Selasa, 23 September 2008

QUAKES DAMAGES SOME 28,000 HOUSES IN BENGKULU

QUAKES DAMAGES SOME 28,000 HOUSES IN BENGKULU
The Jakarta Post - September 19, 2007
BENGKULU (Antara): Some 28,000 dwellings have been damaged in the series of powerful earthquakes that hit the province and nearby West Sumatra in the past week, according to data from the Bengkulu Mitigation Agency coordinating unit.
Bengkulu governor Agusrin Maryono Najamuddin said Thursday the data was still being verified by the Army's Special Forces (Kopassus).

"The verification shows the number is increasing," he said.
On Thursday evening data revealed 7,905 houses had been thoroughly destroyed and 6,745 severely damaged. More than 13,000 houses suffered minor damage. The total number of damaged houses was 27,834.
Damaged houses were found in seven regencies in the province, including hardest-hit North Bengkulu with 2,338 houses destroyed, 4,368 with major damage and 4,750 with minor damage.
In Muko-Muko regency 5,334 houses were destroyed, 709 suffered major damage and 3,369 suffered minor damage.
The quakes, which began Wednesday last week and measured up to 7.9 on the Richter scale, killed 23 people and injured 88 others.
Mitigation unit data from neighboring West Sumatra showed total losses of $US133.3 million. Loss estimates for Bengkulu were not yet available. (**)

Legenda Danau Toba

Legenda Danau Toba
Ada legenda di balik munculnya Danau Toba, seperti dikisahkan Ompung Marudut Samosir (70), warga yang dituakan. Dulunya, hidup seorang pemuda yang bertani sekaligus mencari ikan. Suatu hari, pemuda itu tidak mendapatkan seekor ikan pun untuk dibawa pulang.
Dengan lesu pemuda itu akhirnya memilih pulang. Di tengah perjalanan, ia melihat sesuatu yang berkilau di tengah perairan. Ketika mencoba mendekat, ia terkejut melihat kilauan itu bersumber dari seekor ikan besar. Ia langsung menangkap dan membawa ikan itu ke rumah.
"Ia berencana hendak memasak ikan tersebut. Namun niat itu seketika diurungkannya. Esok harinya, pemuda tersebut pergi berladang. Pulangnya dia terkejut karena makanan serbalezat sudah terhidang di meja dapur. Saking laparnya, pemuda itu langsung memakan hidangan tersebut," Marudut menceritakan.
Keesokan harinya, hal yang sama juga terjadi. Pemuda yang penasaran itu, akhirnya mencari tahu. Ia mencari siasat. Suatu saat, ketika menuju rumah, ia terkejut melihat asap mulai keluar dari dapur. Ia mengintai dari celah lubang.
Pemuda itu melihat seorang wanita cantik sedang memasak di dapur. Ia langsung menerobos masuk, memberondongnya dengan pertanyaan, apalagi ketika mendapati ikan yang disimpannya di dalam wadah tidak ada.
Wanita itu tertunduk lesu, sambil menangis ia mengaku dialah ikan yang ditangkap pemuda itu. Pemuda itu semula tidak percaya. Tetapi, karena merasa bersalah, ia kemudian malah memintanya menjadi istri. Wanita itu menyatakan bersedia, asal si pemuda mampu memenuhi syarat yang dia ajukan. "Suatu hari nanti, bila anak kita tumbuh besar, jangan pernah mengatakan bahwa dia anak ni dekke (anak ikan)," katanya.
Si pemuda menuruti persyaratannya. Mereka menikah dan dikaruniai anak. Enam tahun kemudian, si anak tumbuh besar. Nakal, dan tak pernah menuruti nasihat orangtua.
Suatu hari, si anak disuruh ibunya mengantar nasi untuk ayahnya yang sedang berladang. Namun, di tengah perjalanan, nasi itu dimakannya hingga tersisa tulang ikan. Anak itu kembali membungkusnya, dan bungkusan itu pula yang diserahkan kepada ayahnya.
Si ayah, yang begitu terkejut mendapati bungkusan itu tidak berisi nasi masakan istrinya, namun hanya berisi tulang ikan, langsung bertanya kepada anaknya. Si anak menjawab, "Tadi aku lapar di tengah perjalanan. Nasinya sudah kumakan," jawab anaknya.
Sang ayah yang naik darah, menampar anaknya sambil berucap, "Botul maho anakni dekke." Artinya, anak itu benar-benar anak ikan.
Si anak pun menangis berlari menemui ibunya. Di antara tangisnya, dia menanyakan, apakah benar seperti dikatakan ayahnya bahwa ia anak ikan.
Si ibu pun menangis. "Suamiku telah melanggar sumpahnya. Maka aku harus kembali ke tempatku semula," begitulah kata hatinya. Maka seketika langit pun berubah gelap. Petir saling menyambar disertai hujan deras. Si ibu dan anaknya pun ditelan gelombang. Menurut cerita Marudut, ibu dan anak itu sudah berubah menjadi ikan. Mereka jadi penunggu danau. [AHS/A-18]

Danau Toba Mulai Bersolek
Semilir angin berembus dari balik pepohonan. Ombak kecil terlihat berkejaran. Ketika itu, mentari baru saja muncul dari balik pegunungan. Danau Toba seakan tersenyum. Seperti perawan habis berdandan. Memperlihatkan keindahan panorama alam sekitarnya.
Danau Toba seperti lautan. Tempat wisata di Sumatera Utara itu memberikan kenyamanan, ketenangan, dan membawa kedamaian. Berada di tempat itu, hilang kepenatan. Tidak mengherankan lokasi wisata itu sempat menjadi primadona, didatangi banyak orang, baik wisatawan lokal maupun dari mancanegara.
Gunung Toba cikal bakal Danau Toba disebut-sebut sebagai supervolcano yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu. Namun Gunung Toba yang kini telah berubah menjadi Danau Toba yang sebenarnya adalah kaldera dengan Pulau Samosir di tengahnya. Danau Toba, Sumatera Utara, menjadi bekas kaldera terbesar di dunia.
Pada tahun 1939, seorang geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu rhyolit yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah. Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Bengal.
Letak Gunung Toba yang kini Danau Toba masih dianggap rawan bencana. Hal itu terkait posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Aurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus sebanyak tiga kali. Letusan pertama terjadi sekitar 840 juta tahun lalu yang menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, yakni daerah Prapat dan Porsea.
Letusan kedua Gunung Toba berkekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu. Letusan itu membentuk kaldera di utara Danau Toba, yakni daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dahsyat. Sementara letusan ketiga terjadi 74.000 tahun lalu yang membentuk Danau Toba sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.
Dengan luas 100 kilometer (km) kali 30 km itu dan Pulau Samosir di tengahnya, Danau Toba bak lautan saja. Lokasi itu berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara (Taput), Dairi, Tanah Karo, selain Samosir dan Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Kedalaman air danau diperkirakan lebih dari 150 meter.
Tempat wisata itu hanya dikenal dengan nama Parapat. Masuk wilayah Kabupaten Simalungun, Parapat berjarak sekitar 165 km dari Kota Medan. Tidak terlalu sulit mencapainya. Dari Medan, wisa- tawan dapat menaiki bus maupun mikrolet jurusan Kota Tarutung, Kabupaten Taput, dengan ongkos Rp 25.000. Hanya saja, diperlukan waktu tempuh sampai empat jam. Lumayan melelahkan. Tetapi jalan menuju tempat itu lumayan bagus. Kelokan-kelokan mulai ditemui di kawasan Pematang Siantar.
Ada alternatif lain jika ingin lebih cepat tiba di sana, yakni menumpang pesawat dari Bandara Polonia menuju Bandara Silangit di kawasan Kabupaten Taput. Lama perjalanan sekitar 30 menit. Dari Silangit menuju Parapat, memakan waktu perjalanan setengah jam dengan mengendarai mobil. Ke depan, pemerintah berencana membangun jalan tol dari Medan ke Tebing Tinggi, untuk mempercepat waktu perjalanan menuju Danau Toba di Parapat.
Danau Toba pernah menjadi kebanggaan. Selain menambah devisa negara, masyarakat sekitar juga merasakan manfaatnya. Banyak di antaranya yang dapat menikmati hasil sebagai pemandu wisata dan berwirausaha.


Ciri Khas
Danau Toba sangat jauh berbeda dengan danau lain di Asia. Sesuai penelitian, danau ini terbentuk akibat letusan gunung berapi supervulkanik sekitar 80.000 tahun lalu. Bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km kubik, di antaranya 2.000 km kubik abu vulkanik.
Letusan itu konon menelan korban tewas ribuan jiwa. Abu vulkanik tertiup angin selama dua minggu sampai ke barat. Setelah letusan, terbentuk kaldera yang terisi air, kemudian menjadi sebuah danau. Pulau Samosir mun- cul akibat tekanan ke atas oleh magma. Pulau itu juga menjadi tempat wisata, banyak menyimpan peninggalan bersejarah.
Danau itu mempunyai ciri khas. Di danau itu berkembang ikan poroporo, nila, dan mujair. Ikan poroporo paling banyak dibeli wisatawan sebagai oleh-oleh. Tentunya, ikan hasil tangkapan nelayan tersebut sudah dijemur terlebih dulu. Harganya Rp 5.000, untuk ukuran satu bungkus plastik kecil. Untuk ukuran bung- kus plastik besar, harganya Rp 10.000.
Jika tidak ingin repot-repot membawanya sebagai oleh-oleh namun hanya ingin mencicipi, tak perlu khawatir. Rumah makan-rumah makan di Parapat umumnya menyediakan hidangan dari ikan itu. Tidak asin seperti layaknya ikan asin, dan ikan ini renyah saat dikonsumsi.
Ikan nila yang sudah dijemur lebih mahal harganya daripada ikan poroporo. Per ekornya Rp 10.000 sampai Rp 15.000.
Sebelum masa Reformasi, ratusan wisatawan mancanegara berkunjung ke Danau Toba setiap hari. Tempat itu ramai seperti Pulau Bali. Namun, kunjungan wisatawan menurun setelah terjadi reformasi. Apalagi setelah muncul travel warning pemerintah asing yang melarang warganya berkunjung ke Indonesia.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, kagum saat melihat keindahan danau mahaluas itu. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengakui keindahan alam Danau Toba. Apalagi melihat kultur masyarakat Toba, yang memiliki kekayaan budaya dari beberapa suku. Bila tetap dipelihara dan dilestarikan, danau itu dipastikan bisa bangkit kembali menjadi objek wisata unggulan, yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Harus dikembangkan. Adat budaya berbagai marga ini akan semakin menarik perhatian wisatawan asing, sebab tidak ada dalam sejarah dunia. Potensi musik Batak yang sudah eksis di beberapa negara juga akan menarik perhatian wisatawan asing. Yang perlu ditingkatkan adalah keramahtamahan dan kesadaran wisata dalam jangka panjang. Sebab, keberhasilan pengelolaan wisata terlihat bila berulang kali dikunjungi wisatawan," ujar Jero Wacik saat berbincang dengan SP di Parapat, baru-baru ini.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Simalungun, Boundeth Damanik menyampaikan, kunjungan wisatawan asing ke Danau Toba mencapai 40.000 orang pada 2007. Angka itu belum termasuk wisatawan lokal. Memasuki tahun 2008, terhitung sejak awal Januari sampai dengan Juni, tercatat sekitar 10.000 orang berkunjung ke Danau Toba.
"Kami yakin, jumlah wisa-tawan asing yang datang ke Danau Toba semakin bertambah besar pada tahun ini. Target yang dicapai bertambah 20 persen dari jumlah wisatawan yang datang pada tahun lalu. Kalau kunjungan domestik luar biasa, terutama pengunjung yang bermalam pada Sabtu sampai Minggu," ia menjelaskan.

Menginap
Tidak sulit menemukan hotel untuk menginap jika berkunjung ke Parapat. Pengunjung dapat menginap di Hotel Niagara, Parapat View Hotel, Hotel Wisata Bahari, Hotel Sapadia Conteque, Asari Hotel. Untuk kamar kelas standar, harga kamar berkisar Rp 350.000-Rp 400.000 semalam, dan kelas suites lebih dari Rp 1 juta. Jika dirasa terlalu mahal, banyak juga hotel kecil di seputar Danau Toba yang tarifnya terjangkau, berkisar Rp 100.000 - Rp 200.000 per malam.
Urusan makan juga tidak merepotkan. Tinggal pilih rumah makan yang menyajikan masakan khas Batak, masakan Padang, Chinese food, maupun jenis menu lain.
Gerai suvenir mudah ditemukan. Harga cendera mata bergantung pada jenis barang. Tas, misalnya, harganya Rp 30.000 - Rp 100.000, kalung Rp 5.000 sampai Rp 10.000, kaus mulai Rp 15.000 sampai Rp 30.000, sandal Rp 15.000, syal atau selendang Rp 10.000 sampai Rp 15.000, baju anak-anak Rp 15.000, topi Rp 3.000. Gantungan kunci bisa diperoleh mulai dari harga Rp 3.000.
"Sejak krisis moneter dan adanya travel warning pemerintah asing, kinjungan wisatawan menurun drastis. Usaha yang digeluti masyarakat di daerah wisata ini pun sudah ada yang ditutup. Danau Toba sepi pengunjung di hari biasa, dan baru ramai di akhir pekan," ujar Bernard Sitorus (48), penjual suvenir.
Sampai kini, banyak orang menikmati hasil dari keindahan alam danau tersebut. Hal itu dapat mereka nikmati karena ada aturan untuk menjaga keindahannya, seperti jangan membuang sampah, membuang kotoran, dan bahkan jangan ngomong kotor. Warga diminta tetap menjaga kebersihan dan kelestarian Danau Toba.
Sayang lambat laun, aturan tersebut mulai ditinggalkan. Semua itu terjadi karena ada saja pihak yang berbuat semaunya. Kondisi Danau Toba yang dulunya indah, sehingga banyak didatangi wisatawan mancanegara, sempat tercemar lingkungannya. Sampah berserak di sana-sini. Rumput dibiarkan tumbuh di mana-mana. Seperti tidak ada lagi orang yang memedulikannya.
Lokasi wisata itu dibersihkan hanya setiap kali ada acara tertentu, seperti kunjungan kepala negara atau pertemuan antarpejabat negara. Setelah itu, enceng gondok, keramba jala apung, maupun limbah rumah tangga, dan limbah perusahaan, dibiarkan mencemari danau begitu saja.
"Hal itu sering terjadi. Pemerintah setempat sepertinya kurang serius memberikan perhatian. Wajar saja turis jera berkunjung kembali ke daerah ini," ujar Agustinus, pemerhati Danau Toba.
Belum lagi pedagang yang berulah menetapkan harga semaunya. Belum lagi pelayanan karyawan hotel yang kurang memuaskan. Nah, mungkinkan keindahan Danau Toba dapat dikembalikan seperti pada masa jayanya? [SP/Arnold H Sianturi]

Muara Aman


Diedit Naim Emel Prahana, Rabu, 30 Juli 2008.
Ibukota Kabupaten Lebong, Bengkulu
Oldies fhotos of Lebong Tandai 1932
Diposting oleh muara-aman di 14:08
Flashback situasi lebong tandai di tahun jayanya pertambangan emas yang dikelola penjajah belanda 1932.
The Lebong Donok seem in these fhoto mean lebong tandai which located near kota donok, whereas lebong donok now in lebong regency located near muara-aman (about 34 km from kota donok). Lebong Donok yang dimaksud dalam foto ini adalah daerah pertambangan emas Lebong Tandai berdekatan dengan desa Kota Donok. Daerah lebong donok sekarang ini di kabupaten lebong barada didekat muara aman yang berjarak 34 km dari Kota Donok Workers in a hut with bezinkvaten Workers pose behind a battery goudschuitjes for a smeltoven Study into gold quality with an assessment in a laboratory
The head office vacuum filter in a hut Tip trucks above the ore barge in stampmolen filled with ore at Lebong Donok Workers at a saw machine in a hut Pouring a skiff gold in a smeltove pump machines in a mine Redjang Lebong at Lebong Donok (1932) Stapelplaats for mijnhout, a track job for the transport of ore, and a shaft of Lebong Donok Sharpening drills in a workshop Stapelplaats voor mijnhout bij een mijnschacht van de Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong te Lebong Donok
Mine instalation at lebong donok Miners with filled ertslories in the lifttoren above a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok Ovens in a hut of a laboratory
Miners with filled ore tip trucks at the lift of a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok

Overview of the bldg. in the field
A water dam with door in a mine Redjang Lebong at Lebong Donok 1932
Boring in a mine Redjang Lebong at Lebong Donok (1932) He machine above a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok Electrische a train with tip trucks, with ore from a mine, a bridge concerning a river passes

He machine above a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok2
dody@polisriwijaya.ac.id dody@polisriwijaya.ac.id

OUR CURUP


Curup adalah sebuah ibukota kabupaten Rejang Lebong. Curup merupakan sebuah kota kecil di daerah pegunungan bukit barisan dan dikelilingi oleh gunung Kaba dan bukit Daun. Dahulu merupakan ibukota Kabupaten rejang Lebong namun dengan terpecahnya kabupaten ini menjadi beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Rejang Lebong (induk), Kabupaten Kepahiang (Kepahiang), Penduduk aslinya adalah suku Rejang. pernah menjadi ibukota Propinsi Sumatera selatan pada masa revolusi dibawah kepemimpinan Gubernur A.K. Gani. merupakan daerah penghasil Beras dan sayur-sayuran yang dikirim ke Palembang, jambi, Padang, lampung ingga jakarta. beberapa tempat wisatanya yang terkenal adalah Suban Air panas, pematang danau, Gunung Kaba, Air Terjun di Kepala Curup,dan situs situs peninggalan masaprasejarah.Daerah ini juga dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran bunga Rafflesia Arnoldi. kecamatan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Indonesia.

Kota Curup, ibukota Kabupaten Rejang Lebong terletak sekitar 85 Km di timur laut kota Bengkulu adalah sebuah kota kecil yang terletak di suatu lembah di kaki pegunungan Bukit Barisan. Kawasan lembah di tempat ini merupakan salah satu sumber air bagi Sungai Musi yang mengalir hingga ke kota Palembang. Kota pegunungan yang berhawa dingin ini dapat dicapai dengan bis selama tiga jam yang berangkat dari pusat pasar kota Bengkulu. Kondisi jalan antara Bengkulu dan Curup relatif cukup baik, jalan ini menanjak melewati hutan di kawasan 138 pegunungan Bukit Barisan. Dari ketinggian bukit terlihat pemandangan kota Bengkulu dan Samudera Indonesia yang membentang luas menyajikan panorama yang indah.
Kawasan di sekitar Curup merupakan lahan pertanian yang menghasilkan padi dan sayuran seperti wortel dan kubis yang dijual di pasar kota Curup.
Tempat-tempat penggilingan padi yang digerakkan dengan tenaga air dapat ditemui di kawasan persawahan di sekitar Curup. Penduduk di desa-desa di sekitar Curup ini masih tinggal di rumah adat panggung yang terbuat dari kayu.
Kota yang terletak ditengah-tengah antara kota Bengkulu dan Lubuk Linggau ini memiliki beberapa tempat menarik untuk dikunjungi. Tempat-tempat tersebut berada di sekitar Bukit Barisan antara lain: mata air panas dan air terjun yang berada di Suban, tempat ini dikenal dengan nama Lokasi Wisata Suban Air Panas.
Sarana yang dimiliki cukup lengkap yaitu kolam renang air panas, kamar pemandian air panas, kios cindramata dan fasilitas umum lainnya. Tempat ini cukup ramai dikunjungi orang pada akhir minggu. Dahulu, pada zaman Hindu kawasan ini digunakan sebagai tempat beribadah dan bersemedi bagi penganut agama Hindu.

Obyek Wisata
Dari Curup terdapat jalan menuju utara ke Muara Aman. Pada masa kolonial dulu tempat ini merupakan pusat penambangan emas. Jalan yang menuju ke Muara Aman ini akan melewati suatu kawasan wisata Danau Tes yang populer di kalangan wisatawan setempat. Danau cantik yang terletak di pegunungan Bukit Barisan ini merupakan danau terbesar di Bengkulu.
Obyek lainnya adalah Air Terjun Kepala Curup dengan ketinggian 100 meter dan Danau Bestari yang terletak dipinggir jalan negara antara Curup-Lubuklinggau dan menjadi tempat istirahat dengan udara yang sejuk. Bukit Kaba menjadi tempat yang pas bagi penggemar wisata petualangan, Anda dapat mendaki hingga ke puncak gunung Kaba (1.937 m) yang terletak 19 Km di timur Curup.
Dari pusat kota Curup, Anda dapat menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi menuju ke arah Lubuklinggau sejauh 16 Km hingga tiba di persimpangan yang menuju ke Posko pendakian ke Kawah Kaba. Gunung dalam bahasa Rejang sehari-hari dinamakan Bukit. Bukit Kaba ini memiliki dua kawah yang mengeluarkan gas belerang dan dikelilingi hutan lebat.

Suku Rejang, Kearifan Menjaga Wilayah dari Kemarahan Harimau

Suku Rejang, Kearifan Menjaga Wilayah dari Kemarahan Harimau
Warga Suku Rejang di Desa Bandar Agung, Kecamatan Tapus, Kabupaten Lebong, menyelenggarakan Kedurai Agung sebagai upaya terhindar dari malapetaka, Rabu (6/12). Ritual adat itu diadakan di pinggir Sungai Ketahun, dengan menghamparkan sesajen kepada leluhur.
Setelah dua tahun ditinggalkan, Kedurai Agung khas suku Rejang kembali dilaksanakan di Desa Bandar Agung, Kecamatan Tapus, Kabupaten Lebong, di timur Provinsi Bengkulu. Orang Rejang di desa yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat itu melaksanakannya pada tanggal 5 dan 6 Desember lalu.
Desa Bandar Agung di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu dihuni suku Rejang, salah satu suku tertua di Sumatera yang diyakini menjadi cikal-bakal masyarakat Bengkulu. Dalam percakapan sehari-hari, mereka bertutur dengan bahasa Rejang yang nyaris punah karena kini semakin jarang digunakan masyarakat setempat.
Desa Bandar Agung bisa ditempuh kurang-lebih empat jam perjalanan darat dari Kecamatan Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Untuk menuju ke desa yang berada di TNKS ini, beberapa perbukitan harus dilalui. Jalan mulus beraspal akan berujung pada jalan tanah berbatu yang sempit, sewaktu tiba di “gerbang” taman nasional itu.
Sejak pukul 08.00, puluhan Tun Jang (sebutan untuk orang Rejang) telah berkumpul di rumah Busroni, Kepala Desa Bandar Agung. Mereka bergotong-royong menyiapkan berbagai peralatan untuk melaksanakan Kedurai Agung yang ditinggalkan selama dua tahun terakhir.
Hari itu, Minggu (6/12), merupakan hari ke-16 dari bulan Zulkidah, penamaan bulan dalam tradisi Tun Jang. Bulan itu diyakini sebagai bulan hama dan penyakit, ditandai dengan munculnya hama tanaman dan serangan penyakit untuk semua makhluk.
Selama dua tahun tidak menyelenggarakan Kedurai Agung, desa itu nyatanya kerap dilanda musibah. Penyakit muntaber sempat meluas di desa yang berpenduduk 787 jiwa itu pada tahun 2004 dan 2005. Selain itu, penyakit cacar juga menyerang 10 orang dalam dua tahun terakhir.
Busroni (37), Kepala Desa Bandar Agung, meyakini penyakit itu menandai awal bumi panas atau malapetaka. Salah satu pemicunya, ya, karena tidak diselenggarakannya kedurai yang seharusnya diadakan satu kali setiap tahun.
“Kami sudah mendapat peringatan untuk meminta maaf kepada alam yang dijaga para leluhur. Untuk menghindari malapetaka yang lebih besar, tradisi Kedurai Agung harus dijalankan kembali,” kata Busroni.
Maka, pagi itu mereka menggelar Kedurai Donok (Laut) yang merupakan bagian dari Kedurai Agung. Ritual itu dipimpin Chong Pin (78), pawang ritual suku Rejang.
Beberapa pria menganyam bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka gading, dan cepiring).
Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam).
Selanjutnya, masyarakat berduyun-duyun menuju ke Sungai Ketaung di pinggiran desa. Sungai itu menjadi tempat penyelenggaraan Kedurai Donok karena diyakini merupakan jalur perlintasan arwah para leluhur dari laut.
Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai menambah keindahan sungai di areal TNKS.
Acak yang berisi sesajen diletakkan di atas cagak bambu yang disebut sunggea. Warga kemudian menghamparkan selembar kain terpal pada tanah. Bahan-bahan penunjang ritual pun diletakkan di atas terpal.\
Berdamai dengan leluhur
Didampingi Saraya (78), tetua masyarakat, Chong Pin duduk di atas kain terpal bersama dengan dua pemuda dan pemudi desa. Beberapa kali Chong Pin menebarkan beras kuning ke sekelilingnya, seraya menyampaikan permohonan kepada arwah leluhur.
Suku Rejang meyakini arwah leluhur mereka menghuni gunung dan laut. Prosesi kedurai untuk menghormati leluhur dari gunung (Kedurai Tebo) dilakukan sehari sebelumnya, 5 Desember. Kedurai Tebo merupakan wujud permintaan maaf, penghormatan, sekaligus permohonan kepada tebo (harimau) agar terhindar dari malapetaka. Tebo atau harimau di wilayah itu sangat dihormati karena diyakini merupakan wujud leluhur mereka di gunung.
Seperti halnya Kedurai Donok, Kedurai Tebo juga menggunakan sesajen, antara lain sirih matang dan sirih mentah, tiga butir telur, beras kunyit, dupa, rokok, kemenyan, dan minyak goreng. Sesajen itu diletakkan di perbatasan desa yang berupa semak-semak di pinggiran hutan.
Tun Jang meyakini gangguan-gangguan penyakit selama ini disebabkan kemarahan leluhur karena keseimbangan alam terganggu. Kedurai Agung merupakan kenduri untuk berdamai kembali dengan para leluhur sehingga desa itu terhindar dari musibah penyakit pada manusia, ternak, dan tumbuhan.
Kedurai atau kenduri sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk kepercayaan animisme yang dipertahankan masyarakat suku Rejang yang sebagian besar kini telah memeluk agama Islam.
Tampaknya, inilah bentuk kearifan suku Rejang dalam menjaga lingkungan. Kearifan yang sama juga dilakukan untuk menjaga moral dan akhlak masyarakatnya, yakni melalui peradilan adat yang bertujuan menertibkan hak adat di wilayah itu.
Menurut tokoh masyarakat Desa Bandar Agung, Adnan Romli (49), tersangka pelanggar adat akan dipertemukan dengan tokoh-tokoh adat untuk dimintai penjelasan. Peradilan ini juga disertai sanksi bagi warga yang terbukti melanggar hukum ada.
Sumber: Kompas. Penulis: BM Lukita Grahadyarini

Sastra Lisan Suku Rejang yang Nyaris Punah

Serambeak:
Sastra Lisan Suku Rejang yang Nyaris Punah
Suku Rejang, yang dikenal sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk Bengkulu, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari — baik oleh orangtua, remaja, dan anak-anak — dalam berinteraksi.
Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang pemerhati masalah budaya di Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan dengan banyaknya orang asing serta pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen tentang suku-bangsa ini. Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku Rejang, pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk menulis dokumen tentang suku Rejang dalam bentuk pidato pertanggungjawabannya. Dokumen ini di kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya.
Serambeak sendiri bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan menggunakan bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Menurut Tommy, yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kodia Bengkulu, serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam kehidupan sehari-hari — waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa — sering disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut tamu yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.
Salah satu contoh serambeak yang umum adalah:
Indo ro dep i’o ba taai, ne,
Indoro gung i’o ba keliuk ne
(Bagaimana bunyi rebab begitulah tarinya,
bagaimana bunyi gong begitulah lenggangnya).
Maksud serambeak ini adalah bahwa sesuatu tindakan atau kegiatan seseorang hendaklah sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Serambeak juga biasa digunakan saat seseorang menasehati orang lainnya agar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru serta bergaul dengan orang lain. Demikian pula nasehat agar dalam mendidik dan menjaga anak bujang maupun gadis, para orangtua hendaklah hati-hati penuh kearifan dan bijaksana. Nilai agama haruslah ditanamkan sejak kecil.
Bagi suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani dengan baik. Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya. Di antaranya:
Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben.
Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun.
Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea.
Salang tun dumai belek moi talang.
Salang tun talang belek moi sadei.
Dapet kene ta’ak dengen tawea.
Salang magea mendeak simeak.
Arak suko padaa ngalo.
Arak magea mendeak simeak.
Agang magea suko panggea.

Terjemahannya kira-kira:
Ada sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar, gambir ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk para tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak pula karena membuat yang tidak baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang datang. Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang, orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan gembira atas kedatangan tamu semuannya.
Bagi muda-mudi, kesantunan seseorang terucap dari serambeak yang disampaikan. Berikut ini contohnya:
Tun meleu diem puluk kelem.
Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap.
Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan.
Contoh serambeak muda-mudi lainnya:
Asai tekecep tebau nak talang.
Asai tekenem bioa nak imbo.
Asai mendaki munggeak mendatea.
(Rasa tercicip tebu di Talang.
Rasa terceminum air digunung.
Rasa lega ketika tiba di tempat datar setelah mendaki tebing yang tinggi).
Serambeak ini bermakna cetusan kegembiraan ketika seseorang mendengar atau mendapatkan sesuatu yang telah lama didambakan. Biasa digunakan oleh muda-mudi ketika mendegar sang pujaan memberikan harapan-harapan yang muluk atau sesuatu yang diinginkan.
Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa — mereka menghuni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas (Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) — mampu menarik perhatian peneliti asing. Burhan Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA Jaspan dari Australia National University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963 untuk meneliti suku bangsa Rejang.
Jaspan menghasilkan beberapa buku, antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village Tribunal. Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang mengambil studi sejarah budaya Indonesia.
Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999, mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD, dalam bidang hukum adat.
Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin, serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian, pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
Kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan sukubangsa Rejang, menurut Zamhari, kini sudah semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang.
”Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing,” ujarnya. maswandi (republika.co.id)

Sastra Dan Komunitas

Sastra Dan Komunitas
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan
RAGAM perebutan kekuasaan dalam dunia sastra (seni dan budaya), terkadang tidak lagi menjadi jejak-jekak perkembangan sastra di Indonesia. Kendati, semacam komunitas sastra—seperti komunitas masyarakat seni budaya lainnya, komunitas-komunitas itu menjadi pernik-pernik perjalanan sastra itu sendiri. Untuk memelihara jejak tadi, dibutuhkan seorang kritikus dan penulis sastra yang bijak dan berpola pikir maju.

Pasca Kongres Komunitas Sastra Indonesia—KSI di Kudus awal 2008, tepatnya 19—22 Januari 2008 lalu. Disebut-sebut sebagai kongres pertama KSI memberikan saya semacam “catatan tengah” tentang pergulatan sastrawan Indonesia selama ini. Yang pernah dan masih diombang-ambingkan oleh icon-icon community—komunitas. Perdebatan pun melahirkan kelompok-kelompok penggiat sastra dan kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengklaim wadah komunikasi mereka sebagai komunitas sastra.
Menyangkut peran, kelompok atau komunitas sastra dalam bentuk apapun, termasuk penggiatnya (sastrawannya) memiliki peran positif dan konstruktuf dalam perkembangan sastra Indonesia; dulu, esok dan seterusnya. Hanya saja, perdebatan mengenai komunitas itu sendiri membuat perkembangan sastra Indonesia tidak lebih dari debat kusir yang menginggalkan substansi kesastraan itu sendiri.
Menjelang tahun 1987 dikotonomi sastra di Indonesia benar-benar tidak baik dan sehat. Disebut-sebut ada komunitas sastra koran, sastra buku, sastra kamar, sastra lokal, sastra Jakarta, sastra konstektual, sastra pedalaman dan dikotonomi lainnya. Ide dasar penyebutan itu hanya melihat alur penempatan karya-karya sastra itu sendiri. Di sisi lain, perdebatan sengit antara sastra pop dengan sastra serius versi akademisi berlangsung terus. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah ada yang mau mempertemukan perbedaan dan persamaannya.
Itulah, pada Forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, banyak sastrawan menjadi antipati untuk membangun dunianya dengan kesepakatan untuk kembali ke daerah masing-masing. Sementara di daerahnya sastra belum mendapat tempat sebagaimana mestinya. Kendati, denyut sastra di tengah masyarakat sudah menjadi filosofi kehidupan sehari-hari.
Dari sejumlah banyak media cetak yang peduli terhadap karya sastra—toh mitos Jakarta dan beberapa media cetak tertentu dijadikan kultus sebagai kiblat sastra. Itu, tidak ada referensi tertulis atas komitmen yang dikeluarkan dalam moment tertentu. Tapi, secara lisan dan karena adanya kamus sebutan komunitas sastra—menjadi kultus Jakarta dan media cetak tertentu, tetap hidup langgeng hingga saat ini.
Biodata penyair atau cerpenis yang menyebut karyanya pernah dimuat di majalah Horizon, Kompas atau menjadi peserta forum-forum sastra, menjadi biografi yang populer. Sekaligus melenyapkan penyair atau cerpenis yang yang karyanya dimuat di koran atau majalah di luar kedua media cetak tersebut. Ini kenyataan, padahal tidaklah demikian.
Parni Hardi menulis, “ Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya!”.
Dengan panjang lebar Parni Hardi menjelaskan, komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya. Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.

Uraian sederhana dan singkat Parni Hardi itu ada benarnya. Walau tidak menjabarkan soal sastra lokal, sastra komunityas atau komunitas sastra. Belum lagi soal sastra lisan yang banyak melahirkan sastrawan besar, karena kemampuannya meng-teks-kan karya sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sastra lisan yang cenderung berisi filosofi kehidupan masyarakatnya, jika ditulis ulang, kualitas dan populeritas materi maupun penulisnya dapat melampaui penulis sastra yang hanya bergelut dengan sastra tulisan.
Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang sastra itu; lisan atau tulisan. Sebab, sastra yang membumi adalah sastra yang tidak dibatasi oleh waktu, ruang dan tempat serta tidak hilang karena perkembangan peradaban manusia. Sayangnya, sastrawan sendiri lebih suka dikelompok-kelompokkan dan lebih merasa bangga jika disebut-sebutkan sebagai anggota sebuah komunitas sastra tertentu.
Urutan yang pantas kita satukan adalah proses kreatif dunia sastra itu sendiri. Dari bahasa lisan (sastra lisan) kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan, kemudian dimusikalisasikan, dipentaskan, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (sesuai penilaian objektifnya). Pada fase berikutnya, mulailah sastra diajarkan di lembaga-lembaga formal (lembaga pendidikan) dengan membuat struktur, mekanisme dan format sastra dan karyanya.
Dan, selanjutnya sastra terus dikembangkan dan berkembang sedemikian pesat dan terus, terus berkembang tanpa henti. Politikus, penulis buku ilmu dan pengetahuan serta teknologi pun akhirnya mengutip karya-karya sastra seseorang (puisi khususnya). Itu berarti, para penulis karya sastra berusajha bagaimana mempublikasikan karya sastra untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Perjalanan dalam perkembangan sastra itulah yang menjadi itu, bahwa karya sastra yang bagus itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Karya-karya sastra yang berdurasi sekian kurun waktu—seperti lagu-lagu anak-anak muda saat ini. Ketika lagu baru ke luar, maka lagu sebelumnya yang ngetop dan ngepop sirna secara otomatis. Karya sastra bukan seperti itu. Ia lahir tanpa paksaan, ia besar tanpa dicipta-ciptakan atau direkayasa sedemikian rupa oleh penghargaan yang diberikan oleh kelompok/komunitas sastra itu sendiri.
Lalu, masihkah kita mempersoalankan nama “sastra tradisionil” dengan “sastra modern”? atau kelas-kelas dalam kelompok penggiat sastra Indonesia. Hemat saya, persoalan itu diangkat ke permukaan, karena kedangkalan para sastrawan itu sendiri—dengan catatan mereka adalah anggota sebuah komunitas sastra.
Akhirnya, saya berpikir. Kalaulah sastra Indonesia itu diinginkan menjadi karya sastra dunia. Maka, pemahaman lebih luas tentang penggiat, karya dan sastra itu harus melekat pada diri sastrawan, kritikus, cerpenis, penyair dan penulis sastra. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk mempublikasi—menyebarkan sastra (karya sastra) yang lisan yang tulisan ke semua lapisan masyarakat. Di mana dan kapanpun.

Semuluak Asen

Semuluak Asen
Bo Kunei Tun Topos
Lem adat jang mengasen adeba cao kunei keluargo semanei magea keakpeak keluargo selawei. Ayok tun tuai keakpeak semanei lok masen moi keluargo keakpeak selawei mako antaro keduai anok kunei keluargo masing masing (bujang ngen semulen) bi ade dute janyai ne beduai, sudo’o mako tuan tuai keakpeak semanei masen anok semulen keakpeak selawei.
Pertamo keluargo keakpeak semanei madeak magea kwa’ai keakpeak selawei bahwa anok semulen keakpeak selawei ade megong barang kunei anok keakpeak semanei sudo’o baru kwa’ai keakpeak selawei temanye magea anok semulen ne, ade nien jano coa si megong barang kunei anok keakpeak semanei. Amen anok ne madeak ade megong barang mako tun tuai ne temanye kulo jano barang de nelei kunei anok keakpeak keluargo semanei. Biaso ne amen meneak’o barang ne berupo kain panyang. amen semuluak asen nyo bisudo sudo o bi sepakat mako keduai keluargo yo nano, baik keakpeak keluargo semanei io kulo keakpeak keluargo selawei basen tengen kekiro keakpeak semanei semusul asen.

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
Udo Z. Karzi
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung -- spesifiknya Bandar Lampung -- saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan ... bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatanseluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).

Sastra Lampung Punah
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. "Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka," katanya
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung -- apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra -- kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional , misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung - sebagai istilah - dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat "Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah" bisa (mungkin) benar jika "sastrawan Lampung" yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka "sastrawan Lampung" sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, "Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh." Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung-- dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung.
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia:

Siyei Kutai

Siyei Kutai
Seni Sastra Bahasa Tua Rejang)

(Seni Sastra Suku Rejang Tapus)

Lamun hari tukinang hari,
Hari tukinang sedang hari tinggi,
siamang tu sedang redawe,
Kelik sedang pekik rami,
Angin sedang gugur daun,
Gururlah daun remacang mudo,
Gugur daun repinang mudo,
Lubuk sedang begenjo ijo,
Ratu sedang bebayang kuning,
Becalang mudik milir,
Bibik sedang laburan jemur,
Bujang juare sedang mericik tue ayam,
Bujang gadis rau ketenun,
Ilanglah lading pertas tenun,
Ilang penyukit duri ladak,
Baru teringet kepade pesan,
Ado pesan Wong Tue dulu Ade,
Lamun rejung kenyen suatu,
Rejung madak laut lepas,
Lekap genap nuli redanan,
Riau rindau uli pekakas,
Gereng kemas dede piagus,
Dedereng pengiran demak rauh,
Amun be upi itu pinang idak beupi itu nibung amun betuli itu kudang,
Idak betuli kudang badung,
Kunang kauren nian datang,
Kundang kurindu nian siba,
Namun muga, muga kerumo,
Warang kerume keberuge,
Tilik lah tetang wong desa,
Lamun nak culo culo lah lage,
Culo lage mato reganding,
Nak culo nage nage ke laut,
Mato regading liman di hutan,
Kabar ndak meruge adat care sirih pinang,
Adat care pinang sukar di rube,
Lamun segalenye kurang dari tubuh,
Lamun diwe bertulung duate berbatu,
Wong pisak pacak bapit,
Baring miskin pacak kaye,
Amun diwe idak bertulung,
Wong pisak tame pisak,
Bareng miskin lame miskin,
Takele dina tekale,
Tekale dina maso itu,
Betung betulis dengan tulisan awur bersurat dengan suratan,
Epe ditulis dengan betung,
Ape disuret oleh aur,

Tiran ulung layang putiak,
ado disano,
Tiran ulung pandai membace,
Layang putiak pandai menyurat,
Laju bepesan burung piran ulung,
Amun cikundu ngadap keteluk,
Besok kundu sare tangungan,
Kundu menengah jarang balik,
Patah kundu hilang di ratau,
Abung cerite lamun jauh,
Besaklah ikan lamun luput,
Ayam betabang senimar elang,
Ikan dipangang tingal tulang,
Igak berigak padi masak,
Igak beragam badan tue,
Igak bedindang biduk anyut,
Bepesan kedue dengan pesan,
Pesan burung layak putiak,
Besili batu asah,
Gerenget tukanglah tibo,
Idak ulah cari ulah,
Idak ban batu digale,
Rumah ado cari podok,
Lamun orang pemanyek mati jatuh,
Orang pedingin mati anyut,
Orang peibo ilang seurang,
Tang tilik lah tang,
Tiliklah tang desa ninik mamak disini, Desa serut laman sunyi,
Desa digepung oleh betung,
Desa disindang olih lalang,
Rumah berarik tiang serik,
Satu adak tiang duduk,
Peratin kurang perite,
Bujang gadis kurang pengunyung.
Selebar ringgit sepangung,
Gadis iluk nungu beruge,
Sude digepung dengan ringgit,
Sude disindang dengan redai,
Ade anak bujang lumang,
Kerimbo tenang,
ndak merayap ke rimbo bano merang ke rimbo alas,
Anak bujang kerimbo tenang,
Ibarat batu gulek idak beseding,
batu pat dilipat jadi tige,
Anak bujang kerimbe tenang naik tebing turun tebing,
Naik gunung turun gunung,
Nempuh hujan dengan panas,
Idak tentu malam dengan siang,
Malam peduman bulan bitang, Siang peduman mate hari,
Anak bujang lumang kerimbe tenang betemu petemuan,
Temu endapat pendapatan,
Temu telur kanyen sebiji,
Telu senayak seninang,
Senayak di ujung jari,
Senindang di hati tangan,Stabik ucap sepakat,
Telur digengam rapat-rapat,
Meretas menjadi burung empat,
Se bename burung elang,
Due bename burung pungguk,
Tige bename burung tiung,Empat bename burung sawi.

Rejong Burung empat
Bepatun burung empat,
Sebepatun dengan patun,
Bepatun lah burung elang,
Lamun senulo burung elang,
Elang terbang melayang mgeser bumi,
Muge ke langin langit ndak sape,
turun kebumi,
Upan segengam sukar makan,
Muge kelangit air setitik aus seminum,
Laju kesingen tumanak awan kasa,
Kesian lapule burung elang,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun kedue dengan patun,
Bepatun burung punguk amun senulo burung punguk,
Punguk merindu bulan, Bulan tu idak merindu,
Badan tubuh, menagislah burung punguk
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Kasianlah pule burung punguk,
Patu ketige dengan patun patun burung tiung,
Lamun senulo burung tiung,
Tiung besarang selenger pungur,
Tiung merap pungur rebah,
Rambai sayap terbang layang,
Pendek sayap terbang sayup,
Laju terbang lamur rayam,
Menagis burung tiung,

Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun keempat dengan patun,
Bepatun burung sawi,
Lamun senolu burung sawi,
Setaun berujut, sebulan berajat,
Uju diwe putih kuning, Ujud duate jarang panau,
Kasianlah pule burung sawi,
Lamun awat betake malang,
Awat betake malang tune,
Serguni ditanam mati,
Sergaju ditanam layu,
Cendawan tangkap lepas dari tangan, Sergujung di pijak lari,
kasian lapule burung sawi.

(Dikutip oleh Team AMARTA dari Bapak Salim Senawar Desa Tapus)
2008-02-23, at Saturday, February 23, 2008
Akar Foundation
Ditulis pada 23 Nopember, 2007 oleh Akar

Siyen Kutai
(Seni Sastra Suku Rejang Tapus)
Lamun hari tukinang hari,
Hari tukinang sedang hari tinggi,
siamang tu sedang redawe,
Kelik sedang pekik rami,
Angin sedang gugur daun,
Gururlah daun remacang mudo,
Gugur daun repinang mudo,
Lubuk sedang begenjo ijo,
Ratu sedang bebayang kuning,
Becalang mudik milir,
Bibik sedang laburan jemur,
Bujang juare sedang mericik tue ayam,
Bujang gadis rau ketenun, Ilanglah lading pertas tenun
,Ilang penyukit duri ladak,
Baru teringet kepade pesan.

Ado pesan Wong Tue dulu Ade,
Lamun rejung kenyen suatu,
Rejung madak laut lepas,
Lekap genap nuli redanan,
Riau rindau uli pekakas,
Gereng kemas dede piagus,
Dedereng pengiran demak rauh,
Amun be upi itu pinang idak
beupi itu nibung amun betuli itu kudang,
Idak betuli kudang badung,
Kunang kauren nian datang,
Kundang kurindu nian siba,
Namun muga, muga kerumo,
Warang kerume keberuge,
Tilik lah tetang wong desa,
Lamun nak culo culo lah lage,
Culo lage mato reganding,
Nak culo nage nage ke laut,
Mato regading liman di hutan,
Kabar ndak meruge adat care sirih pinang,
Adat care pinang sukar di rube,
Lamun segalenye kurang dari tubuh.

Lamun diwe bertulung duate berbatu,
Wong pisak pacak bapit,
Baring miskin pacak kaye,
Amun diwe idak bertulung,
Wong pisak tame pisak,
Bareng miskin lame miskin,
Takele dina tekale,
Tekale dina maso itu,
Betung betulis dengan tulisan awur bersurat dengan suratan,
Epe ditulis dengan betung,
Ape disuret oleh aur,
Tiran ulung layang putiak,
ado disano,
Tiran ulung pandai membace,
Layang putiak pandai menyurat,
Laju bepesan burung piran ulung,
Amun cikundu ngadap keteluk,
Besok kundu sare tangungan,
Kundu menengah jarang balik,
Patah kundu hilang di ratau,
Abung cerite lamun jauh,
Besaklah ikan lamun luput,
Ayam betabang senimar elang.

Ikan dipangang tingal tulang,
Igak berigak padi masak,
Igak beragam badan tue,
Igak bedindang biduk anyut,
Bepesan kedue dengan pesan,
Pesan burung layak putiak,
Besili batu asah,
Gerenget tukanglah tibo,
Idak ulah cari ulah,
Idak ban batu digale,
Rumah ado cari podok,
Lamun orang pemanyek mati jatuh,
Orang pedingin mati anyut,
Orang peibo ilang seurang,
Tang tilik lah tang,
Tiliklah tang desa ninik mamak disini,
Desa serut laman sunyi,
Desa digepung oleh betung,
Desa disindang olih lalang,
Rumah berarik tiang serik,
Satu adak tiang duduk,
Peratin kurang perite,
Bujang gadis kurang pengunyung.
Selebar ringgit sepangung,
Gadis iluk nungu beruge,
Sude digepung dengan ringgit,
Sude disindang dengan redai,
Ade anak bujang lumang,
Kerimbo tenang,
ndak merayap ke rimbo bano merang ke rimbo alas,
Anak bujang kerimbo tenang.

Ibarat batu gulek idak beseding,
batu pat dilipat jadi tige,
Anak bujang kerimbe tenang naik tebing turun tebing,
Naik gunung turun gunung,
Nempuh hujan dengan panas,
Idak tentu malam dengan siang,
Malam peduman bulan bitang,
Siang peduman mate hari,
Anak bujang lumang kerimbe tenang betemu petemuan,
Temu endapat pendapatan, Temu telur kanyen sebiji,
Telu senayak seninang,
Senayak di ujung jari,
Senindang di hati tangan,
Stabik ucap sepakat,
Telur digengam rapat-rapat,
Meretas menjadi burung empat,
Se bename burung elang,
Due bename burung pungguk,
Tige bename burung tiung,
Empat bename burung sawi.

Rejong Burung Empat
Bepatun burung empat,
Sebepatun dengan patun,
Bepatun lah burung elang,
Lamun senulo burung elang,
Elang terbang melayang mgeser bumi,
Muge ke langin langit ndak sape,
turun kebumi,
Upan segengam sukar makan,
Muge kelangit air setitik aus seminum,
Laju kesingen tumanak awan kasa,
Kesian lapule burung elang,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun kedue dengan patun,
Bepatun burung punguk amun senulo burung punguk,
Punguk merindu bulan,
Bulan tu idak merindu, Badan tubuh,
menagislah burung punguk Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Kasianlah pule burung punguk,
Patu ketige dengan patun patun burung tiung,
Lamun senulo burung tiung,
Tiung besarang selenger pungur,
Tiung merap pungur rebah,
Rambai sayap terbang layang,
Pendek sayap terbang sayup,
Laju terbang lamur rayam, Menagis burung tiung,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun keempat dengan patun.

Bepatun burung sawi,
Lamun senolu burung sawi,
Setaun berujut,
sebulan berajat,
Uju diwe putih kuning,
Ujud duate jarang panau,
Kasianlah pule burung sawi,
Lamun awat betake malang,
Awat betake malang tune,
Serguni ditanam mati,
Sergaju ditanam layu,
Cendawan tangkap lepas dari tangan,
Sergujung di pijak lari,
kasian lapule burung sawi.

http://akarfoundation.wordpress.com/2007/11/23/siyen-kutai-seni-sastra-suku-rejang-t
2008-02-23