Oleh Naim Emel Prahana
SUHU dingin masih tetap menyelimuti daerah Lebong pada umumnya, khususnya di beberapa desa yang berada di lereng bukit pegunungan Bukit Barisan, seperti Air Dingin, Rimbo Pengadsang, Tikuto, Talangratu, Trans Mangkurajo, Sawahmangkurajo dan Kotadonok. Curah hujang yang tetap tinggi memang secara permanent tidak menghambat aktivitas masyarakat. Namun, secara langsung mengurangi beberapa aspek kehidupan.
Secara umum Kutei Donok (Desa Donok/Tengah) yang sekarang lebih populer disebut Desa Kotadonok mengalami mengalami kemunduran dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun ada proses pembangunan infrastruktur, itupun tidak membawa desa dan masyarakat Kotadonok lebih maju dibandingkan desa-desa lain.
Pemukiman
Pertambahan jumlah rumah penduduk tidak signifikan, bahkan banyak rumah-rumah lama (tua) yang terbengkalai. Pertambahan bangunan rumah yang ada, masih memanfaatkan pekarangan rumah-rumah lama. Rumah-rumah yang dibangun 5 tahun terakhir pada uymumnya berukuran kecil dan sangat sederhana. Hal itu dimungkinkan karena tingkat kemiskinan di desa itu semakin meningkat. Terutama setelah Lebong menjadi kabupaten konservasi tahun 1999.
Penduduk Desa Kotadonok masih mengalami beberapa kesulitan, air bersih. Walau sumber air dari sungai-sungai kecil (bioa tik) masih melimpah ruah dari pegunungan yang melingkari Desa Kotadonok. Namun, kebersihan sumber air sangat tidak menjamin dari segi kesehatan. Bahkan, keberadaan PAM (perusahaan air minum) swasta tidak banyak membantu penduduk untuk memperoleh air bersih. Karena, biaya penyambungan dan taruifnya sangat mahal, tidak terjangkau oleh penduduk Kotadonok.
Lingkungan pemukiman penduduk di Kotadonok (Kotadonok I dan Kotadonok II/Sukasari) ternyata semakin kumuh. Sampah berserakan di depan rumah, di pinggir jalan, dan saluran air di sisi jalan banyak yang tersumbat akibat pembuangan sampah sembarangan oleh penduduk serta tertutup oleh timbunan tanah galian; baik ketika pembangunan (pengaspalan) jalan maupun longsor. Desa Kotadonok seperti desa yang tidak terurus. Berbagai kesulitan menghadang dan dialami oleh penduduknya.
Bangunan-bangunan bersejarah, seperti rumah kediaman pribadi mantan gubernur Sumatera Selatan, M Husein, rumah pangeran Kotadonok, Balai Desa, Balai Pertemuan, Masjid Nurul Iman dan deretan rumah-rumah tua di kawasan Peken (Pekan) Kotadonok, termasuk bangunan SDN 1 (SD tertua). Masyarakat atau penduduk Kotadonok yang mayoritas sukubangsa Rejang asli sebagaimana karakter umum sukubangsa Rejang tergoilong masyarakat yang pemalas dan terbecah belah akibat pandangan hidup dari pengaruh peradaban masyarakat luar (misalnya masyarakat kota).
Desa dan masyarakat pelopor kemajuan di Rejang Lebong itu, kini semakin memperihatinkan. Tradisi positif (adat istiadat) yang selama ini menyelamatkan masyarakat Kotadonok, kini sudah ditinggalkan. Baik dari kalangan tua maupun dari kalangan anak, remaja dan generasi muda pada umumnya. Akibat langsung kemunduran itu terjadi terhadap situasi dan kondisi lingkungan pemukiman yang dulunya asri, kini semberawut. Lahan-lahan kosong yang ditinggalkan menjadikan lingkungan desa itu semakin tidak teratur, tidak terawat dan tidak ada upaya pemeiliharaan.
Perebutan lahan pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan memicu sengketa antar keluarga dan kerabat. Penggerusan tebing-tebing dilakukan oleh keluarga-keluarga dengan status sosial lebih baik dibandingkan dengan penduduk lainnya. Penggerusan tebing-tebing untuk menambah luasnya pekarangan rumah tersebut mengakibatkan terjadinya pencaplokan tanah milik penduduk lainnya. Pencaplokan tanah milik penduduk lainnya pernah dilakukan oleh keluarga almarhum Kamaludin yang mencaplok tanah tebing milik keluarga H Aburuddin mengakibatkan tiang rumah tua milik H Aburudin berada di sisi tebing dan jurang. Setiap saat akan roboh karena pengerukan tanah.
Hal yang sama dilakukan pula oleh keluarga Zainab—Amin yang melebarkan luas pekarangan rumahnya dengan mengeruk tebing (tanah) milik keluarga Rahmat dan milik keluarga Meraiji. Solidaritas warga yang tinggi di Kotadonok, menyebabkan penyerobotan tanah seperti itu didiamkan saja. Akan tetapi, dari sisi negatrifnya, pengerukan tanah demikian akan membahayakan rumah yang berada di atas tebing, karena kemungkinan longsor mudah terjadi. Masalahnya kebanyakan rumah-rumah penduduk di Desa Kotadonok dibangun di atas tebing. Baik di sebelah kanan jalan maupun di sebelah kiri jalan.
Untuk menghindari kemungkinan longsor hebat, di desa Kotadonok perlu ditata ulang status tanah dan kepemilikannya. Terutama penataan atau penertiban ulang bangunan yang ada. Sekaligus memberikan manfaat atas perlestarian lingkungan pemukiman dan lingkungan alam.
Kemerosotan pembangunan, penataan dan lingkungan di Desa Kotadonok mulai terasa terjadi sekitar 20 tahun terakhir, apalagi desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang usianya relatif muda dan miskin pengalaman organisasi, sehingga tidak mampu membangun alam pedesaannya yang sudah lama ditata rapih. Saat ini di awal 2009 hampir semua penduduk Kotadonok mengeluhkan kepemimpinan kepala desa mereka. Sayangnya, semua keluhan itu berawal ketika memilih kepala desa yang salah dan akibat money politic saat berlangsungnya pemilihan kepala desa (pilkades).
Dikembalikan Seperti Semula
Banyaknya bangunan lama terbengkalai di desa Kotadonok membuat banyak pihak merasa prihatin, terutama orang Kotadonok yang tinggal di perantauan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya mengembalikan status lahan dan bangunan tua yang memiliki nilai sejarah pada posisi semula.
Bangunan yang harus dikembalikan posisi semulanya adalah Pasar (Pekan) Lama Kotadonok yang sejak 20 tahun silam telah dibangun rumah oleh keluarga almarhum Ramli dan Sairun. Padahal, tanah tempat bangunan rumah itu adalah tanah desa atau tanah marga. Beberapa kali masyarakat menggugat rumah almarhum Ramli yang kini ditempati anaknya, namun selalu gagal karena praktek suami kepada Tuai Kutei, Kepalo Sadei (barap) dan para tokoh masyarakat yang diundang untuk bermusyawarah.
Kemudian kompleks Pekan Kotadonok, lahannya juga sudah dibangun sekolah dasar (SD). Sehingga pemandangan yang ada sangat tidak bagus, apalagi di sekitarnya berdiri bangunan rumah-rumah tua yang dibangun ratusan tahun silam.
Jika keadaannya dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan terjadi konflik antara warga dengan pemilik bangunan rumah. Kekhawatiran itu sudah terlihat beberapa tahun terakhir ini. Terutama di kalangan generasi muda yang masih mencintai alam dan peradaban masyarakatnya yang asli di Kotadonok. Roh Kotadonok yang dulunya begitu terhormat di mata masyarakat luar, kini hanya tinggal kenangan. Kerinduan akan lingkungan perkampoungan dan alam yang asri seperti sampai tahun 1970 hanyalah sebuah impian yang tidak mungkin akan terjadi lagi dan tidak mungkin akan dinikmati anak cucu orang Kotadonok sekarang dan masa akan datang.
Apalagi setelah pemekaran desa Kotadonok menjadi Desa Kotadonok dan desa Sukasari. Desa Sukasari tidak memiliki nilai historis terhadap perjalanan sejarah sukubangsa Rejang di Lebong. Sebab, lokasi desa Sukasari sekarang ini, dulunya bernama Tlang Ja’ang (Talang Jarang). Seharusnya nama Sukasari itu tidak ada dan diganti dengan nama Tlang Ja’ang. Belum ada kata terlambat, sebab penggantian nama Sukasari tinggal keinginan dan kemauan pemerintah kabupaten Lebong.
Substansi nama Sukasari tidak ada sama sekali, sehingga ada kesan pemberian nama Sukasari itu adalah rencana yang terorganisir dan rapih untuk menghapus jejak masyarakat Rejang di Kotadonok. Sebab, tidak ada nilai filosofi sukubangsa Rejang. Tempo dulu sebutan-sebutan untuk beberapa kawasan di Kotadonok memiliki nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi.
Misalnya kawasan Bioa Tiket, Tlang Ja’ang, Pacua Telai, Trang Kekek, Skula Bu’uk, Umeak Peken, Sadei, Ujung Semapak, Bioa Tamang, pondok Lucuk, Tepat Taukem, dan kawasan Mesjid dan lainnya. Semua nama-nama kawasan itu memiliki makna dan nilai sejarah.