalau soal obyek wisata yang ada di Indonesia tak kalah bagusnya dengan negara lain, bahkan melebihi daripada obyek-obyek wisata yang ada di dunia,” tegas Ferdiansyah. (iw)