Senin, 09 Maret 2009

PLTA Hulu Sungai Musi Ujan Mas

Kabupaten Kepahiang Bengkulu
PLTA Hulu Sungai Musi Ujan Mas

Sejarah Singkat
Menimbang akan kebutuhan tenaga listrik di Sumatera yang semakin meningkat dan mengantisipasi permintaan energi listrik pada masa mendatang, khususnya untuk Wilayah Sumatera Bagian Selatan maka dibangunan Proyek PLTA Musi.
Rekomendasi pembangunannya berdasarkan hasil studi pendahuluan tentang pengembangan sumber-sumber tenaga air suatu daerah pada tahun 1965, serta pekerjaan lebih lanjut terhadap rencana pembangunannya dan studi hidro potensial 1981 - 1983.
Implementasi pelaksanaan pembangunan dikoordinasikan oleh PT. PLN (Persero) Pikitring Sumbagsel, Babel, Sumbar dan Riau dan pembangunannya diawasi langsung oleh PT. PLN (Persero) Proyek PLTA Musi yang berkedudukan di Desa Ujanmas Atas, Kecamatan Ujanmas, Kabupaten Kepahiang (dulu Rejang Lebong), Provinsi Bengkulu.

Letak Geografis
Secara geografis berada sekitar 3' 35" LS dan 102' 29" BT, membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya dan terletak di punggung pegunungan Bukit Barisan berjarak ±80 km dari kota Bengkulu arah Curup. Bagian hulu berada dalam kawasan Desa Ujanmas Atas, Kecamatan Ujanmas, Kabupaten Kepahiang (dulu Rejang Lebong) dan bagian hilir berada dalam kawasan Desa Susup, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara.

Gambaran Umum
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi merupakan pembangkit listrik dengan bendung type "Run of River (RoR)" dengan gedung pembangkit (Power House) berada 400 m dibawah tanah yang memanfaatkan aliran sungai Musi di sebelah hulu dan pembuangan akhir ke aliran sungai Simpang Aur di sebelah hilir. Daya terpasang sebesar 3 X 70 MW (210 MW), akan mampu membangkitkan energi listrik sebesar 1,140 GWh/tahun dan merupakan PLTA besar pertama yang dibangun di Provinsi Bengkulu.Daya listrik yang dibangkitkan PLTA Musi untuk memenuhi & mensuplai kebutuhan listrik seluruh wilayah Sumatera melalui Interkoneksi Jaringan Transmisi 150 kV/275 kV untuk wilayah bagian Selatan maupun Utara.

Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/pembangkit-listrik-tenaga-air-hulu.html
http://hydroelectricpowerplant.blogspot.com

Identifikasi Budaya Suku Bangsa Pekal di Bengkulu Utara

Oleh Yondri, Jumhari, Rois Leonard Arios, R.Ade Hapriwijaya
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Sukubangsa Pekal sebagai salah satu dari 8 sukubangsa yang terdapat di wilayah Provinsi Bengkulu, merupakan salah satu sukubangsa yang sangat menarik untuk diteliti. Sukubangsa ini berada di antara dua sukubangsa dominan berada di perbatasan mereka yakni sukubangsa Minangkabau dan sukubangsa Rejang. Sebagai sukubangsa yang awalnya terbentuk dari campur budaya, menyebabkan sukubangsa Pekal seringkali terlihat mudah menyerap unsur kebudayaan yang masuk dari luar kebudayaan mereka. Campur budaya yang terjadi dari awal pembentukan kesukubangsaan berlanjut sampai saat ini.
Hal ini terlihat dari berbagai keragaman aturan yang mengatur anggota masyarakat sukubangsa. Pada tingkatan sekarang, penemuan akar budaya tradisional dalam budaya sukubangsa Pekal adalah sulit ditemukan. Namun campur budaya dapat dianggap sebagai suatu inti dari kebudayaan Pekal. Campur budaya tersebutlah yang menjadi dasar dinamika budaya sukubangsa Pekal. Berikut ini akan dianalisis berbagai informasi yang telah didapat sebelumnya untuk menggambarkan budaya sukubangsa Pekal secara keseluruhan.
Wilayah kebudayaan Pekal secara langsung berbatasan dengan daerah kebudayaan lainnya. Diutara wilayah kebudayaan Pekal berbatasan dengan daerah budaya sukubangsa Muko-muko, di Timur berbatasan langsung dengan daerah budaya sukubangsa Rejang, di Selatan berbatasan dengan wilayah budaya sukubangsa Serawai dan di Barat berbatasan dengan lautan Indonesia.
Mitologi sukubangsa sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian tersendiri, melalui kajian mitologi. Mitologi sukubangsa Pekal berkaitan dengan mitologi sukubangsa lainnya yang dominan terdapat diperbatasan sukubangsa Pekal. Mitologi ini berkaitan dengan mitologi sukubangsa Rejang dan hikayat raja Indropuro dari Minangkabau. Mitologi sukubangsa Rejang sendiri memiliki pertalian erat dengan hikayat-hikayat kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Kisah perjalanan empat pitulai dari Pagaruyung menjadi bagian dari mitologi sukubangsa Rejang. Dalam mitologi tersebut tersampir mitologi keberadaan sukubangsa Pekal. Dalam satu sisi terlihat bahwa secara langsung sukubangsa Rejang mengakui orang-orang dari sukubangsa Pekal merupakan bagian dari sukubangsa Rejang dibawah bangmego Tubui. Dari sisi lain pada dasarnya orang sukubangsa Pekal tidaklah dapat disebutkan sebagai bagian dari sukubangsa Pekal. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa, aturan dan nilai budaya serta struktur sosial lainnya yang sebagian mengambil tata aturan nilai budaya Minangkabau.
Kepercayaan anggota masyarakat sukubangsa Pekal terhadap roh-roh gaib dan tempat-tempat keramat dan diikuti dengan tingkah yang mendukung kepercayaan tersebut kepala desa secara terkecil. Sebagian lagi diangkat langsung menjadi PNS dan berkedudukan di setiap instansi pemerintah.
Menyebabkan keraguan apakah religi yang diyakini oleh sukubangsa Pekal merupakan religi yang dilaksanakan dengan sepenuhnya. Ritual yang berkaitan dengan tempat-tempat keramat dan keyakinan terhadap roh yang menghuni suatu tempat menyebabkan kecendrungan untuk melihat bahwa masih terdapatnya kepercayaan animisme ditingkat masyarakat sukubangsa Pekal.
Pada sukubangsa Pekal campur budaya pada sistem kekerabatan terlihat melalui penarikan garis keturunan, ketentuan adat menetap setelah menikah, pewarisan, sistem pemerintahan adat dan struktur sosial. Penarikan garis keturunan pada sukubangsa Pekal adalah dengan sistem Patrilinial, namun dalam pelaksanaan ketentuan adat setelah menikah terlihat kecendrungan uxorilokal pada tahun pertama.
Sukubangsa Pekal 80% merupakan petani peladang. Hal ini berkaitan dengan lingkungan alamiahnya yang berupa hutan dan lahan perladangan. Dari mata pencaharian ini terlihat bahwa sukubangsa Pekal pada saat sekarang berada pada tingkatan peradapan pertanian. Masyarakat sukubangsa Pekal dalam melaksanakan aktivitasnya menggunakan teknik slash and burn dalam membuka lahan dan meningkatkan kesuburan lahan. Teknik ini merupakan ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap.
Sebagai sukubangsa yang merupakan campuran sukubangsa dan berkembang sebagai campur budaya terlihat bahwa kesenian yang dimiliki oleh orang sukubangsa Pekal merupakan ambilan dari sukubangsa asal yakni Minangkabau dan Rejang. Kesenian teaterikal Gandai yang menjadi kesenian utama sukubangsa Pekal dan sering dipertunjukkan dalam berbagai acara, merupakan campuran dari kesenian Minangkabau dan Rejang. Kesenian Gandai hampir mirip dengan kesenian teaterikal Randai pada kesenian Minangkabau dan menggunakan alat-alat musik yang diambil dari sukubangsa Rejang.
Bahasa sukubangsa Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang. Pada saat sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa dan Bugis.
Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada sukubangsa Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan sukubangsa Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah Budaya Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa Rejang, jika mendekati wilayah budaya Minangkabau akan mengarah pada bahasa Minangkabau.
Sistem pengetahuan masyarakat sukubangsa Pekal didasarkan pada pengenalan masyarakat terhadap fenomena alamiah disekitarnya. Demikian juga halnya dengan pembagian waktu, arah dan ukuran. Pengetahuan terhadap pertanda alamiah memberikan tanda bagi masyarakat sukubangsa Pekal untuk melakukan suatu aktivitas. Pertanda alamiah tersebut dapat juga berupa pemberitahan datangnya bencana.

Peran Elite Tradisional

Studi Kasus Pasirah Di Rejang Lebong Abad XX
Oleh Siti Rohanah, Ajisman, Ernatip, dan Jumhari. Padang
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya.. Sidik Abdullah (1980: 120) menyebutnya sebagai pimpinan suatu wilayah yang disebut marga. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun (proatin)
Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Terbentuknya sistem pasirah dengan sendirinya menghapus sistem bupati di wilayah Bengkulu secara keseluruhan. Alasannya, karena pada masa kepemimpinan bupati (regent) tidak terlalu disukai oleh rakyat karena sikap dan kepemimpinannya yang dianggap tidak dapat mengayomi dan melindungi segala kepentingan masyarakat.
Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan masyarakat umum. Faktanya tidak jarang terjadi saling sikut-menyikut di antara para regent bahkan muncul kecendrungan menjilat ke atas dan menendang ke bawah. Oleh karena itu Belanda berpendapat masyarakat pribumi lebih menyukai kepemimpinan kolonial Belanda ketimbang bupati yang notabene adalah sesama pribumi.
Dalam kasus ini, dapat dikaji lebih dalam lagi karena kemungkinan besar hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Belanda dan mengandung unsur politis. Dengan dihapuskannya sistem regent otomatis daerah Bengkulu berada di bawah kekuasaan Belanda secara keseluruhan sebagai penguasa tunggal. Sebagai gantinya, maka setiap daerah dibentuk semacam marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.
Sistem pemerintahan marga yang dipimpin oleh kepala marga yang disebut pasirah muncul pertama kali pada sekitar tahun 1862. Sistem pemerintahan marga berlaku di seluruh wilayah Bengkulu setelah adanya pergantian pemerintah dari Kolonial Inggris ke Belanda. Pada masa pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan yang diterapkan adalah kabupaten dan dikepalai oleh seorang bupati. Setelah pergantian pemerintahan maka sistem pemerintahan pun berganti dan sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan baru. Penyerahan jajahan Inggris atas daerah Bengkulu kepada pemerintahan Kolonial Belanda terjadi pada tanggal 6 April 1825 berdasarkan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824.
Seorang kepala marga, diberi hak dan kewenangan dalam pemerintahan marga untuk mengatur pemerintahan dan adat. Di samping itu dia juga bertindak sebagai hakim dalam memutuskan perkara jual beli, pelanggaran adat, pengatur pajak dan pengeluaran keuangan dan belanja marga Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pasirah atau kepala marga merupakan wakil Belanda dalam marga. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa antara kepala marga dengan Belanda mempunyai hubungan yang dekat.
Pasirah selain berfungsi sebagai kepala marga, juga menjadi penghubung yang kuat antara masyarakat dan Belanda. Oleh sebab itu, kepala marga/pasirah digaji dan berada di bawah pengawasan Belanda. Pendapatan (gaji) dari pemberian Belanda adalah penghasilan pokok bagi pasirah di luar pendapatan lain, seperti hasil pembayaran denda pelanggaran adat maupun hak-hak penguasaan tanah ulayat.
Berkaitan dengan kedekatan hubungan keduanya maka kolonial Belanda mencari cara dan teknis untuk memanfaatkan hal tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kepala marga/pasirahu lebih berkreatif untuk menghasilkan pendapatan kas Belanda. Cara-cara yang dilakukan oleh kolonial Belanda adalah pemberian gelar kehormatan dan kenaikan pendapatan bagi setiap pasirah yang dianggap berprestasi. Cara dan teknis seperti ini cukup menguntungkan karena jika seorang kepala marga telah mendapatkan gelar kehormatan tersebut maka mau tidak mau statusnya menjadi lebih tinggi dari yang lainnya bahkan selevel dengan Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka.
Pada tahun 1970 pemerintahan Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang dan peraturan pemerintah yang menghapus undang-undang pemerintahan adat di seluruh Indonesia dan otomatis dengan dikeluarkannya peraturan baru maka hukum adat tidak berlaku lagi di daerah-daerah karena hukum yang berlaku adalah hukum peradilan nasional. Artinya, pihak-pihak hukum adat mulai dari tingkat yang paling kecil (kampung), desa hingga marga berakhir menjadi hukum nasional. Denda dan kurungan adat serta ganjaran lain yang bersifat adat menjadi keputusan hakim secara nasional bukan daerah. Begitu juga bentuk hukuman berubah sesuai dengan undang-undang peradilan nasional. Proses hukum dari hasil rapat dan musyawarah untuk memutuskan sangsi apa yang dijatuhkan berubah menjadi sistem atau cara peradilan nasional yang sifat dan kesanya lebih panjang dari proses adat.
Pada tahun 1979 dikeluarkan pula oleh pemerintah pusat untuk mengubah pemerintahan marga menjadi sistem desa. Marga menjadi hilang dan terhapus berganti menjadi desa dengan kepala desa sebagai pemimpinnya. Kepala Marga berubah statusnya dan dipilih ulang, orang-orang yang akan menggantikan menjadi Kepala Desa. Dalam satu marga terdiri dari beberapa desa artinya beberapa orang yang harus dipilih dan diangkat menjadi kepala desa dalam wilayah bekas marga tersebut. Akan tetapi ada juga kepala desa yang terpilih langsung, dari seorang pasirah artinya pasirah tersebut berubah fungsi menjadi dengan kerja keras dan jatuh bangun, akhirnya mampu berbuah dan menjadi berkat bagi gereja dan Negara. Proficiat untuk Paroki St. Yohanes Penginjil Bengkulu. Tuhan memberkati setiap langkah dan usaha kita.

Bumi Rafflesia, Penghujung April 2008
Ant. Dwi Putranto, SCJ

PLTA Tes



Kabupaten Lebong, Bengkulu
PLTA Tes
Sejarah Singkat
PLTA Tes adalah salah satu PLTA tertua di Indonesia. PLTA Tes merupakan pembangkit listrik yang memanfaatkan energi potensial air yang pertama yang didirikan di wilayah Sumatera. Pusat listrik ini menggunakan pola kolam tando dengan gedung pembangkit berada di permukaan tanah yang memanfaatkan aliran Sungai Ketaun yang dibendung dalam kolam tando sebelum dialirkan melalui penstock ke turbin. PLTA Tes terdiri dari 2 sentral unit dimana yang pertama adalah unit PLTA Tes Lama yang mulai dibangun pada 1912-1923 oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dan beroperasi mulai tahun 1923 di Desa Turan Tiging Kabupaten Rejang Lebong.
Pembangunan PLTA tersebut dilatarbelakangi oleh adanya areal pertambangan emas yang berada di daerah Lebong Tandai dan Muara Aman sehingga seluruh kebutuhan listrik untuk pertambangan dipenuhi oleh PLTA tersebut. Kemudian 1958 dilakukan renovasi akibat kerusakan yang diakibatkan oleh pembombardiran sentral pembangkit oleh tentara Jepang, di mana daya yang terpasang setelah renovasi menjadi 2 X 660 kW. Sedangkan unit kedua adalah PLTA Tes baru yang dibangun tepat di belakang gedung PLTA lama yang didirikan antara 1986-1991 dengan daya terpasang 4 X 4410 kW, sehingga daya total terpasang sejak 1991 di PLTA Tes adalah sebesar 18.960 kW. Saat ini daya listrik yang dibangkitkan oleh PLTA Tes digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Propinsi Bengkulu melalui jaringan transmisi 70 kV.

Letak Geografis
Secara geografis, PLTA Tes terletak di daerah perbukitan pada 3º16 LU dan 102º25 BT yang dikelilingi oleh jajaran pegunungan Bukit Barisan dengan cadangan air yang cukup besar. PLTA Tes berjarak ±115 km sebelah utara kota Bengkulu membujur dari arah timur laut menuju barat daya tepatnya terletak di Desa Turan Tiging, Kecamatan Tes, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Sumatera.

Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/pembangkit-listrik-tenaga-air-tes.html
http://hydroelectricpowerplant.blogspot.com/2009/02/plta-musi.html

Gasing Bengkulu

Permainan Tradisional Anak Anak dari Propinsi Bengkulu
Gasing Bengkulu
1. Sejarah
Permainan gasing di Bengkulu merupakan permaian tradisional rakyat yang tidak terikat dengan waktu khusus, digemari oleh hampir semua kelompok umur, baik pria maupun wanita, terutama remaja dan pemuda. Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan permainan gasing dikenal oleh masyarakat Bengkulu.
Bengkulu yang terdiri dari 9 sub etnis (Enggano, Mukomuko, Pekal, Rejang, Lembak, Melayu Bengkulu, Serawai, Pasmah dan Kaur) mengenal permainan gasing sebagai permainan gasing sebagai permainan rakyat, yang sekarang hampir tak dikenal lagi oleh anak-anak terutama di kota. Bentuk gasing dan cara bermain gasing diantara sembilan etnis Bengkulu hampir sama, perbedaan terdapat pada sebutan dan istilah dalam permainan.

2. Jenis-jenis Gasing
A. Gasing Kayu
Dibuat dari bahan kayu yang keras, umpamanya dari kayu petai cina, rukam, kemining, jeruk dan lain-lain. Bentuk gasing yang dimainkan berbentuk gici kecil atau menyerupai buah bengkuang. Pada bagian atas diberi kepala untuk melilitkan tali pemutar gasing, pada bagian bawah ditancapkan paku atau besi runcing sebagai taji untuk melukai atau merusak kesembangan gasing lawan. Permainan gasing pada umumnya ditanah keras untuk gasing adu, menggunakan lantai yang licin untuk tahan lamanya berputar. Permainan gasing adu, biasanya dibuat suatu arena tertentu, dilokasi inilah penggasing berkumpul untuk mengadukan gasingnya. Dalam pertandingan gasing yang dinyatakan pemenang adalah gasing yang tahan berputar apabila dipukul lawan dan bila dia memukul lawan jatuh atau mati. Pertandingan ini dilakukan perpasangan yang memang diadu dengan yang menang.
Bagi penggasing yang handal atau terampil biasa mencari lawan untuk bertanding gasing keluar dari daerahnya (keluar kampung). Seorang penggasing yang baik ini merupakan idaman setiap pemain gasing baik dan penampilan gasing juga dalam pembuat gasing.

B. Gasing Paku Berindu
Terbuat dari buah paku bindu (biji pakis) dan bilah bamboo, warna kuning muda. Teknik membuat dengan cara diraut, dikorek dan dilobangi, dengan menggunakan pisau untuk mengupas dan meraut buah paku bindu dan lidi untuk mencukil isi buah. Dimainkan dilantai rumah oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dengan cara diputar dengan tangan pada waktu senggang.

C. Gasing Buah Parah
Terbuat dari buah parah (biji karet), bilah bamboo dan benang, warna coklat tua dan kuning muda. Teknik membuat dengan cara diraut dan dikorek, dengan menggunakan pisau untuk meraut bilah dan melubangi biji buah parah, lidi sebagai alat mengeluarkan isi/biji buah parah dan melubangi bilah baling-baling dengan besi panas. Dimainkan anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, denga cara menggulung benang terlebih dahulu, kemudian sekali ditarik sekali dilumbar, dapat dimainkan dimana saja pada waktu senggang.
D. Gasing Bambu
Terbuat dari bambu dan tali, warna kuning muda, merah hijau, orange dan merah. Teknik buat dengan menggunakan gergaji untuk memotong bamboo, pisau untuk meraut bilah dan besi panas untuk melubangi bilah. Dimainkan oleh anak laki-laki Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dapat dimainkan dilantai rumah atau tempat yang rata dan licin, dengan cara diputar menggunakan tali, pada waktu senggang.
E. Gasing Pinang
Terbuat dari buaha pinang dan lidi bamboo, warna coklat tua dan kuning muda. Teknik buat dengan menggunkan pisau untuk mengupas buah pinang dan meraut lidi bamboo dan palu untuk memukul lidi bamboo untuk ditancapkan pada pinang. Dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dilantai rumah dengan cara diputar dengan tangan pada waktu senggang.
F. Gasing Alumunium
Terbuat dari logam alumunium dan benang, warna putih. Dibuat dengan menggunakan paku untuk melubangi lempengan alumunium, palu sebagai alat pemukul supaya rata, gunting sebagai pemotong dan batu asahan untuk menajamkan mata gasing. Dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dimainkan dimana saja pada waktu senggang.

3. Nilai Budaya dalam permainan gasing
Dalam permainan terkandung sikap jujur, tekun dan terampil, karena seorang
penggangsing dituntut patuh pada aturan yang berlaku, diperlukan ketekunan dan keterampilan dalam pembuatan maupun memainkannya.
Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/gasing-bengkulu-permainan-traditional.html
http://gasingindonesia.wordpress.com

Objek Wisata di Kotadonok

1. Danau Tes
Danau Tes merupakan tempat wisata sekaligus menjadi Pusat Pembang-kit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Tidak sama dengan tempat wisata lainnya, luas objek wisata Danau Tes + 750 Ha jarak tempuh-nya 25 km dari ibu kota kabupaten dapat di tempuh dengan ken-daraan umum, Danau Tes telah tersentuh oleh Penataan Pembangunan.

2. Sungai Ketahun
Terletak disepanjang Desa Suka Sari dan Talang Leak mempunyai air yang sangat jernih, keindahan Panorama Alam dan Luasnya sungai sepanjang 20 Km.

3. Keramat Taukem
Terletak di ujung sebelah utara Kotadonok berbatasan dengan wilayah Desa Tes. Di epat Taukem (Keramat Tepat Rukam) terdapat meriam kuno dengan sebuah peluru besi. Menurut kepercayaan masyarakat Kotadonok, bagi anak haram—anak yang dilahirkan dari hasil zina, tidak akan bisa mengangkat peluru besi sebesar buah kelapa itu.
4. Air Terjun Teluk Nusai
Air terjun ini memang masih asli, berada di areal persawahan Teluk Nusai di seberang desa Kotadonok. Untuk menjangkau lokasi air terjun itu, bisa ditempuh dengan dua alan. Pertama dengan naik perahu dengan lama tempuh sekitar 10—15 menit, atau melalui jembatan Tlang Macang dengan waktu sekitar 30 menit.

5. Air Panas Masteman
Air panas Masteman dinamakan demikian karena berada di kebun kopi milik Masteman (alm) sekitar 2 Km dari Kotadonok. Jalan ke lokasi harus ditempuh dengan jalan kaki, karena belum ada jalan yang dibangun. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit dari desa Sukasari.

6. Butau Gesea
Burau Gesea (batu hampir). Maksudn adalah batu yang seakan-akan hampir jatuh dari lereng bukit. Lokasinya berada di Danau Tes, mtepatnya di kawasan Teluk Lem yang sangat legendaris itu. Batu dengan ukuran sekitar sebesar mobil kijang itu, ternyata di atas permukaannya mampu menampung puluhan orang.

7. Jungut Benei
Jungut enei adalah muara Air Ketahun di Danau Tes yang kemudian membentuk pulau kecil yang terdiri dari pasir yang dihanyutkan oleh aliran Air Ketahun. Pulau pasir yang disebut Jungut Benei itu luasnya sekitar luasnya lapangan sepak bola. Hanya bentuknya yang bundar. Di atasnya, sampai tahun 1970 merupakan tempat penduduk Kotadonok melepas binatang piaraan mereka, seperti kerbau, itik atau bebek.
Di Jungut Benei banyak dijumpai burung belibis, burung cekuwok dan burung jenis lainnya yang mencari makan berupa ikan-ikan kecil di deaerah itu. Sering pula dijadikan oleh anak-anak desa Kotadonok untuk tempat bermain bola. Sayangnya sekarang sampai 2009, Jungut Benei tidak seperti dahulu kalau. Di samping penduduk Kotadonok tidak lagi memiliki binatang piaraan kerbau dan sapi.
Masyarakat yang mencari ikan sudah menggunakan peralatan penagkap ikan yang semi modern. Kalau dulu Jungut Benei dijadikan tempat berteduh dan persinggahan para pemancing, penjala dan penjaring ikan atau para pencari ikan di malam hari (nyuluak)

8. Desa Trans Mangkurajo
Desa Trans Mangkurajo dibuka tahun 1983 ketika Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir. Lokasinya berada di atas bukit Barisan, tepat berada di atas Desa Kotadonok dan Sukasari. (kedua desa inbi dulunya bernama Kotadonok). Jalan menuju lokasi desa Trans Mangkurajo memang mendaki dan berliku-liku. Dari kawasan desa itu dapat dilihat dengan jelas panorama alam desa Kotadonok dan alam bukit barisan lainnya. Termasuk kawasan Danau Tes yangpenuh pesona, cantik aduhai dipandang mata, apalagi kalau sempat untuk berperau di Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu.
Kemudian, di lembah Sawah Mangkurajo dapat dilihat dengan jelas dari lokasi eks PT Sebayur. Bagaimana keindahan alam pertanian di lembah Sawahmangkurajo. Walaupun digarap secra tradisionil, namun tetap menjadi tumpuan harapan masyarakat Kotadonok, Sukasari, Ujung Tanjung, Taba Anyar dan desa lainnhya di Lebong.

9. Sawah Mangkurjo
Lembah Bukit Barisan yang membujur dari Utara ke Selatan di provinsi Bengkulu ini sejak lama dikenal dengan nama Sawah Mangkurajo atau dalam bahasa Rejangnya disebut Saweak Krajo. Secara pasti kapan areal pertanian di daerah ini di buka belum diketahui. Hanya dalam beberapa cerita tokoh-tokoh Kotadonok menyebutkan sejak penjajahan kolonial Belanda, areal pertanian di daerah itu sudah dibuka.
Beberapa pelopor yang membuka usaha pertanian (sawah), kebun dan kolam di Sawah Mangkurajo antara lain H Aburuddin dengan anak-anaknya seperti Rahmatsyah, Hasyim, Zarah, Djahima dengan anak-anaknya, Saridin dan lainnya. Sedangkan pelopor lainnya seperti Dualim, Efek, Burudin dan sebagainya.
Lembah Sawah Mangkurajo yang bersuhu sangat dingin itu, sangat strategis. Dari Kotadonok berjarak sekitar 10 km, dari Tes—Taba Anyar sekitar 11 km, dari tambang emas Lebong Simpang sekitar 7 km, dari Pesisir (Arga Makmur) sekitar 20 km.
Saat ini penduduk yang bercocok tanam di Sawah Mangkurajo bukan hanya berasal dari desa Kotadonok, tapi juga dari Ujung Tanjung, Talang Leak, Turun Lalang, Tes, Manna (Kedurang) dan dari daerah lainnya. Keadaan tanahnya sangat subur, curah hujan cukup tinggi. Sumber air melimpah ruah. Dan daerah ini cocok untuk dijadikan wisata agro pertanian di Lebong.

10. Tlang Macang
Tlang Macang dahulu kala merupakan lokasi penyeberangan Air Ketahun bagi penduduk Topos dan sebaliknya yang ke pekan (pasar) di Kotadonok yang selalu ramai. Sebab, di Lebong Selatan waktu itu, hanya di Kotadonok ada pekan yang diadakan setiap hari Rabu.
Dulu untuk menyeberang Tlang Macang digunakan perahu yang menempuh jarak sekitar 30 meter. Kini, ketika Lebong menjadi kabupaten, sudah dibuat jembatan tempat penyeberangan. Rencananya akan dibangun jalan menuju desa Topos. Tapi, untuk membangun jalan permanen memang agak sulit, karena kondisi yang akan ilalui merupakan Tebing Tebo Dinding yang cukup curam.

11. Rumah Gubernur
Yang dimaksud dengan rumah gubernur itu adalah rumah pribadi atau keluarga gubernur Sumatera Selatan (1958—1959) Mohammad Husein—yang namanya diabadikan untuk Rumah Sakit Umum Palembang.

12. Rumah Pangeran
Rumah pangeran adalah rumah keluarga besar pangeran Kotadonok, Ali Kra dan Aliusar. Rumah itu sejak lama sudah tidak dihuni dan tidak pernah dirawat sebagaimana mestinya. Di rumah ini banyak cerita magic maupun mitos yang sangat populer di masyarakat Lebong.

13. Kubua Lai
Kubua Lai (Makam Besar) itu terletak di belakang rumah Supena (Pena), berupa gundukan tanah yang disekitarnya tumbuh pohon asam jawa da macang. Konon cerita, kubua lai itu dinamakan demikian karena orang yang meninggal dikuburkan dalam satu kuburan. Tentu, siapa yang meninggal di sana, tidak ada yang tahu persis. Karena kejadiannya sudah ada sejak desa Kotadonok ada.
From by http://anokjang.multiply.com ditulis sesuai realitas oleh Naim Emel Prahana si putra Rejang.

Sabtu, 28 Februari 2009

Berduka Cita



Berpulang to Rahmatulllah
RAHMATSYAH bin h ABURUDDIN (88)
father from Naim Emel Prahana
(senior journalist Lampung express and sekretaris Granat)

Pass away, Monday 16 Februaries 2009 blows 07.40 wib
At village Kotadonok, Kec Lebong Selatan, Kab Lebong, Bengkulu
Buried Monday, 16 Februaries 2009 at General Burial Kotadonok

Yang Berlangsungkawa
01. H Harun Muda Indrajaya - PU/Pimred LE
02. Ir MS Joko Umar Said - Wakil Gubernur terpilih Lampung
03. Indra Karyadi - Ketua DPRD provinsi Lampung
04. H Amir Hamzah SH - Ketua DPRD Kota Metro
05. H KRH Henry Yosodiningrat - Ketua Umum Granat Pusat
06. H Lukman Hakim SH M - Walikota Metro
07. H Djohan SE MM - wakil walikota Metro
08. Pimpinan DPRD - DPRD Kota Metro
09. Muspida Kota Metro - Pemerintah Kota Metro
10. H Zaini Nurman H - Sekda Kota Metro
11. H Ampian Bustami - Wakil Ketua DPRD Metro
12. AKBP Drs Amos Wau - Kepala Pendidikan Polri Lampung
13. AKBP Drs Waris Agono Msi - Kapolres Kota Metro
14. AKBP Drs Dedi - Kapolres Lampung Timur
15. Drs A Fikri Jahri - Kadis Budparpora Metro
16. Drs Senil Jahidan - Ketua PA Metro
17. Yahya Samsudin SH - Ketua PN Kotaagung, Tanggamus
18. WS Yoyok SH - Kepala Kejaksaan Negeri Bangka
19. Drs A Syafei - Kabag Perlengkapan Pemkot Metro
20. Drs Wahid Hasyim - Kabag Keuangan Pemkot Metro
21. Pramono SH - Kadis Pendidikan Kota Metro
22. DR Sowiyah - Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Metro
23. Drs Dahari - Kadis Pendidikan Lebong
24. Drs H Masnuni - Kabag TU Dinas Pendidikan Metro
25. Ir Hendra Djais - anggota DPRD Metro
26. H Herman Sismono SSOs - Anggota DPRD Kota Metro
27. Drs H Nasriyanto Effendi - Anggota DPRD Kota Metro
28. Faizal - Anggota DPRD Rejang Lebong
29. Junaidi SE - Sekwan DPRD Kota Metro
30. Arizal SH - Kabag Umum DPRD Kota Metro
31. Drs Muchtarom - Disnaker Kota Metro
32. Welly Alhendri - Calon DPD RI Lampung
33. H Rio Teguh - Ketua PWI Cabang Lampung
34. Agus Chandra - Ketua PWI Perwakilan Metro
35. Apridinata - Telkomsel Medan
36. Damayanti - Jakarta
37. Heriansyah LE - Redaktur Lampung Ekspres
38. Effendi LE - Ketua PWI Lampung Utara
39. Dwi Ritanto SH - wartawan LE
40. Drs Malik Afero - mantan Ketua KPU Metro
41. Drs Agus Septiwan - mantan anggota KPU Metro
42. Ahmad Mujib - Wakil Sekretaris Granat
43. Andrian Sangaji - Seniman
44. Drs Badawi Idham - Ketua Kahmi Metro
45. KAHMI - Cabang Kota Metro
46. Maaroni - TNI Bandung
47. Rastoto - Pengurus FORKI Metro
48. Dencik Effendi - Pimred Edu Media
49. Rosita - wartawan Metro
50. Nuri - wartawan Metro
51. Iwan Edu - wartawan Metro
52. Dedi Pubian - wartawan Metro
53. Suprayogi SE - Wartawan Lampung Post Metro
54. Agus Chandra - Wartawan Lampung Post Metro
55. Dwi Riyanto SH - Wartawan Lampung Ekspres Metro
56. Yon Bayu - Wartawan Lampung Ekspres
57. H Dahlan Sikumbang - Wartawan Lampung Ekspres Lampung Tengah
58. Erwin - Wartawan Mingguan Sumatera Post Metro
59. Fajar - Pimred tabloid Fokus
60. Embun Putranto - Redaktur Pelaksana Radar Lampung
61. Drs Heri Wardoyo - Redaktur Lampung Post
62. Wan Nangama - Bandung
63. Suhairiah - Tanjungkarang
64. Drs Dahmir - Peg BKKBN Lebong
65. Rusmaini - Tanjungkarang
66. Thiny WS - Metro
67. Widoko - Seniman Teater Kotagajah
68. Drs Buyung Sukron - Ketua KPU Metro
69. H Senil Jahidan Mag - Ketua Pengadilan Agama Metro
70. Drs Ma’atif Setaf MA - Dosen IAIN Raden Intan Tanjungkarang
71. H Sutan Syahrier OE SH - Pengacara senior Lampung
72. Tety - Kotagajah, Lampung Tengah

Keterangan:
Dimuat di Harian Lampung Ekspres, Lampung Post dan Tabloid Edu Media Lampung
Sejarah Provinsi Sumatera Selatan
Yang Pernah Memimpin Sumatera Selatan
Sampai tahun 2008, sebanyak 13 tokoh telah memimpin Sumatera Selatan. Setiap pemimpin punya catatan perjalanan tersendiri sesuai dengan zaman mereka. Masa pemerintahan peralihan dari penjajahan Jepang ke masa kemerdekaan Republik Indonesia ditandai oleh pengangkatan Adnan Kapau Gani—yang sering disingkat AK Gani—sebagai Residen Palembang pada 24 Agustus 1945. Pengangkatan tokoh yang terlibat pergerakan kemerdekaan itu dilakukan Menteri Negara M Amin dan Gubernur Provinsi Sumatera Mr Teuku Mohd Hassan.
Setelah pengangkatan ini, Gani dipercaya pemerintah pusat menjadi gubernur muda untuk Sumsel. Sebagai gubernur militer, AK Gani mendapatkan wilayah kerja Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan, AK Gani menjalin hubungan dagang antara Palembang dan Singapura, bahkan dengan penyelundup senjata api.
Pada 1945 Gani dipercaya menjadi koordinator pertahanan untuk wilayah Sumatera. Pada tahun yang sama, Tentara Keamanan Rakyat terbentuk di Palembang. Setahun berikutnya Angkatan Laut RI dan Angkatan Udara RI. Pada Februari 1946 Palembang memiliki sekolah kader untuk calon perwira.
AK Gani yang memiliki latar belakang sebagai seorang dokter dan berpengalaman sebagai seorang aktor rupanya juga mempunyai keterampilan berdiplomasi. Kemampuan inilah yang mampu meredam aneka insiden yang hampir meletus di Sumsel. Faktor keamanan yang kuat juga turut mengambil peran dalam perkembangan ekonomi Sumsel.
Perekonomian di Sumsel tahun 1946 lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada akhir 1946 Palembang menjadi kota bandar yang ramai dikunjungi dengan pemasukan Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari dari kegiatan pelabuhan.
AK Gani diberhentikan dengan hormat dari jabatannya mulai 1 Januari 1950 seiring dengan lahirnya keputusan hasil Konferensi Meja Bundar yang menyelesaikan konflik Republik Indonesia dan Belanda. AK Gani juga menerima kalung emas 24 karat dari masyarakat Sumatera dan mendapatkan julukan ”Pemimpin Gerilya Agung”.
Penghentian jabatan Gani itu sekaligus mengangkat kembali drg M Isa sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Sebelumnya, M Isa diserahi tanggung jawab sebagai Residen Sumsel menggantikan Gani, November 1946.
Pada awal kepemimpinan AK Gani, M Isa sudah jadi tokoh terkemuka di pemerintah Palembang. Bersama AK Gani yang menjabat sebagai Gubernur Militer Istimewa Sumsel dan sejumlah petinggi di Sumsel, Gubernur Muda Sumsel M Isa ikut serta dalam perundingan Indonesia-Belanda yang membahas penghentian tembak-menembak, 24 Agustus 1949.
Masa kepemimpinan M Isa juga melewati perjuangan. Kondisi negara pada waktu itu belum stabil karena Belanda masih ”mengganggu” kemerdekaan Indonesia. Kekacauan di Indonesia, termasuk di Sumsel, membuat kepemimpinannya penting dalam kerangka perjuangan.
Sejumlah tokoh merasakan besarnya semangat perjuangan M Isa, seperti yang dituturkan tokoh Tionghoa, Tong Djoe. Pada masa perjuangan itu, masyarakat dari pelbagai kelompok etnis ikut berjuang, termasuk masyarakat Tionghoa lewat berbagai organisasi, seperti Persatuan Kaum Tani Tionghoa. M Isa mengakhiri kepemimpinannya pada tahun 1952.
Winarno memimpin Sumsel antara 1952-1957. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang sosok Winarno. Winarno digantikan HM Husein yang menjabat pada 1957-1958. Pada saat yang sama Muchtar Prabu Mangkunegara menjabat Kepala Daerah Sumsel pada 1957-1958. Saat itu muncul wacana penyatuan pimpinan daerah otonom dan pemerintahan umum di tangan satu gubernur kepala daerah.
Tahun 1959 HA Bastari terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Sumsel lewat sidang pleno DPRD. Dalam masa kepemimpinannya, Bastari banyak menata dan mendisiplinkan pegawainya. Sejumlah mantan pejuang juga menginginkan jabatan di dalam pemerintahan. Urusan inilah yang diatur oleh Bastari. Selain itu, ia merencanakan penghapusan keresidenan dan kewedanaan. Pembangunan Jembatan Ampera juga dimulai pada masa Bastari, tahun 1962, dan selesai pada kepemimpinan gubernur berikutnya, tahun 1966.
Kepemimpinan Bastari berakhir pada 1963. Masa peralihan kepemimpinan Sumsel dipimpin oleh Sorimuda. Namun, ia tidak lama menjadi caretaker karena Menteri Dalam Negeri menunjuk Pembantu Utama Mendagri Bidang Pelaksanaan Brigadir Jenderal HA Abuyasid Bustomi sebagai penjabat gubernur.
Abuyasid menjabat tahun 1964-1967. Masa jabatan itu cukup singkat karena tahun 1967 Abuyasid ditarik ke Jakarta. Ia digantikan Ali Amin tahun 1967. Nama Ali Amin sebenarnya sudah pernah disebut-sebut ketika pemilihan calon gubernur pada tahun 1964. Dalam pemilihan kali itu, Ali Amin akhirnya menjadi Wakil Gubernur Sumsel. Ali Amin pernah menjabat Local Joint Committee (1949) antara lain bertugas mengurusi penghentian tembak-menembak antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda. Ali Amin pernah ditangkap Belanda sewaktu mengenakan emblem Merah Putih di pundak bajumya dalam perayaan ulang tahun negara Sumatera Selatan.
Sebagai gubernur, Ali Amin mendapatkan tugas yang berat karena harus menata daerah pascakerusuhan 1966. Sejumlah kesatuan aksi, seperti KAMI, KAPPI, dan KAGI, masih aktif beraktivitas melanjutkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura, 10 Januari 1966. Ali Amin menyelesaikan masa tugas sebagai gubernur pada 1968.
Asnawi Mangku Alam dari Kodam dipilih sebagai gubernur dan dilantik pada 10 Januari 1968. Putra Ulak Baru, Tepi Sungai Komering, ini menjalani sekolah rakyat sampai sekolah dagang menengah pada zaman penjajahan Belanda. Berlanjut semasa pemerintahan Jepang, yakni sekolah dokter hewan dan sekolah pegawai tinggi. Asnawi kemudian menempuh karier militer dengan bergabung dalam Tentara Republik Indonesia, pertama dengan pangkat kapten. Asnawi ikut membantu Perang Kota. Jabatannya ketika itu adalah kepala intendans berpangkat letnan satu. Pangkat ini lebih rendah daripada pangkat awal kariernya karena ada penyesuaian gelar kepangkatan.
Pada awal kemerdekaan, Asnawi aktif di Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia. Pada akhir karier militernya, Asnawi berhasil meraih pangkat brigadir jenderal purnawirawan. Seusai di militer, Asnawi diangkat menjadi Gubernur Sumatera Selatan. Pada Januari 1968 Asnawi dilantik menjadi gubernur oleh Mendagri Basuki Rachmat. Jabatan gubernur dipegangnya selama dua kali masa pemerintahan, tahun 1968-1978.
Pertanian dikembangkan
”Destiny is yours,” tutur pria kelahiran 27 April 1921 saat ditanya tentang nasib yang membawa seorang putra petani menjadi gubernur. Kekayaan hasil perkebunan Sumsel semakin dikembangkan pada zaman Asnawi. Pada Agustus 1968 tercatat luas perkebunan yang digarap di Sumsel mencapai 500.000 hektar. Asnawi juga membuka perkebunan tebu 18.000 hektar.
Asnawi menyerahkan jabatan Kepala Daerah Sumsel kepada HA Sainan Sagiman. Sainan diangkat sebagai gubernur lewat surat keputusan presiden tanggal 16 Agustus 1978. Sainan menjabat gubernur selama 10 tahun hingga 1988. Ketika dilantik, Sainan berpangkat brigadir jenderal purnawirawan. Sebelum menjadi gubernur, Sainan juga pernah ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam Perang Kota, Sainan menjabat sebagai perwira intel. Terakhir, ia bertugas di Kertapati.
Sainan termasuk sosok yang memerhatikan pendidikan. Dalam tahun anggaran 1979/1980, Sainan menaikkan bantuan kepada Universitas Sriwijaya (Unsri) sebesar 10 kali lipat dibandingkan dengan anggaran yang diterima Unsri sebelumnya. Ia juga menganggarkan Rp 4 miliar untuk sektor pertanian pada 1980. Kemudian, Sumsel menjadi penyelenggara Festival Film Indonesia, Mei 1979.
Pada Juni 1987 Sainan bersama Dirut Pertamina AR Ramly meresmikan operasi komersial Lapangan Minyak Musi di Kabupaten Musi Rawas. Selain menghasilkan minyak, lapangan ini juga menghasilkan 36,5 juta kaki kubik gas alam. Pada Januari 1988, sembilan pabrik karet bongkah kesulitan mendapatkan bahan baku. Pada tahun yang sama, Sumsel mulai menutup diri sebagai lokasi transmigrasi umum. Sainan mengakhiri masa jabatan pada September 1988, diganti oleh Brigadir Jenderal H Ramli Hasan Basri. Ramli yang dicalonkan oleh DPP Golkar dilantik sebagai gubernur oleh Mendagri Rudini. Sektor pertanian didorong untuk berkembang pada masa pemerintahannya.
Sumsel mulai ditargetkan menjadi lumbung pangan nasional sejak tahun 1990. Presiden Soeharto menggelar panen raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun, bencana kekurangan pangan juga pernah dialami warga Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, akhir tahun 1991. Untuk mendukung prestasi olahraga, Ramli membagikan bonus Rp 30 juta untuk atlet peraih medali dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XII. Ia juga menyediakan dana Rp 1,5 miliar untuk pembinaan olahraga tahun 1990.
Tanjung Api-api
Ide pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api muncul dalam masa pemerintahan Ramli pada tahun 1991. Ramli juga dikenal sebagian kalangan sebagai gubernur yang peduli terhadap persoalan sejarah dan kebudayaan. Bagi pengamat sejarah, ia termasuk orang yang sangat perhatian pada Kerajaan Sriwijaya. Kepedulian ini sangat berarti karena jarang pemimpin daerah yang memerhatikan sejarah.
Ramli mengakhiri jabatan pada 1998. DPRD Sumsel memastikan Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Pertama TNI Rosihan Arsyad sebagai pengganti Ramli. Pria kelahiran Bengkulu, 29 Juli 1949, yang juga dikenal sebagai penerbang di TNI AL, itu dilantik menjadi gubernur periode 1998-2003 setelah mengantongi 26 dari 45 suara DPRD Sumsel.
Rosihan menganggarkan Rp 3,9 miliar untuk pembinaan petani karet. Pemekaran daerah juga marak terjadi pada masa pemerintahannya. Perhatian pada transportasi juga jadi prioritas Rosihan. Dalam APBD 2001 anggaran sektor transportasi mencapai Rp 112 miliar dari total anggaran Rp 605,5 miliar. Perbaikan jalan diutamakan untuk lintas Sumatera.
Namun, pos anggaran sektor aparatur pemerintah dan pengawasan juga cukup besar, yakni Rp 29 miliar. Dana itu lebih besar daripada anggaran sektor kesehatan, peranan wanita, serta anak dan remaja Rp 20 miliar.
Pada masa pemerintahannya, ia merintis persiapan Sumsel sebagai tuan rumah PON XVI. Salah satunya dengan menyelenggarakan Kejurnas Sepatu Roda pada Juli 2002. Sejumlah sarana dan prasarana umum juga gencar dibangun saat itu, seperti pembangunan mal, hotel, dan pusat perniagaan. Pembangunan proyek yang pernah ditentang banyak pihak, disebut Rosihan, sebagai upaya peningkatan ekonomi. Terbukti, salah satu dampak positif pembangunan tersebut adalah munculnya aneka pembangkit listrik yang menyuplai listrik ke jaringan Sumatera bagian selatan.
Jabatan Rosihan berakhir pada 12 September 2003 setelah kalah dalam perolehan suara di DPRD Sumsel. Tongkat kepemimpinan berikutnya dilanjutkan pasangan Syahrial Oesman-Mahyuddin.
Pada masa Syahrial, Sumsel dideklarasikan menjadi daerah lumbung energi nasional. Syahrial juga meluncurkan program pariwisata Visit Musi 2008 yang ditiru daerah lain. Pada sisa masa jabatan, Syahrial wajib mundur untuk mengikuti pilkada. Dia harus bertarung dengan lawannya, Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin untuk menjadi gubernur ke-14. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Sumatera Selatan
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang terletak d bagian selatan Pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di utara, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, Provinsi Lampung di selatan, dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Selain itu ibukota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena sempat menjadi ibukota dari Kerajaan Sriwijaya.
Disamping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam, dll. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes, dan tempoyak.
Sejarah
Propinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya, ; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri china. Pada awal abad ke-15 berdirilah ; Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit ; yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya. Kini, Sumatera Selatan menjadi propinsi terpandang dengan sumberdaya alam yang melimpah.

Kabupaten dan Kota

No Nama Kabupaten/Kota Ibukota
01 Kabupaten Banyuasin Banyuasin
02 Kabupaten Empat Lawang Tebing Tinggi
03 Kabupaten Lahat Lahat
04 Kabupaten Muara Enim Muara Enim
05 Kabupaten Musi Banyuasin Sekayu
06 Kabupaten Musi Rawas Lubuk Linggau
07 Kabupaten Ogan Ilir Indralaya
09 Kabupaten Ogan Komering Ilir Kayu Agung
10 Kabupaten Ogan Komering Ulu Baturaja
11 Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Muaradua
12 Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Martapura
13 Kota Lubuklinggau Lubuklinggau
14 Kota Palembang Palembang
15 Kota Pagaralam Pagaralam
16 Kota Prabumulih Prabumulih

Lampung, Modal Daerah buat Republik Indonesia

Lampung, Modal Daerah buat Republik Indonesia
Oleh Firdaus Augustian dan Ahmad Duki Hamim
Peminat Sejarah dan Ketua Pelaksana DHD Angkatan 45 Provinsi Lampung

Revolusi Indonesia berakar pada ide dan konsep-konsep yang lahir pada zaman Pergerakan Nasional (1908-1942-1945). Cita-cita budaya, sosial, ekonomi, kedaulatan rakyat, dan akhirnya konsepsi bangsa serta kemerdekaan mendasarinya. Cita-cita nasional yang mulai muncul itu merupakan suatu kesadaran baru yang berbeda dengan kesadaran dinastikal dalam kerajaan-kerajaan tradisional. Kesadaran baru itu mulai membayangkan adanya suatu kesatuan politik yang lebih luas dalam pengertian modern, yaitu suatu nation state yang meliputi wilayah jajahan Hindia Belanda.
Konsep nasionalisme dan antikolonialisme mengangkat peristiwa-peristiwa di sekitar kekosongan kekuasaan yang timbul pada pertengahan Agustus 1945 menjadi suatu revolusi yang berakibat baik nasional maupun internasional. Kekuatan-kekuatan sosial primordial (tradisional) yang bangkit dan bergolak pada nasionalisme dan tuntutan kemerdekaan (Onghokham PhD., Yale University, 1975, ahli Peneliti Utama LIPI, Tempo No 8 / 1985). Analisis text book politik boleh menginterpretasikan bagaimana Proklamasi 17 Agustus 1045 itu dirancang.
Karena dilatarbelakangi fakta Dokuritsu Zyoonbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang diketuai Dr Radjiman Wedyoningrat dengan 60 orang anggotanya, termasuk Bung Karno, Bung Hatta, Moh Yamin, Wahid Hasyim, Abdul Kohar Muzakir, AM Das'ad, merupakan badan bentukan Pemerintah Jepang. Tanggal 14 Agustus 1945, Dr Radjiman Wedyoningrat, Ir Soekarno, dan Drs Moh Hatta dipanggil ke Dalat, kota kecil dekat Saigon, Pusat Komando Angkatan Darat Jepang Wilayah Asia Selatan.
Panggilan ini untuk menghadap Marsekal Terauchi, komandan Komando Angkatan Darat Jepang Wilayah Asia Selatan, menerima briefing kemerdekaan Indonesia. Tanggal 16 Agustus 1945, malam hari, di bawah jaminan keamanan Laksamana Muda Tadashi Maeda, Bung Karno, Bung Hatta, Sayuti Melik, Mr Ahmad Soebarjo, Prof Soepomo, Sukarni, pada saat bulan suci Ramadan, dipersiapkan naskah Proklamasi untuk dibacakan 17 Agustus 1945 (Ahmad Subarjo Djojoadisuryo, 1978).
Selanjutnya, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, yang dilakukan dalam semangat radikalisme, semua pihak dalam romantisme sejarahnya dapat menceritakan episode peran masing-masing dalam perjuangan itu. Biarlah, itu merupakan dramatisasi perjuangan penuh romantisme yang amat subyektif sifatnya. Karena bagaimanapun juga, sejarah selamanya akan melahirkan mitos dan legenda yang kini banyak kita temui pada biografi-biografi tertentu.
Antiklimaks dari perjuangan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah penandatanganan penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda yang diwakili Perdana Menteri Dr Willem Drees dan Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen dengan disaksikan Baginda Ratu Juliana kepada Pemerintah Indonesia Serikat (RIS) yang diwakili Drs Moh Hatta pada 27 Desember 1949. Penyerahan kedaulatan ini merupakan follow up dari rangkaian diplomasi tingkat tinggi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa, proses panjang dimulai sejak Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947.
Membuka secara transparan tentang Konferensi Meja Bundar di bawah payung PBB ini, harus dicermati hati-hati karena begitu sensitif. Republik Indonesia sebagai satu pihak yang berunding, posisinya sejajar dengan negara-negara boneka yang dibentuk Dr Van Mook, wakil gubernur jenderal Nederlands Indie yang tergabung dalam BFO (bijeenkomst foor Federal overleg) yang diketuai Sultan Hamid II (kepala negara Borneo Barat). KMB diikuti Indonesia bersama dengan negara-negara boneka bentukan Belanda ini menghadapi Pemerintah Belanda, terpaksa diikuti karena Pemerintah Belanda tidak mau berunding dengan Republik Indonesia sendiri. Dengan demikian, perundingan tersebut, tripartit, yang berkedudukan sama, yaitu Pemerintah Belanda, Pemerintah Republik Indonesia, dan BFO di bawah payung PBB.
Aceh sebagai Modal Daerah
Sejarah mencatat, selama perjuangan kemerdekaan Aceh telah memberikan kontribusi besar pada Republik Indonesia. Secara politis, perannya sangat berarti dalam suasana revolusi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Pertempuran di Aceh terjadi sejak awal kemerdekaan saat tentara Sekutu mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu yang ditawan Jepang. Tentara Sekutu ini Divisi India ke-26 di bawah Mayjen HM Chamber dan Brigjen TED Kelly yang dihadapi rakyat dan Angkata Pemuda Indonesia di bawah pimpinan Residen Teuku Nyak Arief.
Dengan diplomasi dan serangkaian provokasi, tentara Gurkha ini ditarik mundur dari Aceh. Kita tidak melihat bagaimana perjuangan bersenjata sesudah itu. Aceh tidak pernah secara keseluruhan jatuh ke tangan Belanda selama perjuangan kemerdekaan. Hanya daerah-daerah kota yang diduduki, tetapi di pedalaman, Pemerintahan Republik berjalan sebagaimana mestinya dan memberikan dukungan kepada Presiden Soekarno di Yoggakarta.
Tetapi ada yang paling monumental adalah partisipasi masyarakat Aceh mengumpulkan modal atas permintaan Presiden Soekarno, untuk membuktikan secara politis di dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia masih eksis. Modal ini akan digunakan membeli sebuah Dakota yang akan digunakan airlines yang akan menghubungkan kota-kota di Indonesia. Dengan kesadaran tinggi, seluruh masyarakat dan pedagang dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh dikumpulkan pada 16 Juni 1948 di Kotaraja diimbau mengumpulkan modal pembelian satu Dakota. Secara spontan, sekitar dua hari terkumpul Sing $130.000 dan 20 kg emas dan inilah yang menjadi modal untuk pembelian RI 001-Seulawah. Sejarah mencatat dalam tinta emas, Aceh merupakan damrah Modal untuk perjuangan Republik Indonesia.
Modal Daerah buat RI
Tanpa mengecilkan arti perjuangan bersenjata selama ini, kenyataannya antiklimaks perjuangan adalah diplomasi dengan campur tangan dunia internasional, mulai dari Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947, Perjanjian Renville di atas kapal US Navy USS Renville yang ditandatangani Mr. Amir Syarifuddin (mewakili Republik Indonesia) dan R. Abdulkadir Widjojoatmojo (mewakili Kerajaan Belanda/asli orang Indonesia), 17 Januari 1948. Persetujuan Roem-Royen, 7 Mei 1949, Indonesia diketuai Mr. Moh. Roem dan Belanda diketuai Dr Van Royen dan terakhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Dari satu perundingan ke perundingan lain, wilayah Republik Indonesia yang diakui de facto oleh Belanda makin menciut, sementara Wakil Gubernur Jenderal Nederlands Indie, Dr HJ van Mook, dengan usaha sistematis, membentuk negara-negara bonekanya yang tersebar dari Sumatera timur sampai Indonesia timur.
Kemudian, melalui aksi polisionalnya (yang kita katakan militernya) satu per satu kota-kota strategis didudukinya. Untuk diketahui, sampai 30 Desember 1948, wilayah Republik Indonesia yang tetap utuh adalah Yogyakarta (jatuh ke tangan Belanda, 19 Desember 1948) dan Aceh. Jakarta, sudah sejak 4 Januari 1946 di bawah kekuasaan Belanda.
Jawa Barat, sejak 4 Mei 1947 menjadi Negara Pasundan, Wali Negaranya R. Suria Kertalegawa dan wilayah lain diduduki Belanda, pasukan Siliwangi harus hijrah ke Yogyakarta. Jawa Tengah, terbentuk Negara Boneka Jawa Tengah sementara sebagian Jawa Tengah diduduki Belanda. Kalimantan Barat, terbentuk Negara Boneka Borneo Barat, 9 Mei 1947, dengan Wali Negara Sultan Abdul Hamid II, dan wilayah lainnya diduduki Belanda. Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur, Riau, Bangka-Belitung merupakan satuan negara yang berdiri sendiri bentukan H.J. van Mook. Sumatera Selatan, terbentuk Negara Boneka Sumatera Selatan dengan Wali Negaranya Abdul Malik dan kota-kota besar Sumatera Selatan diduduki Belanda. Kapten Alamsyah sebagai komandan Subteritorium Palembang, terpaksa hijrah ke Lampung karena Sumatera Selatan telah diduduki Belanda. Sumatera Timur, terbentuk Negara Sumatera Timur, 24 Maret 1948 dengan Wali Negaranya Dr. Teuku Mansyur dan kota-kota besarnya sudah diduduki Belanda. Jawa Timur, terbentuk Negara Jawa Timur, 3 Desember 1948 dengan Wali Negaranya RTP Ahmad Kusumonegoro, sebagian Jawa Timur diduduki Belanda. Indonesia Timur, termasuk Bali dan Nusa Tenggara, terbentuk Negara Indonesia Timur, 24 Desember 1946 dengan Presidennya Dr Sukawati. Bengkulu, Jambi, dan Riau sebagian diduduki Belanda. Daerah Sulawesi, seluruhnya jatuh ke tangan Belanda, terlihat secara jelas pelaksanaan eksekusi terhadap pahlawan nasional R.W. Monginsidi dilaksanakan melalui proses hukum di Makassar, 5 September 1949. Pelaksanaan eksekusi melalui peradilan, tentunya membuktikan jelas daerah ini diduduki Belanda.
Dengan demikian, melihat daerah-daerah ini yang tidak menjadi negara boneka bentukan Van Mook (mereka ini eksis) dan tidak diduduki Belanda, maka wilayah Republik Indonesia hanyalah Yogyakarta, Aceh, dan Keresidenan Lampung secara utuh. Pemerintahan Keresidenan Lampung berjalan dengan semangat dan dinamika revolusi. Residen Lampung waktu itu Mr A Abbas, yang dipaksa melepaskan jabatannya melalui petisi rakyat yang digerakkan Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM), 9 September 1946. Dr. Baderil Munir menjadi residen Lampung menggantikan Mr A Abbas. Jabatan ini dipangku sampai 29 November 1947 dan penggantinya R.M. Sukadi Wiriahardja. Seluruh residen Lampung ini langsung berada di bawah Presiden Soekarno di Yogyakarta. Ketika itu, Negara Indonesia terbagi atas 8 (delapan) provinsi, yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
Pasukan Kapten Alamsyah yang menjadi komandan Subteritorium Palembang berdasarkan Perjanjian Linggarjati harus menarik diri pasukannya dari Palembang yang telah dikuasai Belanda dan hijrah ke daerah Republik Indonesia yaitu ke Lampung. Pemerintahan Keresidenan Lampung terbentuk sejak 24 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 1948, melaksanakan seluruh tugas-tugas pemerintahan secara normal, perdagangan ekspor dan impor berjalan normal melalui Pelabuhan Oost Haven (Panjang).
Pengadilan Negeri Tanjungkarang melaksanakan fungsi yudikatif secara normal, dengan Ketua Pengadilannya Mr. Mahadi, lengkap dengan majelis hakimnya, salah seorang di antaranya adalah Mr Gele Harun. Kepala Kepolisian Keresidenan Lampung pada saat terakhir menjelang agresi militer II adalah Komisaris Polisi Agus Tjik. Di samping itu Keresidenan Lampung diberi kuasa pemerintah pusat di Yogyakarta, untuk menerbitkan Oeang Republik Indonesia Lampung. Percetakan uangnya di Tangsi Polisi Durianpayoeng, sekarang Markas Poltabes Kota Bandar Lampung. Kepala Percetakan Oeang Repoeblik Indonesia Lampung ini adalah R.M. Aluwian, yang terbunuh di Gunung Meuraksa Talangpadang, pada saat mengungsi waktu Agresi Militer II Belanda Maret 1949, jenasah dan pemakamannya lenyap tidak diketahui sampai kini. Pembangunan pendidikan di Lampung terlihat sekali.
Pada saat itu, telah didirikan SMP Islam di Telokbetong dan SMP pemerintah yang untuk pertama kali menumpang di Sekolah Rakyat Xaverius Penengahan Tanjungkarang. Bagi Keresidenan Lampung, SMP Islam dan SMP pemerintah ini merupakan sejarah baru karena selama ini sekolah di Lampung sampai tahun 1945 hanyalah sebatas sekolah rakyat. Pada zaman kolonial Belanda, Lampung memiliki satu sekolah ELS di Tanjungkarang dan dua sekolah HIS di Telokbetong dan Menggala dan sekolah-sekolah Melayu, vervolk school dan volk school serta sekolah-sekolah partikelir lain yang ada di kota-kota dalam Keresidenan Lampung, termasuk HIS Ardjoena dan HIS Xaverius di Tanjungkarang.
Semua sekolah itu tingkatannya adalah sekolah dasar (primary school). Agresi Militer Belanda ke Lampung dilaksanakan 30 Desember 1948, masuk dari Pantai Kunyit Telokbetong. Tanggal 31 Desember 1948 Telokbetong jatuh, 1 Januari 1949 Kota Tanjungkarang jatuh ke tangan Belanda dan sebelumnya terjadi proses bumi hangus. Mr. Gele Haroen (seorang hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang) saat itu mengambil alih Pemerintahan Keresidenan Lampung, membentuk Pemerintahan Darurat berkedudukan di Kotaagung, selanjutnya menyatakan diri sebagai residen Lampung. Adapun tugas-tugas pemerintahan di daerah pendudukan Belanda Tanjungkarang-Telokbetong dilaksanakan sebagian pejabat keresidenan yang bertahan di bawah supervisi Belanda. Pemerintahan itu kita kenal sebagai tijdlijk bestuur aangelegenheid (TBA). Untuk selanjutnya menyongsong Konferensi Meja Bundara (KMB) sekitar Juli 1949 terjadi perintah cease fire antara Tentara Belanda dan Indonesia. Untuk lebih melengkapi sampai penyerahan kedaulatan 29 Desember 1949, Bukit Kemuning, Way Kanan, sampai Lampung Barat sama sekali tidak pernah diduduki Belanda.
Kata Akhir
Provinsi Aceh sebagai daerah modal dengan RI 001 Seulawah-nya, begitu populer dalam cerita revolusi, tetapi yang tidak terpikir bahwa Lampung merupakan modal daerah buat Republik Indonesia. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana Republik Indonesia akan berunding dengan Belanda mulai dari Linggarjati, Renville, Roem-Royen sampai KMB, apabila daerah republik hanyalah Yogyakarta saja. Semua daerah di Indonesia, kecuali sebagian Aceh dan Sumatera Barat, semuanya telah diduduki Belanda atau menjadi negara boneka bentukan HJ van Mook, termasuk Jawa Barat, bumi Siliwangi. Sumatera Selatan sudah lama sebagian diduduki Belanda dan di sana ada Negara Sumatera Selatan.
Kita bersyukur Lampung dari awal kemerdekaan sampai sekarang tidak bergeming, tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak berpikir separatis membentuk negara bagian seperti daerah-daerah lain, termasuk Bangka-Belitung dan Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Borneo, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain.
Referensi dari harian Lampung Post, Selasa, 10 Mei 2005

Warga dan Heboh Lampung

Sebuah klip pemerkosaan beredar dari HP ke HP. Pelaku dan korbannya masih duduk di bangku SMP. Sungguh miris. Dalam klip video tersebut tergambar seorang anak perempuan, sebut saja namanya Cinta, dikerubuti dua teman prianya. Yang mereka lakukan sungguh tak pantas. Secara bersamaan, keduanya memperlakukan Cinta dengan kasar dan tidak patut dilakukan anak SMP. Jari salah satu pelaku masuk ke kemaluan Cinta, yang lainnya menciumi buah dadanya. Cinta yang tidur di tanah hanya bisa merintih “Sakit… sakit.”
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan detektif conan, Cinta dilecehkan teman-temannya itu selama setahun. Dia diancam harus melayani mereka agar rahasia Cinta tidak tersebar.
Semua berawal pada tahun 2006, ketika Cinta duduk di kelas I SMP I Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung Utara. Dia berpacaran dengan teman sekolahnya itu, sebut saja Yanto. Cara pacaran Cinta dan Yanto tidak hanya pegang tangan atau sekadar cium pipi, mereka sudah melakukan hal yang belum pantas dilakukan yaitu melakukan hubungan intim dan hal ini ketahuan oleh teman-teman sekelas karena dilakukan sehabis olahraga diruang kelas saat kelas sedang sepi.
Cara mereka berpacaran yang sudah kelewat batas itu akhirnya dilaporkan kepada ayah Yanto. Agar hubungan terlarang Yanto tak berlanjut, ayahnya memindahkan sekolahnya ke Kotabumi, Lampung.
Namun kepindahan Yanto tidak berakhir buat Cinta. Teman-teman Cinta satu sekolah yang mengetahui hal itu mengancam Cinta. Dia harus melayani mereka, jika tidak Cinta akan dilaporkan ke pihak sekolah. Cinta yang ketakutan akhirnya pasrah memenuhi hasrat seksual mereka. Sejak saat itu Cinta hampir setiap hari harus melayani teman-teman pria di SMP-nya baik perorangan maupun beramai-ramai.
Selama setahun Cinta diperlakukan seperti budak seks oleh beberapa teman pria di SMP-nya itu. Biasanya mereka melakukan hal itu di Lapangan Pendopo di Way Kanan, sekolah, bahkan di pinggir kali. Nah, di Lapangan Pendopolah klip video yang tersebar di Kabupaten Way Kanan diambil. Dengan video tersebut, berkali-kali Cinta diancam jika tidak memenuhi keinginan mereka.
“Tidak selalu dibegitukan, kadang Cinta hanya disuruh melepas seluruh bajunya hingga telanjang dan duduk-duduk secara bergantian di pangkuan mereka, kadang bila belajar bersama Cinta diajak ikut dan belajar bersama dalam keadaan telanjang atau hanya disuruh mandi sambil ditontonin,” kata sumber yang enggan disebutkan namanya.
Setelah hampir setahun, rupanya anak-anak SMP itu sudah mulai bosan dengan Cinta. Mereka mulai memeras dan meminta uang pada gadis malang tersebut. Jika tidak dipenuhi, klip video tersebut akan disebar.
Tentu saja Cinta yang saat ini sudah duduk di kelas II tidak bisa memenuhinya karena yang dimiliki Cinta hanya tubuhnya saja. Karena itu pula klip video itu tersebar dan akhirnya diselidiki oleh Polres Way Kanan