Oleh Naim Emel Prahana
SUARA bernada tinggi itu tak begitu keras
terdengar. Lantaran pembicaranya berada di pusat pasar yang penuh dengan
keramaian. Serius tidak serius, tapi ‘serius’. Tidak serius, juga tidak juga!
Orang bilang itu obrolan di warung. Bolehlah. Tapi, ada yang perlu dicatat –
digaris bawahi dari obrolan semacam itu. Isinya konstektual sekali. Masalahnya,
apakah itu mewakili lapisan masyarakat tertentu, atau tidak. Boleh
dikesampingkan dulu.
Sebab, obrolan pasar atau ngobrol di warung kopi adalah
pribadi-pribadi warga masyarakat, terkadang sangat informatif. Untuk banyak hal yang telah, sedang dan akan terjadi.
Juga, ada benarnya obrolan di pasar di era global informasi itu ada kebodohan
atau mungkin serangkaian informasi yang tengah terjadi di tengah masyarakat itu
sendiri.
’Kayaknya begitu’. Apalagi suasana menjelang pemungutan suara pemilukada (pilkada)
serentak tanggal 9 Desember 2015 ini. Sepertinya, semua dikeluarkan. Mulai dari
sendal, sepatu, sarung tangan, kaos-kaos kaki dan tangan. Topi dan tentunya pos
anggaran untuk mengobrol tadi. Persis lahirnya banyak pengamat, motivator,
inisiator atau penyambung lidah ’katanya’.
Itulah fenomena keterbukaan demokrasi dengan tingkat kemajuan melebihi
kecepatan berjalannya kondisi di tengah masyarakat itu sendiri. Pemilihan
kepala daerah disebut-sebut sebagai ’pilkada’ itu adalah bagian dari dinamika
pembangunan karakter manusia. Over acting
atau ada deleting tertentu. Itulah kewajaran bahwa tingkat pendidikan
masyarakat sangat bervariatif.
Ngobrol di warung kopi pada umumnya melewati fase-fase perdebatan
masalah tertentu. Bisa urgen bisa tidak masalahnya. Ketika itu memasuki wilayah
demikian obrolan di warung kopi menjadi debat kusir yang tidak ada
kesimpulannya. Kecuali memunculkan watak individu anggota masyarakat itu
sendiri.
****
Dari situ akan muncul sikap individualisme yang tinggi. Mengarah
kepada pengeritik dan penerima kritikan. Sebagian besar pasti menimbang,
memperhatikan dan memutuskan debat kusir itu tidak perlu dibawa pulang ke rumah
atau ke kantor. Tapi, tradisi lisan sering pula tidak menimbang, tidak
memperhatikan dan tidak memutuskan isi debat itu secara bijak.
Terajilah sikut-sikutan berawal ngobrol di warung kopi. Apalagi
pilkada serntak 9 Desember 2015 memunculkan lebih dari satu pasangan calon
kepala daerah. Debat kusir, juga harus diakomodir sebagai proses demokratisasi
di suatu masyarakat. Proses itu tidak bisa 100% mencapai garis finish. Setidak-tidaknya
menjadi laga penting terhadap respon warga atas proses demokrasi tadi.
Standarisasi konteks obrolan pilkada memang tidak bisa dicapai dari
”obrolan di warung kopi”. Tapi, akan mencapai tujuannya, jika informasi itu
memiliki banyak data riil yang disampaikan secara santun, beretika dan bermoral.
Yang bilang, ”Semua rakyat sudah ngecap
politik di Indonesia itu jelek”
Adagium tersebut tidak benar. Sebab, dalam hal politik yang buruk
selama ini, rakyat tidak menjeneralisir keburukan seorang politikus menjadi
kejahatan politik secara keseluruhan. Banyak kasus politisi terjerat tindak
pidana korupsi, narkoba, arogansi yang dipublikasikan secara luas tersebut.
Rakyat – masyarakat tidak ’lantas’ menyebut semua politisi atau diunia
politik di Indonesia kacau balau, jahat, jelek, atau rusak! Masyarakat hanya mengaitkan
dengan partai si politisi yang terjerat kasus hukum. Tapi, di lain sisi
masyarakat tetap tidak memberikan lebel apa-apa terhadap politisi yang tidak
bersalah.
Artinya, seperti anggota polisi terjerat kasus kejahatan. Maka, secara
otomatis masyarakat menyebutkannya dengan ”kejahatan polisi” – korpnya dikait-kaitkan. Sedang anggota
polisi lainnya, tidak. Tetap mereka hormati. Di situ tergambar jelas bahwa
obrolan di warung kopi tidak ada jaminannya kalau apa yang disampaikan
seseorang itu mewakili rakyat luat.
” Yang jelas mewakili karakternya sendiri!”
*****
Sama halnya, juga masalah apa yang menimpa beberapa da’i – uztad yang
sering populer lewat acaranya di televisi atau beritanya di media cetak,
elektronik dan media sosial. Masyarakat sudah cerdas, memilah, memilih dan
menyimpulkan apa yang didengar, dilihat, ditemui atau dibaca masalahnya.
”Tidak serta merta,” demikian bisa disimpulkan. Sayangnya, kesimpulan
yang baik dan benar itu, pada tahapan realitasnya selalu dibenturkan kepada
individual yang mungkin memiliki karakter (sifat) yang temperamental,
emosional, egois sehingga debat di warung kopi atau warung apa saja sering
menimbulkan konflik komunikasi selanjutnya.
Pada tatanan obrolan masuk lebih dalam ke pemilukada. Salah satu yang
selalu ikut serta dalam pembicaraan adalah money
politic. Masyarakat hanya tahu ’suap’ dan tidak mau mengurus sebab
akibatnya. Dalam pesta demokrasi seperti pilkada, ”uang berpengaruh besar terhadap kecenderungan warga menyanjung pasangan
calon (paslon). Tapi, uang bukan jaminan sebuah kemenangan di pilkada”
Demikianlah profile pemilik suara yang cerdas mengatakan debat kusir
itu. Mereka akan terima dan menerima siapa yang akan memberikannya. Coblosan di
kertas suara memiliki faktor pengaruh yang multifaktor. Apalagi pemilih yang
hanya memberikan suara, tidak terkait dengan komunitas paslon pilkada.
Namun demikian, obrolan di warung kopi, warung apa saja (warung bubur,
red) pasti memiliki nilai tersendiri terhadap apa yang sedang terjadi dan
bagaimana kejadian selanjutnya. Masyarakat di pasar adalah ”masyarakat bebas”.
Mereka bukan pemain, bukan politikus, bukan pengamat. Tetapi mereka setiap saat
masuk ke wilayah pengamat, politikus maupun menjadi pemain yang bisa berperan
dan bisa tidak. ”semua tergantung kepada sesuatu yang sedang terjadi!”
Asumsinya, bisakah masyarakat pada umumnya yang sudah menjadi cerdas
’memilih’ kemudian memilih ’pemimpin’ yang standarnya sudah cerdas juga? Di
situ akan berlaku hukum relativitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar