Minggu, 11 September 2011

Kuli Kontrak Menjadi Penduduk Bengkulu


 Sejarah Bengkulu 1908-1941
Dr Lindayanti  MHum

Dari hasil penelitian A.M.P.A. Scheltema [1] disebutkan bahwa 48% dari kuli yang diberangkatkan pada tahun 1928 berasal dari daerah-daerah Banyumas Barat, daerah Bagelen, yaitu Purworejo, Kutoarjo, dan Kebumen, dan Jawa Timur, yaitu Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk,  Jombang, dan  Malang. [2] Mereka berasal dari kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa yang kepadatan penduduknya di atas 500 orang/km2, seperti Tegal, Karanganyar, Banyumas, Purbolinggo,    Purworejo,    Kebumen,   dan   beberapa     daerah      di Vorstenlanden.[3] 
Para  kuli kontrak bekerja di perusahaan-perusahaan yang berada di Luar Pulau Jawa, salah satunya adalah di Bengkulu. Sehabis kontrak sebagian dari kuli kontrak tidak kembali ke daerah asal tetapi menetap di Bengkulu. Kehidupan bekas kuli kontrak setelah menetap di Bengkulu akan dibahas dalam bab ini, dari terbentuknya desa migran kuli di sekitar lahan milik perusahaan, bekas kuli kontrak yang mengikuti prgram kolonisasi,  dan kuli kontrak  yang terjebak  di lahan milik perusahaan akibat terjadi kemelut politik tahun 1942.      
A. Desa-desa pionir  di Rejang dan Lebong
Orang dari Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak direkrut dengan berbagai cara.  Sebagian dari mereka ada yang mendaftar langsung pada agen tenaga kerja di kota, mendaftar kerja melalui werek, mengikuti jejak saudara atau teman sedesa yang telah lebih dahulu menjadi kuli kontrak. Sebagian lain terpaksa menjadi kuli karena diculik, dibohongi oleh werek ataupun dijual oleh keluarganya.
Selanjutnya, calon kuli dibawa ke agen besar,  misalnya  Deli Planters Vereeniging ( D.P.V.) atau Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (A.V.R.O.S). Setelah calon kuli didaftar oleh agen dan diperiksa kesehatannya oleh dokter perusahaan maka kuli kontrak diberangkatkan ke  berbagai perkebunan di Sumatera.  Menurut pengalaman beberapa orang kuli, saat mereka mendaftar, mereka hanya mengetahui akan dipekerjakan di perkebunan Deli-Sumatera. Sampai mereka diberangkatkan   kuli kontrak tidak mengetahui, dimana mereka akan ditempatkan.
Para kuli ini bekerja berdasarkan kontrak yang dilengkapi peraturan poenale sanctie. Setelah habis kontrak,  sebagian besar kuli kembali ke daerah asal dan sebagian lain menetap di Bengkulu. Para bekas kuli kontrak yang kembali ke Jawa sebagian mendaftar kembali menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar pada agen tenaga kerja. Selanjutnya, mereka akan diberangkatkan kembali sebagai kuli kontrak ke perusahaan perkebunan ataupun pertambangan lain.
Untuk mendapat gambaran mengenai jumlah kuli yang menetap di Bengkulu dapat dilihat dari  perbandingan jumlah kuli yang masuk dan keluar. Misalnya,   pada  tahun  1917  kuli masuk ke Bengkulu berjumlah  718 orang,   sedangkan   kuli   keluar   hanya   berjumlah   365 orang. (Gambar 6.1). Perbedaan   jumlah  kuli   ini  dapat disebabkan  kuli  meninggal dunia, memperpanjang  kontrak kerja, ataupun menetap  di Bengkulu. Bekas kuli kontrak  yang memutuskan untuk menetap dapat disebabkan karena terjerat hutang pada perusahaan  ataupun mereka memang berminat menetap.   Migran bekas kuli yang memutuskan  menetap di Bengkulu dapat menempuh jalan sebagai  berikut:
1)     menetap di desa penduduk asli orang Rejang dan menikah dengan seorang wanita Rejang
2)     membuka sebuah perkampungan baru  di lahan milik perusahaan  ataupun di tanah milik  marga setempat
3)     menetap  di desa kolonisasi yang dibuka oleh pemerintah.
Sebagian dari bekas kuli memilih bertempat tinggal di luar tanah konsesi perusahaan, sebagian lain menetap dan mendirikan pemukiman baru di tanah konsesi perusahaan. Menurut laporan aspirant kontrolir Lebong pada tahun 1905, banyak bekas  kuli kontrak  bertempat tinggal di desa-desa orang Rejang dan migran menikah dengan seorang wanita Rejang. [4] 
Bekas kuli kontrak yang menetap di tanah konsesi perusahaan berkaitan dengan kebijakan perusahaan untuk mengatasi kekurangan kuli. Perusahaan mengalami kekurangan tenaga kerja karena sebagian besar kuli setelah habis kontrak tidak memperpanjang kontrak, kuli meninggal dunia ataupun kuli sakit.  Biaya mendatangkan kuli, baik dari Singapura maupun dari  Jawa,   sangat   mahal,[5] sedangkan usaha perusahaan mengambil kuli  dari dusun   sekitar   tidak   berhasil [6]  maka  perusahaan      mengambil
kebijakan menyediakan lahan bagi kuli yang bersedia tetap bekerja di perusahaan.  Bagi kuli yang telah berkeluarga dan kadangkala  membawa serta anak dan isterinya,  perusahaan menyediakan pondok dan makan bagi anak dan isteri kuli.
Sebagian bekas kuli kontrak  berminat dengan tawaran perusahaan, mereka  mendirikan pemukiman di tanah konsesi milik perusahaan. Misalnya, pada tahun 1905 pada tanah konsesi milik Perusahaan Tambang di Lebong Donok terdapat kampung migran kuli bernama Kampung Jawa  dan dihuni 40 orang Sunda dan   orang   Jawa    bekas   kuli  kontrak. Pada tahun 1907 jumlah penduduk di Kampung Jawa meningkat menjadi 80 orang seiring dengan semakin banyaknya bekas kuli kontrak yang menetap.[7] 
Pemukiman kuli lainnya adalah   Ladang Palembang,[8]  tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang telah dibuka menjadi perladangan  oleh orang-orang  Palembang.  Semula Ladang Palembang  dijadikan  tempat tinggal  bagi kuli yang tidak dapat bekerja lagi, karena sakit ataupun  sudah tua.  Dalam perkembangan selanjutnya,  Ladang Palembang  menjadi tempat tinggal bekas kuli kontrak yang masih muda dan sehat. Mereka membuka ladang, disamping tetap bekerja sebagai kuli  lepas di perusahaan tambang.   
Pemukiman orang-orang dari Jawa dipimpin  oleh seorang kepala kampung pribumi, terlepas dari  kekuasaan Datuk Pasar Muara Aman.  Akan tetapi kampung  berada dalam  pemerintahan marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.   Para bekas kuli kontrak ini disamakan kedudukannya dengan penduduk marga setempat, yaitu Marga Suku IX. Oleh sebab itu mereka diwajibkan mengikuti kerja wajib marga dan  membayar pajak sebesar f. 8/tahun.
Selain di Lebong,  pemukiman bekas kuli kontrak terdapat di sekitar perkebunan di Rejang.  Misalnya, Kampung Jawa, yaitu sebuah perkampungan bekas kuli kontrak yang berada di dekat dusun Curup.  Pada tahun 1903, Kampung Jawa dihuni oleh sekitar 86 orang bekas kuli kontrak perkebunan.  Selanjutnya, di sekitar Perkebunan  Soeban Ajam  terdapat beberapa perkampungan bekas kuli, pada tahun 1907  penduduk di kampung-kampung tersebut berjumlah antara 300 sampai 400 orang dan beberapa orang dari mereka menikah dengan seorang wanita dari suku Rejang.[9] Selanjutnya, di Kepahiang terdapat  pemukiman bekas kuli kontrak bernama Kampung Pensiunan. Pada tahun 1903 Kampung Pensiunan (Kepahiang)  berpenduduk 86 orang dan bertambah menjadi 118 orang pada tahun 1907.
Para bekas kuli ini  menetap atas kemauan sendiri,  tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka  membuka lahan persawahan dan kebun di tanah marga, sebagian dari mereka masih tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan perkebunan. Sebagian bekas kuli hanya bekerja di ladang dan berkebun. Mereka menanami  kebun dengan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)  dan hasilnya dijual ke Curup, atau Kepahiang. Perkampungan bekas kuli kontrak di Rejang maupun di Lebong memiliki seorang kepala kampung dari Jawa. Meskipun demikian kampung tetap berada di dalam pemerintahan marga.[10] Pertumbuhan pemukiman-pemukiman bekas kuli kontrak di sekitar perkebunan telah mengubah Curup, dari sebuah dusun kecil  menjadi  pusat perekonomian daerah Rejang. Status Dusun Curup meningkat menjadi Pasar Curup dan dipimpin oleh seorang datuk.

B.  Kuli dan  Kolonisasi
B.1. Kolonisasi Kuli di Lebong
Sebelum pemerintah melaksanakan program   kolonisasi,  perusahaan-perusahaan tambang telah memberikan sebagian tanah konsesi bagi kuli yang bersedia menetap. Oleh sebab itu saat pemerintah membuka daerah kolonisasi di Lebong  maka tujuan kolonisasi bukan hanya untuk membuka lahan pertanian tetapi  untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan tambang. Di Lebong terdapat dua macam  desa migran kuli, yaitu desa migran kuli  yang berdiri dengan bantuan pemerintah dan  tanpa bantuan pemerintah. Desa migran kuli yang dibantu pemerintah, misalnya Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur,  sedangkan desa migran kuli tanpa bantuan pemerintah, antara lain  Ladang  Palembang,  Kampung  Jawa  Baru,  Ajer Dingin,  Lebong Supit.
Pemerintah melakukan pencarian penduduk baru ke Pulau Jawa untuk menambah penduduk di desa kolonisasi kuli. Misalnya, pada bulan Mei  tahun 1911 pemerintah  mengutus orang Banten ke Pandeglang untuk mencari orang-orang yang bersedia pindah  ke Lebong. Penduduk baru yang berhasil dibawa berjumlah  77 orang dan ditempatkan di tiga desa migran kuli, Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur. Kedatangan mereka menambah penduduk  Desa  Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur sehingga penduduk di ketiga desa tersebut berjumlah 268 orang pada tahun 1912. (Gambar. 2)
Di luar desa migran kolonisasi, menurut laporan kontrolir Rejang Lebong, pada tahun 1912 di Lebong terdapat sekitar 257 orang bekas kuli kontrak yang menetap. Mereka    berada    di   perkampungan yang terletak di tanah milik perusahaan tambang, misalnya  Ladang Palembang, Kampung Jawa   Baru,    Ajer   Dingin,  Lebong   Supit,  dan   Ajer Pulang.  Sebagian lain, yaitu sekitar 20 orang bertempat tinggal di kampung-kampung orang Lebong.[11] Para bekas kuli kontrak yang menetap selain  bekerja di perusahaan tambang, juga berladang dan menjual berbagai produk pertanian, dan hasil  hutan, antara lain kayu  ke  perusahaan.    
Ketiga desa kolonisasi kuli yang mendapat bantuan pemerintah, yaitu Sukaraja, Kotamanjur, dan Sukabumi berada dekat  dengan perusahaan dan pusat pemerintahan di Muara Aman.[12] Desa dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda bekas kuli kontrak dan peserta kolonisasi yang didatangkan langsung dari Jawa. Perkampungan  terletak di dataran cocok untuk persawahan, sehingga mereka selain bekerja sebagai kuli dapat bertani. Diantara ketiga desa tersebut, lahan sawah beririgasi hanya terdapat di Kotamanjur, sedangkan lahan di Sukabumi dan Sukaraja adalah sawah tadah hujan. Kebanyakan dari mereka mencari tambahan penghasilan dengan bekerja di perusahaan, menjual kayu bakar, ataupun hasil padi mereka.         
Jumlah penduduk di ketiga desa migran kolonisasi kuli dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dari sekitar 282 orang pada tahun   1914   menjadi    496  orang pada tahun 1918. (Gambar. 6.3)   
Akan tetapi desa-desa  migran ini mengalami permasalahan kekurangan penduduk wanita. Misalnya, pada tahun 1918 jumlah  penduduk  wanita   dewasa  hanya   113  orang, sedangkan penduduk laki-laki dewasa berjumlah  245 orang.  (Gambar. 6.4)  Hal ini   menyebabkan  angka kelahiran  anak  pun   rendah.  Ketimpangan komposisi penduduk  bertambah karena banyak  migran laki-laki yang masih lajang menikah dengan wanita Lebong. Laki-laki migran setelah menikah meninggalkan desa kolonisasi dan menetap  di  desa  isteri.  Oleh  sebab  itu  pemerintah  di  Bengkulu
mengeluarkan kebijakan mengutamakan  perekrutan wanita lajang  untuk ditempatkan di desa-desa kolonisasi di Lebong.
 Pada tahun 1919  pemerintah membuka desa kolonisasi baru, yaitu Desa Magelang Baru. Penduduk di Desa  Magelang Baru berasal dari regentschap Magelang.  Dilaporkan bahwa pada tahun 1924  penduduk di Magelang Baru   berjumlah 147 orang dengan perincian:  64 orang laki-laki, 43 orang wanita, dan 40 anak.[13]  Setelah ini pemerintah Bengkulu tidak menambah penduduk desa kolonisasi dengan cara mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa, tetapi pemerintah  mengutamakan program kolonisasi  bekas kuli kontrak  yang sudah berkeluarga. Misalnya, pada tahun 1924 pemerintah merekrut bekas kuli  dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong sebanyak 18 orang dan 12 migran spontan yang datang atas biaya sendiri, [14] untuk ditempatkan di Desa Magelang Baru. Meskipun demikian, pada tahun 1925 penduduk Desa Magelang Baru berkurang  menjadi 136 orang,  dengan perincian: 59 orang laki-laki, 36 orang wanita,  dan  41 anak..[15]  Hal ini disebabkan penduduk meninggal dunia ataupun mereka meninggalkan desa kolonisasi.
Penduduk hidup dari  bertanam padi dan palawija,  memelihara ternak: ayam dan bebek. Di samping sebagai petani,  mereka memiliki pilihan kerja lain, misalnya bekerja sebagai kuli di Dinas Pekerjaan Umum ataupun bekerja pada perusahaan tambang emas perak milik pemerintah di Tambang Sawah dan Lebong Simpang.           

B.2  Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di  Tanah Konsesi Milik
       Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
Di bekas tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, sampai saat penelitian berlangsung (tahun 2005), dihuni oleh bekas kuli dan keturunan kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Mereka adalah keturunan kuli kontrak dan lahir di Bengkulu. Kebanyakan mereka pun bekerja sebagai kuli tambang, akan tetapi hanya sebagian kecil bekas kuli perusahaan tambang yang masih hidup, misalnya Sukarjo dan Jumat. Para keturunan kuli kontrak ini memberi nama dusun dan desa mereka sesuai dengan nama tempat di perusahaan tambang. Misalnya, mereka yang tinggal di bekas lokasi rumah sakit perusahaan menamai dusun mereka Dusun Rumah Sakit, sedangkan mereka yang menempati bekas lokasi pemondokan kuli orang Cina menamai dusun mereka Dusun Pondok Cina. Selain dusun-dusun di bekas kompleks perusahaan tambang, keturunan kuli kontrak juga bertempat tinggal di dusun yang telah lama dibuka di tanah milik perusahaan, misalnya Dusun Ladang Palembang.
Di Dusun Ladang Palembang terdapat satu keluarga keturunan kuli kontrak yang dapat memberi keterangan tentang orangtua mereka, yaitu keluarga Sofyan. Ayah Sofyan bernama Suwanda, seorang kuli kontrak berasal dari Cirebon.[16]  Suwanda berangkat menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar langsung ke agen tenaga kerja. Pada sekitar tahun 1930-an dia berangkat sebagai kuli kontrak untuk Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah  habis kontrak, Suwanda dan beberapa kawannya tidak pulang ke Jawa, melainkan mendirikan pemukiman di lahan konsesi tambang milik Perusahaan Redjang-Lebong, yaitu di Ladang Palembang. Ladang Palembang saat itu masih berupa hutan dan berpenduduk sedikit. Mereka  membuka ladang sambil  tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan tambang. Kemudian Suwanda menikah dengan Hindun, seorang kuli kontrak wanita dan memiliki 12 orang anak,  salah satunya bernama Sofyan. (Gambar. 6.5)
Setelah  Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940,   Suwanda  bekerja  sendiri   sebagai  penambang tradisional di  bekas   lahan   tambang  milik perusahaan.[17]  Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas  penambangan,  misalnya    Lebong Simpang,     Lebong Sulit[18]   bahkan  sampai ke  Lebong Tandai.  Hal  ini disebabkan  kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan  bekas penambangan  lainnya. Mereka bekerja  kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.           
Sofyan  hanya  sempat  sekolah sampai kelas lima Sekolah Rakyat   yang letaknya di desa Lebong Tambang.[19]  Setelah itu Sofyan    mengikuti  ayahnya  bekerja sebagai penambang tradisonal. Kemudian  Sofyan  menikah  dengan   Aisyah,  cucu dari seorang kuli  kontrak    yang     bernama  Rodiah   dari   Bogor. [20] Dari hasil perkawinannya Sofyan memiliki  lima orang anak. Tiga orang anaknya   bekerja   menjadi   petani,   di samping   itu   mereka   juga   bekerja sebagai penambang tradisional.[21]
Selain itu, di lokasi bekas kompleks perusahaan tambang masih dapat ditemui beberapa orang keturunan  kuli kontrak yang pernah bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan, misalnya Sukarjo dan Jumat. (Gambar. 6.6)  Jumat   adalah   anak  dari   kuli  kontrak yang bernama   Kanta  yang  berasal dari Cimahi (Jawa Barat).[22]  Kanta berangkat kerja menjadi kuli kontrak, sekitar tahun 1920-an, dan dipekerjakan sebagai kuli tambang di Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah kontrak habis Kanta memilih menetap di Lebong Donok dan menikah dengan Marni, seorang kuli kontrak di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.[23]  Marni dan Kanta memiliki 4 orang anak, yaitu Jumat, Sumi, Rasih, dan Mikan. Kanta adalah kuli tambang dalam yang nasibnya seperti kebanyakan kuli tambang dalam lainnya, Kanta terserang sakit TBC (tuberculose) dan meninggal dalam usia relatif muda di bawah usia 50 tahun.
Sebagai anak kuli tambang, Jumat  bersekolah hanya sampai kelas 3 di sekolah desa.   Pada   saat    itu   anak-anak   kuli tambang masih sedikit  yang  bersekolah,  satu  kelas  hanya    berisi  20 anak laki-laki, dan lima orang murid wanita.[24]  Setelah dewasa  Jumat mengikuti jejak ayahnya menjadi kuli  tambang  dan  setelah Perusahaan Tambang  Redjang-Lebong ditutup Jumat bersama kawan-kawannya melanjutkan bekerja sebagai penambang tradisional. Dari hasil pernikahannya Jumat memiliki  6 orang anak. Keenam anaknya bertempat tinggal menyebar di berbagai daerah dan tidak satupun yang menjadi penambang.
Sebelum tentara Jepang masuk  ke Indonesia tahun 1942,  Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah berhenti beroperasi dan sebagian kuli pindah kerja ke Tanjung Enim dan Perusahaan Tambang Simau di Lebong Tandai, sedangkan sebagian kuli lain tetap tinggal di area penambangan milik perusahaan. Mereka bekerja bersawah, berkebun, dan melakukan penambangan di bekas area penambangan. Pada saat  tentara  Jepang masuk ke Bengkulu  perusahaan tambang diduduki oleh tentara Jepang. Tentara mengangkut besi-besi, mesin perusahaan dengan bantuan para kuli yang masih berada di sekitar perusahaan.[25] Bekas kuli perusahaan diwajibkan bertanam padi (Oryza sativa L.)  dan jagung (Zea mays L.),  hasilnya diserahkan pada tentara Jepang.
Selanjutnya, pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia (tahun1945-1950) tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong  diduduki oleh tentara Indonesia. Untuk membiayai perjuangan mereka, para tentara menjual atap  seng bekas pondok kuli perusahaan kepada penduduk yang mampu. Saat terjadi nasionalisasi perusahaan tahun 1950-an,  tanah bekas Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang berada  di marga Suku IX  secara resmi diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Para bekas kuli yang bertempat tinggal di  bekas penambangan diberi kesempatan membeli tanah dengan harga murah. Pembelian itu dimulai dari pengukuran tanah pekarangan dan sawah dan selanjutnya untuk  menebus surat tanah itu, mereka  membayar dengan  dua setengah gram emas. Penggantian itu tidak memberatkan karena para kuli dengan mudah bisa memperoleh emas tersebut dengan cara menggali di bekas penambangan. Oleh karena itu, setelah nasionalisasi perusahaan tambang ini, di sekitar bekas penambangan   milik   Perusahaan  Tambang   Redjang-Lebong telah berdiri  desa-desa migran bekas kuli.
Bekas kuli dan keturunannya yang tinggal di sekitar penambangan selain hidup dengan bersawah, mereka juga masih melakukan penggalian tambang di bekas lahan penambangan, misalnya di Lebong Tambang dan Lebong Sulit. Bekas-bekas kuli tambang, misalnya Sukarjo, Jumat, dan Sofyan masih tetap bekerja menambang emas di bekas lahan penambangan di Lebong Tambang, Lebong Sulit di bekas konsesi tambang Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, bahkan  di Lebong Tandai  yang terletak di Bengkulu Utara.   
B.3. Kolonisasi Kuli di Rejang
Sejak awal program kolonisasi dilaksanakan pengusaha swasta  Barat   di   Rejang   tidak   keberatan dengan kolonisasi yang akan diselenggarakan oleh pemerintah.[26] Malahan, pengusaha perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij memanfaatkannya sebagai penyedia tenaga kerja bagi perkebunan.  Program     kolonisasi   di   Bengkulu  dapat   terlaksana   atas    perjuangan    Kontrolir     Rejang  D.G.  Hooijer.[27]   Pada   tahun   1908  percobaan kolonisasi dimulai di daerah Rejang dengan bantuan dana dari para kepala  Marga Selupu Rejang,  Merigi, dan Bermani Ilir. Migran kolonisasi yang datang pada tanggal 1 Maret 1908, sebanyak 66 orang dewasa dan 56 anak-anak, [28] yang ditempatkan di  dekat perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij berjumlah 26 orang dewasa dan 18 anak-anak. Para peserta kolonisasi selain bertani, mereka bekerja sebagai kuli di perkebunan  Algemeen Tabak Maatschappij.
Migran kolonisasi yang ditempatkan di dekat perkebunan sejak tanggal 3 Maret 1908 sudah harus bekerja membersihkan lahan belukar muda yang dipenuhi alang-alang (Imperata cylindrica L.)  untuk dijadikan lahan perkebunan tembakau. Setelah itu, lahan ditanami  tembakau (Nicotania tabacum L.),  tetapi penanaman pertama ini mengalami kegagalan karena  tanah yang  belum cukup asam sehingga belum siap untuk ditanami. Di samping berkebun tembakau,  mereka juga harus mempersiapkan lahan untuk membangun rumah dan memotong batang pohon untuk dijadikan kayu bakar dan dijual pada penduduk asli, sehingga  mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sebesar 50 sen/hari. 
Pada bulan pertama kedatangannya,  migran mendapatkan jatah makanan,  misalnya beras, teh, garam, ikan, sabun, dan minyak. Di samping itu mereka mendapat uang sebesar 25 sen/ minggu/kepala keluarga. Bulan berikutnya mereka hanya mendapat jatah beras dan ikan karena keperluan lain  sudah dapat dibeli sendiri dari hasil menjual kayu ataupun bekerja di perusahaan. Setelah empat setengah bulan  kebun tembakau sudah dapat dipanen. Mereka menyetorkan daun tembakau (Nicotania tabacum L.)  ke perusahaan dan sebagai gantinya mereka mendapatkan surat bukti yang dapat ditukarkan dengan bahan kebutuhan hidup melalui Kontrolir.   Pemerintah sengaja mengatur agar administratur perkebunan tidak memberikan bayaran uang bagi daun tembakau dari para migran  karena dikhawatirkan mereka akan membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang yang tidak perlu. Uang kontan hanya dapat mereka terima apabila mereka  bekerja di perkebunan tembakau.
Saat kaum lelaki mengurus kebun tembakau dan membuka lahan untuk berladang, kaum wanita dan anak-anak bekerja di gudang perusahaan. Akan tetapi, dalam praktiknya perusahaan kebun tetap mengalami kesulitan mendapatkan kuli karena migran kolonisasi lebih suka berladang daripada kerja di perusahaan. Misalnya, setelah lima  bulan kedatangannya,  migran orang Sunda yang mau bekerja di gudang hanya tiga orang dan itu pun hanya untuk beberapa hari.
Kelangkaan kuli terutama terjadi pada bulan Agustus ketika mereka sibuk membersihkan ladang untuk menanam padi. Pada saat itu  tidak ada migran kolonisasi yang bekerja di gudang,  baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak. Setelah masa tanam,  biasanya para wanita dan  anak-anak  yang berusian sembilan sampai 14 tahun kembali bekerja di gudang. Dalam satu minggu pekerja wanita dan anak bisa mendapatkan penghasilan sebesar f. 6,90. Biasanya  migran laki-laki hanya bekerja di perusahaan selama dua hari dengan upah sebesar f. 1, setelah itu mereka kembali bekerja di ladang.
Enam bulan setelah kedatangan migran di Dusun Air Sempiang telah berdiri  15  rumah migran kolonisasi dan lahan seluas sepertiga bau sudah ditanami padi ladang.[29]   Mereka telah memiliki uang sendiri untuk membeli padi seharga f. 2,50/pikul.  Untuk  membuka persawahan, mereka harus membangun saluran irigasi terlebih dahulu. Selain bertanam padi, migran menanami pekarangannya dengan  sayuran. Hasil sayur mereka jual ke Pasar Kepahiang.
Berdasarkan pengalaman keberhasilan menggabungkan kolonisasi kuli dan pertanian itu maka  pemerintah Bengkulu lebih memilih merekrut bekas kuli kontrak daripada mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa. Kolonisasi model ini adalah salah satu cara untuk mengatasi kekurangan kuli di perusahaan-perusahaan swasta Barat di Bengkulu. Dalam rangka menjalankan program kolonisasi bagi bekas kuli kontrak, pemerintah memberikan  pinjaman uang sebesar f. 15/kepala keluarga bagi bekas kuli yang bersedia menetap.
Program kolonisasi kuli yang dilaksanakan pada tahun 1920  diikuti  19 orang  bekas kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perkebunan Kopi Soeban Ajam. Mereka ditempatkan di desa-desa migran kolonisasi yang telah ada di daerah Rejang dan Lebong. Selanjutnya, pada tahun 1921 sejumlah orang bekas kuli kontrak dari   perkebunan  tembakau  Nederlandsch-Indie  Landbouw  Syndicaat (N.I.L.S.), dan Perkebunan Ajer Sempiang  yang mengikuti kolonisasi ditempatkan di areal persawahan Lubuk Blimbing (Marga Suku Tengah Kepungut-Rejang). [30]   Desa migran Lubuk Belimbing terletak di tanah beririgasi yang disiapkan  oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga migran tidak mengalami kesulitan menggarap lahan. Tujuan pembukaan desa kolonisasi ini adalah para  migran dari Jawa dapat memberi contoh bagi penduduk pribumi  dalam menggarap sawah.[31]
Pembukaan desa kolonisasi bekas kuli  Lubuk Belimbing menelan biaya f. 16.000 untuk membangun saluran irigasi. Akan tetapi, program ini gagal karena saluran irigasi tidak dapat berfungsi baik. Akibat kesulitan hidup di desa kolonisasi  Lubuk Belimbing, pada tahun 1923  banyak penduduk  meninggalkan  desa. Sampai dengan tahun 1928 areal persawahan yang dibuka tahun 1923 belum menghasilkan padi yang mencukupi  untuk hidup sehingga mereka masih harus berladang. Di samping itu, mereka hidup dari
hasil kebun kopinya.[32] Oleh sebab  itu, jumlah penduduk pada tahun 1928 makin berkurang,  yaitu  tahun  1921  Desa   Lubuk   Blimbing  berpenduduk sebanyak 94 orang, pada tahun 1928 desa hanya dihuni  60 orang karena sebagian penduduk pindah ke desa kolonisasi lain.[33]
Selain itu, masih  banyak  bekas kuli kontrak yang menetap dan membuka pemukiman baru tanpa bantuan pemerintah. Misalnya, Desa Suro Muncar (Pulau Geto), Desa Pekalongan (Merigi Kelubak). Desa Pekalongan  adalah desa-desa yang didirikan atas inisiatif bekas kuli kontrak dan migran spontan dari Pulau Jawa dengan cara meminta izin untuk mendapatkan tanah pada kepala marga setempat. Oleh karena mereka penduduk pendatang, maka diwajibkan membayar uang yang disebut “Sawah Bukit” ke kas marga [34] dan  dengan sendirinya desa ini tergabung dalam ikatan marga dan  mereka mempunyai hak dan kewajiban sama dengan penduduk asli. Menurut laporan kontrolir Rejang, pada tahun 1928 di Rejang terdapat sekitar 29 desa yang dibuka atas inisiatif para bekas kuli kontrak. Desa-desa ini terdapat di Marga Merigi,  Desa Pekalongan di dekat Desa Suro Muncar dan  Pulau  Geto,  Desa Karanganyar  yang terletak di dekat Kepahiang, dan Kampung Jawa di Curup.[35]

B.4 Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di  Perkebunan Soeban Ajam
Bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2005) dihuni oleh orang-orang Jawa, Rejang, dan suku lainnya. Komposisi penduduk Desa Suban Ayam tahun 2005 adalah 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. [36] Orang Jawa di Desa Suban Ayam pun tidak semua merupakan keturunan kuli kontrak perkebunan, karena pada tahun 1960an desa menerima transmigrasi pindahan dari  Pekik Nyaring (Bengkulu Utara),  dan transmigrasi  swakarsa dari Bengkulu Utara.[37]  Keturunan kuli kontrak perkebunan dan pernah bekerja di perkebunan,  hanya bersisa sekitar 4 orang, antara lain Rohid dan Husen.
Rohid, adalah anak seorang kuli kontrak  asal Subang yang bernama Ampai. Ampai sebelum bekerja dan menetap di Suban Ayam,  selalu berpindah-pindah kerja dari satu perkebunan ke perkebunan lain. Dimulai dari Jawa, Ampai berangkat kerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek.[38]  Pada mulanya Ampai  menjadi kuli kontrak karena bujukan seorang werek. Werek menawarkan upah  sekitar f.1/hari untuk bekerja di perkebunan Sumatera. Hal ini menarik bagi remaja yang belum memiliki pekerjaan. Akhirnya Ampai mendaftar menjadi kuli kontrak dan dipekerjakan di sebuah perkebunan di Aceh.
Selama Ampai bekerja sebagai kuli  kontrak tidak pernah mengalami kekerasan fisik meskipun upah tidak  sebesar yang dikatakan oleh werek.  Setelah habis masa kerja Ampai tidak memperpanjang kontrak, dia pulang ke  Jawa. Sesampai di Jawa Ampai mendaftar ke agen tenaga kerja dan diberangkatkan sebagai kuli kontrak untuk  perkebunan di  Deli. Akhirnya, pada tahun 1925 Ampai bekerja sebagai kuli kontrak di Perkebunan Soeban Ajam. Selanjutnya, dia menikah dengan seorang kuli kontrak wanita perkebunan Suban Ajam.  dan  memiliki anak bernama Rohid.[39] Oleh karena kedua orangtuanya bekerja sebagai kuli,  Rohid bersama anak-anak lain diasuh oleh seorang babu yang disediakan perusahaan. Saat berumur kurang lebih 12 tahun Rohid mulai bekerja di perkebunan.
Rohid bersama beberapa anak bekas kuli kontrak yang menetap di sekitar perkebunan, bekerja menjadi penyadap karet. Upah yang diterima tergantung dari hasil getah yang didapat setiap harinya. Para penyadap karet mulai pukul 04.00 sampai pukul 09.00 menyadap karet, setelah itu mereka pulang ke rumah untuk makan.[40]   Baru pada pukul 12.00 mereka kembali ke kebun untuk mengambil getah hasil sadapan. Berbeda dari para kuli kontrak, kuli-kuli harian tidak mendapatkan santunan  dari perusahaan.  Sebagai kuli bebas, tentu saja Rohid tidak memperoleh  fasilitas dari perkebunan, misalnya pemondokan, perawatan rumah sakit, atau memperoleh pensiun dari perusahaan. Dalam sehari, seorang kuli bisa mendapatkan  kurang lebih 15 liter getah dan mendapatkan upah sebesar 45 sen.[41]
Setelah dewasa, Rohid menikah dengan Painah dari Desa Tangsi Baru  di Perkebunan Kaba Wetan. Painah juga anak seorang kuli kontrak.  Ayah Painah bekerja di Perkebunan Kaba Wetan yang kemudian  setelah habis masa kontraknya menetap di lokasi perkebunan dan menjadi kuli bebas, sedangkan isterinya berhenti menjadi kuli kontrak dan bekerja sebagai penjual makanan di lokasi perusahaan. [42] Demikian halnya dengan Rohid dan Painah, setelah menikah Rohid tetap bekerja di perkebunan dan isterinya menjadi penjual makanan di lokasi Perkebunan Soeban Ajam, seperti yang dilakukan oleh ibunya.
Bekas   kuli   kontrak    lain    yang   menetap  di  lahan   milik Perkebunan Soeban  Ajam adalah Anirang.[43]  Anirang yang berasal dari Banten berangkat menjadi kuli kontrak sekitar tahun 1920-an.  Anirang bekerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek   dan ditempatkan di Perkebunan Dempo. Setelah kontrak habis, Anirang mendaftar lagi menjadi kuli kontrak dan ditempatkan di Perkebunan Soeban Ajam.  Setelah kontrak habis Anirang menetap di lahan perkebunan dan tetap bekerja menjadi kuli bebas.  Kemudian Anirang menikah dengan Sawinah dan memiliki seorang anak bernama Husen. (Gambar. 6.7)
Pada tahun 1941 Perkebunan Soeban Ajam tutup, kebanyakan  kuli perkebunan pindah kerja ke Perkebunan Kaba Wetan, termasuk Anirang.  Di perkebunan Kaba Wetan Anirang  menjadi mekanik  pabrik, dan menjadi mandor pada pembangunan jalan perkebunan. Sekitar setahun bekerja, Anirang meninggalkan perkebunan, selanjutnya dia menetap di desa migran Permu.   Pada tahun 1943, saat tentara Jepang menduduki Perkebunan Soeban Ajam, Anirang  pulang ke Suban Ayam.   
Pada saat itu kebun-kebun kopi dibongkar dan diganti tanaman jagung (Zea mays L.)  dan jarak (Ricinus communis L.).  Para bekas kuli perkebunan dipekerjakan oleh Jepang untuk menanam jagung dan rami (Boehmeria nivea L.).  Perkebunan dibagi menjadi dua, yaitu separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Pondok Seng (Sambirejo)  ditanami jarak, jagung, dan rami,  sedangkan separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Kali Padang hanya ditanami jagung.  Apabila seorang kuli dapat menyetor jagung 3 ton/sekali panen, maka akan dibebaskan dari kerja paksa, sedangkan mereka yang tidak sanggup akan dibawa Jepang untuk ikut kerja paksa.[44]
Setelah Indonesia merdeka,  perkebunan diambil alih oleh pemerintah RI, dan pemerintah membagikan tanah perkebunan  kepada bekas kuli perkebunan dengan pembayaran ganti rugi yang murah.[45]  Desa-desa pun terbentuk, misalnya Desa Kali Padang, Air Duku, dan Suban Ayam.  Masing-masing  desa   memiliki   kepala desa   sendiri, dan Anirang diangkat menjadi kepala desa pertama  Desa Suban Ayam.[46] Selanjutnya, pada tahun 1946 diadakan pemilihan kepala desa, Paimun, seorang bekas kuli kontrak yang menetap di perkebunan Soeban Ajam terpilih sebagai kepala desa. Sampai tahun 2005   desa Suban Ayam telah memiliki 10 orang  kepala desa, kebanyakan  orang Jawa. [47]

C.  Perubahan Politik dan Nasib Kuli di Perkebunan Kaba Wetan
Nasib bekas kuli bekerja di Perkebunan Kaba Wetan berbeda dengan mereka di Suban Ayam maupun di Lebong Donok. Mereka dapat menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar ganti rugi yang murah karena setelah Indonesia merdeka perusahaan tidak dioperasikan lagi. Akan tetapi bekas kuli Perkebunan Kaba Wetan mengalami sengketa tanah setelah berhasil mengambil alih lahan perusahaan. Hal ini disebabkan setelah Indonesia merdeka perusahaan dioperasikan kembali, sehingga pemerintah mengambil kembali lahan perusahaan yang telah diduduki oleh para bekas kuli.  Di lahan bekas perkebunan berdiri desa-desa yang dihuni oleh keturunan kuli perkebunan, antara lain  Kolonisasi Air Sempiang yang sekarang bernama Kampung Bogor dan perluasan dari Kampung Bogor diberi nama Kampung Babakan Bogor, Air Sempiang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lambou, Barat Wetan, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren.  Diantara keturunan kuli kontrak tersebut masih terdapat beberapa orang bekas kuli perkebunan, misalnya Jamal dan Maeran.
Jamal, (Gambar. 6.8)    adalah salah satu kuli kontrak periode terakhir sebelum Perkebunan Kaba Wetan jatuh ke tangan tentara Jepang. Jamal yang berasal dari desa  Salam (Yogyakarta), sebelum berangkat menjadi kuli kontrak bekerja sebagai pemain ketoprak keliling   yang  tidak  memiliki  tanah.[48] Selanjutnya,    Jamal  mengikuti pamannya  yang  sudah.bekerja di Perkebunan Kaba Wetan bekerja sebagai kuli di Perkebunan Kaba Wetan dengan kontrak selama  tiga tahun.   Pada tahun 1935 Jamal beserta calon kuli lainnya diberangkatkan naik  kereta api dari Yogyakarta menuju Jakarta,  kemudian  mereka diangkut dengan kapal menuju Bengkulu. Sampai di Pelabuhan Bengkulu mereka dijemput truk milik perusahaan perkebunan dan  dibawa ke Perkebunan Kaba Wetan di Kepahiang
Jamal  menandatangi  kontrak  kerja  untuk  masa  3 tahun   dengan bayaran  3000  rupiah uang putih (f. 30)[49] dan mendapatkan upah harian  sebesar 30 sen.[50]  Akan tetapi, upahnya setiap  hari  dipotong  sebanyak satu sen untuk biaya makan. Setiap bulan perusahaan memberikan bahan makanan berupa beras, minyak, gula dan lain-lain. Selain upah, perusahaan juga memberi fasilitas berupa pemondokan kuli; alat kerja untuk   berladang,   misalnya    pacul  dan  parang;  penanganan kesehatan gratis di rumah sakit perusahaan.[51]  Saat  bekerja  menjadi kuli, Jamal mendapatkan peningkatan status menjadi  mandor kecil dan kemudian meningkat lagi menjadi mandor besar.
Penghapusan poenale sanctie, bukan berarti tidak terjadi lagi kekerasan terhadap kuli. Misalnya, menurut cerita yang berkembang pada kalangan kuli di Perkebunan Suban Ayam,  di afdeeling Kali Padang (Suban Ayam) pernah ada kuli  digantung sampai mati oleh mandor besar Musa (orang Banten). [52]Di samping itu, hukuman ringan pada kuli yang mangkir kerja oleh mandor masih sering terjadi.  Pengalaman menjadi kuli kontrak ini  tidak berlangsung lama. Oleh karena nasib Jamal dan para kuli kontrak lainnya  di Perkebunan Kaba Wetan berubah saat  tentara Jepang mengambil alih perkebunan.
 Pada tanggal 23 Februari 1943 Keresidenan Bengkulu secara resmi jatuh ke tangan Jepang dan dengan gerak cepat tentara Jepang menuju ke dataran tinggi Rejang dan Lebong.[53] Rejang Lebong memiliki posisi strategis bagi Jepang, sebagai daerah lumbung beras dan pusat perusahaan perkebunan dan pertambangan. Perusahaan-perusahaan milik pengusaha swasta Barat diambilalih. Nasib perusahaan beserta kuli yang ditinggalkan Belanda tidak sama satu dengan yang lain. Perkebunan yang tidak menguntungkan dirombak menjadi  kebun tanaman pangan, sedangkan perkebunan yang menguntungkan tetap dipertahankan.  Misalnya, pada pertengahan April 1943 Perkebunan teh Kaba Wetan dibongkar karena hasil teh tidak dapat diekspor ke luar negeri.[54] Selanjutnya, para bekas kuli dikerahkan untuk mengganti dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang (Arachis hypogeae L.), dan umbi-umbian.
Selama masa pendudukan  Jepang, kegiatan perkebunan terhenti. Para bekas kuli  dibiarkan mengambil alih tanah perkebunan. Jamal mendapatkan kesempatan memperoleh tanah dan dia mendirikan rumah dan membuka   ladang   di lahan perkebunan.[55]  Sejak   itu,   para   bekas    kuli  memiliki   tanah   pekarangan  dan  lahan   pertanian. Di bekas lahan perkebunan itu para bekas kuli mendirikan rumah yang di sekitarnya ditanami jagung  dan sayuran. Kehidupan menjadi sulit karena mereka tidak mendapatkan upah kerja lagi. Mereka hidup hanya dari hasil pertanian  yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kehidupan semacam ini berjalan terus sampai Indonesia merdeka.
Pada tahun 1949 dilaksanakan perjanjian Konferensi Meja Bundar yang berisi antara lain bahwa perkebunan swasta asing harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sedangkan perkebunan milik pemerintah Hindia  Belanda   diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk perusahaan milik swasta asing yang sudah tidak beroperasi.[56]  Perkebunan Kaba Wetan sejak tahun 1950, diputuskan menjadi milik pemerintah Indonesia, dan pelaksanaannya diserahkan kepada daerah masing-masing. Oleh karena setelah merdeka Bengkulu dimasukkan dalam pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan, maka pengelola perkebunan adalah pemerintah daerah di Palembang. Selanjutnya, Perkebunan Kaba Wetan dikelola oleh perusahaan swasta  N.V. Kenawen Palembang,[57] Saat itu keadaan tanaman teh (Camellia sinensis L.)  di perkebunan sudah rusak. Sebagian lahan perkebunan  telah menjadi lahan pertanian dan terdapat rumah-rumah yang dihuni oleh bekas kuli perkebunan.          
Sebelum perkebunan dapat berfungsi dengan baik pada tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu pada pertengahan bulan Agustus 1957 Mayor Nawawi beserta pasukannya yang menjadi pendukung gerakan PRRI di Sumatera Barat dan melakukan desersi ke Bengkulu. Pada saat pasukan melewati areal perkebunan, mereka melakukan pembakaran pabrik dan kebun, dan membunuh sekitar 11 orang di Kaba Wetan.  Setelah peristiwa PRRI ini seluruh aktivitas perkebunan teh terhenti. Dalam masa vakum ini lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk setempat  dengan status hak pakai yang artinya penduduk  hanya memiliki hak untuk menggunakan lahan, tidak dapat memilikinya, ataupun menjualnya.
Selanjutnya, pada tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu 1974-1979) berencana membuka kembali perkebunan Kaba Wetan. Saat  perkebunan didata ulang hanya lahan seluas 1.900 ha dapat digunakan karena selebihnya adalah dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah seluas 1.000 ha diserahkan kepada P.T. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan. Dari lahan seluas 1.000 ha,   kurang lebih 250 ha.  terdapat lahan milik empat desa, yaitu Desa Tangsi Baru, Desa Tangsi Duren, Desa Barat Wetan, dan Desa Aer Sempiang, pekuburan umum, jurang, sungai, dan jalan,  sehingga kegiatan pertama dari perusahaan adalah memberi ganti rugi untuk tanaman penduduk.
 Pada masa peralihan ini terjadi ketegangan antara penduduk dan perusahaan, karena  masalah ganti rugi yang dirasa terlalu kecil. Akhirnya pada pertengahan tahun 1989 warga mulai pindah ke dalam batas-batas desa, dan pada sekitar tahun 1990-an perusahaan perkebunan mulai beroperasi. Di bekas lahan Perkebunan Kaba Wetan ini sejak tahun 1990-an terdapat dua perkebunan teh : Perkebunan Teh  Trisula milik pengusaha Taiwan dan Perkebunan Teh  Sarana Mandiri Mukti milik Pemerintah Daerah Bengkulu.  Kedua perkebunan ini  lebih suka mempekerjakan orang dari Jawa dibandingkan dengan pekerja orang Rejang, karena pekerja orang Jawa dan orang Sunda  dianggap lebih tekun bekerja.[58]
Orang-orang dari Jawa yang bermukim di Barat Wetan dan Babakan Bogor kebanyakan bekerja di Perkebunan Trisula, sedangkan orang-orang dari Jawa   yang berada di desa Air Sempiang, yang lebih dikenal dengan sebutan desa Lambou, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren bekerja di Perkebunan Sarana Mukti Mandiri .[59]  
              Para bekas kuli dan keturunannya yang menetap di Bengkulu, memiliki kehidupan baru yang berbeda-beda. Misalnya, desa-desa migran kuli di bekas penambangan Lebong Donok merupakan pemukiman  homogen yang hanya dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda keturunan kuli tambang.  Kebanyakan dari keturunan kuli tambang masih  bekerja sebagai penambang.
 Desa migran Suban Ayam, yang berada di  bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, merupakan  pemukiman yang dihuni oleh bermacam-macam suku, selain keturunan kuli perkebunan. Hal ini dapat terjadi karena letak  desa yang berdekatan dengan desa penduduk asli Rejang dan berada di sepanjang jalan propinsi. Kebanyakan keturunan kuli perkebunan bekerja sebagai petani, baik bertanam padi maupun sayuran.
 Desa-desa migran kuli yang berada di  Perbukitan  Kaba, sangat berbeda dari desa migran dari Jawa lainnya. Desa-desa mereka terletak di perbukitan dan  terpisah jauh dari desa-desa penduduk asli, sehingga kehidupan desa migran kuli ini terkesan eksklusif.  Pada saat  perkebunan Kaba Wetan berhenti berproduksi, terjadi peralihan status dari kuli kontrak menjadi petani bebas. Setelah bertahun-tahun mereka dan keturunannya hidup bertani dan berkebun, tetapi saat perkebunan teh pada tahun 1990-an  diaktifkan kembali,  banyak dari  keturunan kuli  yang menjadi pekerja perkebunan. Karena hidup  bertani dan bekerja sebagai pekerja upahan di perkebunan lebih baik daripada hanya bekerja sebagai petani.
             
( Dikutip dari dan seizin  Dr. Lindayanti. M.Hum “ (BAB VI) KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU  1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007) Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”

DAFTAR PUSTAKA
1.        A.M.P.A. Scheltema, “Eenige gegevens betreffende den economischen toestand in de regentscahppen, van waar in 1928 de meeste contractkoelies vertrokken” dalam Koloniale Studien, dertiende jrg. (Weltevreden: G. Kolff & Co., 1929), hlm. 411-429                
2.        Ibid., hlm.  412              
a.        Berdasarkan data dari Kantor Pusat Statistik bekerja sama dengan Kantor Perburuhan (Kantoor van Arbeid) dan dari Kontrolir ketenagakerjaan ( Wervingscontroleurs), tahun 1928  dalam Indisch Verslag, 1930, hlm. 53
3.        Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476 afs. No: 1486/20. Adanya perkawinan antara laki-laki dari Jawa dengan perempuan Rejang maka hak dan kewajiban laki-laki dari Jawa itu akan sama dengan warga Rejang asli.  
4.        Disebutkan bahwa ongkos mendatangkan kuli setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengolah 1 ton batuan tambang, Verslag  van de Directie der Mijnbouwmaatschappij Ketahoen, 1905.
5.        Menurut laporan kontrolir onderafdeeling Rejang W.A. de Laat de Kantoor,  orang Rejang belum  terbiasa   memenuhi  kebutuhan hidup dengan kerja  upahan. Mereka beranggapan pekerjaan semacam ini  memalukan dan tidak terhormat. Akan tetapi hal ini tidak berlaku, apabila mereka bekerja di perkebunan milik orang pribumi yang dibayar dengan cara bagi hasil. Mvo. Onderafdeeling Redjang, KIT. 946, hlm. 44 
6.        Ibid.  Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476, Afschrift No. 1486/20
7.        Ladang Palembang sampai sekarang dihuni oleh  orang Sunda keturunan dari kuli kontrak yang dahulu  bekerja di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
8.        Mgs. 17 Juni 1911, loc cit.
9.        Ibid.
10.     J. van Breda de Haan, “Kolonisatie op de Buitenbezittingen” dalam Teysmania, (Batavia: G. Kolff & Co., 1915),  hlm. 415
11.     Kotamanjur,  letaknya 3 ½ pal (5,25 km) dari Muara Aman, Sukabumi letaknya 5 pal (7,5 km) dari Muara Aman, dan Sukaraja yang berpenduduk orang Sunda letaknya hanya 1 ½ pal ( 3 km) dari Muara Aman
12.     Koloniaal Verslag tahun  1925
13.     Ibid
14.     Koloniaal Verslag 1926
15.     Wawancara dengan Sofyan, anak  Suwanda kuli kontrak  Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang,  tanggal 9 April 2005
16.     Wawancara dengan Sofyan, anak  Suwanda kuli kontrak  Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang,  tanggal 9 April 2005 
17.     Dari Desa Ladang Palembang menuju penambangan Lebong Sulit hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama satu malam perjalanan
18.     Jarak Ladang Palembang  dan Lebong Tambang sekitar dua km
19.     Rodiah , pada tahun 2005 telah berumur sekitar 95 tahun dan masih hidup, akan tetapi sudah tidak dapat melihat dan mendengar. Menurut cucunya, Aisyah, Rodiah mulai bekerja menjadi kuli kontrak wanita di Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada sekitar tahun 1925. Rodiah menikah dengan seorang kuli kontrak dan menetap di desa Ladang Palembang. 
20.     Pada tahun 2000 salah seorang anak Sofyan meninggal dunia karena kecelakaan kerja sewaktu menambang emas di Gunung Pongkor (Bogor).
21.     Wawancara dengan Jumat, Pondok Cina-Muara Aman, tanggal 10 April 2005 
22.     Marni berasal dari Purworejo (jawa Tengah).  Marni  menjadi kuli kontrak karena diajak  adik perempuannya yang juga bekerja di perusahaan tambang  dan suami adiknya adalah jurutulis di kantor lobang. 
23.     Wawancara dengan Jumat,  Pondok Cina (Muara Aman), tanggal 10 April 2005
24.     Wawancara dengan Sukarjo, Lebong Tambang (Muara Aman), tanggal 9 April 2005
25.     Hal ini berlainan dengan asumsi umum bahwa para pemilik      perkebunan tidak setuju dengan kolonisasi karena  dianggap dapat  menyebabkan  kesulitan dalam    perekrutan  buruh dan akan menghabiskan tenaga kerja orang dari Jawa. Patrice Levang, op cit, hlm.36
26.     Percobaan kolonisasi di Kepahiang disetujui oleh  Menteri Jajahan Idenburg dan merupakan perkecualian dengan alasan karena tanah yang akan digunakan sebagai percobaan kolonisasi sangat subur maka  Menteri tidak keberatan asal dalam pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan  program emigrasi, Bijlagen 4 Januari 1909 no. 23/9 dalam  BT 25  Januari 1909 no. 17 
27.     Afs. No 158/20 10 September 1908
28.     Afs. No 158/20 loc cit.
29.     Mvo.  Onderafdeeling Redjang, KIT  946, op cit.,  hlm. 3
30.     Ibid., hlm. 2.
31.     Ibid., hlm. 3
32.     Mvo. Residentie Benkoelen, 1932, KIT 202, op cit.,  hlm.  67
33.     Mvo. Onderafdeeling Redjang, 1928, KIT. 936, op cit., hlm. 3
34.     Ibid., hlm. 2 
35.     Wawancara dengan Achmad Cholil, kepala desa Suban Ayam, tanggal  3 April 2005
36.     Wawancara dengan Achmad Cholil
37.     Wawancara dengan Rohid, anak dari Ampai dan bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam, di desa Suban Ayam tanggal 3 April 2005
38.     Wawancara dengan Rohid, bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di desa  Suban Ayam, tanggal  3 April 2005
39.     Wawancara dengan Paimin, bekas kuli harian Perkebunan Soeban Ajam, Tritunggal Curup, tanggal 5 April 2005
40.     Wawancara dengan Rohid, ibid.
41.      Wawancara dengan Painah, bekas kuli kontrak wanita dari Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di Desa Suban Ayam,  tanggal 3 April 2005
42.     Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam, tanggal 5 April 2005
43.     Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam, tanggal 5 April 2005
44.     Sejak tahun 1968 lahan perkebunan Soeban Ajam telah disertifikatkan  menjadi hak milik penduduk.
45.     Ibid. 
46.     Penduduk Suban Ayam tahun 2005  adalah: 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. Wawancara dengan kepala desa Suban Ayam  Achmad Cholil, tanggal 5 April 2005  
47.     Wawancara dengan Jamal, bekas mandor perkebunan Kaba Wetan sehingga  menetap di Air Sempiang-Kepahiang, tanggal 1 April 2005
48.     Wawancara dengan Maeran, bekas kuli kontrak  Perkebunan Kaba Wetan, Desa Barat Wetan, tanggal 3 April 2005
49.     Upah seorang kuli kontrak wanita sebesar 25 sen/hari dan  dipotong sebanyak 1 sen untuk biaya makan, Wawancara dengan Jamal, bekas kuli kontrak  Perkebunan Kaba Wetan, Desa Air Sempiang, tanggal 3 April 2005
50.     Rumah sakit perusahaan untuk penyakit ringan terletak di afdeeling Tngsi Baru, sedangkan kuli yang menderita penyakit berat dikirim ke Rumah Sakit Pusat Waringin Tiga.  
51.     Wawancara dengan Rohid, anak kuli kontrak Perkebunan Soeban Ajam, Desa Suban Ayam, tanggal 7 April 2005
52.     Kementerian  Penerangan,  Propinsi Sumatera Selatan, 1955, hlm. 168
53.     Perjuangan Rakyat Tanah Rejang, Sebuah Fragmen Perjuangan Fisik Rakyat di Kota Curup dan Sekitarnya, (Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, 2000), hlm. 22
54.     Pada  tahun  1953 desa Air Sempiang diakui secara resmi oleh pemerintah dan jamal dipilih sebagai kepala desa yang pertama di desa Air Sempiang. Kepala desa Air Sempiang baru diganti pada tahun 1993 dan penggantinya adalah anak dari Jamal.
55.     Karl. J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan melawan Petani (terj.),   
56.     (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm. 49
57.     Wawancara dengan Wakun Karyo, desa Tangsi Baru (Kaba Wetan), tanggal  2
58.     April 2005
59.     Wawancara dengan Wakunkaryo, di desa Tangsi Baru, tanggal 2 April 2005 
60.     Wawancara, Ibid.

Perekonomian Bengkulu


 Sejarah Bengkulu 1908 – 1941
Dr Lindayanti MHum

Pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda yang dimulai tahun 1870 dibedakan menjadi tiga tahapan:  awal ekspansi ekonomi dari tahun 1870 sampai tahun 1904,  pertumbuhan ekonomi yang pesat dari tahun 1905 sampai tahun 1930, dan krisis ekonomi setelah tahun 1930.[1]  Akan tetapi di Bengkulu pertumbuhan baru dimulai sejak tahun 1890-an, yaitu dimulainya eksplorasi tambang dan pembukaan hutan untuk perkebunan-perebunan besar di daerah Muko-Muko, dan daerah Rejang-Lebong. Pertumbuhan ekonomi yang pesat baru terjadi setelah tahun 1915 saat perusahaan tambang dan perkebunan sudah dapat mengekspor produknya.
 Pertumbuhan ekonomi yang pesat baru terjadi setelah tahun 1915 saat perusahaan tambang dan perkebunan sudah dapat mengekspor produknya. Keberadaan perusahaan tambang dan perkebunan selain menarik   penduduk pendatang untuk berdagang di  dusun-dusun sekitar perusahaan, tetapi juga menarik pekerja dari Pulau Jawa.  Aktivitas ekonomi di sekitar perusahaan perkebunan dan pertambangan telah membawa perubahan bagi dusun-dusun sekitar. Misalnya, dusun  Curup menjadi pusat perekonomian untuk daerah Rejang dan dusun Muara Aman menjadi pusat perekonomian untuk daerah Lebong. Krisis ekonomi tahun 1930-an mengakibatkan aktivitas ekonomi menurun, perusahaan mengurangi pekerjanya, beberapa perusahaan bahkan menutup perusahaannya, dan terjadinya kemunduran pada pusat-pusat aktivitas ekonomi di sekitar perusahaan.

A.  Pertumbuhan Ekonomi Bengkulu (Tahun 1904-1929)
Pertumbuhan ekonomi di Bengkulu  terutama terjadi setelah tahun 1904 dengan dimasukkannya daerah  subur Rejang-Lebong ke dalam wilayah Bengkulu. Daerah Rejang-Lebong memiliki banyak  perusahaan perkebunan dan pertambangan baik milik swasta Barat maupun milik pemerintah. Perusahaan-perusahaan  tambang dan perkebunan tersebut menjadi motor penggerak ekonomi Bengkulu. Oleh karena itu, pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1930-an, perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan mengurangi produksi, dan bahkan beberapa perusahaan berhenti beroperasi maka perekonomian Bengkulu  pun mundur.
Pada saat di Bengkulu telah banyak berdiri perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan, pemerintah Bengkulu mulai memikirkan untuk dapat memenuhi kebutuhan beras sendiri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan beras  sendiri, pemerintah berusaha memajukan pertanian padi rakyat.   Para petani diperbolehkan membuka tanah-tanah milik negara (domeingrond) untuk dijadikan persawahan. Selain    menanam    padi (Oryza), mereka juga membuka hutan untuk ditanami tanaman ekspor, misalnya  kopi (Coffea canephora L.), kelapa (Cocos nucifera L.),  cengkeh (Eugenia aromatica L.),  karet (Hevea brasiliensis L.), gambir (Uncaria gambir L.), dan tanaman palawija[2]
Perbaikan dalam bidang pertanian dimulai dengan melakukan  pembangunan saluran irigasi dan pembukaan Sekolah Pertanian untuk penduduk pribumi di Bengkulu pada tahun 1913.[3] Pembangunan saluran irigasi yang dilakukan, misalnya irigasi Air Palik  di Aur Gading (onderafdeeling Lais), irigasi Air Musi di Curup (onderafdeeling Rejang) dapat mengairi sawah seluas 1.000 bau. Di samping saluran irigasi  yang telah berfungsi, misalnya irigasi Air Ketahun di Talang Leak (onderafdeeling Lebong), dan saluran irigasi dari Air Selat dan Air Blumai di Padang Ulak Tanding (onderafdeeling Rejang).[4] Akan tetapi, pembangunan saluran irigasi ini tidak banyak mempengaruhi minat penduduk untuk beralih menjadi petani padi sawah.
Hal ini terlihat dari hasil    padi  ladang yang lebih tinggi dari hasil padi sawah dari tahun 1921 sampai  tahun   1923,  untuk daerah Muko-Muko, Bengkulu, dan Lais, sedangkan di Rejang-Lebong terjadi peningkatan areal padi sawah yang dibuka oleh migran kolonisasi dari   Jawa  (Tabel. 4.1. ). Komoditas lama,  yaitu hasil hutan,  lada (Piper ningrum L.) dan cengkeh (Eugenia aromatica L.)  masih menjadi andalan ekspor Bengkulu. Selain itu, pemerintah  juga  memperkenalkan  tanaman dagang baru,  misalnya kopi, tembakau (Nicotania tabacum L.), dan    karet sehingga  masing-masing  daerah  memiliki spesifikasi tanaman ekspor tersendiri. Misalnya, di daerah Dataran Tinggi  Rejang, tanaman dagang yang dikembangkan antara lain  kopi dan tembakau. Pada mulanya petani hanya menanam jenis tembakau Musi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Akan  tetapi setelah bekerja sama dengan perkebunan besar, mereka  menanam jenis tembakau Deli sehingga hasil daun tembakau yang diekspor ke luar negeri meningkat, dari  154.020   kg   pada   tahun  1908   meningkat menjadi    225.000 kg pada tahun 1909. Kopi banyak  ditanam di daerah Sindang (onderafdeeling Rejang) dan di Dataran Tinggi Krui, dan dalam jumlah sedikit ditanam di daerah Manna, Seluma, dan Kaur. Pemeliharaan tanaman  kopi rakyat  sangat bergantung pada harga pasar. Kebun-kebun  kopi rakyat akan dipelihara dengan baik apabila harga kopi tinggi di pasar, sebaliknya kebun-kebun kopi menjadi telantar pada  saat harga kopi turun. 
Pada tahun 1912 dalam rangka meningkatkan jumlah ekspor kopi  pemerintah  mendatangkan  berbagai  jenis  bibit   kopi, misalnya Abequeta, Quillo, dan Uganda.[5] Keberhasilan penanaman kopi rakyat dapat dilihat dari angka ekspor kopi dari tahun 1919 sampai dengan tahun 1929. (Tabel. 4.2) Tanaman lada dan cengkeh masih menjadi tumpuan hidup petani di dataran  pantai  di  daerah  Manna,  Pasemah  Ulu  Manna,   Krui, Kaur, dan Muko-Muko. Sampai dengan tahun 1929, lada dan cengkeh masih merupakan komoditas ekspor Bengkulu yang penting,  di samping hasil hutan,  yaitu rotan (Calamus manan L.)  dan damar (Parashorea stellata L.).  (Tabel. 4.3 dan 4.4 ). Selain hasil tanaman dagang, ekspor Bengkulu berupa  hasil  tambang   emas  dan   perak.   Hasil   tambang   emas   dan  perak dari perusahaan-perusahaan tambang  di Bengkulu memiliki kedudukan  penting   bagi   perekonomian  Bengkulu   maupun  perekonomian   Hindia Belanda. Keresidenan   Bengkulu  merupakan salah satu pengekspor emas dan perak yang utama di Hindia Belanda, misalnya nilai ekspor emas dan perak Bengkulu pada tahun 1936 bernilai f. 3.538.000 yang berarti 94,5% dari seluruh nilai ekspor dari Hindia Belanda yang bernilai f. 3.715.000. [6]
Bersamaan dengan pertumbuhan perusahaan tambang dan perkebunan di Dataran Tinggi Rejang-Lebong pemerintah daerah melakukan pembangunan jalan yang dapat   dilalui  mobil   untuk  melancarkan arus angkutan barang dan menghemat  biaya angkut dan waktu tempuh. Misalnya, pada tahun 1908 biaya perjalanan dengan gerobak dari kota Bengkulu menuju Lebong adalah sebesar f. 40-50 dan ditempuh dalam waktu 6 hari. Setelah  tahun  1912  dengan  adanya angkutan mobil, perjalanan  antara kota Bengkulu menuju Lebong hanya memakan waktu 2   hari  dengan biaya   hanya   f.  6,50  (Tabel.  4.5  dan   Tabel. 4.6).  
Pada tahun 1912 pemerintah membuka dinas transportasi  yang  melayani  rute  dari kota Bengkulu menuju Muara Aman   dan   sebaliknya (Gambar. 4.1.).   Rute lain  adalah dari  kota  Bengkulu menuju Ketahun,   rute kota Bengkulu  menuju Muara Klingi melalui Curup dan Muara Beliti, dan dilanjutkan melalui jalur sungai dengan kapal uap milik KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij)  menuju  Palembang.
Pembangunan jalan  di Bengkulu sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan karena perusahaan tambang swasta Eropa membebankan pemeliharaan jalan kepada pemerintah  Akan tetapi, bagi penduduk selain menguntungkan juga memberatkan karena beban kerja wajib mereka bertambah untuk memelihara jalan.  Tersedianya sarana jalan ini menambah jumlah kendaraan di Bengkulu,  yakni pada tahun 1915 mobil pengangkut barang hanya 10 buah maka pada tahun 1924 telah tersedia 89 buah mobil. (Tabel. 4.7)
Kota Bengkulu menjadi pusat aktivitas perekonomian karena produk perusahaan tambang dan perkebunan dikapalkan melalui pelabuhan Bengkulu. Selain itu, Bengkulu  juga merupakan pusat pemerintahan  dan  terdapat   tempat  kediaman  residen   (Gambar. 4.2.).  Pada  tahun  1920-an,    kota Bengkulu telah memiliki gedung bioskop, Kantor Pos/Telegrap, toko   besar, dan  kantor-kantor   perusahaan    dagang, misalnya Borsumij.  Di   dekat   pantai   Bengkulu,   sekitar   benteng    Fort Marlborough  semua   aktvitas    ekonomi   berlangsung karena di sana   terdapat Kampung Cina dengan deretan rumah-rumah toko yang menjual bermacam-macam untuk keperluan hidup dan gudang-gudang milik berbagai perusahaan dagang (Gambar. 4.3.). Secara keseluruhan jumlah penduduk di Bengkulu meningkat dari  253.639 orang pada tahun 1920 menjadi 315.813 orang pada tahun 1930. Persentase    peningkatan   sekitar   24%   ini   antara  lain     disebabkan     masuknya penduduk pendatang dari Karesidenan Pantai Barat Sumatera, Karesidenan Palembang, dan    terutama  dari  Pulau Jawa.  Keberadaan pendatang ini terkonsentrasi di kota Bengkulu, di sekitar perusahaan tambang terutama di kota Muara Aman, dan di sekitar perkebunan, yaitu di Curup dan Kepahiang.

B.  Penambangan Emas dan Perak  di Lebong
B.1.  Perusahaan-Perusahaan Tambang
Di Bengkulu sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 banyak berdiri perusahaan tambang, seperti Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada tahun 1898, Perusahaan Eksplorasi Tambang Lebong Sulit  pada tahun 1900, Perusahaan Eksplorasi Emas Simau  pada tahun 1901, Perusahaan Tambang Lebong Kandis  pada tahun 1909, dan Perusahaan Tambang Glumbuk  pada tahun 1910. Akan tetapi  tidak semua perusahaan dapat bertahan. Misalnya, Perusahaan Tambang Lebong Kandis yang berdiri pada tahun 1909  hanya beroperasi sampai tahap eksplorasi dan pada tahun 1913 perusahaan dilikuidasi. Begitu juga dengan nasib Perusahaan Tambang Gloemboek yang berdiri pada tahun 1910 yang beroperasi hanya sampai tahun 1913. Karena penemuan  kandungan emas dan perak  hanya sedikit, yaitu dari 120.000 ton batuan hanya ditemukan 6 dwts emas dan 9 ons perak.[7] Hasil itu tidak dapat menutup ongkos produksi sehingga akhirnya perusahaan ditutup dan areal penambangan dialihkan kepada Perusahaan Tambang Simau.
Perusahaan Tambang Sulit yang berdiri pada tahun 1900 kemudian pada tahun 1902 berganti nama menjadi Perusahaan Tambang Ketahun.[8] Perusahaan ini memiliki konsesi tambang di Lebong Sulit  seluas 4.525 bau. Izin eksploitasi diberikan selama 75 tahun,  cukai sebesar 10 %  dari hasil netto, dan uang sewa tanah sebesar f. 0,25/bau. Pada awal berdirinya,  perusahaan harus mengeluarkan modal besar untuk membangun jalan sepanjang 40 km menuju areal penambangan. Para kuli kontrak yang dipekerjakan membangun  jalan ini banyak yang mengalami sakit dan bahkan meninggal dunia. Sampai paruh pertama tahun 1900, kuli kontrak yang meninggal dunia sebanyak 267 orang dari 1.369 orang kuli kontrak.  Penyakit yang sering menyerang kuli adalah beri-beri, disentri, dan cholera.
Pada tahun 1903, Perusahaan Tambang Ketahun mulai melakukan penambangan dan pada tahun 1908 perusahaan telah dapat membagi dividen pertama bagi pemegang saham. Perusahaan ini melakukan penambangan sampai tahun 1925 dan selanjutnya, konsesi tambang Lebong Sulit diambil alih oleh Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.
Dua perusahaan tambang emas terkemuka di Bengkulu adalah Perusahaan Tambang  Simau dan Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Perusahaan Tambang Redjang-Lebong merupakan perusahaan tertua yang berdiri tahun 1897 dengan nama Perusahaan Eksplorasi Emas Redjang-Lebong dan pada tahun 1898 menjadi Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dengan konsesi 4.079 bau  selama 75 tahun dengan pembayaran cukai 10% dari hasil bersih, dan biaya sewa sebesar f. 0,25/bau.[9] (Gambar. 4.4)
Selanjutnya Perusahaan Tambang Simau  yang  mulai berdiri tahun 1901 dengan nama Perusahaan  Eksplorasi Emas Simau dan menjadi  Perusahaan  Tambang  Simau  pada  tahun 1906  (Gambar. 4.5.).  Konsesi   tambang   yang   diberikan seluas 2.959 ha untuk waktu 75 tahun, cukai sebesar 4% dari hasil netto, dan uang sewa tanah sebesar f. 739,75.[10] Pada tahun 1910 perusahaan baru dapat    menghasilkan, yaitu  sebanyak 9271, 12 ons  emas dan 19.666,50 ons perak  dengan nilai total f. 492.527,45.[11]    Selanjutnya,    perusahaan    menjadi    semakin  berkembang dengan   bertambahnya   areal  penambangan. Pada tahun 1914  perusahaan mendapat tambahan  konsesi Gloemboek, sehingga perusahaan memiliki 2 areal penambangan, yaitu penambangan Simau dan penambangan Gloemboek.
Kedua perusahaan itu merupakan penyumbang terbesar ekspor emas perak   Hindia Belanda.[12] Misalnya, pada tahun 1919 Perusahaan Tambang Redjang-Lebong  menghasilkan 659 kg/emas dan 3.859 kg/perak, dan Perusahaan Tambang Simau menghasilkan 1.111 kg/emas dan 8.836 kg/perak. Di Bengkulu, selain terdapat perusahaan-perusahaan tambang milik swasta Barat, juga ada 2 perusahaan tambang kecil milik pemerintah kolonial, yaitu Perusahaan Tambang Lebong Simpang dan Perusahaan Tambang Sawah. (Gambar 4.6.)
Dari dua perusahaan tambang itu hanya Perusahaan Tambang Tambang Sawah yang dapat bertahan hingga tahun 1930-an. Perusahaan Tambang Tambang Sawah ini lebih banyak menghasilkan perak daripada emas, (Tabel. 4.8)  seperti  halnya  Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, dan Perusahaan  Tambang   Simau.   (Tabel. 4.9)   
Meskipun demikian, Perusahaan Simau yang paling banyak menghasilkan  emas  dengan  jumlah yang  relatif  stabil  dari tahun 1923 sampai tahun 1930, rata-rata 1.300.000 gram/tahun.

B.2  Tambang bagi Masyarakat Sekitar
B.2.1  Muara Aman sebagai Pusat Aktivitas Perekonomian
Secara keseluruhan keberadaan perusahaan-perusahaan ini membawa  keberuntungan bagi perekonomian Bengkulu secara keseluruhan, tetapi  penduduk yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan hanya menikmati sedikit.  Keuntungan terutama dinikmati oleh para kepala marga tempat eksplorasi tambang berada, dalam bentuk uang ganti  rugi yang diberikan oleh perusahaan tambang.  Misalnya, di daerah eksplorasi Lebong Simpang, berdasarkan  Keputusan Pemerintah tanggal 16 Januari 1915 no. 10 perusahaan harus membayar uang sejumlah f. 2.500  kepada masing-masing kepala marga, yaitu Djakin gelar Depati Pasak Negeri dan Sibar alias  Moendar Depati Aur Gading Palik.
Di samping itu, perusahaan juga harus  membayarkan sejumlah uang untuk kas marga. Pada kasus Perusahaan Tambang Lebong Simpang, perusahaan harus membayar uang sebesar f. 5.000  ke kas Marga Bermani Lebong dan Marga Aur Gading Palik untuk memajukan ekonomi penduduk  di marga –marga tersebut.[13] Selain itu, perusahaan juga harus membayar kayu-kayu yang digunakan bagi perusahaan. Misalnya, Perusahaan Tambang Simau  yang menggunakan kayu dari hutan milik Marga Ketahun, maka marga tersebut berhak mendapatkan pembayaran yang disebut bunga kayu sebesar 2% dari harga kayu yang diambil oleh perusahaan.
Keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan ini paling tidak telah membuka keterasingan daerah Lebong dengan daerah pantai dan pelabuhan Bengkulu melalui pembangunan jalan. Jalan baru dibuat untuk menghubungkan Pelabuhan Bengkulu dengan Dataran Tinggi Rejang-Lebong melalui Kepahiang,  dan Curup (Rejang) sampai ke Muara Aman. Jalan ini merupakan jalan tersibuk di Keresidenan Bengkulu karena setiap hari berbagai alat angkut seperti, prahoto, gerobak kerbau (Bos bubalus L.), dan gerobak banteng (Bos sondaicus L.) melintasi jalan Perbukitan Barisan yang terjal menuju perkebunan-perkebunan di Rejang dan pertambangan di Lebong. Mereka mengangkut berbagai barang keperluan perusahaan tambang maupun perusahaan perkebunan.
Perusahaan-perusahaan tambang, yaitu Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan  Perusahaan Tambang Sawah, dan Perusahaan   Tambang    Lebong     Simpang telah menghidupkan perekonomian  di  Muara  Aman. Selanjutnya,  Perusahaan     Tambang Simau dengan area  penambangan Lebong Tandai (Marga Ketahun) telah menumbuhkan pemukiman baru, yaitu Dusun Sungai Landai, dan menghidupkan dusun-dusun yang berada di jalur transportasi dari Lebong Tandai menuju pelabuhan Ketahun, yaitu Dusun Napal Putih, dan Dusun Ketahun.
Pada tahun 1874 daerah Lebong masih merupakan kumpulan dusun yang miskin dengan rumah-rumah yang berdinding bambu. Misalnya, Tes dan Kota Donok masih berupa dusun kecil yang berada di tengah hutan, dan di setiap dusun hanya terdapat 10 sampai 15 rumah, sedangkan  di   Muara  Aman  hanya  terdapat  24  rumah  dengan jumlah penduduk   sekitar   121   orang.[14]   Mata   pencaharian penduduk adalah berladang padi dengan hasil produksi beras hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Dengan berdirinya berbagai perusahaan tambang, maka mulailah keterasingan daerah Lebong dibuka. Hal itu dimulai dengan pembangunan jalan antara daerah Lebong dengan daerah Rejang sampai dengan kota Bengkulu untuk keperluan perusahaan tambang.  Oleh karena itu, memasuki abad XX, Muara Aman telah menjadi sentra kegiatan ekonomi yang banyak didatangi oleh berbagai suku bangsa. Hal ini antara lain disebabkan  letak Muara Aman yang dikelilingi lokasi penambangan emas dan perak. Misalnya, areal penambangan Lebong Simpang  terletak 12 km di sebelah tenggara Muara Aman dan Tambang Sawah hanya 9 km di sebelah utara  Muara Aman dan areal penambangan Lebong Donok terletak hanya 2 km sebelah barat Muara Aman.
merupakan tempat kediaman asisten residen dan aspiran kontrolir.  Rumah tinggal asisten residen yang terbuat dari kayu dibangun di bagian lereng bukit Pasar Muara Aman dan di sebelahnya terdapat pesanggrahan untuk penginapan tamu pemerintah.[15] Di lereng bukit  terdapat rumah kediaman kontrolir dalam satu kompleks  dengan lapangan bola, lapangan tenis,  dan tangsi polisi.
Di sekitar Muara Aman sejak akhir abad ke-19  telah berdiri kampung-kampung pendatang, misalnya kampung orang Jawa  dan  kampung orang Sunda bekas kuli kontrak Perusahaan Tambang   Redjang-Lebong.[16]    Mereka   menetap  atas   kemauan
sendiri dan  tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka mendirikan pemukiman baru di Kampung Lebong Donok dan berada di bawah pemerintahan langsung seorang kepala kampung pribumi  dan terlepas dari pemerintahan  Pasar Muara Aman.
Pada tahun 1925, Kota Muara Aman mencapai kejayaannya dengan adanya dua kota kecil tambang, yaitu Lebong Tambang dan Tambang Sawah.  Di Lebong Tambang yang hanya berjarak dua kilometer dari Muara Aman,  terdapat  perkantoran dan perumahan Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Kemudian, di Tambang Sawah yang berjarak sembilan kilometer dari Muara Aman dan untuk mencapainya harus melewati jembatan gantung Tunggang di atas Sungai Ketahun,  terdapat perkantoran dan perumahan Perusahaan Tambang Sawah.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik untuk perusahaan-perusahaan tambang, maka dibangun dua bendungan besar, yaitu Bendungan Taba di Pegunungan Bukit Barisan dan Bendungan Tes dari Danau Tes. Kedua bendungan itu mampu memberikan tenaga listrik untuk ketiga pertambangan, yaitu Lebong Donok, Lebong Simpang, dan Tambang Sawah.
Di bagian kota Muara Aman terdapat deretan toko-toko orang Cina dan sebuah sekolah berbahasa Cina. Oleh karena banyak orang Cina di Pasar Muara Aman  (Gambar. 4.7.),   maka diangkat    seorang   Letnan  Cina    sebagai   kepala   masyarakat orang Cina di Muara Aman. Selain itu terdapat pula sebuah hotel kepunyaan seorang Jepang dengan sederet rumah panjang di sampingnya.  Rumah itu dihuni oleh wanita Jepang yang siap meladeni keperluan seks bagi para pekerja orang Eropa.  Di depan hotel Jepang terdapat bangunan besar dari kayu yang digunakan untuk pemutaran film bagi penduduk kota dan sekitarnya.[17]
Sampai dengan tahun 1931, atau 57 tahun kemudian, di daerah Lebong sudah  terjadi banyak perubahan. Dusun-dusun sudah menjadi makmur  dengan  rumah-rumah   kayu  berpilar  indah   dan    beratapkan   seng.[18]  Daerah  yang  dahulu    masih
hutan rimba dan masih dihuni banyak harimau (Felis tigris),  pada sekitar tahun 1930-an telah dihuni banyak orang. Sebagian besar daerah Lebong  telah menjadi daerah persawahan dengan adanya pengairan dari Sungai Ketahun.[19]  Hal ini berkaitan dengan adanya kolonisasi orang dari Jawa yang didatangkan sebagai kuli di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, Tambang Sawah, dan Simau.

B.2.2  Pertumbuhan Dusun Kecil di Lokasi Penambangan:
Sungai Landai,  Napal Putih, dan Ketahun
Dusun Ketahun  terletak di tepi pantai barat Sumatera yang merupakan pelabuhan kecil tempat berlabuh kapal-kapal motor kecil.  Ketahun  berfungsi sebagai jalan masuk Muara Aman telah menjadi kota  terbesar kedua di Bengkulu. Muara Aman juga    bagi peralatan kebutuhan Perusahaan Tambang Simau dan sekaligus jalan keluar produk tambang  yang selanjutnya diangkut ke pelabuhan besar di Bengkulu.  Semua barang dari dan menuju penambangan di Lebong Tandai diangkut melalui Sungai Ketahun.  Dari pelabuhan Ketahun, barang diangkut dengan kapal motor sampai pelabuhan transit yang bernama Napal Putih dan dari sini barang diangkut dengan kereta tambang menuju Lebong Tandai, dan begitu pula sebaliknya untuk produk tambang yang akan diangkut ke pelabuhan Bengkulu. Napal Putih juga merupakan ibukota onderdistrik dan tempat tinggal asisten demang. Pemerintah dan Perusahaan Tambang Simau memiliki pesanggrahan di sini.  Oleh karena letak yang strategis bagi perusahaan tambang, maka Ketahun dan Napal Putih pun  berkembang menjadi pusat-pusat perekonomian baru di daerah Lais.  
Areal penambangan di Lebong Tandai terletak di Perbukitan Tandai  yang jauh dari pemukiman penduduk asli.  Oleh karena itu, para kuli kontrak yang bekerja di Perusahaan Tambang Simau hidupnya terpisah dari penduduk asli karena  dusun-dusun mereka  berada jauh dari  perusahaan. Akan tetapi, keberadaan perusahaan tambang ini telah mendorong tumbuhnya pemukiman baru di area penambangan, yaitu Dusun Sungai Landai. Sungai Landai adalah sebuah dusun   yang  didirikan oleh orang Minangkabau yang berasal dari daerah Maninjau.[20]  Mereka bekerja sebagai pedagang yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi kuli-kuli kontrak yang bekerja di Perusahaan Tambang Simau.
Pada tahun 1922, dusun ini berpenduduk sekitar 250 orang yang terdiri dari orang Minangkabau dan orang Cina. Kepala Dusun Sungai Landai  adalah orang Minangkabau yang bergelar datuk  dan secara administratif  berada di bawah kekuasaan pasirah Marga Ketahun yang berkedudukan di Napal Putih.  Di Sungai Landai ini juga terdapat warung candu untuk memenuhi kebutuhan candu bagi kuli kontrak yang berada di areal penambangan Lebong Kandis, Glumbuk, dan Lebong Tandai. Warung candu ini berada di bawah pengawasan Asisten Demang Ketahun dan setiap  tiga bulan sekali ditinjau oleh kontrolir.[21]
Semua itu berubah setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1930-an. Banyak kuli yang diberhentikan kerja dan perusahaan tidak melakukan eksplorasi tambang lagi karena cadangan emas di daerah penambangan sudah menipis.  Bahkan ada perusahaan tambang yang berhenti produksi. Hal itu tentu membawa dampak menurunnya perekonomian di desa-desa yang selama ini diuntungkan oleh pertambangan, yaitu Muara Aman, Ketahun, dan Napal Putih.
Muara Aman,  misalnya, terpukul dengan banyaknya kuli yang diberhentikan oleh Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan ditutupnya perusahaan tambang milik pemerintah di Lebong Simpang dan di   Tambang    Sawah. Untuk   mempertahankan   kehidupan  ekonomi di  Muara Aman yang juga merupakan tempat kedudukan pemerintah. maka pemerintah menjaga kelangsungan hidup perusahaan tambang dengan cara pertambangan emas pemerintah di Lebong Simpang yang dibuka tahun 1912 dialihkan kepada Perusahaan Tambang Rejang-Lebong pada tahun 1938. Melalui keputusan pemerintah  tahun 1935,  26 konsesi tambang milik pemerintah di Lebong Simpang dijual  kepada Firma Erdmann en Sieclken.[22]
Nasib yang sama juga menimpa Desa Ketahun dan Napal Putih  yang kehidupannya tergantung pada Perusahaan Tambang Simau. Penurunan aktivitas ekonomi setelah tahun 1930 di Napal Putih berdampak dipindahkannya ibukota onderdistrik ke Ketahun.[23] Akibat menurunnya aktivitas ekonomi Ketahun menjadi sepi meskipun menjadi ibukota onderdistrik. Selanjutnya, Ketahun hanya berfungsi sebagai pelabuhan transit bagi perusahaan tambang Simau.
Kejayaan penambangan di daerah Lebong pupus menjelang berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda  di Indonesia. Muara Aman semakin terpuruk dengan ditutupnya Perusahaan Tambang Redjang-Lebong pada tahun 1940, sedangkan Perusahaan Tambang Simau masih dapat terus berproduksi sampai tahun 1942.     
C.   Perkebunan-Perkebunan Besar  di Rejang
C.1 Perkembangan Perkebunan Besar
Rejang   menjadi   pilihan   bagi  pengusaha swasta Barat  sebagai areal perkebunan karena Rejang  merupakan daerah subur dengan jenis  tanah diluviaal tuf dan berada pada ketinggian sekitar 800 meter/dpl cocok untuk tanaman teh (Camellia sinensis L.), kopi robusta (Coffea canephora L.), dan tembakau (Nicotania tabacum L.).  Kepahiang sebagai pusat pemerintahan untuk daerah Rejang, pada tahun 1874 masih  merupakan talang orang Rejang dan  di sana hanya terdapat sekitar 10-15 rumah. [24]
Akan tetapi, sejak akhir abad ke-19 sudah banyak permintaan tanah untuk perkebunan, meskipun sampai tahun 1892 kebanyakan masih belum mulai beroperasi. Hanya perkebunan-perkebunan di Rejang, misalnya Perkebunan Soeban Ajam (1891), Perkebunan Warong Djelatan (1892), Perkebunan  Kepahiang (1893), dan Perkebunan Dataran (1893)  yang sudah beroperasi.[25] Perkebunan-perkebunan ini terletak di Bukit Kaba  yang subur. Sampai dengan tahun 1928 di Rejang terdapat  sepuluh  perkebunan  besar,   yaitu    Pematang    Danau   (Gambar.  4.8.), Ajer   Simpang,  Soeban Ajam,   Sindang  Dataran,  Heeco,  Ajer Dingin,  Bukit   Daun, Kaba Wetan, Westkust, dan Benko. Lahan perkebunan kebanyakan ditanami  tanaman kopi robusta (Coffea canephora L.),  sebagian  lain   juga ditanami teh (Camellia sinensis L.), misalnya Ajer Simpang, Suban Ayam   dan  Kaba   Wetan     (Tabel.  4.10 ). Di antara     perkebunan       tersebut, Perkebunan Soeban Ajam (Sindang-Redjang)  memiliki lahan   yang   paling   luas,   yaitu    3.448    bau,   akan tetapi   hanya   1.500  bau     yang  telah ditanami    kopi robusta (Coffea canephora L.),  karet (Hevea brassiliensis L.),   dan kina (Cinconna sinccirubra L.) [26]   (Gambar. 4.9.).    Perkebunan    ini   terletak   di   Dataran  Tinggi   Bukit  Kaba  dengan   ketinggian  3.300/dpl. (Marga Selupu  Rejang) dan berdekatan dengan desa penduduk asli Suban Ayam yang berada di    jalan   propinsi    antara   Curup  dan  Padang   Ulak  Tanding.
 Perkebunan besar lainnya adalah Perkebunan Kaba Wetan yang berdiri pada tahun 1914 di tanah persil dari Perkebunan Nicotania.  Luas tanah persil perkebunan adalah 3.477 bau (2.467 ha), akan tetapi hanya 1.050 bau saja yang ditanami tanaman kopi dan  teh.   Semula   lahan perkebunan yang ditanami kopi jenis kopi robusta hanya seluas 273 bau dan  pada  pada tahun 1915  lahan kopi diperluas 140 bau.  Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Perkebunan Kaba Wetan lebih  dikenal sebagai perkebunan teh.
Perkebunan-perkebunan ini kebanyakan mempekerjakan kuli kontrak   dari   Pulau   Jawa.  Misalnya,   Perkebunan Soeban Ajam sejak  dibuka pada tahun 1891 [27]  telah memiliki kuli kontrak sebanyak 570 orang. Mereka mendapatkan  upah f. 12/bulan, kecuali 10 orang  kuli kontrak   yang  bekerja  sebagai  pemotong kayu mendapat upah sebesar f.20 sampai f.30/bulan.[28]
Selain mendatangkan kuli kontrak langsung dari Jawa, perkebunan juga menyediakan tanah di perkebunan bagi bekas kuli kontrak yang bersedia menetap dan bekerja sebagai kuli bebas. Perkebunan kadang mengalami kesulitan untuk mendatangkan kuli kontrak dari Pulau Jawa sehingga perkebunan perlu menggunakan kuli lokal.  Hal ini  dialami oleh  Perkebunan Kaba Wetan  di tahun 1920-an saat perkebunan mengalami kekurangan kuli.  Saat itu perkebunan tidak dapat melakukan perluasan lahan, sedangkan  lahan yang telah ditanami dalam keadaan telantar. Akibatnya, produksi kopi  menurun,  yaitu pada tahun 1920 perkebunan masih menghasilkan 4.957 pikul, tetapi pada tahun 1921 menurun menjadi 2.281 pikul. [29]  
Perkebunan Kaba Wetan menggunakan kuli  lokal,  yaitu dari  Pasemah Ulu Manna dan Sungai Pagu (Keresidenan Pantai Barat Sumatera). Mereka bekerja di perkebunan berdasarkan kontrak antara setengah sampai dua tahun.  Dari  jumlah kuli sebanyak 249 orang laki-laki dan 187 orang wanita (1921), hanya ada 46 orang kuli laki-laki dan 29 kuli wanita yang bersedia menandatangani kontrak selama dua tahun. Kebanyakan mereka hanya mau bekerja selama setengah tahun, yaitu 116 kuli laki-laki dan 116 kuli wanita, untuk kontrak kerja selama setahun terdapat 45 kuli laki-laki dan 32 kuli wanita, dan untuk  kontrak  kerja  selama  1 ½ tahun terdapat 131 kuli laki-laki dan  27 kuli wanita.[30]
Setelah mendapatkan kuli, perusahaan masih harus mengalami masalah, yaitu makin berkurangnya jumlah kuli karena meninggal dunia, desersi, ataupun mereka tidak memperpanjang kontrak. Misalnya, pada tahun 1921 di Perusahaan Kaba Wetan terdapat 18 kuli wanita dan 32 kuli laki-laki yang meninggal dunia, desersi sebanyak 3 kuli wanita dan 2 orang kuli laki-laki, sedangkan yang habis kontrak dan tidak memperpanjang lagi berjumlah 33 orang kuli wanita dan 63 orang kuli laki-laki.  Kematian kuli di perkebunan  antara lain karena penyakit flu Spanyol, penyakit malaria, dan disentri.[31]
Kekurangan  kuli yang banyak dialami oleh perkebunan besar antara lain karena  kuli kontrak banyak yang bekerja di  kebun-kebun milik penduduk pribumi.[32] Selain itu, banyak kuli orang Jawa dan orang Sunda, setelah habis masa kontrak, lebih suka mengikuti program kolonisasi yang diselenggarakan pemerintah di daerah Lebong daripada memperpanjang    kontrak di perusahaan.[33]
Dalam rangka mengatasi kekurangan kuli, ada perusahaan yang mencari kuli kontrak di desa migran kolonisasi yang banyak terdapat di daerah Rejang dan Lebong. Misalnya, kasus seorang migran kolonisasi dari Jawa bernama Sukanta dialihkan menjadi kuli  untuk dipekerjakan  di  Perusahaan Tambang   Salida         (Keresidenan Pantai Barat Sumatera).[34] Kemudian, seorang mandur bernama Muhamad  menjadi agen kuli bagi perusahaan-perusahaan swasta Barat. Mahmud mencari kuli kontrak ke desa-desa migran kolonisasi di Rejang-Lebong.
Setelah keluar  Staatsblad 1911 no. 540, maka terjadi perubahan pada Ordonansi Kuli ayat 9 dan 11, yang mengubah pengertian    tentang    penduduk    pribumi   yang memasukkan penduduk   migran   kolonisasi.[35]  Oleh karena itu, mereka  tidak boleh dipekerjakan berdasarkan Ordonansi Kuli. Hal ini dilakukan oleh perusahaan  selain karena kekurangan kuli  sekaligus juga untuk menghemat biaya karena mendatangkan kuli dari Jawa mahal.

C.2  Pertumbuhan Pusat Perekonomian di Sekitar Perkebunan:Curup dan Kepahiang
Saat daerah Rejang-Lebong dimasukkan ke dalam wilayah administratif Keresidenan Bengkulu (tahun 1904) situasi perdagangan masih lesu karena daya  beli penduduk masih lemah.[36]  Perubahan baru terjadi sejak tahun 1908 ketika  daya beli penduduk mulai meningkat, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan pertambangan dan perkebunan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari banyaknya jumlah toko dan pekan di daerah Rejang. Pada tahun 1910 terdapat  170  buah  toko,  delapan pekan  mingguan,  yaitu di Kepahiang, Taba Penanjung, Suban Ayam, Padang Ulak Tanding, Punjung, dan Curup.[37]
Pasar Kepahiang (Gambar.4.10.), Pasar Curup,  dan  Pasar Padang Ulak Tanding muncul sebagai pusat perdagangan yang baru. Pasar   Curup    merupakan  pasar  paling  ramai    di    daerah   Rejang    dengan pendapatan   per  tahun   diperkirakan   mencapai   f. 6.000   netto.[38] Di   pasar   ini  segala  jenis   barang bisa didapat sehingga penduduk tidak perlu lagi berbelanja ke Bengkulu.  Oleh karena itu,  di Pasar Curup (Gambar. 4.11)   banyak  penduduk   pendatang yang terdiri dari orang Palembang,  orang Padang, orang Serawai,  dan  orang  Bengkulu, sedangkan orang Rejang sendiri merupakan kelompok minoritas. Orang Bengkulu terutama bekerja    sebagai  pegawai  dan    pejabat  pemerintah  sehingga  kebanyakan  mereka bertempat tinggal di  Kepahiang  dan  Curup,[39]  sedangkan  Orang Serawai merupakan petani pengembara sehingga mereka bertempat tinggal di dusun-dusun  orang Rejang. Di daerah  Rejang,  jumlah penduduk pada masa ekspansi ekonomi  bertambah, dan mereka terdiri  dari  berbagai  bangsa  dan  suku    bangsa.  (Tabel. 4.11)   
Pembukaan perkebunan-perkebunan besar dan daerah kolonisasi bagi orang-orang dari Pulau Jawa menyebabkan petani penduduk asli merasa kekurangan tanah untuk membuka lahan perladangan baru. Hal   ini   terjadi   di onderafdeeling   Rejang,   di  daerah  antara Kepahiang dan Curup, penduduk mengeluhkan adanya kekurangan tanah garapan. Hal ini antara lain disebabkan sebagian   tanah   yang   semula   digunakan  penduduk  untuk berladang  sekarang menjadi tidak subur. Untuk mengatasi masalah ketidak suburan tanah maka pemerintah  melalui pemerintah marga, mengeluarkan berbagai aturan marga dan nasihat untuk tidak berladang pindah.
Keberadaan perusahaan perkebunan membawa kehidupan ekonomi bagi penduduk di daerah sekitar perusahaan. Mereka mendapat peluang baru untuk bergerak  di luar bidang pertanian, seperti berdagang.  Peluang dagang dalam skala kecil, seperti berdagang sayuran, buah, beras, dan  bahan makanan lain, terutama diambil oleh kaum wanita dan  mereka menjajakan dagangannya di los pasar.[40] Selain itu juga terdapat pedagang keliling yang menjual barang dagangan, seperti sarung, perhiasan emas, dan perak. Kebanyakan perdagangan keliling semacam ini dilakukan oleh orang-orang  Padang. Mereka menawarkan barang dagangannya sampai ke dusun-dusun. Perdagangan skala menengah, seperti pedagang perantara (pedagang pengumpul) biasanya dilakukan oleh orang Cina dan orang Palembang. Mereka mengumpulkan hasil-hasil perkebunan,  misalnya kopi (Coffea canephora L.),  tembakau (Nicotania tabacum L.),  dan hasil hutan
dari petani di daerah pedalaman. Para petani  dapat menukarkan hasil kebunnya dengan barang keperluan rumah tangga.
Aktivitas  perkebunan yang terus meningkat selain menarik pendatang dari Sumatera Barat dan Palembang, juga  menarik  pendatang  dari Pulau Jawa yang bekerja sebagai kuli dan petani kolonisasi.   Migran kuli datang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan, sedangkan migran kolonisasi didatangkan oleh pemerintah guna membuka persawahan dan berkebun dan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan pangan pekerja perkebunan.

D.  Krisis Ekonomi di Bengkulu
D.1   Penurunan Aktivitas Perdagangan
Krisis ekonomi tahun 1930-an sangat berpengaruh pada situasi perdagangan  di Bengkulu  yang menjadi lebih sepi, dan terutama dirasakan oleh perusahaan dagang milik orang Eropa, misalnya Jacatra, Internatio, Borsumij, Borneo Company, Moluksche Handelsvereeneging  dan P.J. van der Vossen & Co. dengan menurunnya ekspor dan impor. Apabila pada tahun 1928  jumlah ekspor  bernilai f. 16.997.018  kemudian menurun  menjadi f. 7.677.252 (1931) dan nilai impor pun menurun dari f. 9.025.764 (1928) menjadi f. 5.195.203 ( 1931) (Gambar. 4.12  )
Penurunan angka ekspor Bengkulu terjadi antara lain karena setelah tahun 1930 harga-harga tanaman ekspor mulai mengalami penurunan di pasar dunia. Misalnya, pada awal krisis ekonomi harga kopi masih cukup tinggi, yaitu f. 50/pikul, akan tetapi memasuki bulan November tahun 1937 harga kopi turun menjadi f.10/pikul dan pada tahun 1938 harga mencapai f. 5,50/pikul.[41] Turunnya harga kopi di pasar dunia cukup berpengaruh terhadap nilai ekspor Bengkulu karena kopi merupakan komoditas  penting dibandingkan dengan tanaman lain.(Tabel. 4.12)
Kopi hasil perkebunan rakyat di Bengkulu sebagian besar dibeli   oleh  perusahaan  dagang  Internatio.   Sebagian lain dibeli oleh Perkebunan Westkust, perusahaan dagang Moluksche Handelmaatschappij, Industrie, dan beberapa pedagang orang Padang. Kopi  rakyat dari Bengkulu mempunyai andil 15% dari keseluruhan kopi rakyat di Hindia Belanda.[42]

D.2.  Krisis Ekonomi dan Perusahaan Perkebunan dan Pertambangan
Di daerah Rejang  paling banyak terdapat  tanah sewaan (erfpachr) yang terbentang di perbukitan antara Bukit Kaba dan Bukit Kelam. Di daerah ini berangkai tanah-tanah sewaan yang sebagian besar merupakan perkebunan kopi. Akan tetapi, dengan terjadinya krisis ekonomi  tahun 1930-an dan diikuti jatuhnya harga kopi di pasar dunia, maka perkebunan menambah variasi tanaman, misalnya perkebunan Pematang Daun  selain menanam kopi (Coffea canephora L.) juga menanam kina (Cinconna sinccirubra L.).  
Beberapa perkebunan menyewakan tanah persilnya, seperti Perusahaan Perkebunan Soeban Ajam dan Westkust (tahun 1934). Pertama, Perkebunan Soeban Ajam milik  NV Cultuurmaatschappij Soeban Ajam yang sebelumnya adalah perkebunan kopi dan karet yang besar, setelah krisis ekonomi perkebunan disewakan kepada K.J. Schoenzetter.   Penyewa   pun  hanya menanami sebagian lahan dengan tanaman kopi (Coffea canephora L. )   seluas 567 ha dan 157 ha dengan tanaman karet (Hevea brasiliensis L.).[43] Kedua, Perkebunan Westkust milik NV Rubber en Koffie Cultuurmaatschappij “Westkust” disewakan kepada H.G. Craye. Pemilik kebun baru  hanya menanami lahan seluas 198 ha dengan tanaman kopi dan lahan seluas 176 ha dengan tanaman karet dari lahan keseluruhan 2.977 ha. Di samping itu, perusahaan perkebunan juga  membeli kopi dari  kebun-kebun penduduk. Sebagian besar hasil kopi tersebut digiling dan dijual dalam bentuk kopi bubuk. 
Pada tahun yang sama, Perkebunan Kopi Air Dingin menyewakan sebagian besar persilnya  kepada orang-orang Indo-Eropa dalam bentuk lahan pertanian kecil. Kemudian, perkebunan Sindang Dataran dijual kepada orang Cina bernama Liem Djin Siang.  Pada tahun 1935  perkebunan ini dibuka kembali menjadi perkebunan kopi dan karet. Akhirnya, pada tahun 1938  perkebunan milik  NV Nederlandsch Indisch Land Syndicaat (NILS) dan  Perkebunan Air Sempiang tidak beroperasi lagi.
i Rejang sampai tahun 1939  hanya terdapat enam perkebunan yang masih bertahan meskipun hanya menanami sebagian   lahan    yang    dimiliki    (Tabel. 4.13)     Begitu juga nasib   dua   perkebunan   teh   yang   terdapat di Bengkulu, yaitu
perkebunan Kaba Wetan dan Perkebunan Bukit Daun. Adanya restriksi teh mengakibatkan perkebunan harus mengurangi produksinya.   Pada   tahun   1938    Perkebunan   Kaba    Wetan,   perkebunan teh  milik  NV Cultuurmaatschappij Kotabumi,  hanya seluas  1.025 ha lahan yang ditanamani teh (Camellia sinensis) dari tanah persil  seluas  2.492 ha. Kemudian  Perkebunan Bukit Daun, perkebunan  teh milik NV. Koloniale Bank,  hanya menanam teh di lahan seluas 1.037 ha dari luas lahan  keseluruhan 6.964 ha.
Pengurangan lahan yang ditanami juga berdampak lebih sedikit perkebunan menggunakan kuli. Pada tahun 1939 diperkirakan jumlah kuli yang bekerja di perkebunan  hanya sekitar 5.700 orang. Pengurangan jumlah penduduk terjadi pada orang Eropa, yaitu  dari 175 orang (tahun 1930) menjadi hanya 105 orang (tahun 1939).  Mereka tersebar di dua Pasar, yaitu Pasar Curup dan Pasar Kepahiang, dan pada lima marga yang merupakan lokasi perkebunan  di Rejang (Tabel. 4.14 ). Penduduk yang berada di sekitar perkebunan merasakan dampak penutupan perkebunan-perkebunan ini, antara lain hilangnya  pasar  tempat  para   kuli   secara teratur membeli hasil   ladang   penduduk. Para  pemilik   toko   juga    kehilangan. pelanggannya. Berkurangnya jumlah kuli di Bengkulu terutama terjadi sejak tahun 1933. Apabila pada tahun 1926 kuli kontrak berjumlah 11.272 orang, pada tahun 1930 meningkat menjadi 16.448 orang, maka setelah tahun 1930 jumlah kuli mulai menurun menjadi 8.749 orang (tahun 1932) dan pada tahun 1933 menurun lagi menjadi 6.658 orang. (Gambar. 4.13 )
Setelah krisis ekonomi tahun 1930-an diikuti dengan penghapusan  poenale sanctie   dan perusahaan-perusahaan swasta  Barat  mulai menggunakan kuli  bebas.  Misalnya, pada tahun 1932 persentase pengurangan kuli mencapai    23,7 %, edangkan penambahan  kuli bebas sekitar 23,3 % (Tabel 4.15). Pengurangan    jumlah kuli terutama    terjadi  sejak  tahun 1932, baik kuli kontrak maupun kuli bebas,[44]   yaitu dari 8.749 orang (tahun 1932) menjadi 6.658 orang  (tahun 1933)dan terus menurun sehingga pada tahun 1936 jumlah kuli berjumlah  6.458 orang. Pengurangan jumlah kuli dan penutupan juga terjadi di perusahaan-perusahaan tambang. Misalnya, Perusahaan  Tambang Tambang Sawah masih menghasilkan 121, 977kg emas
dan 9.612, 512  kg   perak  pada tahun 1931.[45]   Akan   tetapi, pada tahun  berikutnya  perusahaan  ini berhenti beroperasi dan para kuli yang diberhentikan  ditempatkan di desa kolonisasi Garut (Gambar. 4.14). Sebagian  dari  mereka   kemudian bekerja sebagai kuli bebas di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, pada tahun 1936 ditutup sementara,  tetapi kemudian beroperasi kembali   karena mendapatkan daerah penambangan baru. Perusahaan mendapat 23 konsesi tambang dari perusahaan tambangmilik pemerintah,   yaitu Lebong Simpang, yang berhenti berproduksi sejak tahun 1925.[46] Hal ini dimaksudkan agar perusahaan tambang dapat dioperasikan kembali  sehingga akan menghidupkan lagi perekonomian kota Muara Aman dan dapat mempertahankannya sebagai tempat pemerintah. 
Dengan beroperasinya lagi Perusahaan Tambang Redjang-Lebong maka sampai dengan tahun 1938 Residensi Bengkulu merupakan pengekspor emas dan perak yang utama di Hindia Belanda, misalnya nilai ekspor emas dan perak Bengkulu pada tahun 1936 bernilai f. 3.538.000 yang berarti 94,5% dari seluruh  nilai  ekspor dari Hindia Belanda yang bernilai f. 3.745.000. (Tabel. 4.16)      
Komoditi  ekspor emas dan perak dari Karesidenan Bengkulu terutama dihasilkan oleh Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perusahaan Tambang Simau. (Tabel. 4.17). Perusahaan Tambang Simau Perusahaan Tambang Redjang Lebong masih berproduksi sampai dengan Februari 1942, sedangkan, sejak tahun 1940 telah ditutup.
Pertumbuhan ekonomi di Bengkulu pada periode 1904-1929-an berpengaruh terhadap pertambahan penduduk, terutama  antara tahun 1920 sampai tahun 1930. Dalam waktu sepuluh tahun penduduk Bengkulu   bertambah 65.479 orang, dari 257.140 orang (1920) menjadi 322.619 orang  (tahun 1930).  (Gambar 4.15) Pertambahan  penduduk terutama terjadi di sekitar kota Bengkulu, dan daerah Rejang Lebong yang merupakan pusat 
perusahaan perkebunan dan pertambangan.  Daerah  lain,  yaitu  Krui,  Kaur, Manna dan   Seluma,   dan    Muko- Muko   kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Perekonomian penduduk masih bertumpu pada pertanian dan perkebunan rakyat dan belum memiliki sarana jalan yang baik. Misalnya, daerah Krui masih bertumpu pada pertanian, tanaman lada (Piper ningrum L) rakyat dan kopi (Coffea canephora L.). Kopi  terutama dihasilkan oleh penduduk dataran tinggi yang disebut Balik Bukit. Akan tetapi daerah Balik Bukit  belum memiliki jalan  yang dapat dilalui mobil. Di sini hanya tersedia jalan tanah  yang hanya dapat dilalui pedati dan pejalan kaki. Dataran tinggi Way Tenong yang  terletak di sebelah Selatan dari kota  Liwa merupakan  daerah   pertanian  yang   subur tetapi  belum memiliki  sarana jalan yang memadai dan masih berpenduduk sedikit. .[47] Di daerah Krui sebenarnya terdapat beberapa erfpacht persil yang tidak digarap oleh pemiliknya selama 15 tahun, akhirnya disita oleh negara. Bekas lahan perkebunan dijadikan kebun-kebun kopi rakyat dan  ladang.
 Di bagian paling utara dari Karesidenan Bengkulu terdapat daerah Muko-Muko, yang terdiri dari empat marga (Teramang, Ipuh, V Koto, dan XIV Koto) masih berpenduduk sedikit.  Matapencaharian penduduk di daerah Muko-Muko berladang  padi dan menanam tanaman  kacang hijau (Phaseolus radiatus).  Letak daerah ini masih terisolasi karena jalan yang menghubungkan Muko-Muko dan kota Bengkulu masih buruk dan sering dilanda banjir.
 ( Dikutip dari dan seizin  Dr Lindayanti MHum “ (BAB IV) Kebutuhan Tenaga Kerja Dan Kebijakan Kependudukan: Migrasi Orang Dari Jawa Ke Bengkulu 1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007)
Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “Sejarah Perkebunan Teh Di Bengkulu 1927-1988”
1.        [1] J. Th. Lindblad & A.H.P. Clemens, Het Belang van de Buiten gewesten 1870-1942, op cit.,  hlm. 1-25.
2.        [2]Koloniaal Verslag van 1918, hlm 135.
3.         [3]D.G.Stibbe, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, (Leiden: NV v/h E.J. Brill, 1919), hlm. 278-279
4.        [4] Overzicht van de handelsbeweging 1913, hlm.46.
5.        [5] Overzicht van de Handelsbeweging 1913, op cit.,  hlm.47
6.        [6] Mvo. Residentie Benkoelen, KIT. 204, hlm. 109
7.        [7] P. Hovig, ibid., hlm. 29
8.        [8] Besluit 3 Februari 1902 no. 14
9.        [9] Besluit 19 Maart 1898 no. 8
10.     [10] Besluit 15 Juni 1906 no. 2
11.     [11] P. Hovig, op cit., hlm. 28
12.     [12] Perusahaan Tambang Aequator menghasilkan 76 kg/emas dan 11.639 kg/perak, Kinandam-Sumatra 224 kg/emas dan 6409 kg/perak, Paleleh 228 kg/emas dan 286 kg/perak, Totok 157 kg/emas dan 73 kg/perak, dan Bolaang Mongondou 359 kg/emas dan 215 kg/perak. Lihat Jaarboek van Mijnwezen, Algemeen gedeelte tahun 1919, hlm. 203. 
13.     [13] Mvo. Residentie Benkoelen, 1915, KIT. 198,  hlm.  146.
14.      [14] P.J. Veth, Midden Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatra Expeditie, (Leiden: E.J. Brill, 1882), hlm. 81.
15.     [15] Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 116-117.
16.     [16] Afs. No. 4405/20, 10 october 1905 laporan perjalanan Residen Bengkulu ke Lebong Donok tanggal 18 September 1905.
17.     [17] Abdullah Siddik, op cit., hlm. 117
18.     [18] Hazairin, De Redjang, Proefschrift aan de Rechtshoogeschool te Batavia, 1936, hlm. 34-35.
19.     [19] Mvo. Residentie Benkoelen, 1932, KIT 202, op cit., hlm. 30
20.     [20] P. Wink, op cit.,  hlm. 108
21.     [21]  Ibid., hlm. 14
22.     [22] Besluit  13 September  1935 nomor 23
23.     [23] P. Wink, op cit, hlm. 28
24.     [24] P.J. Veth, op cit., hlm 82
25.     [25] Particuliere Landbouw-Nijverheid, Lijst  van       Ondernemingen, 1916, (Batavia: Landsdrukkerij, 1918), hlm. 330.
26.     [26] Besluit 4 November 1890, no. 24.
27.     [27]  Koloniaal Verslag tahun  1900
28.     [28] Koloniaal Verslag tahun 1893-1894, hlm. 249
29.     [29] Cultuur Maatschappij “Kaba Wetan” Jaarverslag over het negende Boekjaar
       1921, hlm. 4
30.     [30] Cultuur Maatschappij “Kaba Wetan” Jaarverslag over het negende Boekjaar 1922, hlm. 5
31.     [31] Ibid. hlm. 4
32.     [32] Twaalfde  Verslag van den dienst der Arbeidsinspectie en Koeliwerving in Nederlandsch-Indie, (Batavia: Landsdrukkerij, 1928), hlm. 82
33.     [33] Verslag van de Directie der Mijnbouw Maatschappij Simau, negende Boekjaar, 1910, hlm.12.
34.     [34] Verslag der  Emigratieproef over het jaar 1912, KIT 199, hlm. 218
35.     [35] Pada Ordonansi Pengerahan Tenaga Kerja (Stb. 1909 no. 123), disebutkan bahwa untuk kepentingan  perusahaan perkebunan, pertambangan atau lainnya  yang tertulis dalam ordonansi ‘perjanjian kerja dengan buruh’ tidak meliputi  penduduk pribumi yang berada di afdeeling tempat perusahaan pemberi kerja berada’
36.     [36] Koloniaal Verslag van 1906
37.     [37]  Ibid. hlm. 136
38.     [38] Mvo. Residentie Benkoelen, 1932,  KIT. 202, Ibid.
39.     [39] Mvo. Onderafdeeling Redjang, tahun 1939, KIT. 946, hlm. 18.
40.     [40] Mvo. Onderafdeeling Redjang, tahun 1913, KIT 931, op cit., hlm. 135
41.     [41] Mvo. Onderafdeeling Redjang,  1939, KIT 946, op cit., hlm.  24
42.     [42] Mvo. Residentie Benkoelen, 1939, KIT 204, op cit., hlm. 76.
43.     [43] Lahan keseluruhan Perkebunan Soeban Ajam adalah 3.064 ha.
44.      [44] Kuli bebas dalam praktiknya adalah kuli yang didatangkan dari Pulau Jawa dan bekerja dalam ikatan kontrak tanpa disertai sanksi hukum (poenale sancitie).  Selebihnya, mulai dari perekrutan kuli, lama kontrak,  upah, dan fasilitas yang diberikan oleh perusahaan adalah sama seperti yang diberikan pada para kuli kontrak terdahulu.
45.     [45] Indisch Verslag tahun 1933
46.     [46] Besluit  13 September  1935 nomor 23, berisi tentang penjualan 26 konsesi perusahaan yang terletak sekitar 15 km dari dusun Tes pada   Firma Erdmann en Sieclken
 [47] Ibid., hlm. 41

Sabtu, 10 September 2011

Lebong Simpang Tak Kenal Uang


Kenangan Jalan Kaki Ke Tambang Emas




Di atas Pegunungan di Sawah Mangkurajo itulah letaknya Tambang Emas Lebong Simpang. Di dalam foto ini terlihat ditutup kabut. Memang cuaca di Sawah Mangkurajo sangat dingin sekali. FOTO NAIM EMEL PRAHANA


SEBELUM aku tuliskan kenangan masa kecil ini, aku merasa berat untuk meneruskan tulisan masa silam ini. Karena, foto-foto yang harusnya memperkuat tulisan ini, tidak ada. Maklum pada zaman itu memang foto masih barang langka. Namun kenangan masa silam ini ada suatu kenyataan hidup di tanah Lebong.

JUJUR saja aku katakan, keluarga kami memang asli penduduk Kotadonok ( Kota Donok, juga boleh), yang mata pencaharian keluarga 100% dari bertani, sementara kebun adalah pendukung mata pencaharian bercocok tanam tadi. Aku sangat bangga dengan orangtuaku, kampungku, daerahku, sukubangsaku.
Bapak ibuku memiliki areal pertanian di lembah Pegunungan Bukit Barisan yang sudah dikenal dengan nama Sawah Mangkurajo. Areal itu jaraknya dari Kotadonok sekitar 12 km. Pada zaman aku sampai tamat SD tahun 1971, untuk sampai ke Sawah Mangkurajo harus menempuh jalan di tengah hutan belantara—jalan setapak dan harus berjalan kaki. Sangat melelahkan, tapi begitu mengasyikkan berada di dalam hutan seharian penuh.
Sekitar 7 km atau 9 km dari Sawah Mangkurajo ke arah Utara terdapat kawasan tambang emas Lebong Simpang yang sangat populer disaat penjajahan Belanda dan pada awal kemerdekaan RI sampai sekitar tahun 1969. untuk sampa ke tambang emas Lebong Smpang, juga harus menempuh perjalanan berat dengan berjalan kaki. Tambang emas Lebong Simpang, juga dengan dengan Arga Makmur di Bengkulu Utara. Namun, medan jalan yang harus dilalui sangat sulit, karena harus mendaki gunung yang terjal.
Demikian pula dari Kotadonok atau dari Sawah Mangkurajo kami harus berjalan kaki, ada satu kawasan yang jalannya tegak lurus di tebing pegunungan Bukit Barisan. Namanya Tebing Pulus, setelah melewati jalan tebing yang terjal itu, kami atau siapa saja yang mau ke tambang emas Lebong Simpang harus berhenti di Pudau Pulus. Entah kenapa dinamakan ‘Pulus’ kawasan itu.
Konon yang aku dengar semasa kecil itu, nama tebing pulus dan pudau pulus itu diambil dari nama pohon di kawasan tersebut. Kondisi jalan tebing pulus tidaklah jauh, kalau diukur secara mendatar mungkin tidak lebih dari 200 meter. Akan tetapi, karena jalan setapaknya berada di tebing yang tegak berdiri. Membuat para pejalan kaki harus berjuang penuh untuk bisa mencapai pudau pulus yang ada di atasnya. Jalan setapak mendaki tebing pulus harus melewati akar-akar kayu yang berserakan di tebing itu.
Tebing pulus hanya dilalui pendulang (pencari emas), pedagang dan penambang musiman yang datang dari arah Kotadonok dan Tes. Sementara kalau melewati Rimbo Pengadang, jalan ke tambang emas Lebong Simpang sangat datar. Karena, sejaka lokasi tambang emas Lebong Simpang dibuka kolonial Hindia Belanda dahulu kala. Merupakan jalan lori (kereta kecil) pengangkut batu emas, barang dan orang dari dan ke Lebong Simpang.
Usai melewati jalan setapak mendaki di Tebing Pulus, selanjutnya perjalanan ke Lebong Simpang cukup datar. Namun, masih tetap di tengah hutan belantara yang masih lebat. Suasana tambang emas mulai terasa ketika memasuki jembatan air merah yang membentang sekitar 25 meter di atas sungai merah. Aku belum tahu persis, sungai besar itu namanya apa. Kenapa disebut jembatan dan sungai merah? Karena, airnya selalu berwarna kuning akibat air limbah yang mengalir dari perusahaan tambang dan pondok-pondok pendulang yang menggiling tanah dan batu emas yang hampir 24 jam nonstop.
Pada kurun waktu 1960—1969 merupakan masa jaya tambang emas Lebong Simpang setelah Indoesia merdeka atau setelah ditinggal penjajah Belanda dan Inggris dan kemudian oleh Jepang. Pengusaha yang terkenal saat itu adalah H Lukman dan Chang E (panggilan akrab mereka). Kedua pengusaha tambang emas keturunan Cina itu sudah begitu jaya. Diperkirakan saat itu keduanya memiliki karyawan masing-masing tidak kurang dari 100 orang.
Oleh karena itu, setiap hari ada saja anak buah keduanya naik (istilah pendulang) ke Lebong Simpang membawa bahan bakar solar dan bahan makanan di tambang emas Lebong Simpang. Mengangkut bahan solar ke Lebong Simpang itu menggunakan sistem upahan. Satu tangki khusus tempat minyak solar di bawa oleh satu orang. Dapat dibayangkan, berapa banyak tenaga yang naik turun dari dan ke Lebong Simpang mengangkut bahan minyak untuk mesin pengolah biji emas berupa tanah dan batu.
Ayahanda (bakku) dulunya, juga pernah punya sebuah tambang yang bekerjasama dengan salah keluarga kerabat. Namun, ketika saya mash kecil tambang itu dijual. Oleh karenanya sesekali ayahanda kami datang ke Lebong Simpang dari Sawah Mangkurajo (dalam bahasa kampungnya disebut Saweakkrajo). Aku pernah diajak ke sana ketika aku duduk di kelas 3 atau 4 SDN 1 Kotadonok, sekitar tahun 1968. tapi tahun pastinya aku lupa.
Ketika ke Lebong Simpang, ayahku membawa sayuran, antara lain pucuk po’ong (pakis), daun slada dan kan putiak beberapa ekor. Waktu itu juga untuk mendapatkan kan putiak (ikan putih seperti ikan tawes, namun ukurannya besar) sangat gampang di Saweakkrajo. Hanya membutuhkan beberapa saat memancing ikan di Bioa Putiak (Ar/sungai Putih) yang ada di lembah Saweakkrajo, sudah mendapatkan ikan cukup banyak. Makanan pancingnya cukup dengan bunga pohon dadap (bungai Dap). Mungkin, sekarang tidak akan bisa lagi seperti itu.
Du Lebong Simpang, sayuran dan ikan yang kami bawa dibeli para pendulang atau pedagang makanan dan roti di Lebong Simpang. Yang membuat aku kecil terperanggah waktu itu, sistem jual beli di Lebong Simpang tidak menggunakan uang seperti sekarang ini. Akan tetapi menggunakan emas. Sayuran dan ikan diharga dengan beberapa sagai emas. (‘sagai’ itu pecahan dari gram).
Demikian pula kalau kita mau membeli roti di warung-warung di Lebong Simpang, kita juga membelinya dengan kepingan emas yang baru ke luar dari glundungan. Sebutan ‘glundungan’ itu adalah sebuah besi bundar (seperti untuk gorong-gorong) berdiameter 50-cm sampai 100 cm. Besi glundungan itulah yang akan menghancurkan bebatuan dan tanah yang mengandung emas. Kemudian setelah ke luar dari glundung, aantara perak dan emas dipisahkan dengan daun khusus yang dicampur dengan sesuatu zat (aku lupa namanya).
Bahkan, aku kecil yang datang ke Lebong Simpang, karena memang di sana tidak ada anak kecil sebab tidak ada perempuan atau keluarga yang bermukim. Banyak sekali diberikan emas dengan ukuran sagai tadi. Kebetulan ayah kami adalah salah satu tokoh d Lebong Simpang waktu-waktu sebelumnya.
Semua kenangan itu masih sangat melekat dalam benak pikiranku sampai sekarang. Walaupun tempat kami Kotadonok atau Sawah Mangkurajo dekat dengan lokasi tambang emas Lebong Simpang, sejak tamat SD aku sudah tidak lagi mengunjungi tambang emas itu. Aku rindu ingin ke sana?

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik