Senin, 23 Maret 2009

Bawaslu Usulkan Ketua KPU Lampung Dicopot
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Badan Pengawas Pemilu merekomendasikan Ketua Komisi Pemilihan Umum Lampung Edwin Hanibal diberhentikan terkait rekrutmen KPU tujuh kabupaten/kota tahun lalu.
Bawaslu juga mengusulkan anggota KPU Lampung Pattimura dicopot dalam kasus yang sama. Sementara itu, dua anggota KPU Lampung lain, Nanang Trenggono dan Sholihin, diusulkan agar diperiksa Dewan Kehormatan (DK) KPU karena dianggap turut dalam rapat pleno penetapan anggota KPU kabupaten/kota.
Jika dalam pemeriksaan DK nanti terbukti bersalah, tidak menutup kemungkinan keduanya juga direkomendasikan untuk dicopot. Satu-satunya anggota KPU Lampung yang lolos hanya Handi Mulyaningsih karena pada saat pleno digelar, dosen FISIP Universitas Lampung itu tengah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu Lampung, Desmy Putra Djayasinga, mengatakan rekomendasi itu disampaikan Bawaslu ke KPU Pusat dalam surat Nomor: 092/Bawaslu/III/2009 tanggal 11 Maret 2009. "Edwin Hanibal dan Pattimura diduga melanggar kode etik karena meloloskan calon anggota KPU yang tidak memenuhi syarat," kata dia, Rabu (18-3).
Desmy menyebutkan calon-calon yang lolos sebagai anggota KPU tujuh kabupaten/kota di Lampung diduga terlibat aktif sebagai pengurus partai politik, bukan warga setempat, dan berstatus tersangka. Ketujuh KPU bermasalah itu meliputi Bandar Lampung, Tulangbawang, Pesawaran, Lampung Selatan, Lampung Utara, Way Kanan, dan Metro.
Pembentukan DK KPU
Sesuai dengan Pasal 111 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, DK KPU yang bersifat ad hoc dibentuk untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU dan anggota KPU provinsi. Dari hasil pemeriksaan tersebut, DK menetapkan rekomendasi yang bersifat mengikat dan KPU wajib melaksanakannya.
Menurut Desmy, Bawaslu meminta KPU Pusat menindaklanjuti rekomendasi tersebut paling lambat tujuh hari setelah disampaikan. "Tanggal 20 Maret harus sudah ditindaklanjuti, apakah langsung dibentuk DK atau dikaji dahulu," kata dia.
Namun, anggota KPU Pusat Abdul Azis mengatakan pembentukan DK tidak dibatasi tenggat. "Kami masih akan mempelajari lebih dahulu rekomendasi Bawaslu," kata Abdul Azis via telepon.
Bersihkan Diri
Menanggapi rekomendasi pencopotannya, Edwin Hanibal berkukuh rekrutmen KPU di tujuh daerah telah sesuai dengan aturan perundangan. Jika tetap disalahkan juga, menurut dia, KPU Lampung hanya menerima hasil dari tim seleksi. "Jadi tim seleksi itu yang harus disalahkan," kata dia usai rapat paripurna HUT ke-45 Lampung di Gedung DPRD Lampung, kemarin.
Edwin menyarankan Panwaslu lebih dahulu membersihkan diri sendiri sebelum menilai kinerja institusi lain. Ia mencontohkan pembentukan Panwaslu di beberapa daerah juga terindikasi melanggar peraturan karena ada personelnya yang mantan calon anggota legislatif. "Panwaslu kalau mau membersihkan, coba bersihkan dulu diri sendiri. Jangan hanya menilai KPU," kata Edwin.
Secara terpisah, Pattimura juga menyatakan rekrutmen KPU di tujuh kabupaten/kota telah sesuai dengan mekanisme. "Sampai hari ini kami yakin proses (rekrutmen) yang dilakukan KPU Lampung berada pada jalur yang benar."
Pattimura mengatakan hingga kini pihaknya belum mendapat instruksi apa pun dari KPU Pusat terkait rekomendasi itu. "Saya masih mau lihat dahulu apa isi rekomendasi itu. Tapi belum ada surat dari KPU Pusat."

Diposting Tunsadei te, Selasa, 24 Maret 2009

Kronologi Permasalahan KPU Lampung
11 Agustus 2008
KPU Lampung meminta pemda dan DPRD 11 kabupaten/kota menyerahkan nama-nama tim seleksi (timsel) pembentukan anggota KPU daerah.
24 November 2008
Masyarakat Peduli Demokrasi (Mas Pede) mendesak KPU Lampung mengganti satu anggota timsel di Tulangbawang karena pernah terlibat parpol.
1 Desember 2008
Mas Pede menilai timsel di Tulangbawang melanggar Peraturan KPU No. 13 Tahun 2007 karena meloloskan 11 nama, bukan 10 nama.
22 Desember 2008
KPU Lampung melantik 55 anggota KPU 11 kabupaten/kota di Balai Keratun Pemprov Lampung. Di sela-sela pelantikan, Forum Penyelenggara Pemilu Bandar Lampung menyatakan kecewa atas pelantikan itu. Surat pernyataan kekecewaan itu diteken 13 anggota PPK se-Bandar Lampung.
26 Desember 2008
Panwaslu Lampung mulai menelusuri dugaan pelanggaran kode etik dalam rekrutmen KPU kabupaten/kota.
29 Desember 2008
Sejumlah calon anggota KPU Lampura yang gagal lolos menggugat hasil 10 besar karena terindikasi politik uang. Mereka melaporkan ke Bawaslu.
8 Januari 2009
Panwaslu Lampung menyampaikan temuan mengenai dugaan pelanggaran kode etik kepada Bawaslu. Bawaslu menyatakan akan menjerat KPU Lampung dengan tiga peraturan, satu di antaranya UU No.22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
13 Maret 2009
Bawaslu merekomendasikan kepada KPU Pusat agar membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa ketua dan anggota KPU Lampung.
17 Maret 2009
Panwaslu Lampung menerima tembusan rekomendasi itu dari Bawaslu. KPU Pusat masih mempelajari lebih dahulu rekomendasi tersebut.
Menjelajah Masa Lalu Lampung Timur
PEMUKIMAN KUNA DI DAERAH SUKADANA,
PROPINSI LAMPUNG
Nanang Saptono

I. PENDAHULUAN
Kawasan Lampung pada umumnya merupakan daerah yang selalu menjadi perebutan antara pusat kekuasaan di Sumatra dengan Jawa. Hingga saat ini, di Lampung belum ditemukan data yang menunjukkan adanya pusat kekuasaan besar. Namun pada sepanjang daerah aliran sungai-sungai besar yang ada di Lampung banyak ditemukan situs-situs arkeologi dan masih ada pemukiman-pemukiman yang menunjukkan perkembangan dari zaman kuna.
Pada masa klasik daerah Lampung menjadi wilayah Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur (608 Ç atau 686 M) yang ditemukan di dekat sungai Menduk di P. Bangka bagian barat berisi tentang kutukan kepada mereka yang berbuat jahat, serta tidak tunduk dan setia kepada raja. Di samping itu terdapat juga keterangan penting yaitu mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. P.V. van Stein Callenfels berpendapat bahwa kata “jawa” dalam prasasti Kota Kapur bukan merupakan suatu nama tetapi kata sifat yang berarti luar. Dengan demikian prasasti ini berkenaan dengan suatu ekspedisi ke luar negeri (Sumadio, 1990: 58 – 59). Boechari (1986) berpendapat prasasti Kota Kapur dikeluarkan untuk memperingati suksesnya ekspedisi tentara Sriwijaya dalam menaklukkan Lampung. Bhûmi jawa yang terdapat dalam prasasti Kota Kapur terdapat di daerah Lampung . Berkaitan dengan prasasti Kota Kapur yaitu prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, juga berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut juga memuat Bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Dari segi paleografis prasasti ini diduga juga berasal dari abad VII (Buchari, 1979). Dari beberapa prasasti yang ada terlihat bahwa pada masa klasik daerah Lampung berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Pada masa Islam, ketika Banten diperintah oleh Sultan Hasanuddin, wilayah kekuasaannya hingga Lampung dan daerah Sumatra Selatan. Wilayah kekuasaan di Sumatra ini banyak menghasilkan lada (merica) yang sangat berperan dalam perdagangan di Banten, sehingga membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting yang disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India, bahkan Eropa. Keadaan seperti ini berlangsung dari pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-18 (Graaf dan Pigeaud, 1985: 151-156).

Di dalam Sajarah Banten diceritakan bahwa pada masa Sultan Hasanuddin kekuasaannya hingga Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu (Djajadiningrat, 1983). Sehubungan dengan dugaan adanya kaitan antara prasasti Kota Kapur dengan daerah Lampung, terdapat beberapa toponim yang berhubungan dengan isi prasasti Kota Kapur dan beberapa pemukiman kuna. Toponim tersebut terdapat di sekitar aliran S. Sekampung dan S. Batanghari antara lain Bumijawa, Gedongdalem, Gedongwani, dan Negeritua.

Berdasarkan hal tersebut di atas terdapat permasalahan mengenai sejak kapan pemukiman tersebut berlangsung, apakah dari masa klasik (Sriwijaya) atau masa Islam (Banten). Selain itu diharapkan pula dapat diketahui perkembangan pemukiman yang terjadi pada daerah tersebut. Untuk mengungkapkan permasalahan ini pembahasan dilakukan berdasarkan tinggalan budaya materi yang terdapat pada masing-masing toponim tersebut.

Pelaksanaan penelitian menerapkan pola deskriptif dengan melalui pendekatan penalaran induktif. Pada tahap pengumpulan data dilakukan melalui teknik survei. Selain itu untuk pengumpulan data sejarah dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Penentuan lokasi observasi didasarkan pada sumber pustaka, peta topografi, dan keterangan yang didapatkan dari informan. Dari berbagai keterangan tersebut kemudian ditentukan pilihan objek yang diduga kuat mengandung data yang dapat menerangkan permasalahan.

Data yang dimaksud antara lain berupa bangunan misalnya makam (kuburan), masjid, rumah, dan sebagainya; benda-benda tinggalan misalnya keramik dan gerabah baik yang utuh maupun fragmen, benda-benda peralatan rumah tangga, arca, dan sebagainya; gejala hasil aktifitas manusia misalnya bekas lubang galian sampah, parit-parit kuna, dan sebagainya; keadaan alam misalnya bentang alam, tumbuhan, dan sebagainya.

Untuk memperlengkap, juga diperlukan data yang bersifat etnohistori. Data tersebut diperoleh melalui wawancara dengan penduduk yang mengetahui latar belakang data arkeologis di masing-masing situs. Selain dari wawancara, data etnohistori juga dicari dari sumber pustaka. Selain itu, data penelitian juga diperoleh melalui interpretasi terhadap peta topografi. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan.

II. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Wilayah Kecamatan Sukadana terdiri dari beberapa desa yang antara satu desa dengan lainnya relatif jauh. Secara umum dapat dikatakan merupakan daerah yang berpenduduk jarang. Pemukiman penduduk hanya terkonsentrasi di sepanjang jalan desa.
Bentang alam daerah berupa pedataran rendah. Pada beberapa lokasi terdapat rawa-rawa. Secara umum ketinggian berkisar antara 10 hingga 140 m di atas permukaan laut. Puncak tertinggi adalah G. Tiga (147 m) dan G. Salupa (147 m). Lahan selain dimanfaatkan untuk pemukiman kebanyakan berupa ladang dan sawah. Sungai yang mengalir di daerah ini antara lain Way Raman, Way Batanghari, dan Way Sukadana yang merupakan anak sungai Way Seputih serta Way Sekampung dengan beberapa anak sungainya.

Penelitian di daerah Sukadana dilaksanakan terhadap beberapa objek arkeologi di Desa Bumijawa, Negeritua, dan Gedongwani. Karena dalam pelaksanaan pengumpulan data memperoleh keterangan yang menyatakan di daerah lain terdapat objek yang mendukung penelitian, maka dilakukan pula observasi di Kecamatan Batanghari yaitu di Desa Buana Sakti, dan di Kecamatan Seputih Raman di Desa Buyut Baru.


1. Kecamatan Sukadana
a. Desa Bumijawa
Desa Bumijawa berada di sebelah barat Sukadana. Data etno-histori yang berkaitan dengan Bumijawa menyebutkan bahwa di daerah Lampung terdapat empat kanegerian yaitu Ratu Dipuncak yang berkedudukan di Bukit Pesagi daerah Kenali, Ratu Balau (di Tulangbawang), Ratu Pogung (di Krui), dan Ratu Pemanggilan (di Tegineneng). Empat kanegerian ini berasal dari satu induk yang berkedudukan di daerah Martapura (Sumatera Selatan). Ratu Dipuncak mempunyai anak sembilan yang disebut “Jurai Siwa” (sembilan saudara). Salah satu anggota Jurai Siwa tersebut adalah Nuban yang kemudian menurunkan masyarakat Bumijawa.
Dalam salah satu silsilah keluarga milik Bp. Efendi Glr. Sutan Pangeran Junjungan Nuban, ketua adat masyarakat Bumijawa, cikal bakal Ratu Dipuncak adalah Tali Tunggal. Ratu Dipuncak sendiri merupakan keturunan ke-11. Beberapa nama keturunannya setelah Nuban yaitu Ratu Sang Balaikang, Minak Sang Bujang Ratu, Tuan Baliksyah, Minak Pengawo Bumi, Gajah Dalam, Minak Nyeringgem, dan seterusnya hingga Sutan Pangeran Junjungan Nuban yang merupakan keturunan ke-29.

Keturunan Nuban selalu bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain. Lokasi di mana kelompok masyarakat ini tinggal selalu disebut Bumijawa. Ketika pindah dari daerah Kenali mula-mula menetap di daerah yang sekarang termasuk dalam wilayah administratif Desa Raman Indra di tepi Way Seputih, kemudian ke Gedongdalem di tepi Way Batanghari, dan akhirnya menetap di Desa Bumijawa sekarang.

- Situs Gedongdalem
Situs Gedongdalem merupakan salah satu bekas kampung Bumijawa. Situs ini berada di sebelah utara Way Batanghari atau pada posisi 5°03’ LS dan 105°25’ BT . Luas situs sekitar 200 X 100 m. Pada sisi timur dan barat situs terdapat parit yang menjadi batas pemukiman. Keadaan situs sekarang berupa kebun jagung. Pada lahan ini terdapat sebaran keramik dan gerabah dalam jumlah banyak. Menurut keterangan penggarap lahan, di lokasi ini juga sering ditemukan mata uang. Pengumpulan artefak yang dilakukan dalam penelitian berhasil menemukan fragmen keramik terdiri bagian bibir, badan, dan dasar; serta fragmen gerabah bagian bibir, badan, dan dasar.
Di sebelah barat parit sisi barat (sebelah barat situs) terdapat tiga gundukan tanah yang berjajar utara selatan. Menurut keterangan masyarakat setempat ketiga gundukan tanah tersebut adalah makam. Gundukan paling selatan merupakan makam istri Minak Nyeringgem yang bernama Midah. Gundukan tanah setinggi sekitar 2 m dengan diameter sekitar 3 m. Makam ini banyak ditumbuhi semak belukar. Pada puncak makam tidak dijumpai adanya batu atau kayu sebagai nisan. Di sebelah utara makam ini berjarak sekitar 8 m terdapat gundukan tanah yang dipercaya sebagai makam Putri Bagus (anak gadis Minak Nyeringgem). Gundukan tanah setinggi sekitar 1 m dengan diameter sekitar 2 m. Makam ini juga banyak ditumbuhi semak belukar. Di sebelah utara makam Putri Bagus merupakan makam Minak Nyeringgem. Gundukan tanah setinggi sekitar 2 m dengan diameter sekitar 4 m. Pada puncak gundukan terdapat beberapa bongkah batu. Selain semak belukar, pada makam ini tumbuh rumpun bambu.

- Dusun Bumijawa
Dusun Bumijawa dimaksudkan untuk menyebut pemukiman penduduk Bumijawa sekarang. Dusun Bumijawa berada di sebelah timur Gedongdalem berjarak sekitar 750 m. Pada lokasi ini tidak terdapat objek arkeologis yang bersifat monumental. Pengamatan pada pekarangan rumah beberapa penduduk, ditemukan beberapa fragmen keramik asing yang terdiri dari bagian bibir, badan, dan dasar. Selain artefak tersebut dalam penelitian ini telah dicatat adanya benda arkeologis yang bersifat bergerak yaitu naskah kuna dan keris. Naskah kuna dan keris pada saat sekarang disimpan di rumah Bp. Efendi Gelar Sutan Pangeran Junjungan Nuban.
Naskah dari bahan kertas folio bergaris dijilid kokoh dan rapi. Ukuran kertas 33 X 20 cm dengan ruang tulis berukuran 27 X 14,5 cm, tebal 183 halaman. Huruf yang digunakan aksara Lampung Kuna. Teks ditulis dengan tinta warna hitam. Pada awal bagian terdapat hiasan sulur-suluran dengan warna hijau, merah, kuning, dan hitam. Pada bagian cover dalam terdapat tulisan dengan huruf latin berbunyi: Buku Catatan Status Adat Lampung Yang Berlaku dari Abad ke Abad Milik Suttan Pasirah Mega, A. Thamrin (Bumi Jawa). Di belakang halaman ini terdapat catatan kelahiran keluarga.
Keris yang ada menurut keterangan Bp. Efendi bernama keris Sejepang. Sampai sekarang keris ini masih dikeramatkan. Keris tersebut tidak boleh disentuh oleh orang selain anggota keluarga. Dari pengamatan sepintas, warangka (selubung) keris terbuat dari kayu yang pada bagian tertentu dilapisi logam kuningan. Bilah keris berlekuk tiga dengan pegangan dari bahan kayu berukir.

b. Desa Negeritua
Desa Negeritua terletak di sebelah selatan Sukadana. Menurut cerita rakyat setempat, leluhur masyarakat Negeritua berasal dari Pagaruyung (Sumatera Barat). Tokoh pertama yang datang di daerah Lampung adalah Ngabehi Bapak Mas, Pangeran Gegeran Alam, dan Suttan Domas. Permukiman Negeritua pertama kali terletak di daerah Karyamukti (Bedeng 55), tepi Way Sekampung. Daerah ini sekarang secara administratif termasuk di dalam wilayah Desa Buana Sakti, Kec. Batanghari yang merupakan pemukiman transmigran asal Jawa. Dari daerah tersebut kemudian pindah ke Pukem tepi Way Pegadungan 28’ BT. Daerah ini sekarang secara07’ LS dan 105atau pada posisi 5 adminisratif termasuk di dalam wilayah Desa Donomulyo yang juga merupakan pemukiman transmigran asal Jawa. Lokasi bekas pemukiman sekarang berupa tegalan dan sawah. Pada sekitar tahun 1909 pindah lagi ke lokasi yang sekarang ini.

c. Desa Gedongwani
Desa Gedongwani terletak di sebelah selatan Sukadana. Desa ini berada pada daerah aliran Way Sekampung atau pada posisi 5°14’ LS dan 105°29’ BT. Data etno-histori tentang Gedongwani (Yusuf, 1976) menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1532 Sultan Banten memerintahkan kepada seluruh penguasa Lampung untuk menghadap. Salah satu marga yang berkuasa yaitu Buay Selagai yang berkedudukan di kampung Gedong Kuripan, Abung Kotabumi, memenuhi perintah tersebut. Tokoh dari Buay Selagai yang berangkat ke Banten adalah Ratudinata. Perjalanan dari Gedongistilah setempat siba Kuripan melalui Way Ghagnem. Oleh Sultan Banten, Ratudinata diberi gelar Raden Cakradinata. Selama di Banten Raden Cakradinata merencanakan akan mengubah nama Gedong Kuripan menjadi Gedongwani. Di Banten Raden Cakradinata mendapat ajaran agama Islam yaitu dua Kalimah Syahadat dan surat Al-Ikhlas. Ketika kembali ke Lampung, Raden Cakradinata mendapat kenang-kenangan dari Sultan Banten berupa pintu gerbang atau Lawangkuri.
Sesampainya di Lampung tidak melalui Way Ghagnem tetapi lewat Way Sekampung. Sampai di suatu tempat perjalanannya terhalang air terjun akhirnya berhenti di situ dan membuka hutan untuk perkampungan sementara. Lokasi ini sekarang disebut Limau Saghakan, daerah Pancur, Tegineneng. Di sini hanya selama sekitar 3 tahun kemudian pindah ke arah hilir di daerah perbatasan Jabung. Kampung di lokasi ini dinamakan Gedongwani. Di lokasi ini bertahan hingga sekitar 50 tahun. Karena keadaan tanah tidak subur lagi kampung Gedongwani dipindahkan di dekat pertemuan antara Way Gěrěm dan Way Sekampung. Di lokasi ini bertahan hingga sekarang.
Objek arkeologis yang ada di daerah ini terbagi dalam tiga klaster. Klaster pertama (Gedongwani I) berada di dekat pertemuan antara Way Gěrěm dan Way Sekampung. Pada lokasi ini terdapat makam Baituhit. Klaster kedua (Gedongwani II) berada di sebelah timur laut Gedongwani I berjarak sekitar 500 m. Di lokasi ini terdapat komplek makam Raden Cakradinata. Klaster ketiga (Gedongwani III) terletak di sebelah timur laut Gedongwani II berjarak sekitar 500 m. Di sini terdapat makam Abu Hasan.

- Gedongwani I
Klaster Gedongwani I sekarang berupa kebun yang ditanami singkong. Lahan ini berada di sebelah barat laut pertemuan Way Sekampung dengan Way Gěrěm. Pada salah satu lahan disebutkan merupakan bekas rumah pesirah marga. Makam Baituhit berada pada lahan yang lebih tinggi dari sekitarnya, sehingga menyerupai bukit kecil. Posisi makam berada pada puncak bukit tersebut di bawah pohon benda (kibang).
Jirat makam berupa tatanan batu andesitik dengan orientasi arah barat laut-tenggara. Ukuran jirat panjang sekitar 2,8 m, lebar 1,5 m, tinggi 0,45 m. Jirat dilengkapi dua buah nisan berupa batu kali berbentuk memanjang tanpa pengerjaan. Jarak antara kedua nisan tersebut 1,90 m. Nisan di sebelah barat laut setinggi 25 cm, sedangkan nisan di sebelah tenggara tidak terukur karena tertanam di dalam tanah, hanya kelihatan bagian atasnya saja. Pengamatan di sekitar lahan ini ditemukan fragmen keramik, gerabah, kerak besi, dan besi tua. Pada tepi jalan raya di dekat makam Baituhit terdapat lahan bekas tempat tingga Pesirah Marga. Pengamatan pada lahan ini ditemukan kapak persegi.

- Gedongwani II
Klaster Gedongwani II merupakan ujung perkampungan sebelah tenggara. Makam Raden Cakradinata terdapat di sebelah barat pemukiman pada kebun di tepi sebelah utara Way Sekampung. Keadaan komplek makam Raden Cakradinata sudah dipugar oleh masyarakat. Makam berada di dalam bangunan cungkup terbuka tanpa dinding yang merupakan bangunan baru. Pintu masuk berada di sisi selatan sebelah barat. Di dalam cungkup terdapat dua makam dengan orientasi arah barat-timur. Kedua jirat makam tersebut juga merupakan bangunan baru.
Jirat makam Raden Cakradinata berada di sebelah utara. Jirat makam dilengkapi dua buah nisan. Jarak antara ke dua nisan tersebut 2 m. Nisan sebelah barat setinggi 50 cm sedangkan nisan sebelah timur setinggi 35 cm. Di sebelah selatan jirat makam Raden Cakradinata terdapat jirat makam lainnya. Menurut keterangan, jirat tersebut nerupakan makam pengawal Raden Cakradinata. Jirat ini juga dilengkapi dua buah nisan. Jarak antar nisan 1,5 m. Tingi nisan sebelah barat 33 cm dan sebelah timur 20 cm. Keempat nisan di komplek makam ini dibungkus kain putih, sehingga bentuk dan bahan nisan tidak diketahui. Di sebelah barat jirat makam Raden Cakradinata terdapat dua buah batu (nisan) berorientasi utara selatan. Menurut masyarakat setempat dua buah batu tersebut merupakan tanda makam burung beo milik Raden Cakradinata. Pengamatan pada pekarangan rumah penduduk di dekat makam ditemukan fragmen keramik dan mata uang.
Pada tepi jalan raya Gedongwani di depan rumah Bp. Nur Asikin, terdapat Lawangkuri. Lawangkuri ini disimpan pada semacam bangunan permanen berdinding. Bahan dari kayu berukir halus baik pada kusen maupun daun pintunya. Ragam hias pahatan/ukiran berupa motif sulur-suluran. Pada kusen bagian samping atas terdapat ragam hias bersifat konstruktif dengan motif semacam sayap burung. Ukuran keseluruhan lebar 210 cm dan tinggi 252 cm. Daun pintu terdiri dua bagian. Masing-masing daun pintu berukuran lebar 50 cm dan tinggi 175 cm (periksa Sukendar, 1984).

- Gedongwani III
Lahan klaster Gedongwani III berupa kebun kelapa. Di sini terdapat makam Ali Hasan. Menurut cerita rakyat Ali Hasan adalah utusan dari Sultan Banten. Di Gedongwani, tokoh ini sebagai penjaga hasil pertanian masyarakat. Suatu saat masyarakat mengetahui bahwa tokoh ini mempunyai kesaktian. Karena kesaktiannya akhirnya dihormati. Pada saat sekarang, apabila daerah Gedongwani kekeringan, masyarakat mengadakan shalat minta hujan (istisqa) di tanah lapang dekat makam.
Makam Ali Hasan terletak di sebelah barat laut makam Pangeran Cakradinata berjarak sekitar 500 m. Makam berada pada komplek makam umum. Letak makam berada pada bagian barat laut komplek. Keadaan makam sudah mengalami pemugaran. Jirat makam berorientasi arah utara-selatan berukuran panjang 2 m, lebar 1,6 m. Pada bagian kepala (utara) agak ditinggikan. Nisan sebelah utara dibungkus kain putih. Di sekeliling jirat terdapat tatanan batu dan pagar hidup. Pengamatan pada pekarangan penduduk di dekat makam ini banyak ditemukan fragmen keramik.

2. Kecamatan Batanghari
a. Desa Buanasakti
Penelitian di daerah ini dimaksudkan untuk melacak keterangan tentang asal mula kampung Negeritua. Desa Buanasakti merupakan pemukiman transmigran asal Jawa yang berada di sebelah selatan Way Sekampung berjarak sekitar 500 m. Menurut cerita tutur masyarakat setempat di daerah ini terdapat lahan bekas kampung Negeritua. Objek arkeologis yang terdapat di daerah ini berupa makam tokoh pendiri Negeritua.
Makam berada pada lahan di pinggiran pemukiman penduduk sebelah timur jalan desa. Keadaan makam sudah mengalami pemugaran. Komplek makam tidak dilengkapi cungkup. Pada komplek makam ini terdapat tiga buah jirat berbentuk berundak, yang berorientasi utara-selatan. Jirat makam sebelah selatan terdiri dua buah jirat yang menyatu. Jirat ini merupakan makam Pangeran Gegeran Alam dan Batin Dalam. Menurut keterangan masyarakat setempat, kedua tokoh ini merupakan dua bersaudara. Jirat makam Pangeran Gegeran Alam berada di sebelah timur sedangkan Batin Dalam di sebelah barat. Kedua jirat ini berukuran panjang 1,90 m dan lebar 1 m.
Di sebelah barat laut kedua jirat tersebut di atas berjarak sekitar 15 m terdapat jirat ketiga. Jirat ini merupakan makam Datuk Sebalung yang dipercaya merupakan guru Pangeran Gegeran Alam dan Batin Dalam. Jirat ini berukuran panjang 2,60 m dan lebar 1,35 m. Pengamatan di sekitar lahan ini tidak ditemukan indikator permukiman lainnya.


3. Kecamatan Seputihraman
a. Desa Buyut Baru
Observasi yang dilakukan di Desa Buyut Baru dilandasi data etno-histori tentang kampung Bumijawa. Desa Raman Indra sekarang, Kecamatan Seputihraman, merupakan lokasi perkampungan Bumijawa sebelum pindah ke Gedongdalem. Pelacakan yang dilakukan di Desa Raman Indra tidak ditemukan lokasi bekas pemukiman. Berdasarkan keterangan masyarakat setempat di Desa Buyut Baru terdapat beberapa makam kuna. Atas dasar keterangan tersebut, pelacakan dilakukan di Desa Buyut Baru.
Desa Buyut Baru terletak di tepi aliran Way Seputih pada posisi 22’ BT. Objek arkeologi di daerah ini berupa makam50’ LS dan 1054 Minak Sangjaya. Mengenai tokoh ini masyarakat setempat tidak begitu mengetahui, karena masyarakat sekarang merupakan transmigran asal Bali. Makam berada di tepi sebelah selatan Way Seputih berjarak sekitar 20 m. Lahan sekitar makam berupa kebun singkong.
Keadaan makam berupa bangunan permanen yang merupakan bangunan baru. Makam dilengkapi cungkup terbuka tanpa dinding. Di sebelah barat cungkup terdapat semacam tugu bertuliskan “Makam Minak Sangjaya, Terbanggi Besar”. Jirat makam Minak Sangjaya berorientasi barat-timur. Ukuran jirat panjang 1,70 m dan lebar 0,54 m. Pengamatan di sekitar lokasi makam tidak ditemukan artefak lainnya.

IV. ANALISIS
1. Feature
Beberapa pemukiman kuna di daerah Sukadana yang telah didata semuanya berada di tepi sungai. Batas pemukiman secara tegas tidak dapat diketahui karena di samping terganggu oleh kegiatan masyarakat sekarang, ada juga yang terus berkembang sebagai pemukiman hingga sekarang. Salah satu situs yang relatif masih dapat dikenali batas-batasnya adalah Gedongdalem. Berdasarkan sebaran artefak yang ada, batas pemukiman memanfaatkan sungai yang ada.
Salah satu unsur yang terdapat pada situs-situs yang telah diteliti adalah feature makam kuna. Di situs Gedongdalem terdapat makam leluhur yaitu makam Minak Nyeringgem, Midah, dan Putri Bagus. Makam-makam tersebut berada di luar pemukiman namun masih dalam satu lokasi. Makam kuna yang terdapat di situs Gedongdalem, keadaannya hanya berupa gundukan tanah yang tidak jelas orientasinya. Makam yang ada pada situs-situs di daerah Sukadana mempunyai ragam yang berbeda-beda. Hanya saja kebanyakan makam yang ada sudah tidak “asli” lagi. Kelengkapan makam berupa nisan, jirat, dan cungkup semuanya menunjukkan sebagai bangunan baru. Bentuk makam yang terdapat di situs Gedongdalem kemungkinan merupakan bentuk “asli”. Keadaan beberapa makam yang ada sebagaimana matriks berikut:
Keadaan Makam Kuna di Daerah Sukadana
Tokoh Orientasi Nisan Jirat Catatan
Midah ? X gundukan tanah
Minak Nyeringgem ? X gundukan tanah
Putri Bagus ? X gundukan tanah
R. Cakradinata B – T V plesteran bata bangunan baru
Pengawal R. Cakradinata B – T V plesteran bata bangunan baru
Baituhit BL – Tg V*) tatanan batu *) batu tanpa pengerjaan
Ali Hasan U – S V plesteran bata bangunan baru
P. Gegeran Alam U – S V plesteran bata bangunan baru
Batin Dalam U – S V plesteran bata bangunan baru
Minak Sangjaya B – T V plesteran bata bangunan baru
Keterangan: B barat BL barat laut
T timur Tg tenggara
U utara X tidak ada
S selatan V ada

Dari matriks di atas terlihat bahwa orientasi makam yang tersebar di daerah Sukadana tidak sama. Makam kuna yang terdapat di situs Gedongdalem yaitu makam Midah, Minak Nyeringgem, dan Putri Bagus tidak jelas orientasinya karena bentuk makam berupa jirat gundukan tanah yang membulat tanpa nisan. Pada makam yang lain orientasinya dapat dilihat dari bentuk jirat dan nisan. Namun bangunan yang ada tersebut merupakan bangunan baru, sehingga validitas orientasinya dinilai rendah.
Bentuk feature berupa gundukan tanah (tumulus) terdapat juga di situs Bentengsari, Kecamatan Jabung. Di situs ini gundukan tanah berada di dalam benteng tanah. Selain gundukan tanah juga terdapat beberapa makam kuna dan batu dakon (Agus, 1997/1998). Berdasarkan perbandingan dengan keadaan feature di situs Bentengsari, situs Gedongdalem, menunjukkan berasal dari masa pra-Islam. Tumulus yang terdapat di situs Bentengsari berasosiasi dengan batu dakon. Dengan demikian dapat disimpulkan sebagai hasil budaya tradisi megalitik.
Bila orientasi makam yang lain memang dari semula begitu, maka terdapat suatu perubahan orientasi. Makam R. Cakradinata dan pengawalnya, serta makam Minak Sangjaya berorientasi barat-timur. Makam Baituhit berorientasi tenggara-barat laut. Sedangkan makam Ali Hasan, P. Gegeran Alam, dan Batin Dalam berorientasi utara-selatan. Berdasarkan orientasi makam dapat diduga bahwa makam yang berorientasi utara-selatan merupakan makam dari zaman Islam. Sedangkan yang lainnya bukan dari masa Islam.


2. Artefak
Artefak yang ditemukan di beberapa situs yang telah diteliti kebanyakan berupa gerabah dan keramik. Namun selain itu juga terdapat kapak persegi, kerak besi, dan mata uang kepeng. Secara keseluruhan densitas temuan sebagai berikut:

Densitas Temuan Artefak
Situs Keramik Gerabah Kerak Besi Mata Uang Kapak Persegi
Jumlah Berat Jumlah Berat
Gedongdalem 93 1110 3 128 X X X
Bumijawa 5 26 X X X X X
Gedongwani I 4 33 X X V X 1
Gedongwani II 28 271 X X X X X
Gedongwani III 8 245 X X X 1 X
Keterangan: X tidak ada
V ada berat dalam satuan gram

Berdasarkan densitas temuan artefak dapat memperlihatkan intensitas penghunian situs. Matriks di atas memperlihatkan bahwa intensitas penghunian situs paling tinggi di Gedongdalem, kemudian di Gedongwani. Di Gedongwani hunian paling intensif di klaster II dan III. Di klaster I ditemukan adanya kapak persegi. Hal ini memperlihatkan bahwa pada klaster tersebut pada masa bercocok tanam tingkat lanjut (neolitik) sudah dihuni. Selain itu juga ditemukan adanya kerak besi yang menunjukkan adanya aktifitas industri logam. Dengan demikian dapat ditarik suatu hipotesis bahwa penghunian situs Gedongwani bermula dari klaster I kemudian berkembang ke klaster II dan III, atau pusat pemukiman di klaster II dan III sedangkan klaster I dipakai untuk kawasan industri logam.

Keramik yang ditemukan pada suatu situs menunjukkan adanya sistem pertukaran dengan daerah lain. Pertukaran ini bisa berupa perdagangan. Dengan ditemukannya mata uang semakin memperkuat adanya kegiatan perdagangan. Aktifitas sehari-hari dapat dilihat dari tipologi gerbah dan keramik. Gerabah yang ditemukan di situs Gedongdalem berjumlah tiga buah yang merupakan bagian bibir, badan, dan dasar. Secara tipologis fragmen gerabah tersebut berasal dari bentuk tempayan. Fragmen keramik yang ditemukan di beberapa situs juga merupakan bagian bibir, badan, dan dasar. Analisis tipologis keramik menunjukkan berasal dari bentuk mangkuk (MK), piring (PR), cangkir (CK) sendok (SD), tutup (TTP), botol (BTL), vas, dan ada yang tidak diketahui bentuk asalnya (?). Secara rinci terlihat sebagai berikut:


Tipologi Keramik Sukadana
Situs MK PR CK SD TTP BTL VAS ? Jml
Gedongdalem 48 37 2 1 - 3 1 1 93
Bumijawa 1 3 - - - 1 - - 5
Gedongwani I 4 - - - - - - - 4
Gedongwani II 7 19 - 1 1 - - - 28
Gedongwani III 7 - - 1 - - - - 8
Jumlah 67 59 2 3 1 4 1 1 138

Hasil analisis keramik secara tipologis menunjukkan bahwa bentuk mangkuk paling banyak ditemukan, kemudian berurut-turut bentuk piring, botol, sendok, cangkir, tutup, dan vas. Satu-satunya tutup yang ditemukan di situs Gedongwani III berupa tutup botol (mungkin botol minuman) yang bertuliskan TAN TJIN TJIANG & Co Telok Betong. Berdasarkan tipologis temuan keramik dapat menggambarkan bahwa artefak tersebut merupakan benda keperluan sehari-hari.
Keramik asing mempunyai ciri-ciri tertentu yang dapat menunjukkan asal daerah dan kronologinya. Hasil analisis secara kronologis terlihat sebagaimana berikut:

Asal dan Kronologi Keramik Sukadana
Situs Cina Annam Eropa Jumlah
Song Yuan Ming Qing
Gedongdalem 1 4 31 25 3 29 93
Bumijawa - - - 2 - 3 5
Gedongwani I - - 2 - 2 - 4
Gedongwani II - - 4 2 1 21 28
Gedongwani III - - 1 1 5 1 8
Jumlah 1 4 38 30 11 54 138

Keramik dari Cina paling banyak ditemukan, kemudian dari Eropa, dan Annam. Secara kronologis keramik Cina yang ditemukan berasal dari zaman dinasti Song (960 – 1279, atau abad X – XIII), Yuan (1280 – 1368, atau abad XIII – XIV), Ming (1369 – 1644, atau abad XIV – XVII), dan Qing (1645 – 1911, atau abad XVII – XX). Keramik Annam berasal dari abad XIV – XVI, sedangkan keramik Eropa dari abad XVIII – XX.

V. Asal Mula dan Perkembangan Pemukiman di Daerah Sukadana
Catatan Tomé Pires mengenai kawasan Lampung terdapat dua nama yaitu Sekampung dan Tulangbawang. Dua nama ini disebutnya sebagai suatu negeri dalam arti bukan kerajaan (Cotesão, 1967: 136). Sekampung dapat diidentifikasikan sebagai kawasan di sekitar Way Sekampung sekarang. Meskipun Sekampung dikatakan bukan suatu kerajaan, tetapi diberitakan oleh Pires sebagai negeri yang berlimpah ruah. Lokasinya berdekatan dengan Tana Malaio dan Tulang Bawang. Sekampung sudah menjalinan hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Beberapa barang komditasnya antara lain kapas, emas, madu, lilin, rotan, lada, beras, dan hasil bumi lainnya. Pemimpin di Sekampung ketika itu (antara tahun 1512 – 1515) masih kafir. Masyarakatnya terutama yang tinggal di daerah hulu juga masih kafir (Cotesão, 1967: 158). Daerah Sukadana dilihat dari lokasinya masih dapat dikatakan sebagai kawasan Sekampung.

Menurut data etno-histori yang diperoleh selama observasi, menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah Sukadana merupakan masyarakat migran yang berasal dari tiga kawasan. Kelompok masyarakat ini telah beberapa kali melakukan perpindahan lokasi. Masyarakat yang sekarang tinggal di Desa Bumijawa menyatakan sebagai keturunan Ratu Dipuncak dari Bukit Pesagi, Kenali. Masyarakat Negeritua menyatakan sebagai keturunan Ngabehi Bapak Mas, Pangeran Gegeran Alam, dan Suttan Domas berasal dari Pagaruyung. Sedangkan masyarakat Gedongwani sebagai keturunan Buay Selagai dari Kotabumi.
Kajian terhadap populasi masyarakat Lampung yang pernah dilakukan Olivier Sevin menyimpulkan bahwa terdapat empat gelombang migrasi (Falah, 1995; Sevin, 1989). Sebagai penghuni tertua dan dianggap penduduk asli Lampung adalah Orang Pubian. Empat gelombang migrasi yang kemudian terjadi adalah gelombang Sekalaberak, Banten, Palembang, dan Kolonisasi. Gelombang Sekalaberak adalah masyarakat migran yang berasal dari kawasan sekitar Danau Ranau. Wilayah Sekalaberak khususnya daerah Belalau merupakan daerah dengan populasi yang sangat tinggi. Sevin memperkirakan gelombang migrasi dari Sekalaberak berlangsung pada sekitar abad XIV, gelombang Banten pada abad XVII demikian juga gelombang Palembang, dan Kolonisasi terjadi pada abad XIX.
Cerita tutur masyarakat, khususnya dari Bumijawa, menyatakan bahwa di Lampung semula dikenal terdapat empat penguasa lokal yaitu Ratu Dipuncak di Bukit Pesagi, Ratu Balau di Tulangbawang, Ratu Pogung di Krui, dan Ratu Pemanggilan di Tegineneng. Keempat penguasa ini berasal dari satu induk yaitu dari daerah Martapura. Bila dikaitkan dengan gelombang migrasi tersebut di atas, empat penguasa tersebut merupakan masyarakat yang tergolong ke dalam gelombang Sekalaberak.
Di daerah Sukadana sendiri terdapat tiga masyarakat yang berasal dari dua gelombang migrasi. Masyarakat Negeritua yang berasal dari Pagaruyung tampaknya tidak dapat dimasukkan dalam golongan gelombang migrasi di atas. Sedangkan masyarakat Bumijawa dan Gedongwani dari gelombang Sekalaberak. Kelompok masyarakat ini mempunyai pola bermukim yang sama yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Perpindahan lokasi ini cenderung dikarenakan kualitas lahan yang sudah tidak memenuhi kebutuhan lagi. Hal yang menarik, setiap pindah lokasi nama kampung tidak mengalami perubahan.
Kapan masing-masing kelompok masyarakat tersebut bermukim di daerah Sukadana dapat ditelaah melalui data sejarah dan arkeologis. Masyarakat Negeritua sedikit agak susah menelusurinya. Hal ini karena situs-situs yang merupakan bekas pemukiman Negeritua sudah banyak yang terganggu. Observasi yang dilakukan tidak menemukan keramik yang dapat dijadikan acuan kronologis secara relatif. Pemukiman pertama di Karya Mukti sekarang (Bedeng 55) masih menyisakan adanya makam para tokoh cikal bakal. Berdasarkan makamnya, para tokoh tersebut menunjukkan sebagai penganut Islam yang sudah mantap. Sedangkan islamisasi di Lampung baru berlangsung pada masa Banten (abad XVI). Meskipun demikian tokoh cikal bakal masyarakat Negeritua sudah menganut Islam sejak dari tanah asalnya yaitu di Pagaruyung. Tomé Pires yang mengunjungi Sekampung pada awal abad XVI belum menjumpai masyarakat muslim. Karena Islam sudah dianut para tokoh Negeritua maka dapat diperkirakan masyarakat Negeritua bermukim di daerah Sukadana pada sekitar pertengahan abad XVI – XVII.

Masyarakat Bumijawa sekarang sudah mengalami perpindahan setidak-tidaknya tiga kali. Pertama kali datang di Lampung bermukim di Desa Buyut sekarang, yaitu di tepi Way Seputih. Sayang di situs ini kurang mendapat data yang kuat. Selanjutnya menetap di Gedongdalem. Situs ini berdasarkan tinggalan keramik yang ada, intensif dihuni pada sekitar abad XIV hingga awal abad XX. Ketika prasarana lalu lintas tidak lagi memanfaatkan sungai, Bumijawa pindah lagi ke lokasi sekarang. Beberapa tinggalan arkeologis yang disimpan sesepuh setempat meunjukkan berasal dari masa-masa yang muda (abad XX). Ketika menetap di situs Gedongdalem, latar belakang religinya, berdasarkan feature makam, pada mulanya masih memperlihatkan tradisi pra-Islam, yaitu tradisi megalitik. Ketika Banten secara intensif melakukan islamisasi tradisi megalitik ditinggalkan dan beralih ke Islam.
Sedangkan masyarakat yang tinggal di Gedongwani, berdasarkan data etno-histori mula-mula terjadi pada sesudah tahun 1532, yaitu ketika Raden Cakradinata kembali siba dari Banten. Keramik tertua yang ditemukan di Gedongwani berasal dari abad IV. Islam pada awal mulanya belum begitu mantap dianut oleh masyarakat Gedongwani. Makam-makam tertua masih belum menunjukkan sebagai penganut Islam yang mantap. Masyarakat Gedongwani semakin mantap dalam memeluk Islam dipengaruhi oleh adanya tokoh dari Banten yaitu Ali Hasan yang menetap dan meinggal di Gedongwani. Benda arkeologis yang terdapat di Gedongwani (Lawangkuri) memperlihatkan adanya hubungan antara Gedongwani dengan Banten.
Dalam kaitanya dengan Sriwijaya, yaitu sebutan Bhûmi jawa dalam beberapa prasasti Sriwijaya, semula ada dugaan bahwa masyarakat desa Bumijawa di Lampung adalah merupakan masyarakat transmigran dari Jawa. Hasil observasi menunjukkan bahwa Bumijawa di Sukadana adalah perkampungan masyarakat “asli” Lampung. Prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah berasal dari abad VII. Sedangkan Bumijawa yang ada di Lampung berdasarkan analisis keramik diperkirakan berlangsung mulai abad XIV. Dengan demikian dapat dipastikan Bhûmi jawa yang dimaksudkan prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah bukan Bumijawa yang terdapat di Sukadana. Namun harus dipertimbangkan bahwa masyarakat Bumijawa di Sukadana merupakan masyarakat migran yang selalu membawa juga nama daerah asal ke daerah baru.
Keterangan etno-histori menyebut bahwa masyarakat Bumijawa berasal dari Bukit Pesagi dan sebelumnya tinggal di sekitar daerah Martapura sekarang. Kawasan ini dalam tradisi disebut sebagai Sekalaberak yang cakupan wilayahnya di sekitar Danau Ranau. Pada masa klasik daerah di sekitar Danau Ranau memang merupakan kawasan potensial. Di Jepara terdapat runtuhan candi. Meskipun hanya runtuhan, Candi Jepara memberi kesan termasuk candi tua. Pada sebagian batunya tidak berhias ukiran, tetapi ada yang membentuk setengah bulat dan sisi genta. Bentuk demikian ini banyak dijumpai pada candi-candi tua di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Soekmono, 1985). Berdasarkan gaya bangunannya candi Jepara diperkirakan berasal dari abad IX – X. Di daerah Bawang terdapat prasasti yang kemudian dinamakan Prasasti Hujung Langit sesuai dengan sebutan dalam prasasti itu. Damais (1962) memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç atau 997 M. Pengaruh Jawa tampak dalam sistem penanggalannya. Pengaruh Jawa yang terdapat pada prasasti, oleh Damais dihubungkan dengan ekspedisi Jawa dalam melawan Sriwijaya yang menurut berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993 M. Damais menarik kesimpulan bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil pendudukan Jawa sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all, 1996: 116). Apabila nafas Jawa yang terdapat di kawasan sekitar Danau Ranau dikaitkan dengan prasasti Kota Kapur juga tidak sesuai. Namun kemungkinan kawasan sekitar Ranau sudah dihuni jauh-jauh sebelum masa prasasti Hujung Langit dan Candi Jepara dapat diterima apabila ada data yang memperkuatnya. Hipotesis yang menyatakan Bhûmi jawa berada di Lampung masih harus memerlukan data penguat yang mungkin dapat dicari di sekitar Danau Ranau atau daerah Martapura, Sumatra Selatan, bukan di Lampung.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa pada daerah yang telah diteliti terdapat beberapa situs pemukiman yang ditandai dengan temuan sebaran artefak berupa fragmen keramik, gerabah, kerak besi, mata uang, dan alat batu, serta makam kuna.
Beberapa pemukiman yang ada berdasarkan data etno-histori telah mengalami beberapa kali perpindahan. Setiap kali pindah lokasi, nama daerah tidak mengalami perubahan. Pemukiman tersebut adalah Bumijawa, Negeritua, dan Gedongwani. Cikal bakal masyarakat Negeritua berasal dari Pagaruyung. Sedangkan masyarakat Bumijawa dan Gedongwani berasal dari satu keturunan. Cikal bakal masyarakat kedua pemukiman tersebut berasal dari daerah Martapura (Sumatra Selatan). Ketika pindah dari daerah Martapura tempat yang disinggahi pertama kali adalah daerah Kenali sekarang. Dari sini kemudian terpecah menjadi beberapa marga yang ada sekarang.
Latar belakang religi adalah sebagai penganut Islam. Persebaran Islam di daerah ini berasal dari Banten. Berdasarkan data etno-histori ajaran Islam masuk di daerah ini disampaikan oleh tokoh setempat yang pergi ke Banten untuk mempelajari Islam kemudian kembali ke Lampung dan menyebarluaskannya. Dilihat dari data arkeologis yang berupa beberapa makam kuna, tampak bahwa sebelum ajaran Islam masuk, religi yang dianut adalah kepercayaan prasejarah (tradisi megalitik). Beberapa makam kuna ada yang berorientasi barat-timur dan ada pula yang tidak jelas. Kebanyakan makam jirat dan nisannya sangat sederhana tanpa pengerjaan. Artefak dan data pendukung lain yang meunjukkan latar belakang agama Hindu-Buddha tidak ditemukan. Dengan demikian religi yang berkembang pada masyarakat dari tradisi megalitik kemudian agama Islam.

Berkaitan dengan persoalan kata “bhumijawa” pada prasasti Kotakapur, tampak bahwa Bumijawa yang terdapat di daerah Lampung bukan merupakan Bumijawa yang terdapat di dalam prasasti Kotakapur. Namun mengingat bahwa terdapat kebiasaan tidak mengubah nama bila melakukan pindah lokasi, maka penelusuran nama Bhûmi jawa dapat dilakukan di daerah asal Bumijawa yaitu di kawasan Sekalaberak atau Martapura (Sumatra Selatan).

Kepustakaan
Agus. 1997/1998. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Daerah Pugung Rahajo dan Sekitarnya, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung (Kajian Geologi dan Geomorfologi). Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).
Boechari. 1979. “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong)”. Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
-----------. 1986. “New Investigations on The Kedukan Bukit Inscription”. Dalam Untuk Bapak Guru.Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Cotesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.
Damais, L Ch. 1962. “Études Soumatranaises, I: La date de l’inscription de Hujung Langit (Bawang)”. Dalam BEFEO, L (2).
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Falah, Anwar. 1995. “Pengenalan Geografis Kawasan Lampung (Satu Kajian Ringkas)”. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi Edisi Khusus. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Gibbon, Guy. 1984. Anthropological Archaeology. New York: Columbia University Press.
Graaf, H.J. de dan Pigeaud, Th. G. Th. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.
Guillot, Claude; Lukman Nurhakim; Sonny Wibisono. 1996. Banten Sebelum Zaman Islam, Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? – 1526. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, École Française d’Extrême-Orient, Penerbi Bentang.
Sevin, Olivier. 1989. “History and Populations”. Dalam Transmigration. Jakarta: Orstom-Departemen Transmigrasi.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The Binjamin/Cummings Publishing.
Soekmono. 1985. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sukendar, Haris; Soekatno Tw; Surjono. 1984. “Laporan Survei Lampung”. Dalam Satyawati
Suleiman, et all (ed.) Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yusuf P.R, M. 1976. “Sejarah/Cerita Waktu Siba ke Banten Mendapatkan Hadiyah Lawang Kuri/Pintu Gerbang yang ada Sekarang ini di Kampung Gedongwani” Manuskrip.


Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di dalam buku berjudul "Rona Arkeologi", Penyunting Ir. Edy Sunardi, M. Sc., Ph. D. dan Dr. Agus Aris Munandar. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2000.
diposting Tunsadei Te, Selasa, 24 Maret 2009

Senin, 09 Maret 2009

PLTA Hulu Sungai Musi Ujan Mas

Kabupaten Kepahiang Bengkulu
PLTA Hulu Sungai Musi Ujan Mas

Sejarah Singkat
Menimbang akan kebutuhan tenaga listrik di Sumatera yang semakin meningkat dan mengantisipasi permintaan energi listrik pada masa mendatang, khususnya untuk Wilayah Sumatera Bagian Selatan maka dibangunan Proyek PLTA Musi.
Rekomendasi pembangunannya berdasarkan hasil studi pendahuluan tentang pengembangan sumber-sumber tenaga air suatu daerah pada tahun 1965, serta pekerjaan lebih lanjut terhadap rencana pembangunannya dan studi hidro potensial 1981 - 1983.
Implementasi pelaksanaan pembangunan dikoordinasikan oleh PT. PLN (Persero) Pikitring Sumbagsel, Babel, Sumbar dan Riau dan pembangunannya diawasi langsung oleh PT. PLN (Persero) Proyek PLTA Musi yang berkedudukan di Desa Ujanmas Atas, Kecamatan Ujanmas, Kabupaten Kepahiang (dulu Rejang Lebong), Provinsi Bengkulu.

Letak Geografis
Secara geografis berada sekitar 3' 35" LS dan 102' 29" BT, membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya dan terletak di punggung pegunungan Bukit Barisan berjarak ±80 km dari kota Bengkulu arah Curup. Bagian hulu berada dalam kawasan Desa Ujanmas Atas, Kecamatan Ujanmas, Kabupaten Kepahiang (dulu Rejang Lebong) dan bagian hilir berada dalam kawasan Desa Susup, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara.

Gambaran Umum
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi merupakan pembangkit listrik dengan bendung type "Run of River (RoR)" dengan gedung pembangkit (Power House) berada 400 m dibawah tanah yang memanfaatkan aliran sungai Musi di sebelah hulu dan pembuangan akhir ke aliran sungai Simpang Aur di sebelah hilir. Daya terpasang sebesar 3 X 70 MW (210 MW), akan mampu membangkitkan energi listrik sebesar 1,140 GWh/tahun dan merupakan PLTA besar pertama yang dibangun di Provinsi Bengkulu.Daya listrik yang dibangkitkan PLTA Musi untuk memenuhi & mensuplai kebutuhan listrik seluruh wilayah Sumatera melalui Interkoneksi Jaringan Transmisi 150 kV/275 kV untuk wilayah bagian Selatan maupun Utara.

Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/pembangkit-listrik-tenaga-air-hulu.html
http://hydroelectricpowerplant.blogspot.com

Identifikasi Budaya Suku Bangsa Pekal di Bengkulu Utara

Oleh Yondri, Jumhari, Rois Leonard Arios, R.Ade Hapriwijaya
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Sukubangsa Pekal sebagai salah satu dari 8 sukubangsa yang terdapat di wilayah Provinsi Bengkulu, merupakan salah satu sukubangsa yang sangat menarik untuk diteliti. Sukubangsa ini berada di antara dua sukubangsa dominan berada di perbatasan mereka yakni sukubangsa Minangkabau dan sukubangsa Rejang. Sebagai sukubangsa yang awalnya terbentuk dari campur budaya, menyebabkan sukubangsa Pekal seringkali terlihat mudah menyerap unsur kebudayaan yang masuk dari luar kebudayaan mereka. Campur budaya yang terjadi dari awal pembentukan kesukubangsaan berlanjut sampai saat ini.
Hal ini terlihat dari berbagai keragaman aturan yang mengatur anggota masyarakat sukubangsa. Pada tingkatan sekarang, penemuan akar budaya tradisional dalam budaya sukubangsa Pekal adalah sulit ditemukan. Namun campur budaya dapat dianggap sebagai suatu inti dari kebudayaan Pekal. Campur budaya tersebutlah yang menjadi dasar dinamika budaya sukubangsa Pekal. Berikut ini akan dianalisis berbagai informasi yang telah didapat sebelumnya untuk menggambarkan budaya sukubangsa Pekal secara keseluruhan.
Wilayah kebudayaan Pekal secara langsung berbatasan dengan daerah kebudayaan lainnya. Diutara wilayah kebudayaan Pekal berbatasan dengan daerah budaya sukubangsa Muko-muko, di Timur berbatasan langsung dengan daerah budaya sukubangsa Rejang, di Selatan berbatasan dengan wilayah budaya sukubangsa Serawai dan di Barat berbatasan dengan lautan Indonesia.
Mitologi sukubangsa sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian tersendiri, melalui kajian mitologi. Mitologi sukubangsa Pekal berkaitan dengan mitologi sukubangsa lainnya yang dominan terdapat diperbatasan sukubangsa Pekal. Mitologi ini berkaitan dengan mitologi sukubangsa Rejang dan hikayat raja Indropuro dari Minangkabau. Mitologi sukubangsa Rejang sendiri memiliki pertalian erat dengan hikayat-hikayat kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Kisah perjalanan empat pitulai dari Pagaruyung menjadi bagian dari mitologi sukubangsa Rejang. Dalam mitologi tersebut tersampir mitologi keberadaan sukubangsa Pekal. Dalam satu sisi terlihat bahwa secara langsung sukubangsa Rejang mengakui orang-orang dari sukubangsa Pekal merupakan bagian dari sukubangsa Rejang dibawah bangmego Tubui. Dari sisi lain pada dasarnya orang sukubangsa Pekal tidaklah dapat disebutkan sebagai bagian dari sukubangsa Pekal. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa, aturan dan nilai budaya serta struktur sosial lainnya yang sebagian mengambil tata aturan nilai budaya Minangkabau.
Kepercayaan anggota masyarakat sukubangsa Pekal terhadap roh-roh gaib dan tempat-tempat keramat dan diikuti dengan tingkah yang mendukung kepercayaan tersebut kepala desa secara terkecil. Sebagian lagi diangkat langsung menjadi PNS dan berkedudukan di setiap instansi pemerintah.
Menyebabkan keraguan apakah religi yang diyakini oleh sukubangsa Pekal merupakan religi yang dilaksanakan dengan sepenuhnya. Ritual yang berkaitan dengan tempat-tempat keramat dan keyakinan terhadap roh yang menghuni suatu tempat menyebabkan kecendrungan untuk melihat bahwa masih terdapatnya kepercayaan animisme ditingkat masyarakat sukubangsa Pekal.
Pada sukubangsa Pekal campur budaya pada sistem kekerabatan terlihat melalui penarikan garis keturunan, ketentuan adat menetap setelah menikah, pewarisan, sistem pemerintahan adat dan struktur sosial. Penarikan garis keturunan pada sukubangsa Pekal adalah dengan sistem Patrilinial, namun dalam pelaksanaan ketentuan adat setelah menikah terlihat kecendrungan uxorilokal pada tahun pertama.
Sukubangsa Pekal 80% merupakan petani peladang. Hal ini berkaitan dengan lingkungan alamiahnya yang berupa hutan dan lahan perladangan. Dari mata pencaharian ini terlihat bahwa sukubangsa Pekal pada saat sekarang berada pada tingkatan peradapan pertanian. Masyarakat sukubangsa Pekal dalam melaksanakan aktivitasnya menggunakan teknik slash and burn dalam membuka lahan dan meningkatkan kesuburan lahan. Teknik ini merupakan ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap.
Sebagai sukubangsa yang merupakan campuran sukubangsa dan berkembang sebagai campur budaya terlihat bahwa kesenian yang dimiliki oleh orang sukubangsa Pekal merupakan ambilan dari sukubangsa asal yakni Minangkabau dan Rejang. Kesenian teaterikal Gandai yang menjadi kesenian utama sukubangsa Pekal dan sering dipertunjukkan dalam berbagai acara, merupakan campuran dari kesenian Minangkabau dan Rejang. Kesenian Gandai hampir mirip dengan kesenian teaterikal Randai pada kesenian Minangkabau dan menggunakan alat-alat musik yang diambil dari sukubangsa Rejang.
Bahasa sukubangsa Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang. Pada saat sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa dan Bugis.
Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada sukubangsa Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan sukubangsa Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah Budaya Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa Rejang, jika mendekati wilayah budaya Minangkabau akan mengarah pada bahasa Minangkabau.
Sistem pengetahuan masyarakat sukubangsa Pekal didasarkan pada pengenalan masyarakat terhadap fenomena alamiah disekitarnya. Demikian juga halnya dengan pembagian waktu, arah dan ukuran. Pengetahuan terhadap pertanda alamiah memberikan tanda bagi masyarakat sukubangsa Pekal untuk melakukan suatu aktivitas. Pertanda alamiah tersebut dapat juga berupa pemberitahan datangnya bencana.

Peran Elite Tradisional

Studi Kasus Pasirah Di Rejang Lebong Abad XX
Oleh Siti Rohanah, Ajisman, Ernatip, dan Jumhari. Padang
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya.. Sidik Abdullah (1980: 120) menyebutnya sebagai pimpinan suatu wilayah yang disebut marga. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun (proatin)
Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Terbentuknya sistem pasirah dengan sendirinya menghapus sistem bupati di wilayah Bengkulu secara keseluruhan. Alasannya, karena pada masa kepemimpinan bupati (regent) tidak terlalu disukai oleh rakyat karena sikap dan kepemimpinannya yang dianggap tidak dapat mengayomi dan melindungi segala kepentingan masyarakat.
Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan masyarakat umum. Faktanya tidak jarang terjadi saling sikut-menyikut di antara para regent bahkan muncul kecendrungan menjilat ke atas dan menendang ke bawah. Oleh karena itu Belanda berpendapat masyarakat pribumi lebih menyukai kepemimpinan kolonial Belanda ketimbang bupati yang notabene adalah sesama pribumi.
Dalam kasus ini, dapat dikaji lebih dalam lagi karena kemungkinan besar hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Belanda dan mengandung unsur politis. Dengan dihapuskannya sistem regent otomatis daerah Bengkulu berada di bawah kekuasaan Belanda secara keseluruhan sebagai penguasa tunggal. Sebagai gantinya, maka setiap daerah dibentuk semacam marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.
Sistem pemerintahan marga yang dipimpin oleh kepala marga yang disebut pasirah muncul pertama kali pada sekitar tahun 1862. Sistem pemerintahan marga berlaku di seluruh wilayah Bengkulu setelah adanya pergantian pemerintah dari Kolonial Inggris ke Belanda. Pada masa pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan yang diterapkan adalah kabupaten dan dikepalai oleh seorang bupati. Setelah pergantian pemerintahan maka sistem pemerintahan pun berganti dan sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan baru. Penyerahan jajahan Inggris atas daerah Bengkulu kepada pemerintahan Kolonial Belanda terjadi pada tanggal 6 April 1825 berdasarkan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824.
Seorang kepala marga, diberi hak dan kewenangan dalam pemerintahan marga untuk mengatur pemerintahan dan adat. Di samping itu dia juga bertindak sebagai hakim dalam memutuskan perkara jual beli, pelanggaran adat, pengatur pajak dan pengeluaran keuangan dan belanja marga Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pasirah atau kepala marga merupakan wakil Belanda dalam marga. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa antara kepala marga dengan Belanda mempunyai hubungan yang dekat.
Pasirah selain berfungsi sebagai kepala marga, juga menjadi penghubung yang kuat antara masyarakat dan Belanda. Oleh sebab itu, kepala marga/pasirah digaji dan berada di bawah pengawasan Belanda. Pendapatan (gaji) dari pemberian Belanda adalah penghasilan pokok bagi pasirah di luar pendapatan lain, seperti hasil pembayaran denda pelanggaran adat maupun hak-hak penguasaan tanah ulayat.
Berkaitan dengan kedekatan hubungan keduanya maka kolonial Belanda mencari cara dan teknis untuk memanfaatkan hal tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kepala marga/pasirahu lebih berkreatif untuk menghasilkan pendapatan kas Belanda. Cara-cara yang dilakukan oleh kolonial Belanda adalah pemberian gelar kehormatan dan kenaikan pendapatan bagi setiap pasirah yang dianggap berprestasi. Cara dan teknis seperti ini cukup menguntungkan karena jika seorang kepala marga telah mendapatkan gelar kehormatan tersebut maka mau tidak mau statusnya menjadi lebih tinggi dari yang lainnya bahkan selevel dengan Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka.
Pada tahun 1970 pemerintahan Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang dan peraturan pemerintah yang menghapus undang-undang pemerintahan adat di seluruh Indonesia dan otomatis dengan dikeluarkannya peraturan baru maka hukum adat tidak berlaku lagi di daerah-daerah karena hukum yang berlaku adalah hukum peradilan nasional. Artinya, pihak-pihak hukum adat mulai dari tingkat yang paling kecil (kampung), desa hingga marga berakhir menjadi hukum nasional. Denda dan kurungan adat serta ganjaran lain yang bersifat adat menjadi keputusan hakim secara nasional bukan daerah. Begitu juga bentuk hukuman berubah sesuai dengan undang-undang peradilan nasional. Proses hukum dari hasil rapat dan musyawarah untuk memutuskan sangsi apa yang dijatuhkan berubah menjadi sistem atau cara peradilan nasional yang sifat dan kesanya lebih panjang dari proses adat.
Pada tahun 1979 dikeluarkan pula oleh pemerintah pusat untuk mengubah pemerintahan marga menjadi sistem desa. Marga menjadi hilang dan terhapus berganti menjadi desa dengan kepala desa sebagai pemimpinnya. Kepala Marga berubah statusnya dan dipilih ulang, orang-orang yang akan menggantikan menjadi Kepala Desa. Dalam satu marga terdiri dari beberapa desa artinya beberapa orang yang harus dipilih dan diangkat menjadi kepala desa dalam wilayah bekas marga tersebut. Akan tetapi ada juga kepala desa yang terpilih langsung, dari seorang pasirah artinya pasirah tersebut berubah fungsi menjadi dengan kerja keras dan jatuh bangun, akhirnya mampu berbuah dan menjadi berkat bagi gereja dan Negara. Proficiat untuk Paroki St. Yohanes Penginjil Bengkulu. Tuhan memberkati setiap langkah dan usaha kita.

Bumi Rafflesia, Penghujung April 2008
Ant. Dwi Putranto, SCJ

PLTA Tes



Kabupaten Lebong, Bengkulu
PLTA Tes
Sejarah Singkat
PLTA Tes adalah salah satu PLTA tertua di Indonesia. PLTA Tes merupakan pembangkit listrik yang memanfaatkan energi potensial air yang pertama yang didirikan di wilayah Sumatera. Pusat listrik ini menggunakan pola kolam tando dengan gedung pembangkit berada di permukaan tanah yang memanfaatkan aliran Sungai Ketaun yang dibendung dalam kolam tando sebelum dialirkan melalui penstock ke turbin. PLTA Tes terdiri dari 2 sentral unit dimana yang pertama adalah unit PLTA Tes Lama yang mulai dibangun pada 1912-1923 oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dan beroperasi mulai tahun 1923 di Desa Turan Tiging Kabupaten Rejang Lebong.
Pembangunan PLTA tersebut dilatarbelakangi oleh adanya areal pertambangan emas yang berada di daerah Lebong Tandai dan Muara Aman sehingga seluruh kebutuhan listrik untuk pertambangan dipenuhi oleh PLTA tersebut. Kemudian 1958 dilakukan renovasi akibat kerusakan yang diakibatkan oleh pembombardiran sentral pembangkit oleh tentara Jepang, di mana daya yang terpasang setelah renovasi menjadi 2 X 660 kW. Sedangkan unit kedua adalah PLTA Tes baru yang dibangun tepat di belakang gedung PLTA lama yang didirikan antara 1986-1991 dengan daya terpasang 4 X 4410 kW, sehingga daya total terpasang sejak 1991 di PLTA Tes adalah sebesar 18.960 kW. Saat ini daya listrik yang dibangkitkan oleh PLTA Tes digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Propinsi Bengkulu melalui jaringan transmisi 70 kV.

Letak Geografis
Secara geografis, PLTA Tes terletak di daerah perbukitan pada 3º16 LU dan 102º25 BT yang dikelilingi oleh jajaran pegunungan Bukit Barisan dengan cadangan air yang cukup besar. PLTA Tes berjarak ±115 km sebelah utara kota Bengkulu membujur dari arah timur laut menuju barat daya tepatnya terletak di Desa Turan Tiging, Kecamatan Tes, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Sumatera.

Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/pembangkit-listrik-tenaga-air-tes.html
http://hydroelectricpowerplant.blogspot.com/2009/02/plta-musi.html

Gasing Bengkulu

Permainan Tradisional Anak Anak dari Propinsi Bengkulu
Gasing Bengkulu
1. Sejarah
Permainan gasing di Bengkulu merupakan permaian tradisional rakyat yang tidak terikat dengan waktu khusus, digemari oleh hampir semua kelompok umur, baik pria maupun wanita, terutama remaja dan pemuda. Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan permainan gasing dikenal oleh masyarakat Bengkulu.
Bengkulu yang terdiri dari 9 sub etnis (Enggano, Mukomuko, Pekal, Rejang, Lembak, Melayu Bengkulu, Serawai, Pasmah dan Kaur) mengenal permainan gasing sebagai permainan gasing sebagai permainan rakyat, yang sekarang hampir tak dikenal lagi oleh anak-anak terutama di kota. Bentuk gasing dan cara bermain gasing diantara sembilan etnis Bengkulu hampir sama, perbedaan terdapat pada sebutan dan istilah dalam permainan.

2. Jenis-jenis Gasing
A. Gasing Kayu
Dibuat dari bahan kayu yang keras, umpamanya dari kayu petai cina, rukam, kemining, jeruk dan lain-lain. Bentuk gasing yang dimainkan berbentuk gici kecil atau menyerupai buah bengkuang. Pada bagian atas diberi kepala untuk melilitkan tali pemutar gasing, pada bagian bawah ditancapkan paku atau besi runcing sebagai taji untuk melukai atau merusak kesembangan gasing lawan. Permainan gasing pada umumnya ditanah keras untuk gasing adu, menggunakan lantai yang licin untuk tahan lamanya berputar. Permainan gasing adu, biasanya dibuat suatu arena tertentu, dilokasi inilah penggasing berkumpul untuk mengadukan gasingnya. Dalam pertandingan gasing yang dinyatakan pemenang adalah gasing yang tahan berputar apabila dipukul lawan dan bila dia memukul lawan jatuh atau mati. Pertandingan ini dilakukan perpasangan yang memang diadu dengan yang menang.
Bagi penggasing yang handal atau terampil biasa mencari lawan untuk bertanding gasing keluar dari daerahnya (keluar kampung). Seorang penggasing yang baik ini merupakan idaman setiap pemain gasing baik dan penampilan gasing juga dalam pembuat gasing.

B. Gasing Paku Berindu
Terbuat dari buah paku bindu (biji pakis) dan bilah bamboo, warna kuning muda. Teknik membuat dengan cara diraut, dikorek dan dilobangi, dengan menggunakan pisau untuk mengupas dan meraut buah paku bindu dan lidi untuk mencukil isi buah. Dimainkan dilantai rumah oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dengan cara diputar dengan tangan pada waktu senggang.

C. Gasing Buah Parah
Terbuat dari buah parah (biji karet), bilah bamboo dan benang, warna coklat tua dan kuning muda. Teknik membuat dengan cara diraut dan dikorek, dengan menggunakan pisau untuk meraut bilah dan melubangi biji buah parah, lidi sebagai alat mengeluarkan isi/biji buah parah dan melubangi bilah baling-baling dengan besi panas. Dimainkan anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, denga cara menggulung benang terlebih dahulu, kemudian sekali ditarik sekali dilumbar, dapat dimainkan dimana saja pada waktu senggang.
D. Gasing Bambu
Terbuat dari bambu dan tali, warna kuning muda, merah hijau, orange dan merah. Teknik buat dengan menggunakan gergaji untuk memotong bamboo, pisau untuk meraut bilah dan besi panas untuk melubangi bilah. Dimainkan oleh anak laki-laki Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dapat dimainkan dilantai rumah atau tempat yang rata dan licin, dengan cara diputar menggunakan tali, pada waktu senggang.
E. Gasing Pinang
Terbuat dari buaha pinang dan lidi bamboo, warna coklat tua dan kuning muda. Teknik buat dengan menggunkan pisau untuk mengupas buah pinang dan meraut lidi bamboo dan palu untuk memukul lidi bamboo untuk ditancapkan pada pinang. Dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dilantai rumah dengan cara diputar dengan tangan pada waktu senggang.
F. Gasing Alumunium
Terbuat dari logam alumunium dan benang, warna putih. Dibuat dengan menggunakan paku untuk melubangi lempengan alumunium, palu sebagai alat pemukul supaya rata, gunting sebagai pemotong dan batu asahan untuk menajamkan mata gasing. Dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dimainkan dimana saja pada waktu senggang.

3. Nilai Budaya dalam permainan gasing
Dalam permainan terkandung sikap jujur, tekun dan terampil, karena seorang
penggangsing dituntut patuh pada aturan yang berlaku, diperlukan ketekunan dan keterampilan dalam pembuatan maupun memainkannya.
Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/gasing-bengkulu-permainan-traditional.html
http://gasingindonesia.wordpress.com

Objek Wisata di Kotadonok

1. Danau Tes
Danau Tes merupakan tempat wisata sekaligus menjadi Pusat Pembang-kit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Tidak sama dengan tempat wisata lainnya, luas objek wisata Danau Tes + 750 Ha jarak tempuh-nya 25 km dari ibu kota kabupaten dapat di tempuh dengan ken-daraan umum, Danau Tes telah tersentuh oleh Penataan Pembangunan.

2. Sungai Ketahun
Terletak disepanjang Desa Suka Sari dan Talang Leak mempunyai air yang sangat jernih, keindahan Panorama Alam dan Luasnya sungai sepanjang 20 Km.

3. Keramat Taukem
Terletak di ujung sebelah utara Kotadonok berbatasan dengan wilayah Desa Tes. Di epat Taukem (Keramat Tepat Rukam) terdapat meriam kuno dengan sebuah peluru besi. Menurut kepercayaan masyarakat Kotadonok, bagi anak haram—anak yang dilahirkan dari hasil zina, tidak akan bisa mengangkat peluru besi sebesar buah kelapa itu.
4. Air Terjun Teluk Nusai
Air terjun ini memang masih asli, berada di areal persawahan Teluk Nusai di seberang desa Kotadonok. Untuk menjangkau lokasi air terjun itu, bisa ditempuh dengan dua alan. Pertama dengan naik perahu dengan lama tempuh sekitar 10—15 menit, atau melalui jembatan Tlang Macang dengan waktu sekitar 30 menit.

5. Air Panas Masteman
Air panas Masteman dinamakan demikian karena berada di kebun kopi milik Masteman (alm) sekitar 2 Km dari Kotadonok. Jalan ke lokasi harus ditempuh dengan jalan kaki, karena belum ada jalan yang dibangun. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit dari desa Sukasari.

6. Butau Gesea
Burau Gesea (batu hampir). Maksudn adalah batu yang seakan-akan hampir jatuh dari lereng bukit. Lokasinya berada di Danau Tes, mtepatnya di kawasan Teluk Lem yang sangat legendaris itu. Batu dengan ukuran sekitar sebesar mobil kijang itu, ternyata di atas permukaannya mampu menampung puluhan orang.

7. Jungut Benei
Jungut enei adalah muara Air Ketahun di Danau Tes yang kemudian membentuk pulau kecil yang terdiri dari pasir yang dihanyutkan oleh aliran Air Ketahun. Pulau pasir yang disebut Jungut Benei itu luasnya sekitar luasnya lapangan sepak bola. Hanya bentuknya yang bundar. Di atasnya, sampai tahun 1970 merupakan tempat penduduk Kotadonok melepas binatang piaraan mereka, seperti kerbau, itik atau bebek.
Di Jungut Benei banyak dijumpai burung belibis, burung cekuwok dan burung jenis lainnya yang mencari makan berupa ikan-ikan kecil di deaerah itu. Sering pula dijadikan oleh anak-anak desa Kotadonok untuk tempat bermain bola. Sayangnya sekarang sampai 2009, Jungut Benei tidak seperti dahulu kalau. Di samping penduduk Kotadonok tidak lagi memiliki binatang piaraan kerbau dan sapi.
Masyarakat yang mencari ikan sudah menggunakan peralatan penagkap ikan yang semi modern. Kalau dulu Jungut Benei dijadikan tempat berteduh dan persinggahan para pemancing, penjala dan penjaring ikan atau para pencari ikan di malam hari (nyuluak)

8. Desa Trans Mangkurajo
Desa Trans Mangkurajo dibuka tahun 1983 ketika Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir. Lokasinya berada di atas bukit Barisan, tepat berada di atas Desa Kotadonok dan Sukasari. (kedua desa inbi dulunya bernama Kotadonok). Jalan menuju lokasi desa Trans Mangkurajo memang mendaki dan berliku-liku. Dari kawasan desa itu dapat dilihat dengan jelas panorama alam desa Kotadonok dan alam bukit barisan lainnya. Termasuk kawasan Danau Tes yangpenuh pesona, cantik aduhai dipandang mata, apalagi kalau sempat untuk berperau di Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu.
Kemudian, di lembah Sawah Mangkurajo dapat dilihat dengan jelas dari lokasi eks PT Sebayur. Bagaimana keindahan alam pertanian di lembah Sawahmangkurajo. Walaupun digarap secra tradisionil, namun tetap menjadi tumpuan harapan masyarakat Kotadonok, Sukasari, Ujung Tanjung, Taba Anyar dan desa lainnhya di Lebong.

9. Sawah Mangkurjo
Lembah Bukit Barisan yang membujur dari Utara ke Selatan di provinsi Bengkulu ini sejak lama dikenal dengan nama Sawah Mangkurajo atau dalam bahasa Rejangnya disebut Saweak Krajo. Secara pasti kapan areal pertanian di daerah ini di buka belum diketahui. Hanya dalam beberapa cerita tokoh-tokoh Kotadonok menyebutkan sejak penjajahan kolonial Belanda, areal pertanian di daerah itu sudah dibuka.
Beberapa pelopor yang membuka usaha pertanian (sawah), kebun dan kolam di Sawah Mangkurajo antara lain H Aburuddin dengan anak-anaknya seperti Rahmatsyah, Hasyim, Zarah, Djahima dengan anak-anaknya, Saridin dan lainnya. Sedangkan pelopor lainnya seperti Dualim, Efek, Burudin dan sebagainya.
Lembah Sawah Mangkurajo yang bersuhu sangat dingin itu, sangat strategis. Dari Kotadonok berjarak sekitar 10 km, dari Tes—Taba Anyar sekitar 11 km, dari tambang emas Lebong Simpang sekitar 7 km, dari Pesisir (Arga Makmur) sekitar 20 km.
Saat ini penduduk yang bercocok tanam di Sawah Mangkurajo bukan hanya berasal dari desa Kotadonok, tapi juga dari Ujung Tanjung, Talang Leak, Turun Lalang, Tes, Manna (Kedurang) dan dari daerah lainnya. Keadaan tanahnya sangat subur, curah hujan cukup tinggi. Sumber air melimpah ruah. Dan daerah ini cocok untuk dijadikan wisata agro pertanian di Lebong.

10. Tlang Macang
Tlang Macang dahulu kala merupakan lokasi penyeberangan Air Ketahun bagi penduduk Topos dan sebaliknya yang ke pekan (pasar) di Kotadonok yang selalu ramai. Sebab, di Lebong Selatan waktu itu, hanya di Kotadonok ada pekan yang diadakan setiap hari Rabu.
Dulu untuk menyeberang Tlang Macang digunakan perahu yang menempuh jarak sekitar 30 meter. Kini, ketika Lebong menjadi kabupaten, sudah dibuat jembatan tempat penyeberangan. Rencananya akan dibangun jalan menuju desa Topos. Tapi, untuk membangun jalan permanen memang agak sulit, karena kondisi yang akan ilalui merupakan Tebing Tebo Dinding yang cukup curam.

11. Rumah Gubernur
Yang dimaksud dengan rumah gubernur itu adalah rumah pribadi atau keluarga gubernur Sumatera Selatan (1958—1959) Mohammad Husein—yang namanya diabadikan untuk Rumah Sakit Umum Palembang.

12. Rumah Pangeran
Rumah pangeran adalah rumah keluarga besar pangeran Kotadonok, Ali Kra dan Aliusar. Rumah itu sejak lama sudah tidak dihuni dan tidak pernah dirawat sebagaimana mestinya. Di rumah ini banyak cerita magic maupun mitos yang sangat populer di masyarakat Lebong.

13. Kubua Lai
Kubua Lai (Makam Besar) itu terletak di belakang rumah Supena (Pena), berupa gundukan tanah yang disekitarnya tumbuh pohon asam jawa da macang. Konon cerita, kubua lai itu dinamakan demikian karena orang yang meninggal dikuburkan dalam satu kuburan. Tentu, siapa yang meninggal di sana, tidak ada yang tahu persis. Karena kejadiannya sudah ada sejak desa Kotadonok ada.
From by http://anokjang.multiply.com ditulis sesuai realitas oleh Naim Emel Prahana si putra Rejang.

Sabtu, 28 Februari 2009

Berduka Cita



Berpulang to Rahmatulllah
RAHMATSYAH bin h ABURUDDIN (88)
father from Naim Emel Prahana
(senior journalist Lampung express and sekretaris Granat)

Pass away, Monday 16 Februaries 2009 blows 07.40 wib
At village Kotadonok, Kec Lebong Selatan, Kab Lebong, Bengkulu
Buried Monday, 16 Februaries 2009 at General Burial Kotadonok

Yang Berlangsungkawa
01. H Harun Muda Indrajaya - PU/Pimred LE
02. Ir MS Joko Umar Said - Wakil Gubernur terpilih Lampung
03. Indra Karyadi - Ketua DPRD provinsi Lampung
04. H Amir Hamzah SH - Ketua DPRD Kota Metro
05. H KRH Henry Yosodiningrat - Ketua Umum Granat Pusat
06. H Lukman Hakim SH M - Walikota Metro
07. H Djohan SE MM - wakil walikota Metro
08. Pimpinan DPRD - DPRD Kota Metro
09. Muspida Kota Metro - Pemerintah Kota Metro
10. H Zaini Nurman H - Sekda Kota Metro
11. H Ampian Bustami - Wakil Ketua DPRD Metro
12. AKBP Drs Amos Wau - Kepala Pendidikan Polri Lampung
13. AKBP Drs Waris Agono Msi - Kapolres Kota Metro
14. AKBP Drs Dedi - Kapolres Lampung Timur
15. Drs A Fikri Jahri - Kadis Budparpora Metro
16. Drs Senil Jahidan - Ketua PA Metro
17. Yahya Samsudin SH - Ketua PN Kotaagung, Tanggamus
18. WS Yoyok SH - Kepala Kejaksaan Negeri Bangka
19. Drs A Syafei - Kabag Perlengkapan Pemkot Metro
20. Drs Wahid Hasyim - Kabag Keuangan Pemkot Metro
21. Pramono SH - Kadis Pendidikan Kota Metro
22. DR Sowiyah - Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Metro
23. Drs Dahari - Kadis Pendidikan Lebong
24. Drs H Masnuni - Kabag TU Dinas Pendidikan Metro
25. Ir Hendra Djais - anggota DPRD Metro
26. H Herman Sismono SSOs - Anggota DPRD Kota Metro
27. Drs H Nasriyanto Effendi - Anggota DPRD Kota Metro
28. Faizal - Anggota DPRD Rejang Lebong
29. Junaidi SE - Sekwan DPRD Kota Metro
30. Arizal SH - Kabag Umum DPRD Kota Metro
31. Drs Muchtarom - Disnaker Kota Metro
32. Welly Alhendri - Calon DPD RI Lampung
33. H Rio Teguh - Ketua PWI Cabang Lampung
34. Agus Chandra - Ketua PWI Perwakilan Metro
35. Apridinata - Telkomsel Medan
36. Damayanti - Jakarta
37. Heriansyah LE - Redaktur Lampung Ekspres
38. Effendi LE - Ketua PWI Lampung Utara
39. Dwi Ritanto SH - wartawan LE
40. Drs Malik Afero - mantan Ketua KPU Metro
41. Drs Agus Septiwan - mantan anggota KPU Metro
42. Ahmad Mujib - Wakil Sekretaris Granat
43. Andrian Sangaji - Seniman
44. Drs Badawi Idham - Ketua Kahmi Metro
45. KAHMI - Cabang Kota Metro
46. Maaroni - TNI Bandung
47. Rastoto - Pengurus FORKI Metro
48. Dencik Effendi - Pimred Edu Media
49. Rosita - wartawan Metro
50. Nuri - wartawan Metro
51. Iwan Edu - wartawan Metro
52. Dedi Pubian - wartawan Metro
53. Suprayogi SE - Wartawan Lampung Post Metro
54. Agus Chandra - Wartawan Lampung Post Metro
55. Dwi Riyanto SH - Wartawan Lampung Ekspres Metro
56. Yon Bayu - Wartawan Lampung Ekspres
57. H Dahlan Sikumbang - Wartawan Lampung Ekspres Lampung Tengah
58. Erwin - Wartawan Mingguan Sumatera Post Metro
59. Fajar - Pimred tabloid Fokus
60. Embun Putranto - Redaktur Pelaksana Radar Lampung
61. Drs Heri Wardoyo - Redaktur Lampung Post
62. Wan Nangama - Bandung
63. Suhairiah - Tanjungkarang
64. Drs Dahmir - Peg BKKBN Lebong
65. Rusmaini - Tanjungkarang
66. Thiny WS - Metro
67. Widoko - Seniman Teater Kotagajah
68. Drs Buyung Sukron - Ketua KPU Metro
69. H Senil Jahidan Mag - Ketua Pengadilan Agama Metro
70. Drs Ma’atif Setaf MA - Dosen IAIN Raden Intan Tanjungkarang
71. H Sutan Syahrier OE SH - Pengacara senior Lampung
72. Tety - Kotagajah, Lampung Tengah

Keterangan:
Dimuat di Harian Lampung Ekspres, Lampung Post dan Tabloid Edu Media Lampung
Sejarah Provinsi Sumatera Selatan
Yang Pernah Memimpin Sumatera Selatan
Sampai tahun 2008, sebanyak 13 tokoh telah memimpin Sumatera Selatan. Setiap pemimpin punya catatan perjalanan tersendiri sesuai dengan zaman mereka. Masa pemerintahan peralihan dari penjajahan Jepang ke masa kemerdekaan Republik Indonesia ditandai oleh pengangkatan Adnan Kapau Gani—yang sering disingkat AK Gani—sebagai Residen Palembang pada 24 Agustus 1945. Pengangkatan tokoh yang terlibat pergerakan kemerdekaan itu dilakukan Menteri Negara M Amin dan Gubernur Provinsi Sumatera Mr Teuku Mohd Hassan.
Setelah pengangkatan ini, Gani dipercaya pemerintah pusat menjadi gubernur muda untuk Sumsel. Sebagai gubernur militer, AK Gani mendapatkan wilayah kerja Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan, AK Gani menjalin hubungan dagang antara Palembang dan Singapura, bahkan dengan penyelundup senjata api.
Pada 1945 Gani dipercaya menjadi koordinator pertahanan untuk wilayah Sumatera. Pada tahun yang sama, Tentara Keamanan Rakyat terbentuk di Palembang. Setahun berikutnya Angkatan Laut RI dan Angkatan Udara RI. Pada Februari 1946 Palembang memiliki sekolah kader untuk calon perwira.
AK Gani yang memiliki latar belakang sebagai seorang dokter dan berpengalaman sebagai seorang aktor rupanya juga mempunyai keterampilan berdiplomasi. Kemampuan inilah yang mampu meredam aneka insiden yang hampir meletus di Sumsel. Faktor keamanan yang kuat juga turut mengambil peran dalam perkembangan ekonomi Sumsel.
Perekonomian di Sumsel tahun 1946 lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada akhir 1946 Palembang menjadi kota bandar yang ramai dikunjungi dengan pemasukan Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari dari kegiatan pelabuhan.
AK Gani diberhentikan dengan hormat dari jabatannya mulai 1 Januari 1950 seiring dengan lahirnya keputusan hasil Konferensi Meja Bundar yang menyelesaikan konflik Republik Indonesia dan Belanda. AK Gani juga menerima kalung emas 24 karat dari masyarakat Sumatera dan mendapatkan julukan ”Pemimpin Gerilya Agung”.
Penghentian jabatan Gani itu sekaligus mengangkat kembali drg M Isa sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Sebelumnya, M Isa diserahi tanggung jawab sebagai Residen Sumsel menggantikan Gani, November 1946.
Pada awal kepemimpinan AK Gani, M Isa sudah jadi tokoh terkemuka di pemerintah Palembang. Bersama AK Gani yang menjabat sebagai Gubernur Militer Istimewa Sumsel dan sejumlah petinggi di Sumsel, Gubernur Muda Sumsel M Isa ikut serta dalam perundingan Indonesia-Belanda yang membahas penghentian tembak-menembak, 24 Agustus 1949.
Masa kepemimpinan M Isa juga melewati perjuangan. Kondisi negara pada waktu itu belum stabil karena Belanda masih ”mengganggu” kemerdekaan Indonesia. Kekacauan di Indonesia, termasuk di Sumsel, membuat kepemimpinannya penting dalam kerangka perjuangan.
Sejumlah tokoh merasakan besarnya semangat perjuangan M Isa, seperti yang dituturkan tokoh Tionghoa, Tong Djoe. Pada masa perjuangan itu, masyarakat dari pelbagai kelompok etnis ikut berjuang, termasuk masyarakat Tionghoa lewat berbagai organisasi, seperti Persatuan Kaum Tani Tionghoa. M Isa mengakhiri kepemimpinannya pada tahun 1952.
Winarno memimpin Sumsel antara 1952-1957. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang sosok Winarno. Winarno digantikan HM Husein yang menjabat pada 1957-1958. Pada saat yang sama Muchtar Prabu Mangkunegara menjabat Kepala Daerah Sumsel pada 1957-1958. Saat itu muncul wacana penyatuan pimpinan daerah otonom dan pemerintahan umum di tangan satu gubernur kepala daerah.
Tahun 1959 HA Bastari terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Sumsel lewat sidang pleno DPRD. Dalam masa kepemimpinannya, Bastari banyak menata dan mendisiplinkan pegawainya. Sejumlah mantan pejuang juga menginginkan jabatan di dalam pemerintahan. Urusan inilah yang diatur oleh Bastari. Selain itu, ia merencanakan penghapusan keresidenan dan kewedanaan. Pembangunan Jembatan Ampera juga dimulai pada masa Bastari, tahun 1962, dan selesai pada kepemimpinan gubernur berikutnya, tahun 1966.
Kepemimpinan Bastari berakhir pada 1963. Masa peralihan kepemimpinan Sumsel dipimpin oleh Sorimuda. Namun, ia tidak lama menjadi caretaker karena Menteri Dalam Negeri menunjuk Pembantu Utama Mendagri Bidang Pelaksanaan Brigadir Jenderal HA Abuyasid Bustomi sebagai penjabat gubernur.
Abuyasid menjabat tahun 1964-1967. Masa jabatan itu cukup singkat karena tahun 1967 Abuyasid ditarik ke Jakarta. Ia digantikan Ali Amin tahun 1967. Nama Ali Amin sebenarnya sudah pernah disebut-sebut ketika pemilihan calon gubernur pada tahun 1964. Dalam pemilihan kali itu, Ali Amin akhirnya menjadi Wakil Gubernur Sumsel. Ali Amin pernah menjabat Local Joint Committee (1949) antara lain bertugas mengurusi penghentian tembak-menembak antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda. Ali Amin pernah ditangkap Belanda sewaktu mengenakan emblem Merah Putih di pundak bajumya dalam perayaan ulang tahun negara Sumatera Selatan.
Sebagai gubernur, Ali Amin mendapatkan tugas yang berat karena harus menata daerah pascakerusuhan 1966. Sejumlah kesatuan aksi, seperti KAMI, KAPPI, dan KAGI, masih aktif beraktivitas melanjutkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura, 10 Januari 1966. Ali Amin menyelesaikan masa tugas sebagai gubernur pada 1968.
Asnawi Mangku Alam dari Kodam dipilih sebagai gubernur dan dilantik pada 10 Januari 1968. Putra Ulak Baru, Tepi Sungai Komering, ini menjalani sekolah rakyat sampai sekolah dagang menengah pada zaman penjajahan Belanda. Berlanjut semasa pemerintahan Jepang, yakni sekolah dokter hewan dan sekolah pegawai tinggi. Asnawi kemudian menempuh karier militer dengan bergabung dalam Tentara Republik Indonesia, pertama dengan pangkat kapten. Asnawi ikut membantu Perang Kota. Jabatannya ketika itu adalah kepala intendans berpangkat letnan satu. Pangkat ini lebih rendah daripada pangkat awal kariernya karena ada penyesuaian gelar kepangkatan.
Pada awal kemerdekaan, Asnawi aktif di Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia. Pada akhir karier militernya, Asnawi berhasil meraih pangkat brigadir jenderal purnawirawan. Seusai di militer, Asnawi diangkat menjadi Gubernur Sumatera Selatan. Pada Januari 1968 Asnawi dilantik menjadi gubernur oleh Mendagri Basuki Rachmat. Jabatan gubernur dipegangnya selama dua kali masa pemerintahan, tahun 1968-1978.
Pertanian dikembangkan
”Destiny is yours,” tutur pria kelahiran 27 April 1921 saat ditanya tentang nasib yang membawa seorang putra petani menjadi gubernur. Kekayaan hasil perkebunan Sumsel semakin dikembangkan pada zaman Asnawi. Pada Agustus 1968 tercatat luas perkebunan yang digarap di Sumsel mencapai 500.000 hektar. Asnawi juga membuka perkebunan tebu 18.000 hektar.
Asnawi menyerahkan jabatan Kepala Daerah Sumsel kepada HA Sainan Sagiman. Sainan diangkat sebagai gubernur lewat surat keputusan presiden tanggal 16 Agustus 1978. Sainan menjabat gubernur selama 10 tahun hingga 1988. Ketika dilantik, Sainan berpangkat brigadir jenderal purnawirawan. Sebelum menjadi gubernur, Sainan juga pernah ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam Perang Kota, Sainan menjabat sebagai perwira intel. Terakhir, ia bertugas di Kertapati.
Sainan termasuk sosok yang memerhatikan pendidikan. Dalam tahun anggaran 1979/1980, Sainan menaikkan bantuan kepada Universitas Sriwijaya (Unsri) sebesar 10 kali lipat dibandingkan dengan anggaran yang diterima Unsri sebelumnya. Ia juga menganggarkan Rp 4 miliar untuk sektor pertanian pada 1980. Kemudian, Sumsel menjadi penyelenggara Festival Film Indonesia, Mei 1979.
Pada Juni 1987 Sainan bersama Dirut Pertamina AR Ramly meresmikan operasi komersial Lapangan Minyak Musi di Kabupaten Musi Rawas. Selain menghasilkan minyak, lapangan ini juga menghasilkan 36,5 juta kaki kubik gas alam. Pada Januari 1988, sembilan pabrik karet bongkah kesulitan mendapatkan bahan baku. Pada tahun yang sama, Sumsel mulai menutup diri sebagai lokasi transmigrasi umum. Sainan mengakhiri masa jabatan pada September 1988, diganti oleh Brigadir Jenderal H Ramli Hasan Basri. Ramli yang dicalonkan oleh DPP Golkar dilantik sebagai gubernur oleh Mendagri Rudini. Sektor pertanian didorong untuk berkembang pada masa pemerintahannya.
Sumsel mulai ditargetkan menjadi lumbung pangan nasional sejak tahun 1990. Presiden Soeharto menggelar panen raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun, bencana kekurangan pangan juga pernah dialami warga Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, akhir tahun 1991. Untuk mendukung prestasi olahraga, Ramli membagikan bonus Rp 30 juta untuk atlet peraih medali dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XII. Ia juga menyediakan dana Rp 1,5 miliar untuk pembinaan olahraga tahun 1990.
Tanjung Api-api
Ide pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api muncul dalam masa pemerintahan Ramli pada tahun 1991. Ramli juga dikenal sebagian kalangan sebagai gubernur yang peduli terhadap persoalan sejarah dan kebudayaan. Bagi pengamat sejarah, ia termasuk orang yang sangat perhatian pada Kerajaan Sriwijaya. Kepedulian ini sangat berarti karena jarang pemimpin daerah yang memerhatikan sejarah.
Ramli mengakhiri jabatan pada 1998. DPRD Sumsel memastikan Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Pertama TNI Rosihan Arsyad sebagai pengganti Ramli. Pria kelahiran Bengkulu, 29 Juli 1949, yang juga dikenal sebagai penerbang di TNI AL, itu dilantik menjadi gubernur periode 1998-2003 setelah mengantongi 26 dari 45 suara DPRD Sumsel.
Rosihan menganggarkan Rp 3,9 miliar untuk pembinaan petani karet. Pemekaran daerah juga marak terjadi pada masa pemerintahannya. Perhatian pada transportasi juga jadi prioritas Rosihan. Dalam APBD 2001 anggaran sektor transportasi mencapai Rp 112 miliar dari total anggaran Rp 605,5 miliar. Perbaikan jalan diutamakan untuk lintas Sumatera.
Namun, pos anggaran sektor aparatur pemerintah dan pengawasan juga cukup besar, yakni Rp 29 miliar. Dana itu lebih besar daripada anggaran sektor kesehatan, peranan wanita, serta anak dan remaja Rp 20 miliar.
Pada masa pemerintahannya, ia merintis persiapan Sumsel sebagai tuan rumah PON XVI. Salah satunya dengan menyelenggarakan Kejurnas Sepatu Roda pada Juli 2002. Sejumlah sarana dan prasarana umum juga gencar dibangun saat itu, seperti pembangunan mal, hotel, dan pusat perniagaan. Pembangunan proyek yang pernah ditentang banyak pihak, disebut Rosihan, sebagai upaya peningkatan ekonomi. Terbukti, salah satu dampak positif pembangunan tersebut adalah munculnya aneka pembangkit listrik yang menyuplai listrik ke jaringan Sumatera bagian selatan.
Jabatan Rosihan berakhir pada 12 September 2003 setelah kalah dalam perolehan suara di DPRD Sumsel. Tongkat kepemimpinan berikutnya dilanjutkan pasangan Syahrial Oesman-Mahyuddin.
Pada masa Syahrial, Sumsel dideklarasikan menjadi daerah lumbung energi nasional. Syahrial juga meluncurkan program pariwisata Visit Musi 2008 yang ditiru daerah lain. Pada sisa masa jabatan, Syahrial wajib mundur untuk mengikuti pilkada. Dia harus bertarung dengan lawannya, Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin untuk menjadi gubernur ke-14. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Sumatera Selatan
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang terletak d bagian selatan Pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di utara, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, Provinsi Lampung di selatan, dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Selain itu ibukota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena sempat menjadi ibukota dari Kerajaan Sriwijaya.
Disamping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam, dll. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes, dan tempoyak.
Sejarah
Propinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya, ; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri china. Pada awal abad ke-15 berdirilah ; Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit ; yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya. Kini, Sumatera Selatan menjadi propinsi terpandang dengan sumberdaya alam yang melimpah.

Kabupaten dan Kota

No Nama Kabupaten/Kota Ibukota
01 Kabupaten Banyuasin Banyuasin
02 Kabupaten Empat Lawang Tebing Tinggi
03 Kabupaten Lahat Lahat
04 Kabupaten Muara Enim Muara Enim
05 Kabupaten Musi Banyuasin Sekayu
06 Kabupaten Musi Rawas Lubuk Linggau
07 Kabupaten Ogan Ilir Indralaya
09 Kabupaten Ogan Komering Ilir Kayu Agung
10 Kabupaten Ogan Komering Ulu Baturaja
11 Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Muaradua
12 Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Martapura
13 Kota Lubuklinggau Lubuklinggau
14 Kota Palembang Palembang
15 Kota Pagaralam Pagaralam
16 Kota Prabumulih Prabumulih