Selasa, 26 Januari 2016

KKI III Catatan Budaya Teknologi



Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya sekarang tinggal di Kota Metro, Lampung.

MENANDAI pelaksanaan Kongres Kesenian Indonesia ke III tahun 2015 yang dihelat di Kota Bandung, Jawa Barat. Patut kita sambut baik salah satu sambutan itu melihat dari tema Kongres Kesenian Indonesia (selanjutnya ditulis KKI) III, “Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan”. Tema itu demikian berat untuk mengelaborasi, mengidentifikasi, serta menginventarisasi berbagai persoalan kesenian yang terkait dengan konteks bernegara.
Menyadari posisi kesenian sejak lama sampai KKI III di Bandung ini, para seniman dihadapkan kepada banyak masalah yang telah dan sedang terjadi – khususnya menghadapi peradaban teknologi. Asumsinya seperti tercantum dalam kerangka UU Kebudayaan yang sampai sekarang belum jelas pengesahannya.
Bukan hanya masalah ‘penentuan’ peserta yang diundang dan dibayar oleh panitia KKI III. Dimunculkannya teman Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan semakin menarik untuk ditebak, ke mana pemerintah mau mendisposisikan posisi kesenian di era teknologi global dewasa ini.
Dalam siding-sidang kongres diusung pula subtema seperti 1. Politik Kesenian Dalam Perspektif Negara, 2. Kesenian, Negara, dan Tantangan di Tingkat Global, 3. Pendidikan Seni, Media, dan Kreativitas, serta 3. Seni Dalam Pusaran Kompleksitas Kekinian.  Ini benar-benar tantangan, namun tidak bagi seniman yang diundang yang jumlahnya mencapai 700 orang, termasuk wartawan atau yang tidak ‘diundang’ yang jumlahnya sangat banyak.
Kongres Kesenian terakhir diselenggarakan tahun 1995, masih dicari hasil rumusan kongres yang sudah ditindaklanjuti. Sayangnya, belum ada. Kesenian di republik ini – kendati ada Dewan Kesenian di tiap provinsi bahkan sampai kabupaten/kota, masih dikelompokkan ke tiga wilayah. Pertama, kesenian formal yang dijadikan konten promosi perdagangan, wisata maupun “pesona Indonesia”.
Sementara itu, kesenian yang masuk wilayah masyarakat. Nyaris tidak memiliki kekuatan untuk menampilkan cita rasa berkesenian mereka, akibat benturan dana yang selalu menghantui kegiatan. Terakhir kesenian dikelompok Dewan Kesenian – yang tidak mampu merangkum kesenian tradisional (seni, sastra, musik, drama dll). Dewan Kesenian ‘berkesenian’ antar pengurus mereka saja.
Kita jauhi dulu persoalan di zaman Hindia Belanda atau orde lama maupun orde baru. Kenyataannya kesenian Indonesia bisa jadi icon perdamaian – hidup berdampingan di tengah masyarakat. Pada gilirannya dibenturkan kepada berbagai kepentingan politik dan negara. Yang seharusnya negara dan kesenian hidup saling mengisi dan membantu. Pada akhirnya terjadi pergulatan like and dislike negara terhadap kesenian itu sendiri.
Maka, lahirnya kesenian-kesenian format yang mengumpulkan berbagai jenis kesenian tradisonal yang kemudian dikemas – dimodifikasi tampilannya ‘kreasi’ yang sering menmghilangkan nilai-nilai kesenian luhur itu sendiri.
Apalagi, sejak beberapa tahun terakhir ini munculnya penerbit buku seperti terbitnya media massa cetak. Banyak buku yang diterbitkan terkesan dipaksakan, guna mendongkrak popularitas seniman, sastrawan dan cerpenisnya. Termasuk buku teater, musik, film – sinetron terbit bak jamur dimusim penghujan. Sayangnya kritikus sastra saat ini sudah menjadi sosok yang langkah.
Semua karya di-like-kan seperti di media jejaring sosial. Like, delet atau blokir. Tidak ada saran, kritik dan sumbangan pemikiran atas karya yang diterbitkan tersebut. Di era teknoplogi global (bukan global) semuanya dikelompok-kelompokkan, termasuk berkesenian. Kritikus yang rajin, objektif biasanya ditinggalkan di halte-halte kesenian. Dianggap sebagai penghambat. Penobatan atau pendongkrakan populeritas pegiat kesenian dewasa ini dianggap sangat penting. “Tidak penting karya saya diterbitkan oleh penerbit berkualitas, yang penting punya uang hubungi penerbit lokal atau diterbitkan sendiri. Beres!
Boleh jadi, fenomena seperti itu adalah kemunduran kesenian di republik ini. Sebagai contoh banyaknya karya-karya kesenian Indonesia diakui sebagai karya bangsa negara lain sebagaimana yang sering diperlihatkan oleh Malaysia dan Singapura. Karena nilai kesenian (seni) yang menjadi karya tidak lagi mementingkan kualitas. Para senimannya sendiri jika diundang ke negeri jiran itu semakin bangga. Padahal, mereka mengerti betul kalau negeri jiran itu telah mencaplok karya kesenian Indonesia.
Semua itu bukan karena kesenian dan negara adalah satu, akan tetapi berkesenian oleh senimannya karena popularitas belaka. Urusan klaim mengklaim karya seni milik negara mana, tidak lagi penting. Di sana Nasionalisme di tubuh segelintir seniman semakin merosot.
Apa yang harus dibicarakan jika tema “Kesenian dan negara dalam arus perubahan?” di KKI III Bandung 2015 yang akan dibuka secara resmi tanggal 1 Desember 2015 oleh Mendikbud RI. Kita berharap, para seniman yang diundang dengan anggaran dari panitia dan peserta sebagai peninjau mampu memberikan sumbangsaran yang positif melihat posisi kesenian dan negara pada saat sekarang.
Jika pembicara utama dalam KKI III 2015 Direktur Kesenian, Endang Caturwati dalam pemaparannya bercerita tentang latar belakang KKI III, sebaiknya dipersingkat saja melalui selebaran. Banyak yang lebih penting untuk dikedepankan. Satu hal lagi yang menarik, dari 700 peserta yang diundang dan dibiayai transportasi, akomodasi dan lainnya selama mengikuti KKI III. Ada peserta mewakili wartawan, jumlahnya memang tidak banyak. Posisi wartawan sebagai ‘peserta’ di KKI III rasanya menggelikan, lucu dan nyeleneh!
Akhirnya, perlu saya ungkapkan bahwa masalah kesenian adalah masalah data base karya-karya seni masyarakat Indonesia. Di dalamnya ada pengakuan resmi yang dipatenkan oleh negara melalui pemerintah. Tujuannya, agar karya-karya seni bangsa Indonesia tidak begitu mudah diakui oleh bangsa lain.
Di samping itu, sarana dan prasarana berkesenian di setiap daerah perlu mendapat perhatian khusus pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, agar masyarakat dapat berkesenian dengan maksimal dan tidak dimonopoli oleh Dewan Kesenian yang notabene selalu mewakili individu pengurusnya saja.

Tidak ada komentar: