DILARANG BEREDAR DAN DITARIK BPOM)
Ditulis pada Nopember 26, 2008 oleh barcodeindonesia
Diposting lagi oleh Naim Emel Prahana, 28 November 2008.
Pastikan wahai para wanita wajah cantik anda tidak di olesi oleh produk produk yang berbahaya ini, maunya cantik bisa-bisa tambah…..rusak
Inilah daftar kosmetik yang ditarik dari peredaran oleh BPOM karena mengandung bahan berbahaya dan zat warna yang dilarang digunakan dalam kosmetik. Penggunaan bahan tersebut dalam sediaan kosmetik dapat membahayakan kesehatan dan dilarang digunakan seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 445 / MENKES / PER / V / 1998 tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya dalam Kosmetik dan Keputusan Kepala BPOM No.HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik.
Berikut daftar 27 kosmetik berbahaya:
1. Doctor Kayama (Whitening Day Cream) : diproduksi oleh CV. Estetika Karya
Pratama, Jakarta mengandung
merkuri.
2. Doctor Kayama (Whitening Night Cream) : diproduksi oleh CV. Estetika Karya
Pratama, Jakarta mengandung
merkuri.
3. MRC Putri Salju Cream : diproduksi oleh CV. Ngongoh
Cosmetic, Bekasi mengandung
retinoic acid.
4. MRC PS Crystal Cream : diproduksi oleh CV. Ngongoh
Cosmetic, Bekasi mengandung
retinoic acid.
5. Blossom Day Cream : tak diketahui produsennya,
mengandung Merkuri.
6.Blossom Night Cream : tak diketahui produsennya,
mengandung Merkuri.
7. Cream Malam : distributor Lily Cosmetics,
Yogyakarta mengandung Merkuri.
8. Day Cream Vitamin E Herbal : diproduksi PT. Locos, Bandung
mengandung Merkuri.
9. Locos Anti Flek Vit.E dan Herbal : diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung
Merkuri.
10. Night Cream Vitamin E Herbal : diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung
Merkuri.
11. Kosmetik Ibu Sari Krim Siang : tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
12. Krim Malam : tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
13. Meei Yung (putih) : diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
14. Meei Yung (kuning) : diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
15. New Rody Special (putih) : diimpor dari Shenzhen, China mengandung
Merkuri.
16. New Rody Special (kuning) : diimpor dari Shenzen, China mengandung
Merkuri.
17. Shee Na Whitening Pearl Cream : dari Atlie Cosmetic mengandung Merkuri
18. Aily Cake 2 in 1 Eye Shadow “01″ : tidak ada produsennya, mengandung merah K.3.
19. Baolishi Eye Shadow : diproduksi dari Baolishi Group Hongkong
mengandung Rhodamin B (merah K.10).
20. Cameo Make Up Kit 3 in 1 Two Way Cake
dan Multi Eye Shadow
dan Blush dari Tailamei Cosmetic
Industrial Company : mengandung Rhodamin B.
21. Cressida Eye Shadow : tak ada produsennya, mengandung Rhodamin B.
22. KAI Eye Shadoq dan Blush On : mengandung Rhodamin B.
23. Meixue Yizu Eye Shadow : diproduksi oleh Meixue Cosmetic Co.Ltd
mengandung Merah K.10.
24. Noubeier Blusher : diproduksi oleh Taizhou Xhongcun Tianyuan
mengandung Merah K 3.
25. Noubeier Blush On : mengandung merah K 3 dan Rhodamin B.
26. Noubeier Pro-make up Blusher No.5 : diproduksi oleh Taizhou Zhongcun Tianyuan
Daily-Use Chemivals Co Ltd mengandung
merah K3.
27. Sutsyu Eye Shadow : diproduksi oleh Sutsyu Corp Tokyo
mengandung Merah K3.
Sumber: bpom-RI
Sabtu, 29 November 2008
कोस्मेती बेर्बहाया मेंगंदुंग MERCURY
Puluhan Merek Kosmetik Tak Terdaftar di Bandung
27 November 2008 23:37 – Kesehatan
Puluhan Merek Kosmetik Tak Terdaftar di Bandung
Liputan6.com, Bandung: Kaum hawa jangan terbuai dengan janji manis produk kosmetik. Harga mahal yang dijual di pusat perbelanjaan bukan jaminan. Buktinya, saat inspeksi mendadak di Kings Plaza di Kota Bandung, Jawa Barat, belum lama ini petugas Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan menyita sedikitnya 50 merek kosmetik tak terdaftar.
Janji kulit bak pualam memikat konsumen untuk menggunakan kosmetik merek Blossom yang dijual lewat sistem marketing berjenjang. Tak disangka, kosmetik seharga ratusan ribu tak berizin dan mengandung bahan berbahaya merkuri.
Ulah produsen rumahan tak bertanggung jawab juga terendus petugas di Bali. Dari sebuah rumah di Jalan Watu Renggong, Denpasar, puluhan kilogram kosmetik disita. Semuanya positif mengandung merkuri. Setelah dioplos, kosmetik dikemas dalam pot plastik, diberi label palsu dari Cina. Selanjutnya dilempar ke pasar seharga mulai Rp 2.000 hingga Rp 7.000.
Beberapa waktu lalu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan mengumumkan daftar kosmetik berbahaya. Dengan demikian, setiap konsumen diharapkan segera mengenalinya produk-produk berbahaya itu. Bila tidak, pemakaian dalam jangka panjang bisa menimbulkan berbagai gangguan organ tubuh seperti ginjal, hati hingga kematian.
DAFTAR KOSMETIK BERBAHAYA
DILARANG BEREDAR DAN DITARIK BPOM)
Ditulis pada Nopember 26, 2008 oleh barcodeindonesia
Diposting lagi oleh Naim Emel Prahana, 28 November 2008.
Pastikan wahai para wanita wajah cantik anda tidak di olesi oleh produk produk yang berbahaya ini, maunya cantik bisa-bisa tambah…..rusak
Inilah daftar kosmetik yang ditarik dari peredaran oleh BPOM karena mengandung bahan berbahaya dan zat warna yang dilarang digunakan dalam kosmetik. Penggunaan bahan tersebut dalam sediaan kosmetik dapat membahayakan kesehatan dan dilarang digunakan seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 445 / MENKES / PER / V / 1998 tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya dalam Kosmetik dan Keputusan Kepala BPOM No.HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik.
Berikut daftar 27 kosmetik berbahaya:
1. Doctor Kayama (Whitening Day Cream)
: diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.
2. Doctor Kayama (Whitening Night Cream)
: diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.
3. MRC Putri Salju Cream
: diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.
4. MRC PS Crystal Cream
: diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.
5. Blossom Day Cream
: tak diketahui produsennya,mengandung Merkuri.
6.Blossom Night Cream
: tak diketahui produsennya,mengandung Merkuri.
7. Cream Malam
: distributor Lily Cosmetics,Yogyakarta mengandung Merkuri.
8. Day Cream Vitamin E Herbal
: diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
9. Locos Anti Flek Vit.E dan Herbal
: diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
10. Night Cream Vitamin E Herbal
: diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
11. Kosmetik Ibu Sari Krim Siang
: tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
12. Krim Malam
: tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
13. Meei Yung (putih)
: diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
14. Meei Yung (kuning)
: diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
15. New Rody Special (putih)
: diimpor dari Shenzhen, China mengandung Merkuri.
16. New Rody Special (kuning)
: diimpor dari Shenzen, China mengandung
Merkuri.
17. Shee Na Whitening Pearl Cream
: dari Atlie Cosmetic mengandung Merkuri
18. Aily Cake 2 in 1 Eye Shadow “01″
: tidak ada produsennya, mengandung merah K.3.
19. Baolishi Eye Shadow
: diproduksi dari Baolishi Group Hongkong mengandung Rhodamin B (merah K.10).
20. Cameo Make Up Kit 3 in 1 Two Way Cake dan Multi Eye Shadow dan Blush dari Tailamei Cosmetic Industrial Company
: mengandung Rhodamin B.
21. Cressida Eye Shadow
: tak ada produsennya, mengandung Rhodamin B.
22. KAI Eye Shadoq dan Blush On
: mengandung Rhodamin B.
23. Meixue Yizu Eye Shadow
: diproduksi oleh Meixue Cosmetic Co.Ltd mengandung Merah K.10.
24. Noubeier Blusher
: diproduksi oleh Taizhou Xhongcun Tianyuan mengandung Merah K 3.
25. Noubeier Blush On
: mengandung merah K 3 dan Rhodamin B.
26. Noubeier Pro-make up Blusher No.5
: diproduksi oleh Taizhou Zhongcun Tianyuan Daily-Use Chemivals Co Ltd mengandung
merah K3.
27. Sutsyu Eye Shadow
: diproduksi oleh Sutsyu Corp Tokyo mengandung Merah K3.
Sumber: bpom-RI
Ditulis pada Nopember 26, 2008 oleh barcodeindonesia
Diposting lagi oleh Naim Emel Prahana, 28 November 2008.
Pastikan wahai para wanita wajah cantik anda tidak di olesi oleh produk produk yang berbahaya ini, maunya cantik bisa-bisa tambah…..rusak
Inilah daftar kosmetik yang ditarik dari peredaran oleh BPOM karena mengandung bahan berbahaya dan zat warna yang dilarang digunakan dalam kosmetik. Penggunaan bahan tersebut dalam sediaan kosmetik dapat membahayakan kesehatan dan dilarang digunakan seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 445 / MENKES / PER / V / 1998 tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya dalam Kosmetik dan Keputusan Kepala BPOM No.HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik.
Berikut daftar 27 kosmetik berbahaya:
1. Doctor Kayama (Whitening Day Cream)
: diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.
2. Doctor Kayama (Whitening Night Cream)
: diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.
3. MRC Putri Salju Cream
: diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.
4. MRC PS Crystal Cream
: diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.
5. Blossom Day Cream
: tak diketahui produsennya,mengandung Merkuri.
6.Blossom Night Cream
: tak diketahui produsennya,mengandung Merkuri.
7. Cream Malam
: distributor Lily Cosmetics,Yogyakarta mengandung Merkuri.
8. Day Cream Vitamin E Herbal
: diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
9. Locos Anti Flek Vit.E dan Herbal
: diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
10. Night Cream Vitamin E Herbal
: diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
11. Kosmetik Ibu Sari Krim Siang
: tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
12. Krim Malam
: tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
13. Meei Yung (putih)
: diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
14. Meei Yung (kuning)
: diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
15. New Rody Special (putih)
: diimpor dari Shenzhen, China mengandung Merkuri.
16. New Rody Special (kuning)
: diimpor dari Shenzen, China mengandung
Merkuri.
17. Shee Na Whitening Pearl Cream
: dari Atlie Cosmetic mengandung Merkuri
18. Aily Cake 2 in 1 Eye Shadow “01″
: tidak ada produsennya, mengandung merah K.3.
19. Baolishi Eye Shadow
: diproduksi dari Baolishi Group Hongkong mengandung Rhodamin B (merah K.10).
20. Cameo Make Up Kit 3 in 1 Two Way Cake dan Multi Eye Shadow dan Blush dari Tailamei Cosmetic Industrial Company
: mengandung Rhodamin B.
21. Cressida Eye Shadow
: tak ada produsennya, mengandung Rhodamin B.
22. KAI Eye Shadoq dan Blush On
: mengandung Rhodamin B.
23. Meixue Yizu Eye Shadow
: diproduksi oleh Meixue Cosmetic Co.Ltd mengandung Merah K.10.
24. Noubeier Blusher
: diproduksi oleh Taizhou Xhongcun Tianyuan mengandung Merah K 3.
25. Noubeier Blush On
: mengandung merah K 3 dan Rhodamin B.
26. Noubeier Pro-make up Blusher No.5
: diproduksi oleh Taizhou Zhongcun Tianyuan Daily-Use Chemivals Co Ltd mengandung
merah K3.
27. Sutsyu Eye Shadow
: diproduksi oleh Sutsyu Corp Tokyo mengandung Merah K3.
Sumber: bpom-RI
Kamis, 27 November 2008
Marga Bukan Administrasi Pemerintah Masyarakat Rejang
Oleh Naim Emel Prahana
Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)
Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.
Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.
Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.
Marga atau Mego yang merupakan pola atau sistem administrasi pemerintahan di zaman Hindia Belanda. Bukan asli dari sukubangsa Rejang. Melainkan diimport dari Palembang oleh J Waland, tujuannya untuk kepentingan penjajahan pihak Belanda. Walau kemudian sistem marga itu sangat dikenal oleh masyarakat Rejang, tapi pada akhirnya sistem itu dihapus.
Definisi Marga
Marga adalah komunitas masyarakat yang mendiami beberapa dusun (sekarang, desa) yang merupakan pola atau system administrasi pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Pasirah (pesirah, pen). Kalau di Lampung, Marga terdiri beberapa Mego dan sebaliknya demikian. Namun, di Lampung setelah system pemerintahan Marga dihapus dan diganti Negeri. Dan, di Bengkulu langsung masuk ke system tata pemerintahan Indonesia.
Marga juga bias diartikan sebagai nama nama keluarga dari turun temurun yang mengingatkan generasi berikutnya akan nenek moyang mereka. Itu, biasa digunakan di daerah Batak, orang China, Padang dan daerah lainnya. Artinya, marga itu dikaitkan dengan bagian nama sebagai pertanda dari keluarga mana seseorang itu berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia.
Nama marga pada kebudayaan Barat dan kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh budaya Barat (yang lebih menonjolkan individu) umumnya terletak di belakang, oleh karena itu disebut pula nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan karena yang ditonjolkan adalah keluarga, individu dinomorduakan setelah keluarga.
Ada pula kebudayaan-kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa di Indonesia, meski saat ini banyak yang sudah mengadopsi nama keluarga. Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'. Dalam hal itu dapat kita lihat di Lampung yang mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
2. Jabung Jabung idem idem
3. Sekampung idem idem idem
4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
5. Dataran idem idem idem
6. Pesisir Kalianda idem idem
7. Rajabasa idem idem idem
8. Ketibung Way Ketibung idem idem
9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
11. Ratai idem idem idem
12. Punduh idem idem idem
13. Pedada idem idem idem
14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
15. Putih Doh idem idem idem
16. Limau Doh idem idem idem
17. Kelumbayan idem idem idem
18. Pertiwi idem idem idem
19. Limau Talangpadang idem idem
20. Gunungalip idem idem idem
21. Putih Kedondong idem idem
22. Beluguh Kotaagung idem idem
23. Benawang idem idem idem
24. Pematang Sawah idem idem idem
25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
28. Buay Subing Terbanggi idem idem
29. Buay Nuban Sukadana idem idem
30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
32. Selagai Abung Barat idem idem
33. Anak Tuha Padangratu idem idem
34. Sukadana Sukadana idem idem
35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
37. Gedongwani Sukadana idem idem
38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
39. Buay Bolan Menggala idem idem
40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
51. Balau Kedaton idem idem
52. Merak-Batin Natar idem idem
53. Pugung Pagelaran idem idem
54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
55. Tegineneng Tegineneng idem idem
56. Way Semah Gedongtataan idem idem
57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
58. Rebang Kasui Kasui idem idem
59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
60. Way Tube Bahuga Ogan idem
61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
64. Kembahang Batubrak idem idem
65. Sukau Sukau idem idem
66. Liwa
Balik Bukit Liwa idem idem
67. Suoh Suoh idem idem
68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
69. La'ai Karya Penggawa idem idem
70. Bandar Karya Penggawa idem idem
71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
76. Ngambur Bengkunat idem idem
77. Ngaras Bengkunat idem idem
78. Bengkunat Bengkunat idem idem
79. Belimbing Bengkunat idem idem
80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
81. Pugung Melaya Lemong idem idem
82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan
Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.
Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.
Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.
Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya.
Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)
Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.
Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.
Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.
Marga atau Mego yang merupakan pola atau sistem administrasi pemerintahan di zaman Hindia Belanda. Bukan asli dari sukubangsa Rejang. Melainkan diimport dari Palembang oleh J Waland, tujuannya untuk kepentingan penjajahan pihak Belanda. Walau kemudian sistem marga itu sangat dikenal oleh masyarakat Rejang, tapi pada akhirnya sistem itu dihapus.
Definisi Marga
Marga adalah komunitas masyarakat yang mendiami beberapa dusun (sekarang, desa) yang merupakan pola atau system administrasi pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Pasirah (pesirah, pen). Kalau di Lampung, Marga terdiri beberapa Mego dan sebaliknya demikian. Namun, di Lampung setelah system pemerintahan Marga dihapus dan diganti Negeri. Dan, di Bengkulu langsung masuk ke system tata pemerintahan Indonesia.
Marga juga bias diartikan sebagai nama nama keluarga dari turun temurun yang mengingatkan generasi berikutnya akan nenek moyang mereka. Itu, biasa digunakan di daerah Batak, orang China, Padang dan daerah lainnya. Artinya, marga itu dikaitkan dengan bagian nama sebagai pertanda dari keluarga mana seseorang itu berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia.
Nama marga pada kebudayaan Barat dan kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh budaya Barat (yang lebih menonjolkan individu) umumnya terletak di belakang, oleh karena itu disebut pula nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan karena yang ditonjolkan adalah keluarga, individu dinomorduakan setelah keluarga.
Ada pula kebudayaan-kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa di Indonesia, meski saat ini banyak yang sudah mengadopsi nama keluarga. Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'. Dalam hal itu dapat kita lihat di Lampung yang mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
2. Jabung Jabung idem idem
3. Sekampung idem idem idem
4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
5. Dataran idem idem idem
6. Pesisir Kalianda idem idem
7. Rajabasa idem idem idem
8. Ketibung Way Ketibung idem idem
9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
11. Ratai idem idem idem
12. Punduh idem idem idem
13. Pedada idem idem idem
14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
15. Putih Doh idem idem idem
16. Limau Doh idem idem idem
17. Kelumbayan idem idem idem
18. Pertiwi idem idem idem
19. Limau Talangpadang idem idem
20. Gunungalip idem idem idem
21. Putih Kedondong idem idem
22. Beluguh Kotaagung idem idem
23. Benawang idem idem idem
24. Pematang Sawah idem idem idem
25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
28. Buay Subing Terbanggi idem idem
29. Buay Nuban Sukadana idem idem
30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
32. Selagai Abung Barat idem idem
33. Anak Tuha Padangratu idem idem
34. Sukadana Sukadana idem idem
35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
37. Gedongwani Sukadana idem idem
38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
39. Buay Bolan Menggala idem idem
40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
51. Balau Kedaton idem idem
52. Merak-Batin Natar idem idem
53. Pugung Pagelaran idem idem
54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
55. Tegineneng Tegineneng idem idem
56. Way Semah Gedongtataan idem idem
57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
58. Rebang Kasui Kasui idem idem
59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
60. Way Tube Bahuga Ogan idem
61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
64. Kembahang Batubrak idem idem
65. Sukau Sukau idem idem
66. Liwa
Balik Bukit Liwa idem idem
67. Suoh Suoh idem idem
68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
69. La'ai Karya Penggawa idem idem
70. Bandar Karya Penggawa idem idem
71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
76. Ngambur Bengkunat idem idem
77. Ngaras Bengkunat idem idem
78. Bengkunat Bengkunat idem idem
79. Belimbing Bengkunat idem idem
80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
81. Pugung Melaya Lemong idem idem
82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan
Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.
Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.
Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.
Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya.
Rabu, 26 November 2008
Marga Bukan Administrasi Pemerintah Masyarakat Rejang
Marga Bukan Administrasi Pemerintah Masyarakat Rejang
Oleh Naim Emel Prahana
Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)
Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.
Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.
Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.
Marga atau Mego yang merupakan pola atau sistem administrasi pemerintahan di zaman Hindia Belanda. Bukan asli dari sukubangsa Rejang. Melainkan diimport dari Palembang oleh J Waland, tujuannya untuk kepentingan penjajahan pihak Belanda. Walau kemudian sistem marga itu sangat dikenal oleh masyarakat Rejang, tapi pada akhirnya sistem itu dihapus.
Definisi Marga
Marga adalah komunitas masyarakat yang mendiami beberapa dusun (sekarang, desa) yang merupakan pola atau system administrasi pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Pasirah (pesirah, pen). Kalau di Lampung, Marga terdiri beberapa Mego dan sebaliknya demikian. Namun, di Lampung setelah system pemerintahan Marga dihapus dan diganti Negeri. Dan, di Bengkulu langsung masuk ke system tata pemerintahan Indonesia.
Marga juga bias diartikan sebagai nama nama keluarga dari turun temurun yang mengingatkan generasi berikutnya akan nenek moyang mereka. Itu, biasa digunakan di daerah Batak, orang China, Padang dan daerah lainnya. Artinya, marga itu dikaitkan dengan bagian nama sebagai pertanda dari keluarga mana seseorang itu berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia.
Nama marga pada kebudayaan Barat dan kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh budaya Barat (yang lebih menonjolkan individu) umumnya terletak di belakang, oleh karena itu disebut pula nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan karena yang ditonjolkan adalah keluarga, individu dinomorduakan setelah keluarga.
Ada pula kebudayaan-kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa di Indonesia, meski saat ini banyak yang sudah mengadopsi nama keluarga. Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'. Dalam hal itu dapat kita lihat di Lampung yang mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
2. Jabung Jabung idem idem
3. Sekampung idem idem idem
4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
5. Dataran idem idem idem
6. Pesisir Kalianda idem idem
7. Rajabasa idem idem idem
8. Ketibung Way Ketibung idem idem
9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
11. Ratai idem idem idem
12. Punduh idem idem idem
13. Pedada idem idem idem
14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
15. Putih Doh idem idem idem
16. Limau Doh idem idem idem
17. Kelumbayan idem idem idem
18. Pertiwi idem idem idem
19. Limau Talangpadang idem idem
20. Gunungalip idem idem idem
21. Putih Kedondong idem idem
22. Beluguh Kotaagung idem idem
23. Benawang idem idem idem
24. Pematang Sawah idem idem idem
25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
28. Buay Subing Terbanggi idem idem
29. Buay Nuban Sukadana idem idem
30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
32. Selagai Abung Barat idem idem
33. Anak Tuha Padangratu idem idem
34. Sukadana Sukadana idem idem
35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
37. Gedongwani Sukadana idem idem
38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
39. Buay Bolan Menggala idem idem
40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
51. Balau Kedaton idem idem
52. Merak-Batin Natar idem idem
53. Pugung Pagelaran idem idem
54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
55. Tegineneng Tegineneng idem idem
56. Way Semah Gedongtataan idem idem
57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
58. Rebang Kasui Kasui idem idem
59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
60. Way Tube Bahuga Ogan idem
61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
64. Kembahang Batubrak idem idem
65. Sukau Sukau idem idem
66. Liwa
Balik Bukit Liwa idem idem
67. Suoh Suoh idem idem
68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
69. La'ai Karya Penggawa idem idem
70. Bandar Karya Penggawa idem idem
71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
76. Ngambur Bengkunat idem idem
77. Ngaras Bengkunat idem idem
78. Bengkunat Bengkunat idem idem
79. Belimbing Bengkunat idem idem
80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
81. Pugung Melaya Lemong idem idem
82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan
Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.
Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.
Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.
Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya.
Oleh Naim Emel Prahana
Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)
Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.
Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.
Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.
Marga atau Mego yang merupakan pola atau sistem administrasi pemerintahan di zaman Hindia Belanda. Bukan asli dari sukubangsa Rejang. Melainkan diimport dari Palembang oleh J Waland, tujuannya untuk kepentingan penjajahan pihak Belanda. Walau kemudian sistem marga itu sangat dikenal oleh masyarakat Rejang, tapi pada akhirnya sistem itu dihapus.
Definisi Marga
Marga adalah komunitas masyarakat yang mendiami beberapa dusun (sekarang, desa) yang merupakan pola atau system administrasi pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Pasirah (pesirah, pen). Kalau di Lampung, Marga terdiri beberapa Mego dan sebaliknya demikian. Namun, di Lampung setelah system pemerintahan Marga dihapus dan diganti Negeri. Dan, di Bengkulu langsung masuk ke system tata pemerintahan Indonesia.
Marga juga bias diartikan sebagai nama nama keluarga dari turun temurun yang mengingatkan generasi berikutnya akan nenek moyang mereka. Itu, biasa digunakan di daerah Batak, orang China, Padang dan daerah lainnya. Artinya, marga itu dikaitkan dengan bagian nama sebagai pertanda dari keluarga mana seseorang itu berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia.
Nama marga pada kebudayaan Barat dan kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh budaya Barat (yang lebih menonjolkan individu) umumnya terletak di belakang, oleh karena itu disebut pula nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan karena yang ditonjolkan adalah keluarga, individu dinomorduakan setelah keluarga.
Ada pula kebudayaan-kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa di Indonesia, meski saat ini banyak yang sudah mengadopsi nama keluarga. Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'. Dalam hal itu dapat kita lihat di Lampung yang mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
2. Jabung Jabung idem idem
3. Sekampung idem idem idem
4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
5. Dataran idem idem idem
6. Pesisir Kalianda idem idem
7. Rajabasa idem idem idem
8. Ketibung Way Ketibung idem idem
9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
11. Ratai idem idem idem
12. Punduh idem idem idem
13. Pedada idem idem idem
14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
15. Putih Doh idem idem idem
16. Limau Doh idem idem idem
17. Kelumbayan idem idem idem
18. Pertiwi idem idem idem
19. Limau Talangpadang idem idem
20. Gunungalip idem idem idem
21. Putih Kedondong idem idem
22. Beluguh Kotaagung idem idem
23. Benawang idem idem idem
24. Pematang Sawah idem idem idem
25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
28. Buay Subing Terbanggi idem idem
29. Buay Nuban Sukadana idem idem
30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
32. Selagai Abung Barat idem idem
33. Anak Tuha Padangratu idem idem
34. Sukadana Sukadana idem idem
35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
37. Gedongwani Sukadana idem idem
38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
39. Buay Bolan Menggala idem idem
40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
51. Balau Kedaton idem idem
52. Merak-Batin Natar idem idem
53. Pugung Pagelaran idem idem
54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
55. Tegineneng Tegineneng idem idem
56. Way Semah Gedongtataan idem idem
57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
58. Rebang Kasui Kasui idem idem
59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
60. Way Tube Bahuga Ogan idem
61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
64. Kembahang Batubrak idem idem
65. Sukau Sukau idem idem
66. Liwa
Balik Bukit Liwa idem idem
67. Suoh Suoh idem idem
68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
69. La'ai Karya Penggawa idem idem
70. Bandar Karya Penggawa idem idem
71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
76. Ngambur Bengkunat idem idem
77. Ngaras Bengkunat idem idem
78. Bengkunat Bengkunat idem idem
79. Belimbing Bengkunat idem idem
80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
81. Pugung Melaya Lemong idem idem
82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan
Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.
Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.
Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.
Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya.
Lintas Tambang Emas Di Lebong
Dr Lindayanti. M.Hum
Diposting kembali oleh Naim Emel Prahana
Tanggal 27 November 2008.
Diperkirakan perusahaan eksplorasi emas pertama di Rejang Lebong, khususnya di Lebong sekitar tahun 1897. Perusahaan Eksplorasi Emas Redjang Lebong itu pada tahun 1898 merubah menjadi Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Tahun 1900 berdiri pula Perusahaan Eksplorasi Tambang Lebong Sulit, Perusahaan Eksplorasi Tambang Emas Simau (1901), Perusahaan Tambang Lebong Kandis (1909), dan Perusahaan Tambang Glumbuk (1910).
Namun demikian, jauh sebelum pembukaan tambang emas secara besar-besaran itu, masyarakat Rejang sudah melakukan kegiatan penambangan emas secara tradisionil. Terutama setelah selesai panen.
Dari brbagai sumber, seperti keterangan informasi dari Haji Ismael, warga Pasar Curup yang menceritakan pengetahuannya tentang daerah Rejang Lebong yang banyak mengandung emas. Kemudian informasi Administratur Perkebunan Kopi Soeban Ayam , Eugen Kassel. Pembukaan tambang emas di Lebong diawali dengan penelitian awal dilakukan Eugen Kassel di daerah Lebong. Hasil penelitian emas di daerah Lebong itu menarik perhatian para pengusaha tambang emas di Batavia, yang kemudian mendirikan perusahaan tambang emas bernama Lebong Goud Syndicaat untuk mengadakan penelitian tentang kandungan emas di daerah Lebong.
Lalu diikuti berdirinya perusahaan-perusahaan tambang di daerah Lebong. Sebenarnya, sebelum orang-orang Eropa menemukan tambang emas di daerah Lebong, penduduk setempat sudah terlebih dahulu melakukan penambangan emas. Hal ini dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat, dan diantaranya berdasarkan informasi dari Sultan Maruan keturunan dari Sultan Muko-Muko.
Oleh karena itu, sejak dimulainya pembangunan jalan dari kota Bengkulu menuju dataran tinggi Lebong, perusahaan telah menggunakan kuli-kuli pendatang. Pemakaian jumlah kuli pendatang bertambah sejak 1900-an dengan kegiatan eksplorasi tambang di daerah Lebong. Saat itu di Lebong diperkirakan terdapat enam sampai tujuh perusahaan eksplorasi, salah satunya milik Firma Erdmann & Sielcken, yaitu Perusahaan Eksplorasi Tambang Redjang Lebong. Setelah perusahaan eksplorasi berhasil menemukan area penambangan di Lebong Donok (Marga Suku IX) maka perusahaan tambang dibentuk, yaitu Perusahaan Tambang Emas Redjang-Lebong di bawah direksi Lebong-Goudsyndicaat.
Pada masa awal eksploitasi, Perusahaan Tambang Redjang Lebong banyak menggunakan kuli orang Cina yang didatangkan dari Singapura, dan sebagian kecil kuli dari Jawa Barat. Penggunaan kuli dari Cina itu karena kuli dari Pulau Jawa sulit didapatkan dengan adanya permintaan yang besar terhadap kuli dari Pulau Jawa untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah Hindia Belanda. Mereka pun sulit mendapatkan kuli dari daerah sekitar penambangan karena kebanyakan orang Rejang tidak berminat bekerja di perusahaan tambang maupun perkebunan milik orang Eropa. Mereka hanya bersedia bekerja sekali waktu di pertambangan dan kadang kala mereka menjual hasil padi, ternak, sayur, dan kayu untuk bangunan pada perusahaan.
Setelah mendapatkan kuli, perusahaan masih harus menghadapi permasalahan banyak kuli yang sakit, bahkan meninggal dunia pada awal kedatangannya. Hal ini terjadi antara lain karena lokasi penambangan yang jauh di pedalaman Dataran Tinggi Rejang Lebong sehingga kuli pendatang harus menempuh perjalanan panjang untuk mencapai lokasi penambangan. Kuli pendatang dari Pelabuhan Bengkulu harus berjalan kaki selama tujuh hari melewati Kepahiang, Pasar Curup, dan Dusun Kotadonok untuk sampai ke Lebong Donok.
Menurut laporan perusahaan, pada tahun 1898 Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah mempekerjakan kuli sebanyak 650 orang. Mereka dipekerjakan untuk pembukaan hutan dan pembangunan jalan dengan upah kerja sebesar 40 sen/orang/hari dengan tambahan 20 sen bagi kuli yang bekerja di luar perusahaan. Masa eksplorasi tambang dan pembuatan jalan dirasakan berat bagi para kuli tambang, karena mereka bekerja di daerah ketinggian 1.200 meter/dpl. di perbukitan Barisan. Selain medan yang berat, para kuli sering mengalami kurang makan dan terserang penyakit, terutama pada musim hujan. Penyakit yang sering menyerang para kuli saat membuka hutan dan membangun jalan adalah malaria dan beri-beri. Kematian kuli yang tinggi terutama terjadi saat eksplorasi tambang di Lebong Donok (tahun 1901), yaitu 50 orang/bulan dan pada tahun 1902 kuli yang meninggal dunia berjumlah 263 orang, sedangkan kuli yang sakit berjumlah 1584 orang.
Curah hujan yang tinggi di Dataran Tinggi Rejang Lebong menjadi salah satu sebab banyak kuli terjangkit penyakit, selain itu juga mengakibatkan banyak jembatan dan jalan yang rusak karena diterjang banjir. Misalnya, pada tahun 1898 banjir mengakibatkan jalan pemerintah antara kota Bengkulu menuju Lais tertutup untuk angkutan gerobak. Hal ini mengakibatkam pasokan beras untuk para kuli yang kebanyakan berada di daerah Redjang-Lebong terhenti. Oleh karena beras masih didatangkan dari Batavia melalui pelabuhan Bengkulu, apabila terjadi keterlambatan kedatangan beras, maka di lokasi penambangan akan terjadi kekurangan pangan.
Pada awal pertumbuhan, perusahaan mengalami berbagai kesulitan, antara lain kekurangan tenaga kerja dan kecukupan kebutuhan pangan bagi pekerja perusahaan. Dalam hal mengatasi kekurangan tenaga kerja, perusahaan mendatangkan tenaga kerja kuli dari daerah lain, terutama dari Pulau Jawa. Selanjutnya, dalam hal memenuhi kebutuhan pangan, pihak perusahaan berusaha menarik para bekas kuli untuk menetap di sekitar perusahaan. Perusahaan akan menyediakan lahan untuk bertani bagi bekas kuli yang mau menetap.
( Dikutip dari dan seizin Dr. Lindayanti. M.Hum “ BAB III : KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU 1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007.)Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”
Literature
[1] Mengenai Traktat London lihat, P.H. van der Kemp, “Benkoelen Krachtens het Londensch Tractaat van 15 Maart 1824” BKI deel 56, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1903) hlm. 308-312.
[2] Seorang posthouder untuk daerah Lais dan Kaur, seorang gezaghebber untuk daerah Muko-Muko dan Manna, dan seorang kontrolir untuk daerah Seluma dan Krui dengan fungsi yang sama, yaitu penanggung jawab wilayah masing-masing, L. van Vinne, “Benkoelen zoo als het is, en de Benkoelezen zoo als Zij zijn”, TNI vijfde jrg. (Batavia: Ter Landsdrukkerij, 1843), hlm. 558.
[3] Penduduknya terdiri dari penduduk asli (disebut anak sungai) dan penduduk pendatang dari Indrapura (disebut anak pesisir).
[4] Penduduknya adalah suku Rejang Empat Petulai, distrik Sungai Itam yang dihuni oleh penduduk yang disebut anak lakitan
[5] Penduduknya disebut anak lakitan
[6] Pada masa pemerintahan Kompeni Inggris daerah-daerah ini disebut wilayah Keresidenan Luar yang diperintah oleh seorang Residen
[7] Mengenai besarnya tunjangan yang diberikan kepada para Kepala Adat di Bengkulu dapat dilihat di ‘Over Pangerangs Raad Bencoelen’, Arsip Bengkulu, no. B 6/13
[8]Surat Keputusan Komisaris Jendral no.69, tanggal. 18 Agustus 1826, lihat ‘Aantekeningen Gehouden op een Reis in de Binnenlanden van Sumatra enz, De Oosterlingen 1832, Arsip Bengkulu, no. B 6/24
[9] P. Wink, “ De Ontwikkeling der Inheemsche Rechtspraak in het Gewest Benkoelen”, TBG deel LXIX (Batavia: Albrecht & Co., 1912), hlm. 27
[10] Perjanjian berisi tentang pengukuhan hak pemilikan wilayah kepada Pangeran Sungai Lemau, Pangeran Sungai Itam, Sultan Muko-Muko, serta Kepala distrik di wilayah Manna, Seluma, dan Kaur. Lebih lanjut lihat Orders by the Honble the Lieutenant Governor Fort Marlborough 22 May 1820”, Arsip Bengkulu B. 6/14
[11] Mengenai percobaan tanam paksa pala dan cengkeh masa Asisten Residen Knoerle dapat dilihat pada “Extract uit het Register der Handelingen en Resolutien van der Gouverneur Generaal in Rade 1832-1833”, Arsip Bengkulu, no. B 8/12
[12] “Nota Over Benkoelen Geschreven te Padang, in 18 Februari 1840 door Resident van Ajer Bangis de Perez, Arsip Bengkulu no. B 6/17, mengenai Tanam Paksa di Bengkulu lihat pada E.B. Kielstra, “Dwangcultuur en Vrije Arbeid in Bengkoelen”, Indische Gids 10e jrg II, 1888, hlm. 1209-1235.
[13] Mvo. Residentie Benkoelen, 1924, KIT 200, hlm. 53.
[14] Staatsblad 1860. no. 30a.
Diposting kembali oleh Naim Emel Prahana
Tanggal 27 November 2008.
Diperkirakan perusahaan eksplorasi emas pertama di Rejang Lebong, khususnya di Lebong sekitar tahun 1897. Perusahaan Eksplorasi Emas Redjang Lebong itu pada tahun 1898 merubah menjadi Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Tahun 1900 berdiri pula Perusahaan Eksplorasi Tambang Lebong Sulit, Perusahaan Eksplorasi Tambang Emas Simau (1901), Perusahaan Tambang Lebong Kandis (1909), dan Perusahaan Tambang Glumbuk (1910).
Namun demikian, jauh sebelum pembukaan tambang emas secara besar-besaran itu, masyarakat Rejang sudah melakukan kegiatan penambangan emas secara tradisionil. Terutama setelah selesai panen.
Dari brbagai sumber, seperti keterangan informasi dari Haji Ismael, warga Pasar Curup yang menceritakan pengetahuannya tentang daerah Rejang Lebong yang banyak mengandung emas. Kemudian informasi Administratur Perkebunan Kopi Soeban Ayam , Eugen Kassel. Pembukaan tambang emas di Lebong diawali dengan penelitian awal dilakukan Eugen Kassel di daerah Lebong. Hasil penelitian emas di daerah Lebong itu menarik perhatian para pengusaha tambang emas di Batavia, yang kemudian mendirikan perusahaan tambang emas bernama Lebong Goud Syndicaat untuk mengadakan penelitian tentang kandungan emas di daerah Lebong.
Lalu diikuti berdirinya perusahaan-perusahaan tambang di daerah Lebong. Sebenarnya, sebelum orang-orang Eropa menemukan tambang emas di daerah Lebong, penduduk setempat sudah terlebih dahulu melakukan penambangan emas. Hal ini dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat, dan diantaranya berdasarkan informasi dari Sultan Maruan keturunan dari Sultan Muko-Muko.
Oleh karena itu, sejak dimulainya pembangunan jalan dari kota Bengkulu menuju dataran tinggi Lebong, perusahaan telah menggunakan kuli-kuli pendatang. Pemakaian jumlah kuli pendatang bertambah sejak 1900-an dengan kegiatan eksplorasi tambang di daerah Lebong. Saat itu di Lebong diperkirakan terdapat enam sampai tujuh perusahaan eksplorasi, salah satunya milik Firma Erdmann & Sielcken, yaitu Perusahaan Eksplorasi Tambang Redjang Lebong. Setelah perusahaan eksplorasi berhasil menemukan area penambangan di Lebong Donok (Marga Suku IX) maka perusahaan tambang dibentuk, yaitu Perusahaan Tambang Emas Redjang-Lebong di bawah direksi Lebong-Goudsyndicaat.
Pada masa awal eksploitasi, Perusahaan Tambang Redjang Lebong banyak menggunakan kuli orang Cina yang didatangkan dari Singapura, dan sebagian kecil kuli dari Jawa Barat. Penggunaan kuli dari Cina itu karena kuli dari Pulau Jawa sulit didapatkan dengan adanya permintaan yang besar terhadap kuli dari Pulau Jawa untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah Hindia Belanda. Mereka pun sulit mendapatkan kuli dari daerah sekitar penambangan karena kebanyakan orang Rejang tidak berminat bekerja di perusahaan tambang maupun perkebunan milik orang Eropa. Mereka hanya bersedia bekerja sekali waktu di pertambangan dan kadang kala mereka menjual hasil padi, ternak, sayur, dan kayu untuk bangunan pada perusahaan.
Setelah mendapatkan kuli, perusahaan masih harus menghadapi permasalahan banyak kuli yang sakit, bahkan meninggal dunia pada awal kedatangannya. Hal ini terjadi antara lain karena lokasi penambangan yang jauh di pedalaman Dataran Tinggi Rejang Lebong sehingga kuli pendatang harus menempuh perjalanan panjang untuk mencapai lokasi penambangan. Kuli pendatang dari Pelabuhan Bengkulu harus berjalan kaki selama tujuh hari melewati Kepahiang, Pasar Curup, dan Dusun Kotadonok untuk sampai ke Lebong Donok.
Menurut laporan perusahaan, pada tahun 1898 Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah mempekerjakan kuli sebanyak 650 orang. Mereka dipekerjakan untuk pembukaan hutan dan pembangunan jalan dengan upah kerja sebesar 40 sen/orang/hari dengan tambahan 20 sen bagi kuli yang bekerja di luar perusahaan. Masa eksplorasi tambang dan pembuatan jalan dirasakan berat bagi para kuli tambang, karena mereka bekerja di daerah ketinggian 1.200 meter/dpl. di perbukitan Barisan. Selain medan yang berat, para kuli sering mengalami kurang makan dan terserang penyakit, terutama pada musim hujan. Penyakit yang sering menyerang para kuli saat membuka hutan dan membangun jalan adalah malaria dan beri-beri. Kematian kuli yang tinggi terutama terjadi saat eksplorasi tambang di Lebong Donok (tahun 1901), yaitu 50 orang/bulan dan pada tahun 1902 kuli yang meninggal dunia berjumlah 263 orang, sedangkan kuli yang sakit berjumlah 1584 orang.
Curah hujan yang tinggi di Dataran Tinggi Rejang Lebong menjadi salah satu sebab banyak kuli terjangkit penyakit, selain itu juga mengakibatkan banyak jembatan dan jalan yang rusak karena diterjang banjir. Misalnya, pada tahun 1898 banjir mengakibatkan jalan pemerintah antara kota Bengkulu menuju Lais tertutup untuk angkutan gerobak. Hal ini mengakibatkam pasokan beras untuk para kuli yang kebanyakan berada di daerah Redjang-Lebong terhenti. Oleh karena beras masih didatangkan dari Batavia melalui pelabuhan Bengkulu, apabila terjadi keterlambatan kedatangan beras, maka di lokasi penambangan akan terjadi kekurangan pangan.
Pada awal pertumbuhan, perusahaan mengalami berbagai kesulitan, antara lain kekurangan tenaga kerja dan kecukupan kebutuhan pangan bagi pekerja perusahaan. Dalam hal mengatasi kekurangan tenaga kerja, perusahaan mendatangkan tenaga kerja kuli dari daerah lain, terutama dari Pulau Jawa. Selanjutnya, dalam hal memenuhi kebutuhan pangan, pihak perusahaan berusaha menarik para bekas kuli untuk menetap di sekitar perusahaan. Perusahaan akan menyediakan lahan untuk bertani bagi bekas kuli yang mau menetap.
( Dikutip dari dan seizin Dr. Lindayanti. M.Hum “ BAB III : KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU 1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007.)Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”
Literature
[1] Mengenai Traktat London lihat, P.H. van der Kemp, “Benkoelen Krachtens het Londensch Tractaat van 15 Maart 1824” BKI deel 56, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1903) hlm. 308-312.
[2] Seorang posthouder untuk daerah Lais dan Kaur, seorang gezaghebber untuk daerah Muko-Muko dan Manna, dan seorang kontrolir untuk daerah Seluma dan Krui dengan fungsi yang sama, yaitu penanggung jawab wilayah masing-masing, L. van Vinne, “Benkoelen zoo als het is, en de Benkoelezen zoo als Zij zijn”, TNI vijfde jrg. (Batavia: Ter Landsdrukkerij, 1843), hlm. 558.
[3] Penduduknya terdiri dari penduduk asli (disebut anak sungai) dan penduduk pendatang dari Indrapura (disebut anak pesisir).
[4] Penduduknya adalah suku Rejang Empat Petulai, distrik Sungai Itam yang dihuni oleh penduduk yang disebut anak lakitan
[5] Penduduknya disebut anak lakitan
[6] Pada masa pemerintahan Kompeni Inggris daerah-daerah ini disebut wilayah Keresidenan Luar yang diperintah oleh seorang Residen
[7] Mengenai besarnya tunjangan yang diberikan kepada para Kepala Adat di Bengkulu dapat dilihat di ‘Over Pangerangs Raad Bencoelen’, Arsip Bengkulu, no. B 6/13
[8]Surat Keputusan Komisaris Jendral no.69, tanggal. 18 Agustus 1826, lihat ‘Aantekeningen Gehouden op een Reis in de Binnenlanden van Sumatra enz, De Oosterlingen 1832, Arsip Bengkulu, no. B 6/24
[9] P. Wink, “ De Ontwikkeling der Inheemsche Rechtspraak in het Gewest Benkoelen”, TBG deel LXIX (Batavia: Albrecht & Co., 1912), hlm. 27
[10] Perjanjian berisi tentang pengukuhan hak pemilikan wilayah kepada Pangeran Sungai Lemau, Pangeran Sungai Itam, Sultan Muko-Muko, serta Kepala distrik di wilayah Manna, Seluma, dan Kaur. Lebih lanjut lihat Orders by the Honble the Lieutenant Governor Fort Marlborough 22 May 1820”, Arsip Bengkulu B. 6/14
[11] Mengenai percobaan tanam paksa pala dan cengkeh masa Asisten Residen Knoerle dapat dilihat pada “Extract uit het Register der Handelingen en Resolutien van der Gouverneur Generaal in Rade 1832-1833”, Arsip Bengkulu, no. B 8/12
[12] “Nota Over Benkoelen Geschreven te Padang, in 18 Februari 1840 door Resident van Ajer Bangis de Perez, Arsip Bengkulu no. B 6/17, mengenai Tanam Paksa di Bengkulu lihat pada E.B. Kielstra, “Dwangcultuur en Vrije Arbeid in Bengkoelen”, Indische Gids 10e jrg II, 1888, hlm. 1209-1235.
[13] Mvo. Residentie Benkoelen, 1924, KIT 200, hlm. 53.
[14] Staatsblad 1860. no. 30a.
Jumat, 21 November 2008
Ekonomi
Naim Emel Prahana
Ekonomi Tumbuh
Rakyat Tetap Miskin
PEMERINTAH sudah mengeluarkan statemen tentang persentase pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2008, yang dibandingkan dengan triwulan ke III 2007 mencapai 6,1 persen. Padahal diketahui sejak 2000 Indonesia mengalami keisis multidimensi yang menurut banyak analis, sulit akan ke luar jika kondisi penyelenggaraan pemerintah masih seperti sekarang ini.
Yang lebih parahnya, pernyataan pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi di tengah krisis ekonomi global, dikatakan tidaklah penting. Karena, para analis ekonomi dan pengamat menilai, yang paling utama adalah bagaimana pemerintah membidik perhatian mengenai kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Sebab, pernyataan pemerintah tentang kondisi membaik dunia ekonomi, tidak menjelaskan kondisi riil perekonomian masyarakat yang benar-benar terlihat dalam aktivitas masyarakat itu sendiri.
Perhitungan perekonmian yang membaik secara year on year (2008—2007) itu telah membuat pemerintah berani mennargetkan komposisi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2008 atau antara Januari—September 2008 sebesar 6,3 persen. Dikatakan, persentase pertumbuhan sebesar itu menurut para pengamat didasari factor pendukung apa.
Artinya, siapa yang menikmati pertumbuhan demikian, sedangkan kondisi rakyat belum sama sekali meeningkat kesejahteraannya. Bahkan, secara umum m.werosot. tingkatydaya beli masyarakat makin rendah.
Hal itu wajar, sebab tumbuhnya ekonomi secara baik dicerminkan dengan meningkatnya factor kesejahteraan rakyat (masyarakat). Sektor padat modal, mengasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dirasakan semua orang, terutama rakyat miskin. Kelompok mayoritas penduduk Indonesia itu tetap saja miskin dengan tingginya tingkat inflasi.
Akibatnya, tidak kenaikan pendapatan. Dengan demikian, yang tumbuh itu bukanlah sector ekonomi terkait dengan kegiatan rakyat. Boleh jadi, melihat perjalanan krisis multidimesinal bangsa Indonesia, terutama ekonomi, politik, hokum dan pendidikan. Maka tingkat pertumbuhanm ekonomi riil tahun 2008 tidak akan mencapai 6 persen.
Beberapa factor pendukungnya adalah tingginya suku bunga yang menjadi hambatan kegiatan (rutinitas) sector riil. Dengan pemberatan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan kebutuhan konkrit pada sector domestic (dalam negeri).
Kemudian, masih tingginya angka tindak pidana korupsi, kejahatan, penyalahgunaan anggaran bantuan yang merata di semua lini, yang pemerintah terlihat jelas tidak mampu mempercepat realisasi anggaran.
Yang lebih menyedihkan sekarang ini—yang sangat dirisaukan para tokoh perbankan BNI dengan melemahnya tingkat konsumsi. Dengan situasi pra krisis seperti sekarang, sektor tersebut sudah memberi isyarata akan terjadinya gelombang PHK beberapa waktu ke depan (2009).
Sisi konsumsi, angkanya melemah. pertumbuhan kuartal IV-2008 akan lebih buruk karena sektor konsumsi turun yang mampu mendorong jika proyek-proyek pemerintah dikerjakan dan akan mendapat income, konsumsi pun naik Stimulus fiskal APBN belum optimal, dari penyerapan belanja modal APBN 2008 s/d 31 Oktober 2008 baru 50 persen.nep.
Naim Emel Prahana
Pembangunan Pedesaan
MELALUI Koran ini, sering dilontarkan bahwa sebenarnya pemerintah itu tidak ikhlas membayar para pegawainya dengan pembuktian, pemerintah selalu membuat kebijakan pendapatan lebih rumit dengan peraturan-peraturan yang nyaris bertabrakan dan saling menindih.
Di tingkat riil—di lapangan, aparat pemerintah sangat mendominasi pergerakan peredaran uang melalui sektor dana bantuan. Baik dana bantuan melalui dunia pendidikan, partai politik, kesenian, keamanan dan ketertiban, SDM dan tenaga kerja dan sector lainnya.
Kebijakan alokasi dana di seluruh Indonesia, khususnya untuk alokasi dana pembangunan desa tidak lebih dari 1,3 persen dari total APBN yang sudah mencapai Rp 1.000,- triliun. Hal itu bertentangan sekali dengan penyebaran penduduk Indonesia yang 60% berada di pedesaan.
Atau sekitar 220 juta jiwa tinggal di pedesaan. Nilai alokasi dana desa (ADD) yang sangat kecil dan rendah itu jika dihitung secara riil hanya Rp 47 juta per tahun. Dengan asumsi pembagian adalah biaya operasional (OP) pengurus rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) nilainya hanya Rp 50.000,- per tahun.
Di hamper semua desa terlihat jelas, bagaimana kondisi fasilitas kerja kepala desa dan perangkatnya. Sangat-sangat tidak baik, kondisi seperti itu, bagaimana mungkin perangkat desa bisa bekerja maksimal membangun desanya. Idealnya ADD harus lebih dari 10% dari APBN dan harus pula merombak UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Belum lagi kita melihat sarana fisik lainnya di desa, seperti jalan, sekolah, rumah-rumah penduduk dan fasilitas utama seperti listrik, air bersih dan penegakan hukum yang tidak prosfektif untuk membangun desa lebih lanjut di kemudian waktu.
Kalau tidak maksimalnya jumlah bantuan anggaran untuk ADD, desa hanyalah sebuah cerita yang terus dan terus makin tidak berdaya mempertahankan otonomi desanya yang menjadi pendukung utama suatu negara dan bangsa. Hamper 70% kondisi desa kita sangat memprihatinkan yang menjadi objek perubahan dan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, di tengah hiruk pikuk pelaksanaan pilkada, pemilu dan pilpres yang menghabiskan uang yang luar biasa itu. Pemerintah sudah harus berpikir tentang desa tentang factor desa sebagai pertahanan utama bangsa dan Negara ini.
Desa harus jadi pusat kegiatan ekonomi, pusat peradaban, pusat keamanan dan ketyertiban, pusat pendidikan dan pusat sumber tenaga kerja yang trampil dan terdidik. Tidak berlebihan jika setiap 2 buah desa terdapat 1 buah SMA, 1 buah SMP, TK, dan minimal 5 buah sekolah dasar.
Rakyat tak perlu lagi ke kota atau menjadi tenaga kerja Indonesia yang hanya menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Sudah seharus penyelenggara pemerintahan meninggalkan citra bangsa ini sebagai bangsa pembantu rumah tangga.
Bagaimana caranya? Maka, arahkanlah pembinaan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan memberikan basic dasar jiwa nasionalisme dalam diri setiap orang Indonesia yang dimulai dari desa. Membangun desa ibarat mempercantik putrid-putri desa yang memang sudah cantiok alami—sehingga orang desa tidak perlu berbondong-bondong ke kota.nep.
Ekonomi Tumbuh
Rakyat Tetap Miskin
PEMERINTAH sudah mengeluarkan statemen tentang persentase pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2008, yang dibandingkan dengan triwulan ke III 2007 mencapai 6,1 persen. Padahal diketahui sejak 2000 Indonesia mengalami keisis multidimensi yang menurut banyak analis, sulit akan ke luar jika kondisi penyelenggaraan pemerintah masih seperti sekarang ini.
Yang lebih parahnya, pernyataan pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi di tengah krisis ekonomi global, dikatakan tidaklah penting. Karena, para analis ekonomi dan pengamat menilai, yang paling utama adalah bagaimana pemerintah membidik perhatian mengenai kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Sebab, pernyataan pemerintah tentang kondisi membaik dunia ekonomi, tidak menjelaskan kondisi riil perekonomian masyarakat yang benar-benar terlihat dalam aktivitas masyarakat itu sendiri.
Perhitungan perekonmian yang membaik secara year on year (2008—2007) itu telah membuat pemerintah berani mennargetkan komposisi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2008 atau antara Januari—September 2008 sebesar 6,3 persen. Dikatakan, persentase pertumbuhan sebesar itu menurut para pengamat didasari factor pendukung apa.
Artinya, siapa yang menikmati pertumbuhan demikian, sedangkan kondisi rakyat belum sama sekali meeningkat kesejahteraannya. Bahkan, secara umum m.werosot. tingkatydaya beli masyarakat makin rendah.
Hal itu wajar, sebab tumbuhnya ekonomi secara baik dicerminkan dengan meningkatnya factor kesejahteraan rakyat (masyarakat). Sektor padat modal, mengasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dirasakan semua orang, terutama rakyat miskin. Kelompok mayoritas penduduk Indonesia itu tetap saja miskin dengan tingginya tingkat inflasi.
Akibatnya, tidak kenaikan pendapatan. Dengan demikian, yang tumbuh itu bukanlah sector ekonomi terkait dengan kegiatan rakyat. Boleh jadi, melihat perjalanan krisis multidimesinal bangsa Indonesia, terutama ekonomi, politik, hokum dan pendidikan. Maka tingkat pertumbuhanm ekonomi riil tahun 2008 tidak akan mencapai 6 persen.
Beberapa factor pendukungnya adalah tingginya suku bunga yang menjadi hambatan kegiatan (rutinitas) sector riil. Dengan pemberatan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan kebutuhan konkrit pada sector domestic (dalam negeri).
Kemudian, masih tingginya angka tindak pidana korupsi, kejahatan, penyalahgunaan anggaran bantuan yang merata di semua lini, yang pemerintah terlihat jelas tidak mampu mempercepat realisasi anggaran.
Yang lebih menyedihkan sekarang ini—yang sangat dirisaukan para tokoh perbankan BNI dengan melemahnya tingkat konsumsi. Dengan situasi pra krisis seperti sekarang, sektor tersebut sudah memberi isyarata akan terjadinya gelombang PHK beberapa waktu ke depan (2009).
Sisi konsumsi, angkanya melemah. pertumbuhan kuartal IV-2008 akan lebih buruk karena sektor konsumsi turun yang mampu mendorong jika proyek-proyek pemerintah dikerjakan dan akan mendapat income, konsumsi pun naik Stimulus fiskal APBN belum optimal, dari penyerapan belanja modal APBN 2008 s/d 31 Oktober 2008 baru 50 persen.nep.
Naim Emel Prahana
Pembangunan Pedesaan
MELALUI Koran ini, sering dilontarkan bahwa sebenarnya pemerintah itu tidak ikhlas membayar para pegawainya dengan pembuktian, pemerintah selalu membuat kebijakan pendapatan lebih rumit dengan peraturan-peraturan yang nyaris bertabrakan dan saling menindih.
Di tingkat riil—di lapangan, aparat pemerintah sangat mendominasi pergerakan peredaran uang melalui sektor dana bantuan. Baik dana bantuan melalui dunia pendidikan, partai politik, kesenian, keamanan dan ketertiban, SDM dan tenaga kerja dan sector lainnya.
Kebijakan alokasi dana di seluruh Indonesia, khususnya untuk alokasi dana pembangunan desa tidak lebih dari 1,3 persen dari total APBN yang sudah mencapai Rp 1.000,- triliun. Hal itu bertentangan sekali dengan penyebaran penduduk Indonesia yang 60% berada di pedesaan.
Atau sekitar 220 juta jiwa tinggal di pedesaan. Nilai alokasi dana desa (ADD) yang sangat kecil dan rendah itu jika dihitung secara riil hanya Rp 47 juta per tahun. Dengan asumsi pembagian adalah biaya operasional (OP) pengurus rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) nilainya hanya Rp 50.000,- per tahun.
Di hamper semua desa terlihat jelas, bagaimana kondisi fasilitas kerja kepala desa dan perangkatnya. Sangat-sangat tidak baik, kondisi seperti itu, bagaimana mungkin perangkat desa bisa bekerja maksimal membangun desanya. Idealnya ADD harus lebih dari 10% dari APBN dan harus pula merombak UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Belum lagi kita melihat sarana fisik lainnya di desa, seperti jalan, sekolah, rumah-rumah penduduk dan fasilitas utama seperti listrik, air bersih dan penegakan hukum yang tidak prosfektif untuk membangun desa lebih lanjut di kemudian waktu.
Kalau tidak maksimalnya jumlah bantuan anggaran untuk ADD, desa hanyalah sebuah cerita yang terus dan terus makin tidak berdaya mempertahankan otonomi desanya yang menjadi pendukung utama suatu negara dan bangsa. Hamper 70% kondisi desa kita sangat memprihatinkan yang menjadi objek perubahan dan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, di tengah hiruk pikuk pelaksanaan pilkada, pemilu dan pilpres yang menghabiskan uang yang luar biasa itu. Pemerintah sudah harus berpikir tentang desa tentang factor desa sebagai pertahanan utama bangsa dan Negara ini.
Desa harus jadi pusat kegiatan ekonomi, pusat peradaban, pusat keamanan dan ketyertiban, pusat pendidikan dan pusat sumber tenaga kerja yang trampil dan terdidik. Tidak berlebihan jika setiap 2 buah desa terdapat 1 buah SMA, 1 buah SMP, TK, dan minimal 5 buah sekolah dasar.
Rakyat tak perlu lagi ke kota atau menjadi tenaga kerja Indonesia yang hanya menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Sudah seharus penyelenggara pemerintahan meninggalkan citra bangsa ini sebagai bangsa pembantu rumah tangga.
Bagaimana caranya? Maka, arahkanlah pembinaan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan memberikan basic dasar jiwa nasionalisme dalam diri setiap orang Indonesia yang dimulai dari desa. Membangun desa ibarat mempercantik putrid-putri desa yang memang sudah cantiok alami—sehingga orang desa tidak perlu berbondong-bondong ke kota.nep.
Jumat, 14 November 2008
Premanisme
Naim Emel Prahana
Olahraga Karate
MULAI besok di Liwa, Lampung Barat digelar Gashuku, Ujian DAN & Ujian Wasit/Juri Inkai Daerah Lampung tahun 2008 yang akan berlangsung mulai tanggal 14 November 2008 sampai 17 November 2008. Kemudian istirahat dua minggu, para karateka seluruh Indonesia akan ikut dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Kasad Cup IX 2008 di Gelora Bung Karno, Jakarta—tepatnya mulai tanggal 4 sampai 8 Desember 2008.
Untuk sementara, Lampung yang dulunya banyak memback up atlet nasional di berbagai event kejuaraan karate Nasional dan Internasional. Memang beberapa tahun terakhir ini agak kedodoran. Dan, prestasi demikian perlu mendapat perhatian serius berbagai kalangan.
Atlet karate Lampung dari berbagai perguruan yang tergabung dalam Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Forki), perlu mendapat perhatian dengan beberapa faktor pendukung yang harus diupayakan secara maksimal.
Sejak beberapa tahun terakhir prestasi atlet karate secara nasional memang maju pesat. Baik perkembangan per daerah maupun teknik yang digunakan dalam kejuaraan, sudah sedemikian maju. Kecepatan (speed) menjadi andalan, di samping kemampuan meminit dan mengantisipasi gerakan lawan (pembacaan gerakan).
Tapi, ada hal pokok yang tidak boleh dilupakan yaitu tentang bantuan dana dari pemerintah daerah. Apakah melalui KONI atau langsung oleh pemerintah daerah hingga kabupaten/kota. Selama ini anggaran untuk olahraga karate masih sangat minim. Kita ketahui, bahwa kebutuhan pertandingan, latihan dan pembinaan di dunia olahraga karate membutuhkan dana yang cukup besar.
Kenyataan yang harus diterima beberapa tahun terakhir ini, perjuangan induk organisasi karate-do Indonesia (Forki) tadi, sangat berat sekali. Apalagi untuk mengirimkan atlet-atletnya ke berbagai even (kejuaraan). Sebab, semakin banyak mereka mengikuti kejuaraan, semakin bagus prospek prestasi yang bakal diraih.
Semuanya membutuhkan dana cukup besar, semuanya melibatkan banyak pihak dan itu merupakan tanggungjawab bersama. Artinya, pemerintah daerah—khususnya jangan hanya bangga dan senang ketika atlet karate memperoleh penghargaan di tingkat nasional saja. Tetapi, dalam perjalanan proses mencapai yang paling baik prestasi itulah yang membutuhkan kasih sayang.
Atlet saat ini, termasuk karateka—tidak bisa hanya mengandal mitos “datang, tanding dan menang!”. Sebab, kemenangan harus dicapai dengan perjuangan dan pengorbanan yang cukup berat dan besar tantangannya.
Mungkin, itulah besok Afialiasi Inkai Pusat akan mengadakan Gashuku, Ujian DAN & Ujian Wasit/Juri Inkai Daerah Lampung tahun 2008 di Liwa, Lampung Barat. Sebuah even tingkat daerah dan nasional yang penting artinya bagi atlet karate Kyu I, DAN I sampai selanjutnya.
Event itu merupakan penorehan status dan golongan seorang atlet karate dan wasit/juri karate di lingkungan keluarga besar Inkai di Lampung ini. Semuanya tidak gratis, termasuk biaya yang harus dikeluarkan seorang karateka, sangat-sangat besar. Jika ada bantuan dari pemerintah kabupaten/kota—mungkin prestasi bisa ditingkatkan dan kualitas atlet makin hari makin baik. nep.
Naim Emel Prahana
Premanisme
KONSEP pemberantasan premanisme sudah disosialisasi oleh aparat penegak hukum sejak reformasi tahun 1998. Namun, kebebasanisme tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan lahirnya generasi premanisme sampai ke pelosok pedesaan. Paham ‘bebas’—di kalangan masyarakat, juga terjadi di kalangan birokrat dan aparat penegak hukum.
Persoalannya, apakah konsep pemberantasan premanisme dengan menangkap atau ‘mengamankan’ orang-orang yang dinilai dapat menimbulkan keresahan, ketidaktertiban sosial masyarakat atau munculnya tindak kejahatan. Mampu menekan angka kriminalitas di tengah kehidupan?
Itu pertanyaan yang pas untuk diajukan kepada aparat penegak hukum melalui lembaganya, seperti Polri dan TNI. Ada beberapa faktor munculnya paham preman (premanisme) tersebut. Antara lain lemahnya pelaksanaan penegakan hukum, kesulitan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, munculnya prinsip hidup kapitalisme yang hanya mementingkan diri sendiri (keluarga) dan kelompok tertentu.
Aksi-aksi premanisme, bukan hanya terjadi di tempat-tempat umum, melainkan hampir di semua tempat. Misalnya di lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan RT, LK, RW dan kampung. Selama ini premanisme dikenal hanya di lingkungan kota; seperti di pasar, terminal, stasiun, pelabuhan atau di tempat-tempat keramaian.
Semuanya dilatarbelakangi oleh faktor tersebut di atas ditambah lagi faktor lain, yaitu psikologi masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan kepada aparat pemerintah dan penegak hukum.
Untuk mengatasi itu semua, tidak cukup hanya mengamankan (menangkap) para preman yang di pasar. Sebab, preman itu banyak jenisnya. Ada preman berdasi, ada preman berseragam, ada preman mistetius, preman profesi dan yang biasanya adalah preman biasa yang mangkal tempat-tempat ramai. Semuanya adalah preman yang dimaksud dalam kamus premanisme.
Mengatasinya atau solusinya, memang harus ada pola pikir negatif thinking dan positif thinking. Yaitu ramuan dari kedua pola pikir tersebut, untuk bagaimana menegakkan aturan hukum yang sebenarnya dan bagaimana pemerintah mampu mengatasi krisis multidimensi yang tengah melanda bangsa dan negara ini.
Korupsi yang dilakukan pejabat, bisa jadi sebagai faktor pendukung munculnya premanisme, akibat tingginya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan aparat penegak hukum.
Kenapa demikian, sebab dalam penegakan hukum antara aparat penegakan hukum dengan pemerintah (pejabat) selalu terjadi kompromi bila menyangkut kasus yang melibatkan keluarga pejabat. Sementara bila kasus yang sama melibatkan keluarga masyarakat biasa, hukum selalu ditegakkan, bahkan berlebihan penegakannya.
Artinya, mulai dari pengaduan dan jika dicabut pengaduan selalu diminta biaya administrasi, padahal tidak demikian aturan hukumnya. Hal-hal demikian harus diselesaikan lebih dulu, ketimbang menangkap para preman, kemudian dilepas lagi. Bila itu saja yang dilakukan, maka preman akan muncul terus dan jumlahnya akan bertambah serta hasil yang dicapai aparat penegak hukum, sia-sia.
Sekali lagi, hukum harus selaras antara rule of law dan rule of gamenya—soal penerapan hukum yang dikesamping, ada aturannya tersendiri.nep.
Olahraga Karate
MULAI besok di Liwa, Lampung Barat digelar Gashuku, Ujian DAN & Ujian Wasit/Juri Inkai Daerah Lampung tahun 2008 yang akan berlangsung mulai tanggal 14 November 2008 sampai 17 November 2008. Kemudian istirahat dua minggu, para karateka seluruh Indonesia akan ikut dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Kasad Cup IX 2008 di Gelora Bung Karno, Jakarta—tepatnya mulai tanggal 4 sampai 8 Desember 2008.
Untuk sementara, Lampung yang dulunya banyak memback up atlet nasional di berbagai event kejuaraan karate Nasional dan Internasional. Memang beberapa tahun terakhir ini agak kedodoran. Dan, prestasi demikian perlu mendapat perhatian serius berbagai kalangan.
Atlet karate Lampung dari berbagai perguruan yang tergabung dalam Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Forki), perlu mendapat perhatian dengan beberapa faktor pendukung yang harus diupayakan secara maksimal.
Sejak beberapa tahun terakhir prestasi atlet karate secara nasional memang maju pesat. Baik perkembangan per daerah maupun teknik yang digunakan dalam kejuaraan, sudah sedemikian maju. Kecepatan (speed) menjadi andalan, di samping kemampuan meminit dan mengantisipasi gerakan lawan (pembacaan gerakan).
Tapi, ada hal pokok yang tidak boleh dilupakan yaitu tentang bantuan dana dari pemerintah daerah. Apakah melalui KONI atau langsung oleh pemerintah daerah hingga kabupaten/kota. Selama ini anggaran untuk olahraga karate masih sangat minim. Kita ketahui, bahwa kebutuhan pertandingan, latihan dan pembinaan di dunia olahraga karate membutuhkan dana yang cukup besar.
Kenyataan yang harus diterima beberapa tahun terakhir ini, perjuangan induk organisasi karate-do Indonesia (Forki) tadi, sangat berat sekali. Apalagi untuk mengirimkan atlet-atletnya ke berbagai even (kejuaraan). Sebab, semakin banyak mereka mengikuti kejuaraan, semakin bagus prospek prestasi yang bakal diraih.
Semuanya membutuhkan dana cukup besar, semuanya melibatkan banyak pihak dan itu merupakan tanggungjawab bersama. Artinya, pemerintah daerah—khususnya jangan hanya bangga dan senang ketika atlet karate memperoleh penghargaan di tingkat nasional saja. Tetapi, dalam perjalanan proses mencapai yang paling baik prestasi itulah yang membutuhkan kasih sayang.
Atlet saat ini, termasuk karateka—tidak bisa hanya mengandal mitos “datang, tanding dan menang!”. Sebab, kemenangan harus dicapai dengan perjuangan dan pengorbanan yang cukup berat dan besar tantangannya.
Mungkin, itulah besok Afialiasi Inkai Pusat akan mengadakan Gashuku, Ujian DAN & Ujian Wasit/Juri Inkai Daerah Lampung tahun 2008 di Liwa, Lampung Barat. Sebuah even tingkat daerah dan nasional yang penting artinya bagi atlet karate Kyu I, DAN I sampai selanjutnya.
Event itu merupakan penorehan status dan golongan seorang atlet karate dan wasit/juri karate di lingkungan keluarga besar Inkai di Lampung ini. Semuanya tidak gratis, termasuk biaya yang harus dikeluarkan seorang karateka, sangat-sangat besar. Jika ada bantuan dari pemerintah kabupaten/kota—mungkin prestasi bisa ditingkatkan dan kualitas atlet makin hari makin baik. nep.
Naim Emel Prahana
Premanisme
KONSEP pemberantasan premanisme sudah disosialisasi oleh aparat penegak hukum sejak reformasi tahun 1998. Namun, kebebasanisme tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan lahirnya generasi premanisme sampai ke pelosok pedesaan. Paham ‘bebas’—di kalangan masyarakat, juga terjadi di kalangan birokrat dan aparat penegak hukum.
Persoalannya, apakah konsep pemberantasan premanisme dengan menangkap atau ‘mengamankan’ orang-orang yang dinilai dapat menimbulkan keresahan, ketidaktertiban sosial masyarakat atau munculnya tindak kejahatan. Mampu menekan angka kriminalitas di tengah kehidupan?
Itu pertanyaan yang pas untuk diajukan kepada aparat penegak hukum melalui lembaganya, seperti Polri dan TNI. Ada beberapa faktor munculnya paham preman (premanisme) tersebut. Antara lain lemahnya pelaksanaan penegakan hukum, kesulitan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, munculnya prinsip hidup kapitalisme yang hanya mementingkan diri sendiri (keluarga) dan kelompok tertentu.
Aksi-aksi premanisme, bukan hanya terjadi di tempat-tempat umum, melainkan hampir di semua tempat. Misalnya di lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan RT, LK, RW dan kampung. Selama ini premanisme dikenal hanya di lingkungan kota; seperti di pasar, terminal, stasiun, pelabuhan atau di tempat-tempat keramaian.
Semuanya dilatarbelakangi oleh faktor tersebut di atas ditambah lagi faktor lain, yaitu psikologi masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan kepada aparat pemerintah dan penegak hukum.
Untuk mengatasi itu semua, tidak cukup hanya mengamankan (menangkap) para preman yang di pasar. Sebab, preman itu banyak jenisnya. Ada preman berdasi, ada preman berseragam, ada preman mistetius, preman profesi dan yang biasanya adalah preman biasa yang mangkal tempat-tempat ramai. Semuanya adalah preman yang dimaksud dalam kamus premanisme.
Mengatasinya atau solusinya, memang harus ada pola pikir negatif thinking dan positif thinking. Yaitu ramuan dari kedua pola pikir tersebut, untuk bagaimana menegakkan aturan hukum yang sebenarnya dan bagaimana pemerintah mampu mengatasi krisis multidimensi yang tengah melanda bangsa dan negara ini.
Korupsi yang dilakukan pejabat, bisa jadi sebagai faktor pendukung munculnya premanisme, akibat tingginya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan aparat penegak hukum.
Kenapa demikian, sebab dalam penegakan hukum antara aparat penegakan hukum dengan pemerintah (pejabat) selalu terjadi kompromi bila menyangkut kasus yang melibatkan keluarga pejabat. Sementara bila kasus yang sama melibatkan keluarga masyarakat biasa, hukum selalu ditegakkan, bahkan berlebihan penegakannya.
Artinya, mulai dari pengaduan dan jika dicabut pengaduan selalu diminta biaya administrasi, padahal tidak demikian aturan hukumnya. Hal-hal demikian harus diselesaikan lebih dulu, ketimbang menangkap para preman, kemudian dilepas lagi. Bila itu saja yang dilakukan, maka preman akan muncul terus dan jumlahnya akan bertambah serta hasil yang dicapai aparat penegak hukum, sia-sia.
Sekali lagi, hukum harus selaras antara rule of law dan rule of gamenya—soal penerapan hukum yang dikesamping, ada aturannya tersendiri.nep.
Sejarah Transmigrasi di Bengkulu
Sejarah Transmigrasi di Bengkulu
Oleh Naim Emel Prahana
Pendahuluan
Awal abad ke XX di Indonesia (Hindia Belanda) ramai diberitakan tentang kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Dengan adanya kelebihan penduduk tersebut, dikhawatirkan munculnya persoalan-persoalan serius mengenai kelaparan yang akhirnya membuat rakyat menjadi melarat.
Pada September 1902 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan instruksi kepada Asisten Residen Sukabumi, HG Heyting dengan beslit (surat) No 17 tanggal 30 September 1902. dalam surat itu diminta Asisten Residen Sukabumi untuk mempelajari secermat mungkin untuk memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke daerah seberang (ke pulau-pulau yang ada di luar Pulau Jawa).
Desember 1902, Asisten Residen Sukabumi, Heyting mengeluarkan rancangan anggaran belanja untuk penyelenggaraan perpindahan penduduk atau waktu itu disebut dengan kolonisasi, sedangkan pendudukan (rakyat) yang akan dipindahkan disebut dengan nama kolonis. Anggaran belanja itu akan dipergunakan untuk memindahkan penduduk dari 5 daerah di pulau Jawa ke 5 daerah di luar pulau Jawa. Anggaran belanjanya direncanakan sebesar f 7 miliun.
Akan tetapi, rencana itu belum dilaksanakan, karena pemerintah Belanda hanya menginginkan perpindahan pendudukan itu untuk satu daerah saja dan itu sebagai percobaan programn kolonisasi. Akibatnya, Heyting kembali mengajukan usulan, agar diadakan program percobaan kolonisasi (transmigrasi). Program itu tidak mengirimkan kolonis ke luar pulau Jawa melainkan perpindahan penduduk dari daerah Kedu ke selatan, yaitu ke Banyuwangi pada tahun 1905.
Boleh jadi, Heyting adalah tokoh transmigrasi (kolonisasi) di Indonesia. Walau demikian keputusan parlemen Belanda (Tweede Kamer) 1904 yang mengutus 2 (duia ) anggotanya ke Hindia Belanda, yaitu Cramer dan Fock . Perpindahan pendudukan dari daerah Kedu dan Madura ke Banyuwangi yang tak pernah terlaksanya, telah memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah Hiandia Belanda. Terutama efektivitas penggunaan anggaran untuk mengirim para kolonis ke luar Jawa.
Cramer dan Fock sangat setuju jika perpidahan penduduk itu diarahkan dari Jawa ke luar Jawa. Sebab, program kolonisasi dari Kedua ke Banyuwangi diperintahkan untuk dihentikan.
Maka, tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda memulai program kolonisasi ke Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan Palembang. Namun, setelah dipertimbangkan, maka program kolonisasi pertama dilakukan ke Telukbetung (Lampung)—tepatnya di Gedong Tataan (dalam wilayah keresidenan Lampung).
Program kolonisasi tahun 1905 ke Gedong Tataan itu, kemudian disusul ke daerah-daerah lain di Lampung, seperti Gedong Dalam (Sukadana), Wonosobo dan sebagainya. Antara tahun 1905—1915 proghram kolonisasi diserahkan dan dipimpin oleh asisten wedana. Akan tetapi sejak tahun 1915 program kolonisasi di Lampung dipimpin oleh administrator bank. Dan, system kolonisasi pun diganti dengan system yang baru yaitu system utang.
Kolonisasi Bengkulu
Pada tahun 1905 diadakanlah pembicara antara pemerintah dengan resideng Bengkulu tentang perconaan pengiriman kolonis ke wilayah itu. Daerah yang dipilih adalah daerah Rejang Lebong sekitar 4 pal jaraknya dari tanah konsesi maskapai tambang Rejang Lebong.
Dari hasil penelitian dio daerah Bengkulu (Rejang), maka pada tahun 1908 kontrolir Kepahiang DG Hoeyer bersama dengan beberapa kepala marga (pasirah) mengajukan usul kolonisasi ke daerah Bengkulu. Dengan tujuan, agar ilmu yang tinggi dibidang pertanian masyarakat Jawa akan dapat memajukan daerah Bengkulu. Usulan itu diterima oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1909 dikirimkanlah kolonis pertama ke daerah kepahiang. Para kolonis yang dikirim itu berasal dari daerah Bogor dan Periangan. Program itu berhasil dengan baik sekali. Maka, ke luarlah beslit No 17 tanggal 25 Januari 1909 dengan menyerahkan uang f 20.000,- sebagian uang itu untuk membantu kas marga (restitutie). Sebagian lagi untuk biaya pemindahan para kolonis dari daerah Pesundan ke Kepahiang.
Kemudian, 1909 itu juga dibuka 3 (tiga) desa kolonisasi di daerah rejang, yaitu Permu, Air Sompiang dan Talang Benih. Para kolonis yang pandai bercocok tanam itu, di daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan masalah kesehatan. Oleh karena itu tanggal 20 Desember 1910 ke luarlah beslit No 23 yang isinya pemerintah menyediakan anggaran sebesar f 5.000,-untuk memindahkan kolonis suku Jawa ke daerah dekat Muara Aman (Lebong) dan f 3.000,-biaya untuk perbaikan saluran air yang melalui daerah itu.
Keadaan para kolonis di daerah Lebong lebih baik daripadfa keadaan kolonis di daerah Permu, Air Sompeang dan Talang Benih. Pada tahun 1911 pemerintah mendatangkan lagi kolonis dari JawaTengah dan Periangan yang ditempatkan di Sukabumi, dekat Muara Aman.
Tahun 1912 beberapa kolonis di Sukabumi dikirim ke Jawa, untuk mencari para kolonis baru yang akan diberangkatkan ke daerah Lebong. Sampai tahun 1915 di daerah Rejang sudah terdapat 791 jiwa kolonis dan di daerah Lebong sebanyak 268 jiwa kolonis. Pada tahun 1919 pemerintah membuka lagi daerah kolonisasi di Lebong yang diberi nama Magelang Baru. Keadaan para kolonis di Sukabumi dan Magelang Baru di Lebong itu keadaannya sangat baik dan sejahtera.
Para kolonis itu awalnya bekerja di kebun-kebun milik orang lain, kemudian setelah kebun-kebun kopi mereka berhasil. Mereka pun memperluas areal perkebunan dengan cara yang lebih baik lagi. Dalam tahun 1930 Bank Rayat di Lebong menyediakan uang sebesar f 5.000,-untuk pemindahan 43 keluarga kolonis dari daerah keresidenan Banyumas (Jawa Tengah). Para kolonis itu ditempatkan di dekat Kota Bengkulu 10 keluarga, Perbo 35 keluarga, di Perbo sudah tersedia tanah seluas 200 bau yang siap dikerjakan dan diairi.
Antara bulan Februari—Maret 1931 di daerah Perbo didatangkan lagi (ditempatkan) 600 jiwa kolonis. Mereka terdiri dari korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Kemudian ditempatkan lagi di Rejang kolonis dari Begelen sebanyak 150 jiwa. Pembukaan lahan-lahan kolonisasi terus dilakukan. Pada tahun 1932 di sebelah Timur Curup yaitu di Pelalo didatangkan lagi kolonis berasal dari Blitar (Jawa Timur), yang kedudukan mereka berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah.
Kolonisasi-kolonisasi baru tersu dibuka oleh pemerintah. Pada tahun 1935 pmerintah membuka daerah kolonisasi baru bernama Lubuk Mampo sebanyak 200 keluarga yang berasal dari buruh kontrak di Jawa. Untuk anggaran pengiriman biaya para kolonis itu ditanggung oleh Departemen Kehakiman.
Sebab, setelah tahun 1935 pemerintah meletakkan kewajiban pada kolonis untuk membayar ongkos pemindahan f 12,50 setiap keluarga. Sebagai balasannya, para kolonis untuk 1 keluarga mendapat 1 bau pekarangan dan 1 bau tanah sawah. Tanah-tanah itu dapat diperluas sekuat mereka mengerjakannya. Maka, ketika mereka panen sangat membutuhkan tenaga bawon.
Akhir tahun 1938 luas tanah yang sudah ditanami mencapai 1.766 bau, sedangkan sampai tahun 1939 luas areal sawah sudah mencapai 1.600 bau. Hasil panennya di Rejang Lebong mencapai 20—29 kwintal padi kering per hektar. Di Kemumu hasil lading sekitar 24 kwintal per hektar dan di Perbo 19 kwintal per hektar padi kering. Sedangkan hasil sawahnya antara 12 kwintal—44 kwintal per hektar padi kering.
Tanah kolonisasi di Kemumu luasnya mencapai 1.200 bau yang sangat cocok untuk dijadikan lahan sawah. Dari tanah seluas itu, 200 baunya sudah ditanami dan 396 bau tahun 1940 dibagikan lagi. Di antaranya 90 bau untuk tanah pekarangan para kolonis.
Di Perbo luas tanah sawah kolonis 456,5 bau yang telah dibagikan kepada 445 keluarga (1.752 jiwa). Pembagiannya adalah 301,5 bau yang sudah ditanami, sisanya 112 bau dibagikan lagi kepada keluarga kolonis. Untuk tanah pekarangan yang sudah dibagikan mencapai luas 120 bau. Untuk keluarga kolonis yang baru dating mendapat bantuan bahan makanan selama 1 minggu. Selanjutnya mereka akan mendapat hasil dari upahan di sawah milik kolonis yang sudah lama menetap. Para kolonis yang baru, setelah 1—4 bulan sudah dapat memetik hasil berupa palawija yang ditanam di lahan-lahan yang sudah dibagikan.
Hasil Pertanian 1939
(per hektar )
daerah padi sawah padi lading
kolonisasi dalam kwintal dalam kwintal
Kemumu 25 29
Perbo 17 16
Rejang Lebong 17 18
Biasanya keluarga kolonis sehabis panen padi sawah atau lading menanam palawija yang hasilnya sangat baik. Mereka menghasilkan kacang 6,5 kwintal per hektar, kacang kedelai 7 kwintyal per hektar.
Akhir tahun 1940 di Kemumu jumlah keluarga kolonisasi sebanyak 281 KK atau 1.396 jiwa dan di Perbo 445 KK atau 1.792 jiwa. Sedangkan jumlah kolonis di seluruh keresidenan Bengkulu akhir tahun 1940 berjumlah 7.443 jiwa (orang), diantaranya 4.295 orang (kl. 1.273 keluarga) menetap di Rejang Lebong yang telah membuka 1.685 bau tanah.
Setelah pecah perang dunia ke II (PD II), di daerah keresidenan Bengkulu belum ada keluarga kolonis yang besar. Namun, kehadiran para kolonis di Bengkulu, khususnya di Kepahiang, Curup dan Muara Aman dan sekitarnya banyak memberikan aspirasi kepada penduduk asli Rejang tentang tata cara bertani dan lainnya.
Program kolonisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1905—1941, kemudian ketika Indonesia sudah merdeka. Maka program kolonisasi itu diganti namanya menjadi program transmigrasi yang mulai diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1950—1951.
Namun di daerah Bengkulu pengiriman transmigrasi tidak seperti di daerah lainnya di Indonesia, seperti ke Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi, Maluku. Program transmigrasi pemerintah RI merupakan pemindahan keluarga dari Jawa ke luar pulau Jawa.
Untuk daerah Bengkulu, antara tahun 1980—1985 diadakan program transmigrasi yang ditempatkan di Mangkurajo. Suatu daerah pegunungan antara Desa Kotadonok dan Sawah Mangkurajo atau di jalan menuju ke Tambang emas Lebong Simpang. Program transmigrasi di Mangkurajo itu diadakan saat Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir.
Penempatan keluarga trans di Mangkurajo memang tidak berjalan mulus. Hampir 40 % keluarga trans meningggalkan daerah pemukimannya. Hanya di bagian Barat mendekati daerah Bioa Puak (Air Pauh) keadaan keluarga trans agak baik dan sukses. Sampai sekarang mereka sudah berhasil menggarap lahan yang sudah mereka terima, bahkan sudah dapat menambah luas lahan untuk perkebunan kopi dan tanaman lainnya.
Kesulitannya hanya masalah air. Karena, letak lokasi transmigrasi di Mangkurajo itu berada di atas bukit barisan yang cukup tinggi di atas permukaan laut. Walaupun di kaki bukit barisan (buki Mangkurajo) terdapat aliran sungai (Bioa) yang disebut Bioa Puak (Air Pauh), Bioa Putiak (Air Putih), Bioa Tamang, Bioa Tiket, Bioa Telang dan sungai-sungai kecil lainnya.
Oleh Naim Emel Prahana
Pendahuluan
Awal abad ke XX di Indonesia (Hindia Belanda) ramai diberitakan tentang kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Dengan adanya kelebihan penduduk tersebut, dikhawatirkan munculnya persoalan-persoalan serius mengenai kelaparan yang akhirnya membuat rakyat menjadi melarat.
Pada September 1902 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan instruksi kepada Asisten Residen Sukabumi, HG Heyting dengan beslit (surat) No 17 tanggal 30 September 1902. dalam surat itu diminta Asisten Residen Sukabumi untuk mempelajari secermat mungkin untuk memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke daerah seberang (ke pulau-pulau yang ada di luar Pulau Jawa).
Desember 1902, Asisten Residen Sukabumi, Heyting mengeluarkan rancangan anggaran belanja untuk penyelenggaraan perpindahan penduduk atau waktu itu disebut dengan kolonisasi, sedangkan pendudukan (rakyat) yang akan dipindahkan disebut dengan nama kolonis. Anggaran belanja itu akan dipergunakan untuk memindahkan penduduk dari 5 daerah di pulau Jawa ke 5 daerah di luar pulau Jawa. Anggaran belanjanya direncanakan sebesar f 7 miliun.
Akan tetapi, rencana itu belum dilaksanakan, karena pemerintah Belanda hanya menginginkan perpindahan pendudukan itu untuk satu daerah saja dan itu sebagai percobaan programn kolonisasi. Akibatnya, Heyting kembali mengajukan usulan, agar diadakan program percobaan kolonisasi (transmigrasi). Program itu tidak mengirimkan kolonis ke luar pulau Jawa melainkan perpindahan penduduk dari daerah Kedu ke selatan, yaitu ke Banyuwangi pada tahun 1905.
Boleh jadi, Heyting adalah tokoh transmigrasi (kolonisasi) di Indonesia. Walau demikian keputusan parlemen Belanda (Tweede Kamer) 1904 yang mengutus 2 (duia ) anggotanya ke Hindia Belanda, yaitu Cramer dan Fock . Perpindahan pendudukan dari daerah Kedu dan Madura ke Banyuwangi yang tak pernah terlaksanya, telah memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah Hiandia Belanda. Terutama efektivitas penggunaan anggaran untuk mengirim para kolonis ke luar Jawa.
Cramer dan Fock sangat setuju jika perpidahan penduduk itu diarahkan dari Jawa ke luar Jawa. Sebab, program kolonisasi dari Kedua ke Banyuwangi diperintahkan untuk dihentikan.
Maka, tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda memulai program kolonisasi ke Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan Palembang. Namun, setelah dipertimbangkan, maka program kolonisasi pertama dilakukan ke Telukbetung (Lampung)—tepatnya di Gedong Tataan (dalam wilayah keresidenan Lampung).
Program kolonisasi tahun 1905 ke Gedong Tataan itu, kemudian disusul ke daerah-daerah lain di Lampung, seperti Gedong Dalam (Sukadana), Wonosobo dan sebagainya. Antara tahun 1905—1915 proghram kolonisasi diserahkan dan dipimpin oleh asisten wedana. Akan tetapi sejak tahun 1915 program kolonisasi di Lampung dipimpin oleh administrator bank. Dan, system kolonisasi pun diganti dengan system yang baru yaitu system utang.
Kolonisasi Bengkulu
Pada tahun 1905 diadakanlah pembicara antara pemerintah dengan resideng Bengkulu tentang perconaan pengiriman kolonis ke wilayah itu. Daerah yang dipilih adalah daerah Rejang Lebong sekitar 4 pal jaraknya dari tanah konsesi maskapai tambang Rejang Lebong.
Dari hasil penelitian dio daerah Bengkulu (Rejang), maka pada tahun 1908 kontrolir Kepahiang DG Hoeyer bersama dengan beberapa kepala marga (pasirah) mengajukan usul kolonisasi ke daerah Bengkulu. Dengan tujuan, agar ilmu yang tinggi dibidang pertanian masyarakat Jawa akan dapat memajukan daerah Bengkulu. Usulan itu diterima oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1909 dikirimkanlah kolonis pertama ke daerah kepahiang. Para kolonis yang dikirim itu berasal dari daerah Bogor dan Periangan. Program itu berhasil dengan baik sekali. Maka, ke luarlah beslit No 17 tanggal 25 Januari 1909 dengan menyerahkan uang f 20.000,- sebagian uang itu untuk membantu kas marga (restitutie). Sebagian lagi untuk biaya pemindahan para kolonis dari daerah Pesundan ke Kepahiang.
Kemudian, 1909 itu juga dibuka 3 (tiga) desa kolonisasi di daerah rejang, yaitu Permu, Air Sompiang dan Talang Benih. Para kolonis yang pandai bercocok tanam itu, di daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan masalah kesehatan. Oleh karena itu tanggal 20 Desember 1910 ke luarlah beslit No 23 yang isinya pemerintah menyediakan anggaran sebesar f 5.000,-untuk memindahkan kolonis suku Jawa ke daerah dekat Muara Aman (Lebong) dan f 3.000,-biaya untuk perbaikan saluran air yang melalui daerah itu.
Keadaan para kolonis di daerah Lebong lebih baik daripadfa keadaan kolonis di daerah Permu, Air Sompeang dan Talang Benih. Pada tahun 1911 pemerintah mendatangkan lagi kolonis dari JawaTengah dan Periangan yang ditempatkan di Sukabumi, dekat Muara Aman.
Tahun 1912 beberapa kolonis di Sukabumi dikirim ke Jawa, untuk mencari para kolonis baru yang akan diberangkatkan ke daerah Lebong. Sampai tahun 1915 di daerah Rejang sudah terdapat 791 jiwa kolonis dan di daerah Lebong sebanyak 268 jiwa kolonis. Pada tahun 1919 pemerintah membuka lagi daerah kolonisasi di Lebong yang diberi nama Magelang Baru. Keadaan para kolonis di Sukabumi dan Magelang Baru di Lebong itu keadaannya sangat baik dan sejahtera.
Para kolonis itu awalnya bekerja di kebun-kebun milik orang lain, kemudian setelah kebun-kebun kopi mereka berhasil. Mereka pun memperluas areal perkebunan dengan cara yang lebih baik lagi. Dalam tahun 1930 Bank Rayat di Lebong menyediakan uang sebesar f 5.000,-untuk pemindahan 43 keluarga kolonis dari daerah keresidenan Banyumas (Jawa Tengah). Para kolonis itu ditempatkan di dekat Kota Bengkulu 10 keluarga, Perbo 35 keluarga, di Perbo sudah tersedia tanah seluas 200 bau yang siap dikerjakan dan diairi.
Antara bulan Februari—Maret 1931 di daerah Perbo didatangkan lagi (ditempatkan) 600 jiwa kolonis. Mereka terdiri dari korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Kemudian ditempatkan lagi di Rejang kolonis dari Begelen sebanyak 150 jiwa. Pembukaan lahan-lahan kolonisasi terus dilakukan. Pada tahun 1932 di sebelah Timur Curup yaitu di Pelalo didatangkan lagi kolonis berasal dari Blitar (Jawa Timur), yang kedudukan mereka berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah.
Kolonisasi-kolonisasi baru tersu dibuka oleh pemerintah. Pada tahun 1935 pmerintah membuka daerah kolonisasi baru bernama Lubuk Mampo sebanyak 200 keluarga yang berasal dari buruh kontrak di Jawa. Untuk anggaran pengiriman biaya para kolonis itu ditanggung oleh Departemen Kehakiman.
Sebab, setelah tahun 1935 pemerintah meletakkan kewajiban pada kolonis untuk membayar ongkos pemindahan f 12,50 setiap keluarga. Sebagai balasannya, para kolonis untuk 1 keluarga mendapat 1 bau pekarangan dan 1 bau tanah sawah. Tanah-tanah itu dapat diperluas sekuat mereka mengerjakannya. Maka, ketika mereka panen sangat membutuhkan tenaga bawon.
Akhir tahun 1938 luas tanah yang sudah ditanami mencapai 1.766 bau, sedangkan sampai tahun 1939 luas areal sawah sudah mencapai 1.600 bau. Hasil panennya di Rejang Lebong mencapai 20—29 kwintal padi kering per hektar. Di Kemumu hasil lading sekitar 24 kwintal per hektar dan di Perbo 19 kwintal per hektar padi kering. Sedangkan hasil sawahnya antara 12 kwintal—44 kwintal per hektar padi kering.
Tanah kolonisasi di Kemumu luasnya mencapai 1.200 bau yang sangat cocok untuk dijadikan lahan sawah. Dari tanah seluas itu, 200 baunya sudah ditanami dan 396 bau tahun 1940 dibagikan lagi. Di antaranya 90 bau untuk tanah pekarangan para kolonis.
Di Perbo luas tanah sawah kolonis 456,5 bau yang telah dibagikan kepada 445 keluarga (1.752 jiwa). Pembagiannya adalah 301,5 bau yang sudah ditanami, sisanya 112 bau dibagikan lagi kepada keluarga kolonis. Untuk tanah pekarangan yang sudah dibagikan mencapai luas 120 bau. Untuk keluarga kolonis yang baru dating mendapat bantuan bahan makanan selama 1 minggu. Selanjutnya mereka akan mendapat hasil dari upahan di sawah milik kolonis yang sudah lama menetap. Para kolonis yang baru, setelah 1—4 bulan sudah dapat memetik hasil berupa palawija yang ditanam di lahan-lahan yang sudah dibagikan.
Hasil Pertanian 1939
(per hektar )
daerah padi sawah padi lading
kolonisasi dalam kwintal dalam kwintal
Kemumu 25 29
Perbo 17 16
Rejang Lebong 17 18
Biasanya keluarga kolonis sehabis panen padi sawah atau lading menanam palawija yang hasilnya sangat baik. Mereka menghasilkan kacang 6,5 kwintal per hektar, kacang kedelai 7 kwintyal per hektar.
Akhir tahun 1940 di Kemumu jumlah keluarga kolonisasi sebanyak 281 KK atau 1.396 jiwa dan di Perbo 445 KK atau 1.792 jiwa. Sedangkan jumlah kolonis di seluruh keresidenan Bengkulu akhir tahun 1940 berjumlah 7.443 jiwa (orang), diantaranya 4.295 orang (kl. 1.273 keluarga) menetap di Rejang Lebong yang telah membuka 1.685 bau tanah.
Setelah pecah perang dunia ke II (PD II), di daerah keresidenan Bengkulu belum ada keluarga kolonis yang besar. Namun, kehadiran para kolonis di Bengkulu, khususnya di Kepahiang, Curup dan Muara Aman dan sekitarnya banyak memberikan aspirasi kepada penduduk asli Rejang tentang tata cara bertani dan lainnya.
Program kolonisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1905—1941, kemudian ketika Indonesia sudah merdeka. Maka program kolonisasi itu diganti namanya menjadi program transmigrasi yang mulai diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1950—1951.
Namun di daerah Bengkulu pengiriman transmigrasi tidak seperti di daerah lainnya di Indonesia, seperti ke Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi, Maluku. Program transmigrasi pemerintah RI merupakan pemindahan keluarga dari Jawa ke luar pulau Jawa.
Untuk daerah Bengkulu, antara tahun 1980—1985 diadakan program transmigrasi yang ditempatkan di Mangkurajo. Suatu daerah pegunungan antara Desa Kotadonok dan Sawah Mangkurajo atau di jalan menuju ke Tambang emas Lebong Simpang. Program transmigrasi di Mangkurajo itu diadakan saat Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir.
Penempatan keluarga trans di Mangkurajo memang tidak berjalan mulus. Hampir 40 % keluarga trans meningggalkan daerah pemukimannya. Hanya di bagian Barat mendekati daerah Bioa Puak (Air Pauh) keadaan keluarga trans agak baik dan sukses. Sampai sekarang mereka sudah berhasil menggarap lahan yang sudah mereka terima, bahkan sudah dapat menambah luas lahan untuk perkebunan kopi dan tanaman lainnya.
Kesulitannya hanya masalah air. Karena, letak lokasi transmigrasi di Mangkurajo itu berada di atas bukit barisan yang cukup tinggi di atas permukaan laut. Walaupun di kaki bukit barisan (buki Mangkurajo) terdapat aliran sungai (Bioa) yang disebut Bioa Puak (Air Pauh), Bioa Putiak (Air Putih), Bioa Tamang, Bioa Tiket, Bioa Telang dan sungai-sungai kecil lainnya.
Sejarah Transmigrasi di Bengkulu
Sejarah Transmigrasi di Bengkulu
Oleh Naim Emel Prahana
Pendahuluan
Awal abad ke XX di Indonesia (Hindia Belanda) ramai diberitakan tentang kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Dengan adanya kelebihan penduduk tersebut, dikhawatirkan munculnya persoalan-persoalan serius mengenai kelaparan yang akhirnya membuat rakyat menjadi melarat.
Pada September 1902 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan instruksi kepada Asisten Residen Sukabumi, HG Heyting dengan beslit (surat) No 17 tanggal 30 September 1902. dalam surat itu diminta Asisten Residen Sukabumi untuk mempelajari secermat mungkin untuk memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke daerah seberang (ke pulau-pulau yang ada di luar Pulau Jawa).
Desember 1902, Asisten Residen Sukabumi, Heyting mengeluarkan rancangan anggaran belanja untuk penyelenggaraan perpindahan penduduk atau waktu itu disebut dengan kolonisasi, sedangkan pendudukan (rakyat) yang akan dipindahkan disebut dengan nama kolonis. Anggaran belanja itu akan dipergunakan untuk memindahkan penduduk dari 5 daerah di pulau Jawa ke 5 daerah di luar pulau Jawa. Anggaran belanjanya direncanakan sebesar f 7 miliun.
Akan tetapi, rencana itu belum dilaksanakan, karena pemerintah Belanda hanya menginginkan perpindahan pendudukan itu untuk satu daerah saja dan itu sebagai percobaan programn kolonisasi. Akibatnya, Heyting kembali mengajukan usulan, agar diadakan program percobaan kolonisasi (transmigrasi). Program itu tidak mengirimkan kolonis ke luar pulau Jawa melainkan perpindahan penduduk dari daerah Kedu ke selatan, yaitu ke Banyuwangi pada tahun 1905.
Boleh jadi, Heyting adalah tokoh transmigrasi (kolonisasi) di Indonesia. Walau demikian keputusan parlemen Belanda (Tweede Kamer) 1904 yang mengutus 2 (duia ) anggotanya ke Hindia Belanda, yaitu Cramer dan Fock . Perpindahan pendudukan dari daerah Kedu dan Madura ke Banyuwangi yang tak pernah terlaksanya, telah memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah Hiandia Belanda. Terutama efektivitas penggunaan anggaran untuk mengirim para kolonis ke luar Jawa.
Cramer dan Fock sangat setuju jika perpidahan penduduk itu diarahkan dari Jawa ke luar Jawa. Sebab, program kolonisasi dari Kedua ke Banyuwangi diperintahkan untuk dihentikan.
Maka, tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda memulai program kolonisasi ke Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan Palembang. Namun, setelah dipertimbangkan, maka program kolonisasi pertama dilakukan ke Telukbetung (Lampung)—tepatnya di Gedong Tataan (dalam wilayah keresidenan Lampung).
Program kolonisasi tahun 1905 ke Gedong Tataan itu, kemudian disusul ke daerah-daerah lain di Lampung, seperti Gedong Dalam (Sukadana), Wonosobo dan sebagainya. Antara tahun 1905—1915 proghram kolonisasi diserahkan dan dipimpin oleh asisten wedana. Akan tetapi sejak tahun 1915 program kolonisasi di Lampung dipimpin oleh administrator bank. Dan, system kolonisasi pun diganti dengan system yang baru yaitu system utang.
Kolonisasi Bengkulu
Pada tahun 1905 diadakanlah pembicara antara pemerintah dengan resideng Bengkulu tentang perconaan pengiriman kolonis ke wilayah itu. Daerah yang dipilih adalah daerah Rejang Lebong sekitar 4 pal jaraknya dari tanah konsesi maskapai tambang Rejang Lebong.
Dari hasil penelitian dio daerah Bengkulu (Rejang), maka pada tahun 1908 kontrolir Kepahiang DG Hoeyer bersama dengan beberapa kepala marga (pasirah) mengajukan usul kolonisasi ke daerah Bengkulu. Dengan tujuan, agar ilmu yang tinggi dibidang pertanian masyarakat Jawa akan dapat memajukan daerah Bengkulu. Usulan itu diterima oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1909 dikirimkanlah kolonis pertama ke daerah kepahiang. Para kolonis yang dikirim itu berasal dari daerah Bogor dan Periangan. Program itu berhasil dengan baik sekali. Maka, ke luarlah beslit No 17 tanggal 25 Januari 1909 dengan menyerahkan uang f 20.000,- sebagian uang itu untuk membantu kas marga (restitutie). Sebagian lagi untuk biaya pemindahan para kolonis dari daerah Pesundan ke Kepahiang.
Kemudian, 1909 itu juga dibuka 3 (tiga) desa kolonisasi di daerah rejang, yaitu Permu, Air Sompiang dan Talang Benih. Para kolonis yang pandai bercocok tanam itu, di daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan masalah kesehatan. Oleh karena itu tanggal 20 Desember 1910 ke luarlah beslit No 23 yang isinya pemerintah menyediakan anggaran sebesar f 5.000,-untuk memindahkan kolonis suku Jawa ke daerah dekat Muara Aman (Lebong) dan f 3.000,-biaya untuk perbaikan saluran air yang melalui daerah itu.
Keadaan para kolonis di daerah Lebong lebih baik daripadfa keadaan kolonis di daerah Permu, Air Sompeang dan Talang Benih. Pada tahun 1911 pemerintah mendatangkan lagi kolonis dari JawaTengah dan Periangan yang ditempatkan di Sukabumi, dekat Muara Aman.
Tahun 1912 beberapa kolonis di Sukabumi dikirim ke Jawa, untuk mencari para kolonis baru yang akan diberangkatkan ke daerah Lebong. Sampai tahun 1915 di daerah Rejang sudah terdapat 791 jiwa kolonis dan di daerah Lebong sebanyak 268 jiwa kolonis. Pada tahun 1919 pemerintah membuka lagi daerah kolonisasi di Lebong yang diberi nama Magelang Baru. Keadaan para kolonis di Sukabumi dan Magelang Baru di Lebong itu keadaannya sangat baik dan sejahtera.
Para kolonis itu awalnya bekerja di kebun-kebun milik orang lain, kemudian setelah kebun-kebun kopi mereka berhasil. Mereka pun memperluas areal perkebunan dengan cara yang lebih baik lagi. Dalam tahun 1930 Bank Rayat di Lebong menyediakan uang sebesar f 5.000,-untuk pemindahan 43 keluarga kolonis dari daerah keresidenan Banyumas (Jawa Tengah). Para kolonis itu ditempatkan di dekat Kota Bengkulu 10 keluarga, Perbo 35 keluarga, di Perbo sudah tersedia tanah seluas 200 bau yang siap dikerjakan dan diairi.
Antara bulan Februari—Maret 1931 di daerah Perbo didatangkan lagi (ditempatkan) 600 jiwa kolonis. Mereka terdiri dari korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Kemudian ditempatkan lagi di Rejang kolonis dari Begelen sebanyak 150 jiwa. Pembukaan lahan-lahan kolonisasi terus dilakukan. Pada tahun 1932 di sebelah Timur Curup yaitu di Pelalo didatangkan lagi kolonis berasal dari Blitar (Jawa Timur), yang kedudukan mereka berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah.
Kolonisasi-kolonisasi baru tersu dibuka oleh pemerintah. Pada tahun 1935 pmerintah membuka daerah kolonisasi baru bernama Lubuk Mampo sebanyak 200 keluarga yang berasal dari buruh kontrak di Jawa. Untuk anggaran pengiriman biaya para kolonis itu ditanggung oleh Departemen Kehakiman.
Sebab, setelah tahun 1935 pemerintah meletakkan kewajiban pada kolonis untuk membayar ongkos pemindahan f 12,50 setiap keluarga. Sebagai balasannya, para kolonis untuk 1 keluarga mendapat 1 bau pekarangan dan 1 bau tanah sawah. Tanah-tanah itu dapat diperluas sekuat mereka mengerjakannya. Maka, ketika mereka panen sangat membutuhkan tenaga bawon.
Akhir tahun 1938 luas tanah yang sudah ditanami mencapai 1.766 bau, sedangkan sampai tahun 1939 luas areal sawah sudah mencapai 1.600 bau. Hasil panennya di Rejang Lebong mencapai 20—29 kwintal padi kering per hektar. Di Kemumu hasil lading sekitar 24 kwintal per hektar dan di Perbo 19 kwintal per hektar padi kering. Sedangkan hasil sawahnya antara 12 kwintal—44 kwintal per hektar padi kering.
Tanah kolonisasi di Kemumu luasnya mencapai 1.200 bau yang sangat cocok untuk dijadikan lahan sawah. Dari tanah seluas itu, 200 baunya sudah ditanami dan 396 bau tahun 1940 dibagikan lagi. Di antaranya 90 bau untuk tanah pekarangan para kolonis.
Di Perbo luas tanah sawah kolonis 456,5 bau yang telah dibagikan kepada 445 keluarga (1.752 jiwa). Pembagiannya adalah 301,5 bau yang sudah ditanami, sisanya 112 bau dibagikan lagi kepada keluarga kolonis. Untuk tanah pekarangan yang sudah dibagikan mencapai luas 120 bau. Untuk keluarga kolonis yang baru dating mendapat bantuan bahan makanan selama 1 minggu. Selanjutnya mereka akan mendapat hasil dari upahan di sawah milik kolonis yang sudah lama menetap. Para kolonis yang baru, setelah 1—4 bulan sudah dapat memetik hasil berupa palawija yang ditanam di lahan-lahan yang sudah dibagikan.
Hasil Pertanian 1939
(per hektar )
daerah padi sawah padi lading
kolonisasi dalam kwintal dalam kwintal
Kemumu 25 29
Perbo 17 16
Rejang Lebong 17 18
Biasanya keluarga kolonis sehabis panen padi sawah atau lading menanam palawija yang hasilnya sangat baik. Mereka menghasilkan kacang 6,5 kwintal per hektar, kacang kedelai 7 kwintyal per hektar.
Akhir tahun 1940 di Kemumu jumlah keluarga kolonisasi sebanyak 281 KK atau 1.396 jiwa dan di Perbo 445 KK atau 1.792 jiwa. Sedangkan jumlah kolonis di seluruh keresidenan Bengkulu akhir tahun 1940 berjumlah 7.443 jiwa (orang), diantaranya 4.295 orang (kl. 1.273 keluarga) menetap di Rejang Lebong yang telah membuka 1.685 bau tanah.
Setelah pecah perang dunia ke II (PD II), di daerah keresidenan Bengkulu belum ada keluarga kolonis yang besar. Namun, kehadiran para kolonis di Bengkulu, khususnya di Kepahiang, Curup dan Muara Aman dan sekitarnya banyak memberikan aspirasi kepada penduduk asli Rejang tentang tata cara bertani dan lainnya.
Program kolonisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1905—1941, kemudian ketika Indonesia sudah merdeka. Maka program kolonisasi itu diganti namanya menjadi program transmigrasi yang mulai diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1950—1951.
Namun di daerah Bengkulu pengiriman transmigrasi tidak seperti di daerah lainnya di Indonesia, seperti ke Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi, Maluku. Program transmigrasi pemerintah RI merupakan pemindahan keluarga dari Jawa ke luar pulau Jawa.
Untuk daerah Bengkulu, antara tahun 1980—1985 diadakan program transmigrasi yang ditempatkan di Mangkurajo. Suatu daerah pegunungan antara Desa Kotadonok dan Sawah Mangkurajo atau di jalan menuju ke Tambang emas Lebong Simpang. Program transmigrasi di Mangkurajo itu diadakan saat Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir.
Penempatan keluarga trans di Mangkurajo memang tidak berjalan mulus. Hampir 40 % keluarga trans meningggalkan daerah pemukimannya. Hanya di bagian Barat mendekati daerah Bioa Puak (Air Pauh) keadaan keluarga trans agak baik dan sukses. Sampai sekarang mereka sudah berhasil menggarap lahan yang sudah mereka terima, bahkan sudah dapat menambah luas lahan untuk perkebunan kopi dan tanaman lainnya.
Kesulitannya hanya masalah air. Karena, letak lokasi transmigrasi di Mangkurajo itu berada di atas bukit barisan yang cukup tinggi di atas permukaan laut. Walaupun di kaki bukit barisan (buki Mangkurajo) terdapat aliran sungai (Bioa) yang disebut Bioa Puak (Air Pauh), Bioa Putiak (Air Putih), Bioa Tamang, Bioa Tiket, Bioa Telang dan sungai-sungai kecil lainnya.
Oleh Naim Emel Prahana
Pendahuluan
Awal abad ke XX di Indonesia (Hindia Belanda) ramai diberitakan tentang kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Dengan adanya kelebihan penduduk tersebut, dikhawatirkan munculnya persoalan-persoalan serius mengenai kelaparan yang akhirnya membuat rakyat menjadi melarat.
Pada September 1902 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan instruksi kepada Asisten Residen Sukabumi, HG Heyting dengan beslit (surat) No 17 tanggal 30 September 1902. dalam surat itu diminta Asisten Residen Sukabumi untuk mempelajari secermat mungkin untuk memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke daerah seberang (ke pulau-pulau yang ada di luar Pulau Jawa).
Desember 1902, Asisten Residen Sukabumi, Heyting mengeluarkan rancangan anggaran belanja untuk penyelenggaraan perpindahan penduduk atau waktu itu disebut dengan kolonisasi, sedangkan pendudukan (rakyat) yang akan dipindahkan disebut dengan nama kolonis. Anggaran belanja itu akan dipergunakan untuk memindahkan penduduk dari 5 daerah di pulau Jawa ke 5 daerah di luar pulau Jawa. Anggaran belanjanya direncanakan sebesar f 7 miliun.
Akan tetapi, rencana itu belum dilaksanakan, karena pemerintah Belanda hanya menginginkan perpindahan pendudukan itu untuk satu daerah saja dan itu sebagai percobaan programn kolonisasi. Akibatnya, Heyting kembali mengajukan usulan, agar diadakan program percobaan kolonisasi (transmigrasi). Program itu tidak mengirimkan kolonis ke luar pulau Jawa melainkan perpindahan penduduk dari daerah Kedu ke selatan, yaitu ke Banyuwangi pada tahun 1905.
Boleh jadi, Heyting adalah tokoh transmigrasi (kolonisasi) di Indonesia. Walau demikian keputusan parlemen Belanda (Tweede Kamer) 1904 yang mengutus 2 (duia ) anggotanya ke Hindia Belanda, yaitu Cramer dan Fock . Perpindahan pendudukan dari daerah Kedu dan Madura ke Banyuwangi yang tak pernah terlaksanya, telah memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah Hiandia Belanda. Terutama efektivitas penggunaan anggaran untuk mengirim para kolonis ke luar Jawa.
Cramer dan Fock sangat setuju jika perpidahan penduduk itu diarahkan dari Jawa ke luar Jawa. Sebab, program kolonisasi dari Kedua ke Banyuwangi diperintahkan untuk dihentikan.
Maka, tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda memulai program kolonisasi ke Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan Palembang. Namun, setelah dipertimbangkan, maka program kolonisasi pertama dilakukan ke Telukbetung (Lampung)—tepatnya di Gedong Tataan (dalam wilayah keresidenan Lampung).
Program kolonisasi tahun 1905 ke Gedong Tataan itu, kemudian disusul ke daerah-daerah lain di Lampung, seperti Gedong Dalam (Sukadana), Wonosobo dan sebagainya. Antara tahun 1905—1915 proghram kolonisasi diserahkan dan dipimpin oleh asisten wedana. Akan tetapi sejak tahun 1915 program kolonisasi di Lampung dipimpin oleh administrator bank. Dan, system kolonisasi pun diganti dengan system yang baru yaitu system utang.
Kolonisasi Bengkulu
Pada tahun 1905 diadakanlah pembicara antara pemerintah dengan resideng Bengkulu tentang perconaan pengiriman kolonis ke wilayah itu. Daerah yang dipilih adalah daerah Rejang Lebong sekitar 4 pal jaraknya dari tanah konsesi maskapai tambang Rejang Lebong.
Dari hasil penelitian dio daerah Bengkulu (Rejang), maka pada tahun 1908 kontrolir Kepahiang DG Hoeyer bersama dengan beberapa kepala marga (pasirah) mengajukan usul kolonisasi ke daerah Bengkulu. Dengan tujuan, agar ilmu yang tinggi dibidang pertanian masyarakat Jawa akan dapat memajukan daerah Bengkulu. Usulan itu diterima oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1909 dikirimkanlah kolonis pertama ke daerah kepahiang. Para kolonis yang dikirim itu berasal dari daerah Bogor dan Periangan. Program itu berhasil dengan baik sekali. Maka, ke luarlah beslit No 17 tanggal 25 Januari 1909 dengan menyerahkan uang f 20.000,- sebagian uang itu untuk membantu kas marga (restitutie). Sebagian lagi untuk biaya pemindahan para kolonis dari daerah Pesundan ke Kepahiang.
Kemudian, 1909 itu juga dibuka 3 (tiga) desa kolonisasi di daerah rejang, yaitu Permu, Air Sompiang dan Talang Benih. Para kolonis yang pandai bercocok tanam itu, di daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan masalah kesehatan. Oleh karena itu tanggal 20 Desember 1910 ke luarlah beslit No 23 yang isinya pemerintah menyediakan anggaran sebesar f 5.000,-untuk memindahkan kolonis suku Jawa ke daerah dekat Muara Aman (Lebong) dan f 3.000,-biaya untuk perbaikan saluran air yang melalui daerah itu.
Keadaan para kolonis di daerah Lebong lebih baik daripadfa keadaan kolonis di daerah Permu, Air Sompeang dan Talang Benih. Pada tahun 1911 pemerintah mendatangkan lagi kolonis dari JawaTengah dan Periangan yang ditempatkan di Sukabumi, dekat Muara Aman.
Tahun 1912 beberapa kolonis di Sukabumi dikirim ke Jawa, untuk mencari para kolonis baru yang akan diberangkatkan ke daerah Lebong. Sampai tahun 1915 di daerah Rejang sudah terdapat 791 jiwa kolonis dan di daerah Lebong sebanyak 268 jiwa kolonis. Pada tahun 1919 pemerintah membuka lagi daerah kolonisasi di Lebong yang diberi nama Magelang Baru. Keadaan para kolonis di Sukabumi dan Magelang Baru di Lebong itu keadaannya sangat baik dan sejahtera.
Para kolonis itu awalnya bekerja di kebun-kebun milik orang lain, kemudian setelah kebun-kebun kopi mereka berhasil. Mereka pun memperluas areal perkebunan dengan cara yang lebih baik lagi. Dalam tahun 1930 Bank Rayat di Lebong menyediakan uang sebesar f 5.000,-untuk pemindahan 43 keluarga kolonis dari daerah keresidenan Banyumas (Jawa Tengah). Para kolonis itu ditempatkan di dekat Kota Bengkulu 10 keluarga, Perbo 35 keluarga, di Perbo sudah tersedia tanah seluas 200 bau yang siap dikerjakan dan diairi.
Antara bulan Februari—Maret 1931 di daerah Perbo didatangkan lagi (ditempatkan) 600 jiwa kolonis. Mereka terdiri dari korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Kemudian ditempatkan lagi di Rejang kolonis dari Begelen sebanyak 150 jiwa. Pembukaan lahan-lahan kolonisasi terus dilakukan. Pada tahun 1932 di sebelah Timur Curup yaitu di Pelalo didatangkan lagi kolonis berasal dari Blitar (Jawa Timur), yang kedudukan mereka berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah.
Kolonisasi-kolonisasi baru tersu dibuka oleh pemerintah. Pada tahun 1935 pmerintah membuka daerah kolonisasi baru bernama Lubuk Mampo sebanyak 200 keluarga yang berasal dari buruh kontrak di Jawa. Untuk anggaran pengiriman biaya para kolonis itu ditanggung oleh Departemen Kehakiman.
Sebab, setelah tahun 1935 pemerintah meletakkan kewajiban pada kolonis untuk membayar ongkos pemindahan f 12,50 setiap keluarga. Sebagai balasannya, para kolonis untuk 1 keluarga mendapat 1 bau pekarangan dan 1 bau tanah sawah. Tanah-tanah itu dapat diperluas sekuat mereka mengerjakannya. Maka, ketika mereka panen sangat membutuhkan tenaga bawon.
Akhir tahun 1938 luas tanah yang sudah ditanami mencapai 1.766 bau, sedangkan sampai tahun 1939 luas areal sawah sudah mencapai 1.600 bau. Hasil panennya di Rejang Lebong mencapai 20—29 kwintal padi kering per hektar. Di Kemumu hasil lading sekitar 24 kwintal per hektar dan di Perbo 19 kwintal per hektar padi kering. Sedangkan hasil sawahnya antara 12 kwintal—44 kwintal per hektar padi kering.
Tanah kolonisasi di Kemumu luasnya mencapai 1.200 bau yang sangat cocok untuk dijadikan lahan sawah. Dari tanah seluas itu, 200 baunya sudah ditanami dan 396 bau tahun 1940 dibagikan lagi. Di antaranya 90 bau untuk tanah pekarangan para kolonis.
Di Perbo luas tanah sawah kolonis 456,5 bau yang telah dibagikan kepada 445 keluarga (1.752 jiwa). Pembagiannya adalah 301,5 bau yang sudah ditanami, sisanya 112 bau dibagikan lagi kepada keluarga kolonis. Untuk tanah pekarangan yang sudah dibagikan mencapai luas 120 bau. Untuk keluarga kolonis yang baru dating mendapat bantuan bahan makanan selama 1 minggu. Selanjutnya mereka akan mendapat hasil dari upahan di sawah milik kolonis yang sudah lama menetap. Para kolonis yang baru, setelah 1—4 bulan sudah dapat memetik hasil berupa palawija yang ditanam di lahan-lahan yang sudah dibagikan.
Hasil Pertanian 1939
(per hektar )
daerah padi sawah padi lading
kolonisasi dalam kwintal dalam kwintal
Kemumu 25 29
Perbo 17 16
Rejang Lebong 17 18
Biasanya keluarga kolonis sehabis panen padi sawah atau lading menanam palawija yang hasilnya sangat baik. Mereka menghasilkan kacang 6,5 kwintal per hektar, kacang kedelai 7 kwintyal per hektar.
Akhir tahun 1940 di Kemumu jumlah keluarga kolonisasi sebanyak 281 KK atau 1.396 jiwa dan di Perbo 445 KK atau 1.792 jiwa. Sedangkan jumlah kolonis di seluruh keresidenan Bengkulu akhir tahun 1940 berjumlah 7.443 jiwa (orang), diantaranya 4.295 orang (kl. 1.273 keluarga) menetap di Rejang Lebong yang telah membuka 1.685 bau tanah.
Setelah pecah perang dunia ke II (PD II), di daerah keresidenan Bengkulu belum ada keluarga kolonis yang besar. Namun, kehadiran para kolonis di Bengkulu, khususnya di Kepahiang, Curup dan Muara Aman dan sekitarnya banyak memberikan aspirasi kepada penduduk asli Rejang tentang tata cara bertani dan lainnya.
Program kolonisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1905—1941, kemudian ketika Indonesia sudah merdeka. Maka program kolonisasi itu diganti namanya menjadi program transmigrasi yang mulai diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1950—1951.
Namun di daerah Bengkulu pengiriman transmigrasi tidak seperti di daerah lainnya di Indonesia, seperti ke Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi, Maluku. Program transmigrasi pemerintah RI merupakan pemindahan keluarga dari Jawa ke luar pulau Jawa.
Untuk daerah Bengkulu, antara tahun 1980—1985 diadakan program transmigrasi yang ditempatkan di Mangkurajo. Suatu daerah pegunungan antara Desa Kotadonok dan Sawah Mangkurajo atau di jalan menuju ke Tambang emas Lebong Simpang. Program transmigrasi di Mangkurajo itu diadakan saat Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir.
Penempatan keluarga trans di Mangkurajo memang tidak berjalan mulus. Hampir 40 % keluarga trans meningggalkan daerah pemukimannya. Hanya di bagian Barat mendekati daerah Bioa Puak (Air Pauh) keadaan keluarga trans agak baik dan sukses. Sampai sekarang mereka sudah berhasil menggarap lahan yang sudah mereka terima, bahkan sudah dapat menambah luas lahan untuk perkebunan kopi dan tanaman lainnya.
Kesulitannya hanya masalah air. Karena, letak lokasi transmigrasi di Mangkurajo itu berada di atas bukit barisan yang cukup tinggi di atas permukaan laut. Walaupun di kaki bukit barisan (buki Mangkurajo) terdapat aliran sungai (Bioa) yang disebut Bioa Puak (Air Pauh), Bioa Putiak (Air Putih), Bioa Tamang, Bioa Tiket, Bioa Telang dan sungai-sungai kecil lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)