Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya sekarang tinggal di Kota Metro,
Lampung.
MENANDAI pelaksanaan Kongres
Kesenian Indonesia ke III
tahun 2015 yang dihelat di Kota Bandung, Jawa Barat. Patut
kita sambut baik salah satu sambutan itu melihat dari tema Kongres Kesenian Indonesia
(selanjutnya ditulis KKI) III, “Kesenian
dan Negara Dalam Arus Perubahan”. Tema itu demikian berat untuk
mengelaborasi, mengidentifikasi, serta menginventarisasi berbagai persoalan
kesenian yang terkait dengan konteks bernegara.
Menyadari posisi
kesenian sejak lama sampai KKI III di Bandung ini, para seniman dihadapkan
kepada banyak masalah yang telah dan sedang terjadi – khususnya menghadapi
peradaban teknologi. Asumsinya seperti tercantum dalam kerangka UU Kebudayaan
yang sampai sekarang belum jelas pengesahannya.
Bukan hanya masalah
‘penentuan’ peserta yang diundang dan dibayar oleh panitia KKI III.
Dimunculkannya teman Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan semakin menarik
untuk ditebak, ke mana pemerintah mau mendisposisikan posisi kesenian di era
teknologi global dewasa ini.
Dalam siding-sidang
kongres diusung pula subtema seperti 1. Politik Kesenian Dalam Perspektif
Negara, 2. Kesenian, Negara, dan Tantangan di Tingkat Global, 3. Pendidikan
Seni, Media, dan Kreativitas, serta 3. Seni Dalam Pusaran Kompleksitas
Kekinian. Ini benar-benar tantangan, namun tidak bagi
seniman yang diundang yang jumlahnya mencapai 700 orang, termasuk wartawan atau
yang tidak ‘diundang’ yang jumlahnya sangat banyak.
Kongres Kesenian
terakhir diselenggarakan tahun 1995, masih dicari hasil rumusan kongres yang
sudah ditindaklanjuti. Sayangnya, belum ada. Kesenian di republik ini – kendati
ada Dewan Kesenian di tiap provinsi bahkan sampai kabupaten/kota, masih
dikelompokkan ke tiga wilayah. Pertama, kesenian formal yang dijadikan konten
promosi perdagangan, wisata maupun “pesona Indonesia”.
Sementara itu,
kesenian yang masuk wilayah masyarakat. Nyaris tidak memiliki kekuatan untuk menampilkan
cita rasa berkesenian mereka, akibat benturan dana yang selalu menghantui
kegiatan. Terakhir kesenian dikelompok Dewan Kesenian – yang tidak mampu
merangkum kesenian tradisional (seni, sastra, musik, drama dll). Dewan Kesenian
‘berkesenian’ antar pengurus mereka saja.
Kita jauhi dulu
persoalan di zaman Hindia Belanda atau orde lama maupun orde baru. Kenyataannya
kesenian Indonesia bisa jadi icon perdamaian – hidup berdampingan
di tengah masyarakat. Pada gilirannya dibenturkan kepada berbagai kepentingan
politik dan negara. Yang seharusnya negara dan kesenian hidup saling mengisi
dan membantu. Pada akhirnya terjadi pergulatan like and dislike negara terhadap kesenian itu sendiri.
Maka, lahirnya
kesenian-kesenian format yang mengumpulkan berbagai jenis kesenian tradisonal
yang kemudian dikemas – dimodifikasi tampilannya ‘kreasi’ yang sering
menmghilangkan nilai-nilai kesenian luhur itu sendiri.
Apalagi, sejak
beberapa tahun terakhir ini munculnya penerbit buku seperti terbitnya media
massa cetak. Banyak buku yang diterbitkan terkesan dipaksakan, guna mendongkrak
popularitas seniman, sastrawan dan cerpenisnya. Termasuk buku teater, musik,
film – sinetron terbit bak jamur dimusim penghujan. Sayangnya kritikus sastra
saat ini sudah menjadi sosok yang langkah.
Semua karya di-like-kan seperti di media jejaring
sosial. Like, delet atau blokir. Tidak
ada saran, kritik dan sumbangan pemikiran atas karya yang diterbitkan tersebut.
Di era teknoplogi global (bukan global) semuanya dikelompok-kelompokkan, termasuk
berkesenian. Kritikus yang rajin, objektif biasanya ditinggalkan di halte-halte
kesenian. Dianggap sebagai penghambat. Penobatan atau pendongkrakan populeritas
pegiat kesenian dewasa ini dianggap sangat penting. “Tidak penting karya saya diterbitkan oleh penerbit berkualitas, yang
penting punya uang hubungi penerbit lokal atau diterbitkan sendiri. Beres!”
Boleh jadi,
fenomena seperti itu adalah kemunduran kesenian di republik ini. Sebagai contoh
banyaknya karya-karya kesenian Indonesia diakui sebagai karya bangsa negara
lain sebagaimana yang sering diperlihatkan oleh Malaysia dan Singapura. Karena
nilai kesenian (seni) yang menjadi karya tidak lagi mementingkan kualitas. Para
senimannya sendiri jika diundang ke negeri jiran itu semakin bangga. Padahal, mereka
mengerti betul kalau negeri jiran itu telah mencaplok karya kesenian Indonesia.
Semua itu bukan
karena kesenian dan negara adalah satu, akan tetapi berkesenian oleh senimannya
karena popularitas belaka. Urusan klaim mengklaim karya seni milik negara mana,
tidak lagi penting. Di sana Nasionalisme di tubuh segelintir seniman semakin
merosot.
Apa yang harus
dibicarakan jika tema “Kesenian dan negara dalam arus perubahan?” di KKI III
Bandung 2015 yang akan dibuka secara resmi tanggal 1 Desember 2015 oleh Mendikbud
RI. Kita berharap, para seniman yang diundang dengan anggaran dari panitia dan
peserta sebagai peninjau mampu memberikan sumbangsaran yang positif melihat
posisi kesenian dan negara pada saat sekarang.
Jika pembicara
utama dalam KKI III 2015 Direktur Kesenian, Endang Caturwati dalam pemaparannya
bercerita tentang latar belakang KKI III, sebaiknya dipersingkat saja melalui
selebaran. Banyak yang lebih penting untuk dikedepankan. Satu hal lagi yang
menarik, dari 700 peserta yang diundang dan dibiayai transportasi, akomodasi
dan lainnya selama mengikuti KKI III. Ada peserta mewakili wartawan, jumlahnya
memang tidak banyak. Posisi wartawan sebagai ‘peserta’ di KKI III rasanya
menggelikan, lucu dan nyeleneh!
Akhirnya, perlu
saya ungkapkan bahwa masalah kesenian adalah masalah data base karya-karya seni
masyarakat Indonesia. Di dalamnya ada pengakuan resmi yang dipatenkan oleh
negara melalui pemerintah. Tujuannya, agar karya-karya seni bangsa Indonesia
tidak begitu mudah diakui oleh bangsa lain.
Di samping itu,
sarana dan prasarana berkesenian di setiap daerah perlu mendapat perhatian
khusus pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,
agar masyarakat dapat berkesenian dengan maksimal dan tidak dimonopoli oleh
Dewan Kesenian yang notabene selalu mewakili individu pengurusnya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar