LINK:http://rejanglang.htm
Jika mengacu pada
sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di
Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan dengan istilah
lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan
kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan
yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem
lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah
sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa
kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan
lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut
dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan
tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak
(Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen
dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang”
menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling
murni.
Intervensi
kebijakan negara dengan regulasi UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
yang seragam membuat sistem kelembagaan lokal ini menjadi ‘perahu yang
kehilangan darmaga’ demikian disebut oleh Bapak Salim Senawar Tokoh Masyarakat
Adat Jurukalang Tapus, sehingga aplikasi sistem lokal ini kemudian dilakukan
proses marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak
hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat,
akan tetapi juga dilakukan melalui penghancuran secara terstruktur melalui
sistem dan tata aturan kelembagaan adat, yang secara langsung secara struktural
dan paktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu
persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola dan
mengatur wilayah dan tertib sosialnya secara demokratis dan berkelanjutan.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
Secara umum dalam
tertib sosial dan adat kesatuan masyarakat ini di ikat dengan tata cara Adat
Beak Nyoa Pinang/Adat Rian Cao yang sangat menghormati informed consent and
negotiated agreements dan di dalam pengelolaannya tenurial dilaksanakan
berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan
hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan
budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai)
bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya,
politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.
Sebagai bagian dari
Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’
bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut
untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan
hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken)
untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi
keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat
sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai
larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap
sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan
menebang pohon di sepanjang badan sungai kiyeu celako demikian jenis
kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan
sumber daya alam. Ke 4 komunitas masyarakat tersebut mengenal kepercayaan bahwa
ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati
sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak
celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas
masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar
tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun
rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.
Lebong dan Konservasi
Di Propinsi Bengkulu,
secara administratif, wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) terdapat di
18 kecamatan, yaitu di Kabupaten Lebong, Kecamatan Lebong Utara, Lebong Atas,
Lebong Tengah, Lebong Selatan, dan Rimbo Pengadang. Kabupaten Rejang Lebong,
Kecamatan Curup, Selupu Rejang, Bermani Ulu, Sindang Kelingi, Padang Ulak
Tanding. Kabupaten Bengkulu Utara, Kecamatan Ketahun, Napal Putih, Putri
Hijau, sedangkan di Kabupetan Muko-muko, Kecamatan Lubuk Pinang, Muko-muko
Utara, Teras Terunjam, Pondok Suguh, Muko-muko Selatan. Dengan luasan di tiap
kabupaten, yaitu Bengkulu Utara 72.171 Ha, Muko-muko 131.341 Ha, Lebong
109.548 Ha, dan Rejang lebong 27.515 Ha.
Kabupaten Lebong
merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No 39
Tahun 2003 dan berada di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai
daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif
terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 5 Kecamatan dengan Luas wilayah
keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan
Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat
111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman
Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di
wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang
Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini
ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar
tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Dari total luas
kawasan hutan tersebut diperkirakan laju kerusakan mencapai 50.999,82 Ha (40%)
yang mengancam kelestarian lingkungan, bencana alam maupun berkurangnya pasokan
untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes. Sebagian besar laju
kerusakan ini diakibatkan oleh aktivitas ekonomi maupun aktivitas illegal
logging.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Tanam Nasional dan
Kawasan Lindungpun dikelola dengan prinsip-prinsip perlindungan alam yang ketat
tapi dalam waktu yang bersamaan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap
masyarakat yang bermukim didalam atau disekitar kawasan tersebut. Akibatnya
perlindungan alam seolah-olah merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan harus
dibenturkan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Konsep konservasi
semacam ini mulai berkembangan di negara-negara Barat, dimulai ketika Yellow
Stone ditetapkan sebagai tanam nasional tahun 1872 model ini dilakukan dengan
pendekatan perlindungan alam yang ketat yang tidak memperkenalkan adanya
kegiatan manusia baik untuk kebutuhan subsistem maupun untuk pemanfaatan sumber
daya alam demi tujuan komersial.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Wacana yang
dikembangkan oleh Pemerintahan Kabupaten Lebong untuk menjadikan Kabupaten
Lebong sebagai Kabupaten Konservasi, disatu sisi secara luasan hutan yang
dimiliki tanpa embel-embel kebijakan konservasi kabupaten ini sudah layak
disebut sebagai kabupaten konservasi, tetapi ada persoalan lain bagi
masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat adalah kelompok korban yang pertama akibat penetapan wilayah ini
menjadi wilayah taman nasional. Sampai sekarang tidak upaya konkrit yang
dilakukan oleh para pemangku kepentingan baik oleh Balai Taman Nasional maupun
oleh kelompok lainya untuk menengahi permasalahan ini. Hal ini berlangsung
terus-menerus dan semakin membuat carut-marutnya pengelolaan Taman Nasional
secara keseluruhan.
Persoalan ini
muncul ketika penetapan kawasan ini dilakukan sepihak oleh pemangku kebijakan
tanpa belibatkan secara utuh dan holistik masyarakat yang bersingungan dengan
kawasan hutan, dalam struktur lokal mereka merupakan bagian yang terintegrasi
ke dalam ekosistem hutan, bundle of right, tumpang tindih kepemilikan atas
objek tanah yang sama menjadi problem utama disamping pertambahan jumlah
penduduk yang berimplikasi langsung dengan kebutuhan akan lahan.
Dari informasi
masyarakat yang bersingungan langsung dengan Kawasan Taman Nasional dan Hutan
Lindung diketahui bahwa akibat tidak partisipatifnya penetapan Taman Nasional
masyarakat menyebabkan luasan kebun dan sawah yang berada di Taman Nasional
semakin luas. Kondisi seperti akan terus berlangsung karena masyarakat tidak
merasa memiliki Taman Nasional dan belum memandang arti penting keberadaanya
selain menjadi penyebab kemiskinan karena kehilangan tanah sebagai satu-satu
media pemenuhan kebutuhan untuk hidup.
Dalam mendukung di
jadikannya Kabupaten Lebong ini Bupati Lebong telah membentuk team
pemberantasan illegal logging dalam aktivitasnya mengaplikasikan metode
konservasi alam klasik (classic nature conservation), ini terlihat
seringnya team ini melakukan represif terhadap masyarakat, Pembacokan antara
Masyarakat dengan Kepala KESBANGLINMAS Kabupaten Lebong di Tapus, Pembongkaran
pondok masyarakat di Mangku Rajo, Penyitaan Kayu tanpa melakukan investigasi
lebih jauh.
Dari kejadian ini
dapat ditarik kesimpulan ada pemahaman tentang bias konservasi di masing-masing
pihak, Pemerintah melihat secara utuh bahwa kawasan konservasi ini harus dijaga
dan jika mengacu pada konsef classic nature conservation faktor perusak utama
kelestarian kawasan adalah manusia. Disatu sisi masyarakat adat mengangap bahwa
ada banyak kearifan dan metode lokal yang membahas tentang konservasi Imbo
Keramat, Hutan Sarang Macan, Larangan pada Spadan Sungai dll merupakan sistem
lokal dalam mengelola atas konservasi kawasan.
Dari analisas AKAR
teridentifikasi beberapa kelemahan dalam pengelolaan, yang selanjutnya
menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kerusakan di dalam kawasan Taman
Nasional, Hutan Lindung dan Cagar Alam seperti perambahan hutan, penebangan
liar, penyerobotan hutan, perburuan liar, dan penambangan emas.
Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi: 1) Bentuk (form) bentang alam kawasan
TNKS yang memanjang (narrow elongated shape), keadaan kawasan dengan garis dan
daerah batas yang panjang dan luas membuka kemungkinan dan kesempatan yang luas
bagi terjadinya tekanan dan gangguan dari luar kawasan ke pusat-pusat hutan
yang merupakan zona inti. 2) Terjadi gangguan dan tekanan dari masyarakat
sekitar kawasan yang didorong oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka,
terlebih pada kondisi krisis saat ini. 3) Adanya aktivitas pertambangan di dalam
kawasan TNKS. 4) Kerusakan hutan lindung dan hutan produksi yang merupakan
daerah penyangga perluasan habitat dan sosial dari Taman Nasional. 5) Masih
lemahnya koordinasi dengan pihak dan instansi terkait, terutama di tingkat
daerah yang mendorong terjadinya benturan kebijaksanaan. 6) Pemekaran
kabupaten, terutama kabupaten yang memiliki sumberdaya alam terbatas menjadi
ancaman dan potensi dilakukannya eksploitasi TNKS.
Lebong, Masyarakat Adat dan Konservasi
1.
Pemerintahan Kabupaten Lebong
perlu memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu
pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan kepada masyarakat luas yang
diatur secara khusus di dalam peraturan daerah yang dibuat secara partisifatif
dengan melibatkan masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan kawasan
konservasi, yang berasaskan:
• Asas Kelestarian dan Keberlanjutan
yang tidak hanya mengacu pada konsef konservasi alam klasik tetapi lebih jauh
mengakomodir sistem lokal
• Asas
Pengakuan dan Kepemilikan Masyarakat Adat
• Asas
Keadilan dan Demokrasi
•
Asas Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Publik
•
Asas Holistik
•
Asas Kehati-hatian dini
•
Asas Eko-Efisiensi
•
Asas Perlindungan Optimal dan Keanekaragaman Hayati
•
Asas Pluralisme Hukum
2. Secara konprehensif dan integralistik melakukan
penataan antara kepentingan masyarakat adat/lokal, dunia usaha dan pemerintah
dalam pemanfaatan, akses dan kontrol terhadap kawasan konservasi termasuk
penyelesaian kontroversi tata batas kawasan, penyelesaian yang dimasud harus
mengacu pada metode Pelaksanaan Implementasi Free, Prior and Informed Consent
and Negotiated Agreements FPIC mempunyai implikasi pada berbagai hal baik
secara politik, hukum maupun secara sosial, dimana secara politis implementasi
FPIC menunjukan bahwa kekuasaan paling tinggi adalah suara rakyat. Sementara
secara hukum adanya kesamaan hak (equality before law) di antara stekeholders
dan secara sosial adanya hak dan otoritas masyarakat adat atas tanah dan
wilayah adatnya untuk mencegah konplik dan kontroversi di kemudian hari.
3. Sistem pengelolaan dan managemen kawasan
konservasi di Kabupaten Lebong harus berdasarkan nilai-nilai lokal (local
wisdom) yang masih berkembangan dan dihormati oleh masyarakat adat sekaligus
sangsi atas pelangarannya yang di akui dalam bentuk kebijakan daerah
4. Mendorong Pemerintah Daerah dan para
pihak terkait di Kabupaten Lebong untuk lebih memperhatikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di desa-desa tertinggal sebagai basis bagi pembangunan
kabupaten Konservasi dengan cara membangun model-model percepatan pembangunan
desa tertinggal
5. Diperlukan kampanye multimedia sistematik yang
diperuntukkan bagi para pihak untuk mempengaruhi paradigma pembangunan yang
tidak berpihak pada rakyat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar