Sabtu, 17 September 2011
Minggu, 11 September 2011
TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam
TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam: Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok Rekaman Oleh Naim Emel Prahana SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong...
Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam
Kisah Heroik
Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
Rekaman Oleh Naim Emel Prahana
SAWAH MANGKURAJO di tengah
masyarakat Lebong lebih populer namanya dengan Saweakkrajo. Pada zaman class II dengan tentara NICA-Belanda dan
zaman PRRI ketika Indonesia sudah merdeka, menjadi benteng yang sangat kuat
bagi Tentara Nasional (TNI). Sawah Mangkurajo djadikan markas besar (mabes)
perang gerilya melawan tentara Belanda dan gerombolan sempalan PRRI di daerah
Lebong.
Banyak perwira
tinggi dan menengah di tubuh Angkatan Darat yang bertugas di daerah Sumatera
Bagian Selatan (Bengkulu, Jambi, Palembang dan Lampung), pernah mengenyam
perang gerilya dari mabes mereka di Sawah Mangkurajo. Sebagaimana dituturkan
oleh putra Kotadonok, Rakmatsyah bin H Aburudin (alm) beberapa tahun lalu,
sebelum ia meninggal dunia tahun 2008 silam.
“Pada waktu itu,
para penduduk Kotadonok yang bertani di Sawah Mangkurajo menjadi menyuplai
bahan makanan Tentra Itam. Sebutan Tentra
Itam (tentara hitam) itu ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI yantg loyal dan
setia kepada negara Indonesia, yang berjuang mempertahankan kedaulatan negara
Republik Indonesia, khususnya di Lebong,” Pak Rahmat—panggilan akrabnya di
Lebong memulai ceritanya.
Jika malam hari,
kata beliau semua prajurit (tentra tam) ke luar dari tengah hutan,
berkomunikasi dengan penduduk, sekaligus mengatur strategi setelah menerima
informas dari penduduk. Dan, kalau siang hari mereka bersembunyi di tengah
hutan.
“Saat itu, sekitar
tahun 1948 di atas kawasan Sawah Mangkurajo hampir setiap jam melintas pesawat
Mustang milik tentara Belanda. Sebenarnya, mereka sudah tahu kalau prajurit TNI
bersembunyi di Sawah Mangkurajo. Namun, mereka kesulitan untuk memasuki daerah
itu, karena kondisi jalan setapak yang ada, sangat berbahaya.
Tentra Itam
(Tentara Hitam) sangat menguasai setiap jengkal atau wilayah di dalam hutan
belantara dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan di daerah Lebong. Mereka mempunyai
kekuasaan di tengah hutan itu sejak dari Air Dingin—daerah Topos—sampai ke
Muara Aman.
Gerombolan Ngik Sempalan PRRI
Waktu itu, ujar
beliau (Pak Rahmat), muncul gerombolan sempalan PRRI yang dipimpin Ngik. Ngik adalah nama yang menakutkan
bagi masyarakat Lebong, khususnya masyarakat di daerah Air Dingin—Turun Lalang,
termasuk Topos dan sekitarnya. Ngk nama aslinya adalah Musa, putra asli
Kotadonok yang menjadi kepala gerombolan mengatas namakan PRRI. Markas Ngik,
kata Rahmat berada di Teluk Lem—seberang Desa Kotadonok. Dari daerah itulah
gerombolan Ngik menteror masyarakat dengan melakukan penculikan-penculikan
dengan meminta tebusan uang dan emas dengan jumlah yang sangat besar.
Rumah orangtua Ngik
berada di sekitar Masjid Nurul Iman Kotadonok, yang sekarang sudah tidak ada
lagi, karena terjadi musibah kebakaran puluhan tahun silam, menghanguskan rumah
keluarga Ngik. Dalam catatan perjalanan masa perlawanan mempertahankan daerah
Lebong dari cengkraman penjajah Belanda, termasuk huru-hara yang diciptakan
Ngik. Penduduk Lebong memang hidup dalam cengkraman ketakutan luar biasa.
Gerombolan Ngik
yang selalu menculik dengan meminta tebusan uang dan emas, juga tidak segan-segan
melakukan bumi hangus rumah penduduk yang menentang dirinya. Tidak peduli,
apakah saudaranya atau bukan.
Kekejaman gerombolan
Ngik sangat ditakuti masuayakat Lebong. Kalau ia masuk kampung siang hari,
biasanya gerombolan Ngik berada di rumah penduduk yang ada di atas jalan raya. Dari
rumah-rumah tersebut, Ngik dan gerombolannya dengan mudah memantau lalulalang
tentara NICA atau Belanda yang ada di Lebong.
Pada suatu saat
cerita Pak Rahmat, Ngik masuk desa dan datang ke rumah Masteman. Ketika berada
di rumah itu, ia melihat konvoi truk tentara Belanda. Waktu itu Ngik berkata, “Gen Maco, ite temibak bae stom Blando o!”
kata Ngik dalam bahasa Rejang yang sengaja ia ucapkan agar keluarga Masteman
mendengar. Kalau Ngik menembaki mobil tentara Belanda, maka Kotadonok akan
digeledah habis, bahkan akan dibakar oleh Belanda. Termasuk penangkapan
orang-orang yang dicurigai memihak gerombolan Ngik.
Padahal, ucapan
Ngik itu hanyalah untuk menakut-nakuti penduduk Kotadonok, agar makin lama
penduduk tidak berani melawan gerombolan Ngik.
Ada beberapa anak
Kotadonok—yang juga masih kerabat dekat Ngik, yang ditangkap Ngik dajn di bawa
ke daerah Teluk Lem—yang terkenal dengan serawung
dung ulau tujuak (gua ular kepala tujuh di Danau Tes) dan legenda Butau Gesea (Batu Hampir) yang terkenal
itu. Berbagai acara telah ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk membeaskan
anak-anak mereka dari cengkaraman penculikan gerombolan Ngik. Semua gagal. Karena,
permintaan Ngik agar penduduk datang ke Teluk Lem dengan membawa harta benda,
tidak ada penduduk yang berani. Takut ditembak oleh Ngik yang terkenal dengan
kekejamannya.
Adalah Rahmatsyah
putra Haji Aburuddin Kotadonok yang kala itu baru menikah, merasa terpanggil
untuk membebaskan sandera Ngik. Di sisi lain kenekatan Rahmat yang kemudian
dikenal dengan Pak Gu’au (Pak Guru)
di Lebong itu, karena salah satu sandera Ngik adalah keponakaannya. Anak dari
adeknya Zahra bernama Syaiful Tohir termasuk yang diculik Ngik.
Rahmat muda yang
juga memiliki rasa takut, akhirnya mendatangi markas Ngik di daerah Teluk Lem
(di atas pegunungan yang langsung mengarah ke wilayah Topos).
“Saya benar-benar
takut,” kata Rahmat seraya menambahkan, namun saya harus memberanikan diri
menemui Ngik. Saya kenal dengan dia.
Dengan naik perahu,
Rahmat mendayung perahunya ke arah Teluk Lem. Perasaannya saat itu berkecamuk
antara takut yang luar biasa dengan perasaan membela kehormatan keluarga
menjadi satu.
“Baru saja perahu
saya tambatkan di semaet Teluk Lem, saya sudah dihadang oleh anak buah Ngik. Badan
saya digeledah, pakaian saya dilucuti. Pokoknya menakutkan,” kenang Rahmat.
Akhrnya, kata
Rahmat dirinya digiring menaiki tebing di daerah Teluk Lem dan sekitar 1 jam
barulah ia bisa bertemu dengan Ngik.
“Saya hanya membaca
Bismillah, Cuma itu saja,” ungkap Rahmat.
Menurut Rahmat saat
itu ia hanya membawa sedikit emas, namun ia mewakili masyarakat Kotadonok, Talangratu,
dan Tes ingin membertahu Ngik, bahwa masyarakat tidak memusuhinya. Jadi,
tolonglah sandera dilepaskan.
Untuk membujuk Ngik
butuh waktu yang sangat lama, saya bahkan sampai menginap di markas Ngik di
daerah pegunungan Teluk Lem itu. Namun, saya memang tidak diapa-apakan, walau
wajah dan kata-kata Ngik sangat bengis dan kejam.
Ia (Ngik, pen)
sebenarnya kenal baik dengan saya, tapi saat saya ingin membebaskan ponakan
saya, ia seperti seorang jenderal bintang empat.
“Pokoknya,
menakutkan sekali. Di samping bedil (senjata) tidak pernah jauyh dari tempat
duduknya dan dikelilingi beberapa ajudannya yang berwajah seram,” urai Rahmat.
Setelah melalui
diplomasi (perundingan) yang alot, akhirnya Rahmat dapat memebaskan beberapa
sandera. Yang lainnya tidak mau dilepaskan Ngik, sebelum uang tebusan
diberikan. Menurut cerita, ada beberapa sandera Ngik, akhirnya ditembak mati di
tengah hutan belantara itu.
Perjalanan heroik
Rahmat memang patut kita jadikan tauladan untuk generasi mendatang. Sebab, pada
saat yang sama ia menjadi spionasenya prajurit TNI yang disebut Tentra Itam
yang bermrkas di Sawah Mangkurajo, di sana jugalah Rahmat membuka usaha
pertaniannya bersama keluarga dan bapaknya Haji Aburudin beserta beberapa
penduduk lainnya.
Sebagai gambaran
Sawah Mangkurajo pada saat itu sudah sedemikian maju. Diperkirakan kurun waktu
1942—1955. Di sana sudah ada sekolah rakyat, rumah-rumah penduduk dibangun dengan
teratur di atas tebing Air Pauh (Bioa Putiak) yang termasuk Tebo Mbuwea. Yang sekarang ini menjadi
areal perkebunan PT Indo Rabika.
Mesin penggiling
padi ada tiga buah, kemudan hasil padi sawahnya melimpah ruah, demikian juga
hasil perkebunan seperti jeruk, jambu, nenas dan sayuran. Namun kampung
penduduk di sawah Mangkurajo, akhirnya di bumi hanguskan Belanda, untuk
melemahkan posisi Tentra Itam.
Saat perjuangan
melawan tentara Belanda, Rahmat muda berperan sebagai kurir dari Sawah
Mangkurajo ke Kotadonok, Tes dan kampung (desa) sekitarnya. Di samping itu juga
ia menjadi guru di Sawah Mangkurajo dan Kotadonok. Rahmat adalah anak didik
guru Stiari yang terkenal di masa itu. Nama guru Stiari sangat disegani di daerah
Lebong. Salah satu muridnya adalah Rahmatsyah.
Rahmat-lah yang
sering memberikan informasi kalau tentara Belanda akan naik ke Sawah Mangkurajo
atau ke Lebong Simpang. Dengan nformasi itu, Tentra Itam menghadang tentara
Belanda di Tebo Buwea yang strategis itu. Penghadangan seperti itulah yang
sangat ditakuti tentara Belanda.
Walaupun apa yang
diperbuat Rahmat muda saat itu, jasanya sangat besar bagi masyarakat. Dia salah
satu pelaku sejarah di daerah Bermani Jurukalang. Ia bersahabat baik dengan
pasirah Gulam ketika tahun 70-an, ia juga menjadi kepercayaan Gubernur Hussein
yang ia panggil dengan sebutan mamak
(paman) itu.
Rahmat dan kakaknya
adalah dua pemuda Kotadonok yang ikut merintis pembangunan jalan raya dari
Kotadonok ke Sawah Mangkurajo ketika Mochammad Hussein mash menjabat gubernur
Sumatera Selatan di Palembang.
Sumber:
1.
Kakek Haji Aburuddin Kotadonok
2.
Rahmatsyah bin H Aburudin
Kotadonok
3.
Kapten TNI (purn) Arsyad Alwi
Tanjungkarang, Lampung
4.
Serma (purn) Ngadiyo di
Talangpadang, Tanggamus, Lampung
5.
dan beberapa sumber lainnya yang
diwawancara antara tahun 1980—1985.
Lebong Tandai
Jalur
si Molek untuk Monas
Kabupaten
Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu
|
Rel Lori Lebongtandai (Bengkulu)
Teman-teman,
barusan kumpul2 artikel & informasi mengenai rel lori 33,5 km ex-tambang Belanda
yang masih dipakai di daerah lebongtandai. wah asyik banget nih!!! Silakan disimak dan berkhayal nyoba naik nih lori...wassalam, intrias.
Lebong Tandai
Jalur
si Molek untuk Monas
Kabupaten
Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu
Namanya si Molek.
Bukan nama seorang gadis Bengkulu, melainkan kereta mini (lori) yang menempuh
rute sejauh 33,5 km. Jalur ini sangat rawan longsor, karena diapit oleh dinding
tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam. Kengerian rute ini bisa
ditebus dengan keindahan hutan yang masih asli yang dapat dinikmati sepanjang
perjalanan. Rel ini menghubungkan Desa Lebong Tandai dengan Kota Kecamatan
Napal Putih. Molek merupakan kendaraan yang dibuat oleh warga setempat pada
tahun 1990-an. Dengan bahan bakar solar, Molek digunakan untuk menunjang
aktivitas ekonomi warga Napal Putih. Antara lain untuk mengangkut hasil bumi.
Jalur lori yang
dilewati si Molek sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun dulu yang lewat
hanyalah loko uap. Peran loko uap dan jalur relnya ini sangat penting. Antara
lain untuk mengangkut emas yang ditambang dari Lebong Tandai.
Emas dari sinilah
yang pada tahun 1970-an mengalir ke Jakarta. Emas yang diangkut loko uap ini
kini menancap di puncak Tugu Monas di Jakarta. Berat emas yang melapisi
"api" Monas sekitar 35 kg. Dengan kilauan emas yang menggambarkan
nyala api ini, Monas dikenal sebagai tugu api yang tak kunjung padam.
Loko uap itu kini
telah tiada dan digantikan peran si Molek. "Dengan Molek ini kita juga
bisa melihat goa-goa tambang peninggalan zaman kolonial yang menghasilkan
emas," jelas staf Humas Pemkab Bengkulu Utara, M Saleh, kepada detikcom di
Bengkulu Utara akhir pekan lalu.
Setelah Belanda
pergi dari Indonesia, emas di Lebong Tandai masih ditambang secara tradisional
oleh masyarakat setempat. Pada tahun 2006, Pemkab Bengkulu Utara mulai
merencanakan pembukaan kembali industri tambang emas ini.
"Kami kerjasama dengan pihak asing. Lahan tambang yang disurvei termasuk yang berada di wilayah Kabupaten Muko-muko dan Kabupaten Lebong," kata Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi.
"Kami kerjasama dengan pihak asing. Lahan tambang yang disurvei termasuk yang berada di wilayah Kabupaten Muko-muko dan Kabupaten Lebong," kata Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi.
Sumber: Kompas -
Rafiqa Qurrata
Sarana Transportas Motor Lori
Lebong Butuh Perbaikan
Selasa, 02 Februari
2010
Bengkulu 14/1
(ANTARA) - Motor lori ekspres (Molek) yang merupakan satu-satunya sarana
transportasi warga Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu
Utara, Provinsi Bengkulu, saat ini kondisinya amat memprihatinkan dan butuh
perbaikan.
"Sebenarnya molek itu tidak layak pakai lagi karena banyak relnya yang hilang dan rusak sehingga membahayakan penggunanya," kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu Syafrianto Daud, Kamis.
"Sebenarnya molek itu tidak layak pakai lagi karena banyak relnya yang hilang dan rusak sehingga membahayakan penggunanya," kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu Syafrianto Daud, Kamis.
Anggota DPRD dari
daerah pemilihan Bengkulu Utara ini mengatakan hingga saat ini sekitar 600 jiwa
warga desa tersebut masih menggunakan sarana transportasi Molek karena tidak
ada pilihan lain.
Molek adalah alat
transportasi peninggalan Belanda yang menggunakan mesin diesel yang gerbong
relnya seperti rel kereta api. Kendaraan ini terus dipakai ketika perusahaan
pertambangan emas beroperasi di daerah itu pada 1980-an dan hingga saat ini
menjadi satu-satunya transportasi warga desa menuju Kecamatan Napal Putih yang
berjarak sekitar 30 Km.
"Jadi tidak
ada akses lain, semua peralatan diangkut menggunakan Molek, makanya kalau terjadi longsor dan menutupi jalur desa
itu akan terisolasi," katanya.
Menurut Syafrianto, sarana transportasi ini tidak dapat lagi diandalkan karena relnya sudah banyak yang putus atau rusak serta beberapa jembatan sudah tua atau hampir ambruk, di sekitar rel juga sudah tertutupi semak belukar. Molek tersebut dikelola oleh masyarakat setempat dan saat ini tidak lebih dari lima gerbong yang masih beroperasi untuk melayani penumpang satu kali pemberangkatan per hari. "Kalau dari Desa Lebong Tandai berangkat subuh, sedangkan dari Napal Putih berangkat sore selepas Maghrib," katanya.
Menurut Syafrianto, sarana transportasi ini tidak dapat lagi diandalkan karena relnya sudah banyak yang putus atau rusak serta beberapa jembatan sudah tua atau hampir ambruk, di sekitar rel juga sudah tertutupi semak belukar. Molek tersebut dikelola oleh masyarakat setempat dan saat ini tidak lebih dari lima gerbong yang masih beroperasi untuk melayani penumpang satu kali pemberangkatan per hari. "Kalau dari Desa Lebong Tandai berangkat subuh, sedangkan dari Napal Putih berangkat sore selepas Maghrib," katanya.
Dari pengakuan
warga desa sudah beberapa kali mengajukan perbaikan rel kepada Dinas
Perhubungan Kabupaten Bengkulu Utara, namun hingga saat ini tidak ada
tanggapan.
"Kalau tidak segera diperbaiki maka transportasi ke Desa Lebong Tandai akan terputus dan berdampak terhadap kehidupan warga di sana," ujarnya. Diposkan oleh ANTARA
"Kalau tidak segera diperbaiki maka transportasi ke Desa Lebong Tandai akan terputus dan berdampak terhadap kehidupan warga di sana," ujarnya. Diposkan oleh ANTARA
Lebong Tandai Bengkulu, "Batavia Kecil" Lebong Tandai
"Perjalanan
menuju "Batavia Kecil" (nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang
digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di desa Lebong Tandai).
Mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, dimana tempat ini pernah menjadi
incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun Investor pada masa
kemerdekaan ini"....
Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Setiba dipangkal
desa Napal Putih Kecamatan Ketahun, sebaiknya kita turun terlebih dulu dari
kendaraan, karena disana ada bekas rumah bersejarah yang dulu didiami oleh
Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir
Marga Ketahun) dan juga pernah dijadikan rumah atau markas oleh Dr. AK Gani
Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan pada masa perang kemerdekaan.
Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.
Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.
Setelah itu, kita
kemudian menuju ‘Stasiun’ Molek (sebutan bagi kereta lori
berukuran 5 x 1 m,
bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Ongkos perorang
adalah Rp 20.000. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir sungai ketahun.
Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada
hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten
Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan
menuju desa Lebong Tandai. Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong
Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna
menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di
Napal Putih pukul 16.00 WIB. Meningat jalur rel hanya satu, jika terpaksa
bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet
dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan
tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel.
Biasanya, para
"Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan
menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang
menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan
Molek yang berjalan didepan atau dibelakang Molek yang kita tumpangi. Jangan
lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal dijalan karena perjalanan
ini cukup panjang karena menempuh 33 km panjangnya rel kereta ini. Untuk
diketahui sejak jaman penjajahan hingga sekarang ini, baru ada 2 wilayah yang
dilewati rute kereta api atau yang memiliki rel, yaitu disini dan di Kecamatan
Kota Padang (Kabupaten Rejang Lebong berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau
Sumatera Selatan).
Setelah kita
menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam
sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan, yaitu
terowongan lobang panjang (+ 300 m), lobang tengah (+ 100 m) dan lobang pendek
(+ 50 m) sampailah kita didesa Lebong Tandai, pemandangan desa ini pada malam
hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film
Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang . Warung-warung berjejer
dengan rapi disepanjang jalan ditengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk
ngobrol, main kartu, dan menonton TV, tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek
yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa.
Semua orang pasti
akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3,
5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang
sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan
tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap
rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV,
Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup
didaerah terpencil ini. Berbicara tentang hiburan memang tradisi itu sudah
cukup lama tertanam dimasyarakat.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Desa ini terletak
500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin
dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK
atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah
mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin.
Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda,
Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu.
Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2
bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan
sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk
keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang. Karena kita tiba
didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa
penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun
perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada di
desa ini. Namun jangan lupa membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita
mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah
yang bisa kita kunjungi antara lain :
Tambang Emas Tradisional
Perusahaan yang
pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan
modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada
3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang, Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kebupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda.(Data LPAP FISIP UNIB, 2003)
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang, Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kebupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda.(Data LPAP FISIP UNIB, 2003)
Di lokasi Tambang
Lebong Tandai ini perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau membuat 16 level
terowongan yang jarak satu level dengan level yang lainnya rata-rata 50 meter
kebawah tanah. Pada waktu itu dibuat tangga lip untuk pekerja masuk ke
terowongan itu. Sampai sekarang tiang-tiang lip itu masih dapat kita jumpai.
Setelah
masuknya PT Lusang
Mining terowongan-terowongan ini kembali dikelola. Namun itupun hanya sampai
level 11 karena level 12-16 sudah penuh dengan air dan tertimbun tanah.
Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas). Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya.
Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas). Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya.
Saat ini, setiap
saat para penambang dapat mengetahui pasaran harga emas dunia, dengan memonitor
berita keluar negeri, misalnya BBC London. Dengan rumus tertentu mereka dapat
mengetahui harga emas dunia dengan standar dolar. Bahkan ada juga yang memiliki
pesawat telepon satelit. Penggunaan alat elektronik seperti TV, kulkas atau
radio komunikasi ditunjang oleh tersedianya aliran listrik dari tenaga air
terus menyala siang-malam tak pernah mati.
Eks Rumah Sakit Belanda
Lokasi rumah sakit
ini terletak dibukit barisan sebelah barat desa Lebong Tandai. Rumah sakit ini
menampung para pekerja perusahaan Mijnbouw maatschappij simau yang sakit.
Kebanyakan pekerja itu sakit paru-paru (TBC) disebabkan kondisi dan alat kerja
yang tidak menjamin keselamatan pekerja. Misalnya alat bor yang digunakan masih
sangat manual, tanpa semprotan air, bentuknya seperti senapan mesin dan bagian
belakang alat bor itu ditempelkan didada, pekerja bor beraktifitas tanpa masker
sehingga debu yang keluar dari batu yang dibor langsung terhisap.
Paling lama 6 bulan
pekerja ini sudah terserang penyakit. Kalaupun ada rumah sakit itupun tidak
banyak membantu. Menurut cerita warga bagi pekerja bagian pengeboran yang sakit
maka diberi 2 pilihan apakah akan dikirim pulang kekampung halamannya
(kebanyakan pekerja dari pulau Jawa tepatnya Banten) atau tetap dirawat dirumah
sakit itu sambil menunggu ajal tiba. Tak heran dibagian belakang rumah sakit
terdapat lokasi kuburan yang sebagian besar adalah ‘korban’ perusahaan
Mijnbouw Maatschappij Simau.
Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu.
Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu.
Kamar Bola
Tempat ini khusus
disiapkan oleh Belanda sebagai sarana hiburan bagi para pekerja tambang.
Letaknya dikaki bukit barisan dibawah eks rumah sakit jaman Belanda. Kita dapat
membayangkan waktu tahun 1900an ditempat ini sudah ada permainan yang yang
sebenarnya permainan itu lazim dimainkan oleh kelas menengah Eropa waktu itu.
Saat ini yang tersisa hanya gedungnya saja meja, stik dan bola billyard sudah
tidak ada lagi. Tapi walaupun demikian bagi yang ingin mencoba bermain billyard
dilokasi ini sambil membayangkan kehidupan waktu itu, kita masih bisa bermain
billyard karena beberapa warga membangun sarana billyard sendiri.
Rumah Simau
Bangunan kayu ini
mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, tapi dibuat seperti
bedeng-bedeng terdiri dari 13 pintu, tingginya sekitar 12 meter dari tanah,
panjangnya sekitar 70 meter. Ruangan bagian atas dan bawah bisa ditempati
sebagai tempat tinggal. Dinamakan Rumah Simau atau Pondok Baru karena bangunan
yang didirikan sekitar tahun 1940 ini merupakan bangunan terakhir yang
didirikan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau, sebelum tambang ini
dikuasai oleh Penjajah Jepang Tahun 1942-1945. Awalnya bangunan ini
diperuntukkan bagi para pekerja perusahaan Belanda itu.
ingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya. Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara.
ingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya. Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara.
Pemakaman Belanda
Pemakaman ini
berada disebelah selatan Desa Lebong Tandai yaitu sekitar 1 jam berjalan kaki,
banyak orang asing khususnya Belanda yang bekerja di Perusahaan Mijnbouw
Maatschappij Simau dikuburkan disini. Sebagian diantara orang asing itu
meninggal karena dibunuh oleh pekerja kontrak yang tidak tahan dengan
penderitaan. Menurut cerita disana dimakamkan juga tuan Smith yang dibunuh oleh
seorang inang (perempuan) dengan cara ditusuk dengan paku yang telah dipipihkan
sebagai senjata ke bagian leher tuan Smith. Ada juga orang Belanda yang
meninggal karena kepalanya di bor oleh pekerja tambang.
Pemakaman China
Lokasinya berada
sekitar 3 km dari arah Lebong Tandai menuju Desa Napal Putih. Berada disebuah
bukit kecil disebelah kanan rel kereta Molek. Sampai sekarang setiap hari raya
Tionghoa maupun acara keagamaan Konghucu, ahli waris masih melakukan upacara
atau ritual keagamaan dilokasi ini. Beberapa diantara warga desa Lebong Tandai
dan Napal Putih adalah keturunan Tionghoa.
Makam Pahlawan
Terletak dibelakang
eks rumah sakit jaman Belanda. Mereka yang dimakamkan disini adalah para
pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat dan sebagian memang tentara.
Mereka gugur karena ledakan bom, saat Belanda bermaksud menguasai kembali
lokasi tambang ini tahun 1947-1949. Rakyat yang tergabung dalam laskar-laskar
itu diberi pangkat setelah gugur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam
mempertahankan kemerdekaan. Desa Lebong Tandai juga pernah dijadikan basis
gerilya pada waktu perang mempertahankan kemerdekaan.
Gedung Bulu Tangkis Belanda
Bentuk bangunan
masih relatif asli, dulu dipergunakan untuk tempat olahraga bagi para pekerja
tambang. Saat ini hanya dipergunakan sebagai gudang oleh warga. Bangunan ini
bersebelahan dengan bekas bioskop jaman Belanda.
Air Panas Alami
Lokasinya terletak
dibawah jembatan sungai Kelumbuk sekitar 8 km dari Desa Napal Putih. Air panas
ini mengandung belerang. Dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa airnya
bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit. Tidak jauh dari air
panas ini juga terdapat air terjun yang indah, masyarakat menyebutnya air
terjun Kelumbuk.
Alat tambang kuno
Alat tambang
peninggalan perusahaan Belanda Mijnbouw Maatschappij Simau masih cukup banyak,
diantara bor manual dan lori. Belum terlambat jika pemerintah mengumpulkan
barang-barang ini sebagai sebuah peninggalan sejarah. Bisa saja dibuat museum
yang khusus menyimpan barang-barang kuno ini.
Sungai Lusang
Nama PT Lusang
Mining diambil dari nama sungai ini. Sungai ini membelah desa Lebong Tandai,
airnya cukup deras dan sangat jernih serta penuh dengan bebatuan besar. Sangat
cocok jika dijadikan lokasi olahraga air seperti arung jeram. Beraneka macam
ikan langka khususnya ikan Putih atau ikan Semah (disebut ikan putih karena
warna sisiknya keputih-putihan) masih banyak terdapat disungai ini. Kelebihan
ikan ini dibanding ikan lainnya adalah sisiknya bisa dikonsumsi karena terdiri
dari tulang rawan.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.
Hutan TNKS
Hutan ini masih
relatif terjaga, karena warga Lebong Tandai juga berperan sebagai penjaga
hutan. Mereka sadar bahwa mata pencaharian mereka yaitu menambang emas sangat
tergantung pada hutan ini. Karena jika hutan ini rusak maka akan berpengaruh
pada sungai dan dam yang mereka gunakan untuk memutar Gelundung atau memutar
turbin listrik. Selain itu, jika hutan ini gundul maka dapat mengakibatkan
longsor, jika terjadi longsong maka akan tertimbunlah desa ini mengingat desa
ini diapit oleh 2 bukit barisan yang masuk kawasan TNKS (taman nasional kerinci
sebelat).
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.
Kerajinan Perak
Kerajinan perak ini
masih diusahakan secara sederhana dan dalam skala kecil. Bermacam-macam
perhiasan yang terbuat dari perak seperti cincin, gelang dan kalung dapat
dibeli atau dipesan disini. Yang berbeda disini adalah kita dapat langsung
melihat proses sejak awal dari penambangan sampai proses perak dijadikan
perhiasan. Pengrajin juga menjamin perhiasan perak yang dibuat disini walaupun
dipakai sampai lama warnanya tidak akan berubah kehitam-hitaman. Karena
kwalitas bahan perak benar-benar dijaga alias perak murni. Pemasaran perhiasan
ini sebagian dijual ke luar Lebong Tandai dan sebagian dibeli oleh mereka yang
berkunjung ke sini.
Umat, 18 April 2008.
Sumber : Firnandes Maurisya
Lebong dan Masyarakat Adat
LINK:http://rejanglang.htm
Jika mengacu pada
sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di
Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan dengan istilah
lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan
kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan
yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem
lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah
sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa
kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan
lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut
dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan
tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak
(Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen
dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang”
menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling
murni.
Intervensi
kebijakan negara dengan regulasi UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
yang seragam membuat sistem kelembagaan lokal ini menjadi ‘perahu yang
kehilangan darmaga’ demikian disebut oleh Bapak Salim Senawar Tokoh Masyarakat
Adat Jurukalang Tapus, sehingga aplikasi sistem lokal ini kemudian dilakukan
proses marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak
hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat,
akan tetapi juga dilakukan melalui penghancuran secara terstruktur melalui
sistem dan tata aturan kelembagaan adat, yang secara langsung secara struktural
dan paktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu
persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola dan
mengatur wilayah dan tertib sosialnya secara demokratis dan berkelanjutan.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
Secara umum dalam
tertib sosial dan adat kesatuan masyarakat ini di ikat dengan tata cara Adat
Beak Nyoa Pinang/Adat Rian Cao yang sangat menghormati informed consent and
negotiated agreements dan di dalam pengelolaannya tenurial dilaksanakan
berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan
hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan
budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai)
bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya,
politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.
Sebagai bagian dari
Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’
bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut
untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan
hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken)
untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi
keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat
sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai
larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap
sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan
menebang pohon di sepanjang badan sungai kiyeu celako demikian jenis
kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan
sumber daya alam. Ke 4 komunitas masyarakat tersebut mengenal kepercayaan bahwa
ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati
sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak
celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas
masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar
tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun
rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.
Lebong dan Konservasi
Di Propinsi Bengkulu,
secara administratif, wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) terdapat di
18 kecamatan, yaitu di Kabupaten Lebong, Kecamatan Lebong Utara, Lebong Atas,
Lebong Tengah, Lebong Selatan, dan Rimbo Pengadang. Kabupaten Rejang Lebong,
Kecamatan Curup, Selupu Rejang, Bermani Ulu, Sindang Kelingi, Padang Ulak
Tanding. Kabupaten Bengkulu Utara, Kecamatan Ketahun, Napal Putih, Putri
Hijau, sedangkan di Kabupetan Muko-muko, Kecamatan Lubuk Pinang, Muko-muko
Utara, Teras Terunjam, Pondok Suguh, Muko-muko Selatan. Dengan luasan di tiap
kabupaten, yaitu Bengkulu Utara 72.171 Ha, Muko-muko 131.341 Ha, Lebong
109.548 Ha, dan Rejang lebong 27.515 Ha.
Kabupaten Lebong
merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No 39
Tahun 2003 dan berada di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai
daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif
terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 5 Kecamatan dengan Luas wilayah
keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan
Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat
111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman
Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di
wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang
Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini
ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar
tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Dari total luas
kawasan hutan tersebut diperkirakan laju kerusakan mencapai 50.999,82 Ha (40%)
yang mengancam kelestarian lingkungan, bencana alam maupun berkurangnya pasokan
untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes. Sebagian besar laju
kerusakan ini diakibatkan oleh aktivitas ekonomi maupun aktivitas illegal
logging.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Tanam Nasional dan
Kawasan Lindungpun dikelola dengan prinsip-prinsip perlindungan alam yang ketat
tapi dalam waktu yang bersamaan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap
masyarakat yang bermukim didalam atau disekitar kawasan tersebut. Akibatnya
perlindungan alam seolah-olah merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan harus
dibenturkan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Konsep konservasi
semacam ini mulai berkembangan di negara-negara Barat, dimulai ketika Yellow
Stone ditetapkan sebagai tanam nasional tahun 1872 model ini dilakukan dengan
pendekatan perlindungan alam yang ketat yang tidak memperkenalkan adanya
kegiatan manusia baik untuk kebutuhan subsistem maupun untuk pemanfaatan sumber
daya alam demi tujuan komersial.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Wacana yang
dikembangkan oleh Pemerintahan Kabupaten Lebong untuk menjadikan Kabupaten
Lebong sebagai Kabupaten Konservasi, disatu sisi secara luasan hutan yang
dimiliki tanpa embel-embel kebijakan konservasi kabupaten ini sudah layak
disebut sebagai kabupaten konservasi, tetapi ada persoalan lain bagi
masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat adalah kelompok korban yang pertama akibat penetapan wilayah ini
menjadi wilayah taman nasional. Sampai sekarang tidak upaya konkrit yang
dilakukan oleh para pemangku kepentingan baik oleh Balai Taman Nasional maupun
oleh kelompok lainya untuk menengahi permasalahan ini. Hal ini berlangsung
terus-menerus dan semakin membuat carut-marutnya pengelolaan Taman Nasional
secara keseluruhan.
Persoalan ini
muncul ketika penetapan kawasan ini dilakukan sepihak oleh pemangku kebijakan
tanpa belibatkan secara utuh dan holistik masyarakat yang bersingungan dengan
kawasan hutan, dalam struktur lokal mereka merupakan bagian yang terintegrasi
ke dalam ekosistem hutan, bundle of right, tumpang tindih kepemilikan atas
objek tanah yang sama menjadi problem utama disamping pertambahan jumlah
penduduk yang berimplikasi langsung dengan kebutuhan akan lahan.
Dari informasi
masyarakat yang bersingungan langsung dengan Kawasan Taman Nasional dan Hutan
Lindung diketahui bahwa akibat tidak partisipatifnya penetapan Taman Nasional
masyarakat menyebabkan luasan kebun dan sawah yang berada di Taman Nasional
semakin luas. Kondisi seperti akan terus berlangsung karena masyarakat tidak
merasa memiliki Taman Nasional dan belum memandang arti penting keberadaanya
selain menjadi penyebab kemiskinan karena kehilangan tanah sebagai satu-satu
media pemenuhan kebutuhan untuk hidup.
Dalam mendukung di
jadikannya Kabupaten Lebong ini Bupati Lebong telah membentuk team
pemberantasan illegal logging dalam aktivitasnya mengaplikasikan metode
konservasi alam klasik (classic nature conservation), ini terlihat
seringnya team ini melakukan represif terhadap masyarakat, Pembacokan antara
Masyarakat dengan Kepala KESBANGLINMAS Kabupaten Lebong di Tapus, Pembongkaran
pondok masyarakat di Mangku Rajo, Penyitaan Kayu tanpa melakukan investigasi
lebih jauh.
Dari kejadian ini
dapat ditarik kesimpulan ada pemahaman tentang bias konservasi di masing-masing
pihak, Pemerintah melihat secara utuh bahwa kawasan konservasi ini harus dijaga
dan jika mengacu pada konsef classic nature conservation faktor perusak utama
kelestarian kawasan adalah manusia. Disatu sisi masyarakat adat mengangap bahwa
ada banyak kearifan dan metode lokal yang membahas tentang konservasi Imbo
Keramat, Hutan Sarang Macan, Larangan pada Spadan Sungai dll merupakan sistem
lokal dalam mengelola atas konservasi kawasan.
Dari analisas AKAR
teridentifikasi beberapa kelemahan dalam pengelolaan, yang selanjutnya
menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kerusakan di dalam kawasan Taman
Nasional, Hutan Lindung dan Cagar Alam seperti perambahan hutan, penebangan
liar, penyerobotan hutan, perburuan liar, dan penambangan emas.
Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi: 1) Bentuk (form) bentang alam kawasan
TNKS yang memanjang (narrow elongated shape), keadaan kawasan dengan garis dan
daerah batas yang panjang dan luas membuka kemungkinan dan kesempatan yang luas
bagi terjadinya tekanan dan gangguan dari luar kawasan ke pusat-pusat hutan
yang merupakan zona inti. 2) Terjadi gangguan dan tekanan dari masyarakat
sekitar kawasan yang didorong oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka,
terlebih pada kondisi krisis saat ini. 3) Adanya aktivitas pertambangan di dalam
kawasan TNKS. 4) Kerusakan hutan lindung dan hutan produksi yang merupakan
daerah penyangga perluasan habitat dan sosial dari Taman Nasional. 5) Masih
lemahnya koordinasi dengan pihak dan instansi terkait, terutama di tingkat
daerah yang mendorong terjadinya benturan kebijaksanaan. 6) Pemekaran
kabupaten, terutama kabupaten yang memiliki sumberdaya alam terbatas menjadi
ancaman dan potensi dilakukannya eksploitasi TNKS.
Lebong, Masyarakat Adat dan Konservasi
1.
Pemerintahan Kabupaten Lebong
perlu memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu
pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan kepada masyarakat luas yang
diatur secara khusus di dalam peraturan daerah yang dibuat secara partisifatif
dengan melibatkan masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan kawasan
konservasi, yang berasaskan:
• Asas Kelestarian dan Keberlanjutan
yang tidak hanya mengacu pada konsef konservasi alam klasik tetapi lebih jauh
mengakomodir sistem lokal
• Asas
Pengakuan dan Kepemilikan Masyarakat Adat
• Asas
Keadilan dan Demokrasi
•
Asas Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Publik
•
Asas Holistik
•
Asas Kehati-hatian dini
•
Asas Eko-Efisiensi
•
Asas Perlindungan Optimal dan Keanekaragaman Hayati
•
Asas Pluralisme Hukum
2. Secara konprehensif dan integralistik melakukan
penataan antara kepentingan masyarakat adat/lokal, dunia usaha dan pemerintah
dalam pemanfaatan, akses dan kontrol terhadap kawasan konservasi termasuk
penyelesaian kontroversi tata batas kawasan, penyelesaian yang dimasud harus
mengacu pada metode Pelaksanaan Implementasi Free, Prior and Informed Consent
and Negotiated Agreements FPIC mempunyai implikasi pada berbagai hal baik
secara politik, hukum maupun secara sosial, dimana secara politis implementasi
FPIC menunjukan bahwa kekuasaan paling tinggi adalah suara rakyat. Sementara
secara hukum adanya kesamaan hak (equality before law) di antara stekeholders
dan secara sosial adanya hak dan otoritas masyarakat adat atas tanah dan
wilayah adatnya untuk mencegah konplik dan kontroversi di kemudian hari.
3. Sistem pengelolaan dan managemen kawasan
konservasi di Kabupaten Lebong harus berdasarkan nilai-nilai lokal (local
wisdom) yang masih berkembangan dan dihormati oleh masyarakat adat sekaligus
sangsi atas pelangarannya yang di akui dalam bentuk kebijakan daerah
4. Mendorong Pemerintah Daerah dan para
pihak terkait di Kabupaten Lebong untuk lebih memperhatikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di desa-desa tertinggal sebagai basis bagi pembangunan
kabupaten Konservasi dengan cara membangun model-model percepatan pembangunan
desa tertinggal
5. Diperlukan kampanye multimedia sistematik yang
diperuntukkan bagi para pihak untuk mempengaruhi paradigma pembangunan yang
tidak berpihak pada rakyat tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)