Di lembah Sawahmangkurajo Inilah seluruh anggota Keluarga Rahmatsyah Tjik Una menghabiskan sebagian besar masa kehidupan. Tanah di sini dibuka sejak Rahmatsyah
masih berstatus bujang, kemudian jadi ajang persembunyian Tentra Hitam(TNI), mereka melindungi daerah ini karena merupakan lumbung beras bagi perjuangan tentara RepublikIndonesia melawan tentara Belanda ataupun tentara Jepang.
Riwayat
Sawahmangkurajo
yang berada di sebuah lembah pegunungan Bukit Barisan, pan-jangnya mencapai 3,5
Km lebih, dan rata-rata lebarnya antara 500-1.000 meter. Sa-wahmangkurajo
ternyata mempunyai riwayat panjang dan sangat menarik. Tanah sawahmangkurajo
merupakan hak miliknya Tun Manai (orang-orang Bermani) yang diperkirakan
kepemilikan itu berlangsung hingga sekitar tahun 1920. Entah bagaimana
perjalanan kepemilikan tanah Sawagmangkurajo itu, kemudian tanah ter-sebut
jatuh ke tangan masyarakat Jurukalang, yang saat itu dipimpin pasirah Pangiran.
Pembukaan lahan pertanian dan perkebunan besar-bsaran di Sawahmangkurajo
merupakan perintah Pasirah Pangiran.
Tanah
Sawahmangkurajo, jatuh ke tangan masyarakat Jurukalang, termasuk juga
masyarakat Bermani masuk ke dalam struktur masyarakat Jurukalang, berawal suatu
ketika antara tahun 1920-1927. Saat itu, seorang pembesar dari Manai
(Bermani) mrisau (berjudi, bertaruh) dengan Tun Kicai
(orang-orang Kerinci).
Taruhannya
bukan uang, bukan harta lainnya, akan tetapi kawasan tanah yang be-rada di
Sawahmangkurajo. Namun, hingga catatan ini dibuat (ditulis), pembesar dari
Manai itu, belum dapat diketahui, siapa namanya. Apakah ia seorang pasirah atau
apa.
Yang
jelas saat itu, lawan mrisaunya Tun Manai adalah Tun Kicai, yang dikenal
dengan ketinggi ilmu kanuragannya. Bayangkan saja, jarak Sawahmangkurajo
dengan daerah Kerinci sangatlah jauh, tidak bisa ditempuh hanya dua tiga hari
perjalanan saja. Akan tetapi, Tun Kicai yang juga berminat membuka areal
persawahan dan perkebunan di Sawahmangkurajo, dengan mudah dapat pulang dan
pergi ke Sawahmang-kurajo hanya dalam waktu beberapa menit saja.
Konon
kabarnya, Tun Kicai itu berangkat ke Sawah mangkurajo pagi hari, kemudian
seharian bekerja dan sore harinya pulang lagi ke Kicai (daerah Kerinci).
Kalaulah bukan orang yang punya ilmu tinggi, tidak mung-kin bisa melakukan hal
itu.
Namun
demikian, sampai detik ini juga, belum diketahui secara pasti, Kicai dan Tun
Kicai yang dimaksud dalam sejarah Sawahmangkurajo itu, apakah Kerinci yang kita
ketahui saat ini, yang masuk daerah Jambi atau ada daerah lain yang disebut
dengan Kicai atau Kerinci itu. Demikian pula dengan orang-orang Kerinci/Tun
Kicai yang di-sebut-sebutkan itu, mereka berasal dari Kerinci benaran atau
orang-orang Kerinci yang sudah merantau ke daerah lain, berdekatan dengan lokasi
Sawahmangkurajo. Kemudian ingin membuka sawah di Mangkurajo, karena menilai
tanah sawah di Mangkurajo itu sangat subur.
Baiklah,
kita kembali ke acara mrisaunya Tun Manai dengan Tun Kicai. Ternyata Tun-tun
Kicai dapat mengalahkan Tun Manai, dan tanah di Sawahmangkurajo akhirnya
dijadikan borogh (jaminan) hutan Tun Manai kepada Tun Kicai. Dahulu kala,
untuk membedakan batas-batas wilayah tanah masyarakat Bermani dengan masyarakat
Jurukalang, sangat sederhana. Batas dan luas wilayahnya hanya ditandai dengan
jenis tumbuhan kayu yang berbeda. Disebutkan, tanah-tanah orang Bermani adalah
tanah-tanah yang ada tumbuhnya kiyeu (pohon) Nilo Tebo. Sedangkan
tanah-tanah milik Jurukalang adalah tanah yang ditumbuhi banyak kiyeu Nilo
Kaleak Pitat.
Dengan
perbedaan jenis tumuhan kayu yang dijadikan patokan batas wilayah. Terlihatlah
di daerah Mangkurajo, Sawahmangkurajo, sejak Tepat Taukem (Keramat Rukam) terus
ke arah Tes, Tabaanyar dan lainnya), memang banyak sekali ditumbuhan jenis kayu
Nilo Tebo. Sedangkan dari Kotadonok terus ke Plabuak (Talangratu), Topos
(Tapus/Sukanagari), Tlangdonok (Talangdonok) dan sekitarnya, banyak ditumbuhi
kayu Nilo Kaleak Pitat. Sejak kalah mrisau (berjudi), praktis tanah-tanah milik
orang-orang Bermani jatuh ke tangan Pesirah Pangiran (Orang Jurukalang). Dan,
itu berlangsung hingga saat ini. Bahkan, masyarakat marga Bermani pun bergabung
(digabungkan, pen) dengan masyarakat marga Jurukalang yang disebut dengan marga
Bermani Jurukalang.
Menurut
Rachmatsyah, saksi sejarah yang masih hidup saat catatan ini ditulis,
menuturkan panjang lebar riwayat Sawahmangkurajo. Dalam wawancara dengan
Rahmatsyah tahun 1992 di Kotadonok, riwayat Sawahmangkurajo diuraikan dengan
baik dalam bahasa Rejang.
Penuturan
Rahmatsyah:
Rakhmatsyah bin Hi. Aburuddin |
Tahun
1930, aku diajak bapak (Haji Aburudin) ke Sawahmangkurajo. Waktu itu, aku baru
masuk sekolah rakyat (semacam SD sekarang ini) atau kelas 1. Beberapa sawah
sudah dibuka di Sawahmangkurajo saat aku ikut naik ke sana. Yang juga ikut ke Sawahmangkurajo waktu
itu, antara lain Ninik Ajai (H Aburudin), Jemingan, Bausin, Aliangan, Ketib,
Kisek, Tiak Dja dan Tiak Rul.
Aku
pernah diajak pertama kali ke Lebong Simpang (lokasi tembang mas), dengan
membawa pucuk-pucuk (sayuran), untuk ditukarkan dengan mas. Yang aku tahu, datang menyusul buka
sawah di Sawahmangkurajo adalah Madris, Tiak Kabil, Jamak dan Hasyim (tiak
Alimansyur). Pada saat kami naik tahun 1930, kebun di Tanjung (kepunyaan Ninik
Ajai /H Aburudin) kebanjiran, sehingga pondok (tempat tinggal), terpaksa
dipindahkan ke lokasi Talang lama, karena daerahnya tak mungkin akan terkena
banjir. Keberangkatan warga Kotadonok ke Sawahmangkurajo itu pada saat itu
adalah perintah Pasirah Pangiran, urai Rahmatsyah.
Pembukaan
areal sawah dan kebun sawahmangkurajo yang pertama kalinya dilakukan di kawasan
Tebing Kicai (Tanjakan Kerinci) oleh Tun-tun Kicai dan lahannya sampai ke sawah
Saridin.
Pengumuman Jemuran
Konon
cerita, mengenai riwayat pembukaan lahan sawah dan kebun oleh Tun Kicai di Sawahmangkurajo, tentang adanya
pengumuman kepemilikan tanah. Di tanah Tiak Aleak (Tun Kicai)—kini kira-kira di
sawah Saridin, dituliskan pengumuman dengan kata-kata “Di sini ada Jemuran!”
Orang yang lalulalang di dekat tanah Tiak Aleak itu, menyangka kata ‘jemuran’
itu adalah pakaian yang sedang dijemur. Namun, setelah diselidiki, ternyata
jemuran itu adalah nama dari Tiak Aleak.
Kepala Pemerintah
Sejak
tahun 1930 di sawah Mangkurajo sudah berjalan sistem pemerintahan, di mana saat
ini yang menjadi kepala sadei (Sadei, setaraf dengan desa) pertama (I) Sawahmangkurajo
adalah Anang Tausin (Tiak Harya), kemudian diganti dengan Masafa dan yang
ketiga dipegang oleh Sakap. Ketika proses pergantian kepalo sadei kedua dari
Masafa. Tiak Kabil menginginkan jabatan tersebut ia pegang, namun keinginanya
itu tak pernah kesampaian, karena kepalo
sadei ketiga saat ini akhirnya diberikan kepada Sakap.
Agama
Di
bidang agama, pengurusan di masjid dan pendidikan agama kepada masyarakat
ditunjuklah bberapa tokoh agama untuk menjalankannya. Haji Thaher diangkat
sebagai imam bersama Rahmatsyah. Sidik diangkat jadi ketib, kemudian Bahudin
diangkat jadi bilal dan Tiak Rul ditunjuk sebagai garim. Ketika Haji Thaher
pindah ke Airdingin, posisi imam dipercayakan kepada Rahmatsyah. Kelompok
Rahmatsyah dengan kelompok Tiak Kabil memang berlawanan. Persoalannya saat itu,
karena Rahmatsyah minta pertimbangan, agar dirinya tidak terlalu sibuk.
“Aku waktu itu
memang sibuk, di sisi mengajar di SR, juga mengajar agama, mungkin tak punya
waktu lagi jadi imam,” kenang Rahmatsyah. Persoalan itulah yang memicu konflik
antara kelompok Tiak Kabil dengan Rahmatsyah dkk.
Beberapa
murid yang berhasil saat itu, antara lain Muis, Jamaan, Saidi, Buyung. Mereka
adalah murid-murid guru Stiari yang kemudian diturunkan kepada Rahmatsyah.
Kasus yang menghebohkan saat itu, karena kelompok guru Suhari, Tiak Senan dan
beberapa kawannya ketangkap basah saat pacaran (selingkuh), sehingga kelompok
mereka dibubarkan dengan tidak hormat, dan tidak diberi hak lagi untuk
mengajar, karena perbuatan aib yang mencemarkan masyarakat Kotadonok.
Belanda ke Lebong
Simpang
Orang-orang
belanda ke Lebong Simpang waktu itu melalui Tes hingga Tebing Kicai, yang
langsung menuju Tebo Beliang. Selain Tebing Kicai, masih ada tebing lainnya
yang disebut dengan Tebing Tiak hera. Tebing itu dijuluki, karena waktu orang
Belanda ke Lebong Simpang, saat berjalan di Tebing Kijai, orang Belanda itu
digendong Tiak Hera dengan diberi upah. Sedangkan jalan ke II orang Belanda ke
Lebong Simpang melewati Air Bening, Air Dingin. Sedangkan jalan dari Kotadonok
ke Sawahmangkurajo, sekitar 11,5 Km dibuat setelah pernikahan Hasyim (tiak Ali)
Saat
pengukuran jalan Kotadonok – Sawahmangkurajo, bertugas sebagai pemancang tanda
kilometer adalah Rahmatsyah—yang diberi tugas untuk membuat tanda kilometer
terbuat dari kaleng. Sedangkan yang menarik tali ukuran kilometer-nya adalah
Tiak Darum.
Perkembangan
Lokasi
Sawahmangkurajo mengikuti jalan utama yang dibuat zaman pasirah Pangiran
sekitar tahun 40-an, menempuh jarak sekitar 11,5 Km. Namun, setelah dibukanya
perkebunan besar PT Sebayur, PT Indo Rabika, jarak tempuh semakin pendek,
apalagi menuju lokasi sawah keluarga kami. Mungkin hanya berjarak 6—8 Km.
Semakin
hari semakin banyak penduduk yang membuka lahan sawah dan per-kebunan di Lembah
sawahmangkurajo, bahkan dalam data terakhir tercatat sekitar 100 KK yang
membuka usaha pertanian, perkebunan di Sawahmang-kurajo. Kemu-dian didirikan
kembali Sekolah Dasar (SD) yang dikepalai oleh Zulkifli Hamid bin Madris.
Sawahmangkurajo terletak sekitar
11,5 Km dari Desa Kotadonok, atau terletak di tengah-tengah antara Desa
Kotadonok dengan tambang emas Lebong Simpang. Sawahmangkurajo merupakan bagian
dari wilayah Marga Jurukalang berupa lembah nan subur dengan suhu udara yang
sangat dingin. Lembah Sawahmangkurajo memikili luas wilayah sebagai berikut;
panjang areal mencapai 7 – 10 Km terbentang dari Tebing Kicai (Tebing Kerinci) bagian Barat hingga kaki Bukit Suban Air Panas di bagian Timur. Dengan lebar rata-rata
men-capai 2.000 meter.
Di
lembah Sawahmangkurajo yang lebih populer disebut dengan nama Saweak Krajo
itu mengalir sebuah sungai besar namanya Biao
Puak atau sering juga disebut Air
Pauh atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan Sungai Air Tepi. Namun, Bioa Puak itu, pada saat memasuki
Danau Tes dekat Desa Tes (bagian Timur) disebut dengan Sungai (Air) Putih.
Sawahmangkurajo
sejak zaman sebelum Indonesia
merdeka, hingga ta-hun 60-an merupakan sebuah dusun yang penduduknya adalah
penduduk Desa Kotadonok. Pada zaman itu, perjuangan penduduk Sawahmangkurajo
untuk membantu Tentra Hitam (TNI) melawan penjajahan Belanda dan Je-pang,
sangat besar. Terutama suplai bahan makanan, seperti beras, sayuran dan info
pen-ting untuk Tentra Hitam yang tengah bergerilya di tengah hutan antara Desa
Kotadonok – Tambang Emas Lebong Simpang. Namun, setelah Indonesia merdeka,
antara tahun 1960-1970-an penduduk Mangkurajo tinggal tiga sanak keluarga,
terdiri dari Ninik Ajai dan sebei Kidah (sebei Septok) dan keluarga anaknya,
Rahmatsyah (Pak Guau) dengan isterinya Cik Una, dan Wok Umeak Ja (Wok Timboa
dan Wok Ja).
Bertahun-tahun
sanak keluarga Ninik Ajai itu berusaha, memelihara sa-wah, kebun dan hutan yang
ada disekitar Sawahmangkurajo. Untuk menem-puh jarak antara Desa Kotadonok
dengan Sawahmangkurajo, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, yang menghabiskan
waktu sekitar 12 jam. Suasana pada waktu itu, sangat sepi, hanya keramaian
datang jika para pendulang dan pedagang mampir dalam perjalanan mereka ke
Lebong Sim-pang, yang setiap harinya, rata-rata antara 10-30 orang, hilir mudik
melewati Sawahmangkurajo.
Barulah,
tahun 71-an, keluarga Halim dan Efek membuka areal persa-wahan di
Sawahmangkurajo, di bagian sebelah Selatan, ke arah Suban. Na-mun, potensi
bidang pertanian yang besar itu, belum merubah kesejahteraan keluarga Ninik
Ajai dan keluarga lainnya yang mencoba mengadu nasib di Sawahmangkurajo.
Jumlah
Keluarga 1992
Pada
tahun 1992, jumlah keluarga yang berusaha dan menjadikan Lembah
Sawah-mangkurajo sebagai tempat mata pencaharian mencapai 67 Kepala Keluarga
(KK). Perincian nama-nama KK itu sebagaimana dicantumkan di bawah ini:
JUMLAH PENDUDUK SAWAHMANGKURAJO TAHUN 1982
NO
|
NAMA KELUARGA
|
JUMLAH JIWA
|
||||
Kepkel
|
Isteri
|
anak
|
Jml
|
|||
01
|
Rahmatsyah
|
1
|
1
|
-
|
2
|
|
02
|
Yusdianto
|
1
|
1
|
5
|
7
|
|
03
|
M.
Hasbi
|
1
|
1
|
2
|
4
|
|
04
|
Ansari
|
1
|
1
|
1
|
3
|
|
05
|
Zulkifli
Hamid
|
1
|
1
|
5
|
7
|
|
06
|
Tamrin
|
1
|
1
|
2
|
4
|
|
07
|
Ramli
|
1
|
1
|
4
|
6
|
|
08
|
Haryon
|
1
|
1
|
1
|
3
|
|
09
|
Rusli
|
1
|
1
|
2
|
4
|
|
JUMLAH PENDUDUK SAWAHMANGKURAJO TAHUN 1992
NO
|
NAMA KELUARGA
|
JIWA
|
JUMLAH
|
|
Isteri
|
Anak
|
|||
01
|
Yansori
|
1
|
7
|
9
|
02
|
Saridin
|
1
|
3
|
5
|
03
|
Yusman (Man)
|
1
|
1
|
9
|
04
|
Ali sahbana
|
1
|
6
|
8
|
05
|
Bude
|
1
|
1
|
3
|
06
|
Fery
|
1
|
-
|
2
|
07
|
Jahri
|
1
|
4
|
6
|
08
|
Lihin
|
1
|
3
|
5
|
09
|
Djumala
|
1
|
1
|
3
|
10
|
Sa’i
|
1
|
3
|
5
|
11
|
Fendi (Pen)
|
1
|
2
|
4
|
12
|
Ta’im
|
1
|
2
|
4
|
13
|
Zainuri (Ulik)
|
1
|
3
|
5
|
14
|
Ponem
|
-
|
1
|
2
|
15
|
Yati
|
-
|
5
|
6
|
16
|
Daud
|
1
|
1
|
3
|
17
|
Johan
|
1
|
4
|
6
|
18
|
Asma
|
-
|
1
|
2
|
19
|
Gafar
|
1
|
1
|
3
|
20
|
Markaf
|
1
|
5
|
7
|
21
|
Djumadi
|
1
|
7
|
9
|
22
|
Nasir
|
1
|
3
|
5
|
23
|
Agus
|
1
|
1
|
3
|
24
|
Alul
|
1
|
-
|
2
|
25
|
Suri
|
1
|
5
|
7
|
26
|
Adi
|
1
|
4
|
6
|
27
|
Abu Hanifah
|
1
|
1
|
3
|
28
|
Udil
|
1
|
1
|
3
|
29
|
Djahima
|
-
|
-
|
1
|
30
|
Zad
|
-
|
-
|
1
|
31
|
Del
|
1
|
1
|
3
|
32
|
Dualim
|
1
|
1
|
3
|
33
|
Khaidir (Idir)
|
1
|
4
|
6
|
34
|
Juli
|
1
|
3
|
5
|
35
|
Abu Saman
|
1
|
3
|
5
|
36
|
Mu’in
|
1
|
4
|
6
|
37
|
Sirwan
|
1
|
3
|
5
|
38
|
Gus
|
1
|
4
|
6
|
39
|
Ala
|
1
|
3
|
5
|
40
|
Ali Mansur
|
1
|
6
|
8
|
41
|
Iman
|
1
|
-
|
2
|
42
|
Djama’
|
1
|
-
|
2
|
43
|
Djamalani (Ateng)
|
1
|
-
|
2
|
44
|
Kasira
|
1
|
6
|
8
|
45
|
Nadi
|
1
|
1
|
3
|
46
|
Aket
|
1
|
1
|
3
|
47
|
Dait
|
1
|
3
|
5
|
48
|
Tu’it
|
1
|
4
|
6
|
49
|
Atul
|
1
|
2
|
4
|
50
|
Zainul
|
1
|
2
|
4
|
51
|
Zain
|
1
|
1
|
3
|
52
|
Djarin
|
1
|
1
|
2
|
53
|
Usman
|
-
|
1
|
2
|
54
|
Kaning
|
1
|
5
|
7
|
55
|
Siswan
|
-
|
1
|
3
|
56
|
Nong
|
1
|
1
|
3
|
57
|
Sari’i
|
1
|
2
|
4
|
58
|
Bibur
|
-
|
-
|
1
|
|
|
|
|
|
bulan
Maret-April 1992 di Kotadonok.
Penduduk
Pada umumnya
penduduk Dusun Sawahmangkurajo adalah penduduk Desa Kotado-nok dan Sukasari,
Kecamatan Lebong Selatan. Pada tahun 1995 di Sawahmang-kurajo, sudah ada sebuah
Masjid, dengan imamnya adalah Rahmatsyah, dibantu Ali Mansur, Moch Hasbi
Prahana. Juga sudah ada sebuah SDN yang kepala sekolahnya Zulkifli Hamid.
Sementara, Kepala Dusun (Kadus) Sawahmangkurajo saat itu dipercayakan kepada
Djumadi, anak keturunan H Aburudin (almarhum). Kadus kedua adalah Muhammad
Hasbi Prahana bin Rahmatsyah.
Perhubungan
Dengan adanya
perkebunan besar kopi Arabica, Asparagus milik konglomerat asal Lampung dan
Bengkulu yang lokasinya berada di jalur lintas antara Desa Kotadonok dengan
Dusun sawahmangkurajo. Areal perkebunan tersebut mencapai kawasan pe-makaman
umum Dusun Sawahmangkurajo.
Jalur kendaraan roda
empat memang dibangun, namun khusus untuk kendaraan-kendaraan perusahaan
perkebunan. Sedangkan transportasi untuk umum yang menggunakan mobil jeep
gunung, hanya sampai di markas perkebunan kopi, yang dulunya dikenal dengan
klawasan Tebo Buwea.
Pengembangan
Areal Persawahan
Semakin banyaknya
masyarakat bermata pencaharian di Dusun Sawahmangkurajo, areal persawahan dan
perkebunan rakyat pun bertambah luas. Untuk areal persa-wahan penbgembangannya
cenderung ke arah Bukit Daun, sementara perkebunan kopi meluas ke arah Tebing
Kicai, arah jalan menuju Desa Tes/Tabaanyar. Seiring dengan kemajuan dan
perkembangan Dusun Sawahmangkurajo, banyak pula pendatang yang berusaha mengadu
nasib, bermata pencaharian di lembah Sawah-mangkurajo itu. Mereka datang dari
Mana (Bengkulu Selatan), Lampung, Tes, Ta-baanyar, Ujung Tanjung dan dari
daerah lainnya.
Kesejahteraan
Walaupun
Sawahmangkurajo berkembang cukup pesat, namun tingkat kesejahteraan
masyarakatnya tidak banyak berubah. Apalagi, janji untuk membangun jalur
trans-portasi yang dapat dilewati kendaraan hingga ke SDN Sawahmangkurajo,
hingga beberapa tahun kemudian, tidak pernah dilaksanakan dengan baik. Baik
oleh peme-rintah maupun oleh pemilik perkebunan kopi dan asparagus setempat.
Padahal, Undang-undang mengintruksikan, setiap pengusaha yang membuka
perke-bunan besar di suatu tempat, harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat
di sekitar perkebunan yang akan dibuka tersebut.
Problema
itulah yang dihadapi masyarakat (penduduk) Dusun Sawahmang-kurajo, da-erahnya
berkembang, hutan semakin rusak, persediaan air kian menipis, kesejah-teraan
masyarakatnya tidak berubah dari tahun ke tahun. Sedangkan pemilik perusa-haan
perkebunan kopi Arabica maupun asparagus, terus mengeruk keuntungan besar dari
eksploatasi kawasan sawahmangkurajo. Untuk itu, perlu pemecahan masalah
tersebut, yang memerlukan pertemuan para to-koh masyarakat Desa Kotadonok dan
desa Sukanegari, agar rakyat di Dusun Sawah-mangkurajo tidak menjadi lebih
melarat, akibat adanya pembukaan areal perkebunan besar-besaran di sekitar
kawasan itu.