Minggu, 11 September 2011

TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam

TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam: Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok Rekaman Oleh Naim Emel Prahana SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong...

Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam


Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
Rekaman Oleh Naim Emel Prahana
SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong lebih populer namanya dengan Saweakkrajo. Pada zaman class II dengan tentara NICA-Belanda dan zaman PRRI ketika Indonesia sudah merdeka, menjadi benteng yang sangat kuat bagi Tentara Nasional (TNI). Sawah Mangkurajo djadikan markas besar (mabes) perang gerilya melawan tentara Belanda dan gerombolan sempalan PRRI di daerah Lebong.
Banyak perwira tinggi dan menengah di tubuh Angkatan Darat yang bertugas di daerah Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu, Jambi, Palembang dan Lampung), pernah mengenyam perang gerilya dari mabes mereka di Sawah Mangkurajo. Sebagaimana dituturkan oleh putra Kotadonok, Rakmatsyah bin H Aburudin (alm) beberapa tahun lalu, sebelum ia meninggal dunia tahun 2008 silam.
“Pada waktu itu, para penduduk Kotadonok yang bertani di Sawah Mangkurajo menjadi menyuplai bahan makanan Tentra Itam. Sebutan Tentra Itam (tentara hitam) itu ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI yantg loyal dan setia kepada negara Indonesia, yang berjuang mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia, khususnya di Lebong,” Pak Rahmat—panggilan akrabnya di Lebong memulai ceritanya.
Jika malam hari, kata beliau semua prajurit (tentra tam) ke luar dari tengah hutan, berkomunikasi dengan penduduk, sekaligus mengatur strategi setelah menerima informas dari penduduk. Dan, kalau siang hari mereka bersembunyi di tengah hutan.
“Saat itu, sekitar tahun 1948 di atas kawasan Sawah Mangkurajo hampir setiap jam melintas pesawat Mustang milik tentara Belanda. Sebenarnya, mereka sudah tahu kalau prajurit TNI bersembunyi di Sawah Mangkurajo. Namun, mereka kesulitan untuk memasuki daerah itu, karena kondisi jalan setapak yang ada, sangat berbahaya.
Tentra Itam (Tentara Hitam) sangat menguasai setiap jengkal atau wilayah di dalam hutan belantara dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan di daerah Lebong. Mereka mempunyai kekuasaan di tengah hutan itu sejak dari Air Dingin—daerah Topos—sampai ke Muara Aman.

Gerombolan Ngik Sempalan PRRI
Waktu itu, ujar beliau (Pak Rahmat), muncul gerombolan sempalan PRRI yang dipimpin Ngik. Ngik adalah nama yang menakutkan bagi masyarakat Lebong, khususnya masyarakat di daerah Air Dingin—Turun Lalang, termasuk Topos dan sekitarnya. Ngk nama aslinya adalah Musa, putra asli Kotadonok yang menjadi kepala gerombolan mengatas namakan PRRI. Markas Ngik, kata Rahmat berada di Teluk Lem—seberang Desa Kotadonok. Dari daerah itulah gerombolan Ngik menteror masyarakat dengan melakukan penculikan-penculikan dengan meminta tebusan uang dan emas dengan jumlah yang sangat besar.
Rumah orangtua Ngik berada di sekitar Masjid Nurul Iman Kotadonok, yang sekarang sudah tidak ada lagi, karena terjadi musibah kebakaran puluhan tahun silam, menghanguskan rumah keluarga Ngik. Dalam catatan perjalanan masa perlawanan mempertahankan daerah Lebong dari cengkraman penjajah Belanda, termasuk huru-hara yang diciptakan Ngik. Penduduk Lebong memang hidup dalam cengkraman ketakutan luar biasa.
Gerombolan Ngik yang selalu menculik dengan meminta tebusan uang dan emas, juga tidak segan-segan melakukan bumi hangus rumah penduduk yang menentang dirinya. Tidak peduli, apakah saudaranya atau bukan.
Kekejaman gerombolan Ngik sangat ditakuti masuayakat Lebong. Kalau ia masuk kampung siang hari, biasanya gerombolan Ngik berada di rumah penduduk yang ada di atas jalan raya. Dari rumah-rumah tersebut, Ngik dan gerombolannya dengan mudah memantau lalulalang tentara NICA atau Belanda yang ada di Lebong.
Pada suatu saat cerita Pak Rahmat, Ngik masuk desa dan datang ke rumah Masteman. Ketika berada di rumah itu, ia melihat konvoi truk tentara Belanda. Waktu itu Ngik berkata, “Gen Maco, ite temibak bae stom Blando o!” kata Ngik dalam bahasa Rejang yang sengaja ia ucapkan agar keluarga Masteman mendengar. Kalau Ngik menembaki mobil tentara Belanda, maka Kotadonok akan digeledah habis, bahkan akan dibakar oleh Belanda. Termasuk penangkapan orang-orang yang dicurigai memihak gerombolan Ngik.
Padahal, ucapan Ngik itu hanyalah untuk menakut-nakuti penduduk Kotadonok, agar makin lama penduduk tidak berani melawan gerombolan Ngik.
Ada beberapa anak Kotadonok—yang juga masih kerabat dekat Ngik, yang ditangkap Ngik dajn di bawa ke daerah Teluk Lem—yang terkenal dengan serawung dung ulau tujuak (gua ular kepala tujuh di Danau Tes) dan legenda Butau Gesea (Batu Hampir) yang terkenal itu. Berbagai acara telah ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk membeaskan anak-anak mereka dari cengkaraman penculikan gerombolan Ngik. Semua gagal. Karena, permintaan Ngik agar penduduk datang ke Teluk Lem dengan membawa harta benda, tidak ada penduduk yang berani. Takut ditembak oleh Ngik yang terkenal dengan kekejamannya.
Adalah Rahmatsyah putra Haji Aburuddin Kotadonok yang kala itu baru menikah, merasa terpanggil untuk membebaskan sandera Ngik. Di sisi lain kenekatan Rahmat yang kemudian dikenal dengan Pak Gu’au (Pak Guru) di Lebong itu, karena salah satu sandera Ngik adalah keponakaannya. Anak dari adeknya Zahra bernama Syaiful Tohir termasuk yang diculik Ngik.
Rahmat muda yang juga memiliki rasa takut, akhirnya mendatangi markas Ngik di daerah Teluk Lem (di atas pegunungan yang langsung mengarah ke wilayah Topos).
“Saya benar-benar takut,” kata Rahmat seraya menambahkan, namun saya harus memberanikan diri menemui Ngik. Saya kenal dengan dia.
Dengan naik perahu, Rahmat mendayung perahunya ke arah Teluk Lem. Perasaannya saat itu berkecamuk antara takut yang luar biasa dengan perasaan membela kehormatan keluarga menjadi satu.
“Baru saja perahu saya tambatkan di semaet Teluk Lem, saya sudah dihadang oleh anak buah Ngik. Badan saya digeledah, pakaian saya dilucuti. Pokoknya menakutkan,” kenang Rahmat.
Akhrnya, kata Rahmat dirinya digiring menaiki tebing di daerah Teluk Lem dan sekitar 1 jam barulah ia bisa bertemu dengan Ngik.
“Saya hanya membaca Bismillah, Cuma itu saja,” ungkap Rahmat.
Menurut Rahmat saat itu ia hanya membawa sedikit emas, namun ia mewakili masyarakat Kotadonok, Talangratu, dan Tes ingin membertahu Ngik, bahwa masyarakat tidak memusuhinya. Jadi, tolonglah sandera dilepaskan.
Untuk membujuk Ngik butuh waktu yang sangat lama, saya bahkan sampai menginap di markas Ngik di daerah pegunungan Teluk Lem itu. Namun, saya memang tidak diapa-apakan, walau wajah dan kata-kata Ngik sangat bengis dan kejam.
Ia (Ngik, pen) sebenarnya kenal baik dengan saya, tapi saat saya ingin membebaskan ponakan saya, ia seperti seorang jenderal bintang empat.
“Pokoknya, menakutkan sekali. Di samping bedil (senjata) tidak pernah jauyh dari tempat duduknya dan dikelilingi beberapa ajudannya yang berwajah seram,” urai Rahmat.
Setelah melalui diplomasi (perundingan) yang alot, akhirnya Rahmat dapat memebaskan beberapa sandera. Yang lainnya tidak mau dilepaskan Ngik, sebelum uang tebusan diberikan. Menurut cerita, ada beberapa sandera Ngik, akhirnya ditembak mati di tengah hutan belantara itu.
Perjalanan heroik Rahmat memang patut kita jadikan tauladan untuk generasi mendatang. Sebab, pada saat yang sama ia menjadi spionasenya prajurit TNI yang disebut Tentra Itam yang bermrkas di Sawah Mangkurajo, di sana jugalah Rahmat membuka usaha pertaniannya bersama keluarga dan bapaknya Haji Aburudin beserta beberapa penduduk lainnya.
Sebagai gambaran Sawah Mangkurajo pada saat itu sudah sedemikian maju. Diperkirakan kurun waktu 1942—1955. Di sana sudah ada sekolah rakyat, rumah-rumah penduduk dibangun dengan teratur di atas tebing Air Pauh (Bioa Putiak) yang termasuk Tebo Mbuwea. Yang sekarang ini menjadi areal perkebunan PT Indo Rabika.
Mesin penggiling padi ada tiga buah, kemudan hasil padi sawahnya melimpah ruah, demikian juga hasil perkebunan seperti jeruk, jambu, nenas dan sayuran. Namun kampung penduduk di sawah Mangkurajo, akhirnya di bumi hanguskan Belanda, untuk melemahkan posisi Tentra Itam.
Saat perjuangan melawan tentara Belanda, Rahmat muda berperan sebagai kurir dari Sawah Mangkurajo ke Kotadonok, Tes dan kampung (desa) sekitarnya. Di samping itu juga ia menjadi guru di Sawah Mangkurajo dan Kotadonok. Rahmat adalah anak didik guru Stiari yang terkenal di masa itu. Nama guru Stiari sangat disegani di daerah Lebong. Salah satu muridnya adalah Rahmatsyah.
Rahmat-lah yang sering memberikan informasi kalau tentara Belanda akan naik ke Sawah Mangkurajo atau ke Lebong Simpang. Dengan nformasi itu, Tentra Itam menghadang tentara Belanda di Tebo Buwea yang strategis itu. Penghadangan seperti itulah yang sangat ditakuti tentara Belanda.
Walaupun apa yang diperbuat Rahmat muda saat itu, jasanya sangat besar bagi masyarakat. Dia salah satu pelaku sejarah di daerah Bermani Jurukalang. Ia bersahabat baik dengan pasirah Gulam ketika tahun 70-an, ia juga menjadi kepercayaan Gubernur Hussein yang ia panggil dengan sebutan mamak (paman) itu.
Rahmat dan kakaknya adalah dua pemuda Kotadonok yang ikut merintis pembangunan jalan raya dari Kotadonok ke Sawah Mangkurajo ketika Mochammad Hussein mash menjabat gubernur Sumatera Selatan di Palembang.

Sumber:
1.      Kakek Haji Aburuddin Kotadonok
2.      Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
3.      Kapten TNI (purn) Arsyad Alwi Tanjungkarang, Lampung
4.      Serma (purn) Ngadiyo di Talangpadang, Tanggamus, Lampung
5.      dan beberapa sumber lainnya yang diwawancara antara tahun 1980—1985.

Lebong Tandai


 Jalur si Molek untuk Monas
Kabupaten Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu
   

Rel Lori Lebongtandai (Bengkulu)
Teman-teman, barusan kumpul2 artikel & informasi mengenai rel lori 33,5 km ex-tambang Belanda yang masih dipakai di daerah lebongtandai. wah asyik banget nih!!! Silakan disimak dan berkhayal nyoba naik nih lori...wassalam, intrias.

 Lebong Tandai
Jalur si Molek untuk Monas
Kabupaten Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu

Namanya si Molek. Bukan nama seorang gadis Bengkulu, melainkan kereta mini (lori) yang menempuh rute sejauh 33,5 km. Jalur ini sangat rawan longsor, karena diapit oleh dinding tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam. Kengerian rute ini bisa ditebus dengan keindahan hutan yang masih asli yang dapat dinikmati sepanjang perjalanan. Rel ini menghubungkan Desa Lebong Tandai dengan Kota Kecamatan Napal Putih. Molek merupakan kendaraan yang dibuat oleh warga setempat pada tahun 1990-an. Dengan bahan bakar solar, Molek digunakan untuk menunjang aktivitas ekonomi warga Napal Putih. Antara lain untuk mengangkut hasil bumi.
Jalur lori yang dilewati si Molek sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun dulu yang lewat hanyalah loko uap. Peran loko uap dan jalur relnya ini sangat penting. Antara lain untuk mengangkut emas yang ditambang dari Lebong Tandai.
Emas dari sinilah yang pada tahun 1970-an mengalir ke Jakarta. Emas yang diangkut loko uap ini kini menancap di puncak Tugu Monas di Jakarta. Berat emas yang melapisi "api" Monas sekitar 35 kg. Dengan kilauan emas yang menggambarkan nyala api ini, Monas dikenal sebagai tugu api yang tak kunjung padam.
Loko uap itu kini telah tiada dan digantikan peran si Molek. "Dengan Molek ini kita juga bisa melihat goa-goa tambang peninggalan zaman kolonial yang menghasilkan emas," jelas staf Humas Pemkab Bengkulu Utara, M Saleh, kepada detikcom di Bengkulu Utara akhir pekan lalu.
Setelah Belanda pergi dari Indonesia, emas di Lebong Tandai masih ditambang secara tradisional oleh masyarakat setempat. Pada tahun 2006, Pemkab Bengkulu Utara mulai merencanakan pembukaan kembali industri tambang emas ini.
"Kami kerjasama dengan pihak asing. Lahan tambang yang disurvei termasuk yang berada di wilayah Kabupaten Muko-muko dan Kabupaten Lebong," kata Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi.
Sumber: Kompas - Rafiqa Qurrata

Sarana Transportas Motor Lori
Lebong Butuh Perbaikan
Selasa, 02 Februari 2010
Bengkulu 14/1 (ANTARA) - Motor lori ekspres (Molek) yang merupakan satu-satunya sarana transportasi warga Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, saat ini kondisinya amat memprihatinkan dan butuh perbaikan.
"Sebenarnya molek itu tidak layak pakai lagi karena banyak relnya yang hilang dan rusak sehingga membahayakan penggunanya," kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu Syafrianto Daud, Kamis.
Anggota DPRD dari daerah pemilihan Bengkulu Utara ini mengatakan hingga saat ini sekitar 600 jiwa warga desa tersebut masih menggunakan sarana transportasi Molek karena tidak ada pilihan lain.
Molek adalah alat transportasi peninggalan Belanda yang menggunakan mesin diesel yang gerbong relnya seperti rel kereta api. Kendaraan ini terus dipakai ketika perusahaan pertambangan emas beroperasi di daerah itu pada 1980-an dan hingga saat ini menjadi satu-satunya transportasi warga desa menuju Kecamatan Napal Putih yang berjarak sekitar 30 Km.
"Jadi tidak ada akses lain, semua peralatan diangkut menggunakan Molek, makanya  kalau terjadi longsor dan menutupi jalur desa itu akan terisolasi," katanya.
Menurut Syafrianto, sarana transportasi ini tidak dapat lagi diandalkan karena relnya sudah banyak yang putus atau rusak serta beberapa jembatan sudah tua atau hampir ambruk, di sekitar rel juga sudah tertutupi semak belukar. Molek tersebut dikelola oleh masyarakat setempat dan saat ini tidak lebih dari lima gerbong yang masih beroperasi untuk melayani penumpang satu kali pemberangkatan per hari. "Kalau dari Desa Lebong Tandai berangkat subuh, sedangkan dari Napal Putih berangkat sore selepas Maghrib," katanya.
Dari pengakuan warga desa sudah beberapa kali mengajukan perbaikan rel kepada Dinas Perhubungan Kabupaten Bengkulu Utara, namun hingga saat ini tidak ada tanggapan.
"Kalau tidak segera diperbaiki maka transportasi ke Desa Lebong Tandai akan terputus dan berdampak terhadap kehidupan warga di sana," ujarnya. Diposkan oleh ANTARA

Lebong Tandai Bengkulu, "Batavia Kecil" Lebong Tandai
"Perjalanan menuju "Batavia Kecil" (nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di desa Lebong Tandai). Mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, dimana tempat ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun Investor pada masa kemerdekaan ini"....
Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Setiba dipangkal desa Napal Putih Kecamatan Ketahun, sebaiknya kita turun terlebih dulu dari kendaraan, karena disana ada bekas rumah bersejarah yang dulu didiami oleh Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir Marga Ketahun) dan juga pernah dijadikan rumah atau markas oleh Dr. AK Gani Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan pada masa perang kemerdekaan.
Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.
Setelah itu, kita kemudian menuju ‘Stasiun’ Molek (sebutan bagi kereta lori    
berukuran 5 x 1 m, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Ongkos perorang adalah Rp 20.000. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir sungai ketahun. Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju desa Lebong Tandai. Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB. Meningat jalur rel hanya satu, jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel.
Biasanya, para "Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan Molek yang berjalan didepan atau dibelakang Molek yang kita tumpangi. Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal dijalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 km panjangnya rel kereta ini. Untuk diketahui sejak jaman penjajahan hingga sekarang ini, baru ada 2 wilayah yang dilewati rute kereta api atau yang memiliki rel, yaitu disini dan di Kecamatan Kota Padang (Kabupaten Rejang Lebong berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan).
Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan, yaitu terowongan lobang panjang (+ 300 m), lobang tengah (+ 100 m) dan lobang pendek (+ 50 m) sampailah kita didesa Lebong Tandai, pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang . Warung-warung berjejer dengan rapi disepanjang jalan ditengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu, dan menonton TV, tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa.
Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3, 5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini. Berbicara tentang hiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin. Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang. Karena kita tiba didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada di desa ini. Namun jangan lupa membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah yang bisa kita kunjungi antara lain :

Tambang Emas Tradisional
Perusahaan yang pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada 3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang, Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kebupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda.(Data LPAP FISIP UNIB, 2003)
Di lokasi Tambang Lebong Tandai ini perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau membuat 16 level terowongan yang jarak satu level dengan level yang lainnya rata-rata 50 meter kebawah tanah. Pada waktu itu dibuat tangga lip untuk pekerja masuk ke terowongan itu. Sampai sekarang tiang-tiang lip itu masih dapat kita jumpai. Setelah
masuknya PT Lusang Mining terowongan-terowongan ini kembali dikelola. Namun itupun hanya sampai level 11 karena level 12-16 sudah penuh dengan air dan tertimbun tanah.
Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas). Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya.
Saat ini, setiap saat para penambang dapat mengetahui pasaran harga emas dunia, dengan memonitor berita keluar negeri, misalnya BBC London. Dengan rumus tertentu mereka dapat mengetahui harga emas dunia dengan standar dolar. Bahkan ada juga yang memiliki pesawat telepon satelit. Penggunaan alat elektronik seperti TV, kulkas atau radio komunikasi ditunjang oleh tersedianya aliran listrik dari tenaga air terus menyala siang-malam tak pernah mati.

Eks Rumah Sakit Belanda
Lokasi rumah sakit ini terletak dibukit barisan sebelah barat desa Lebong Tandai. Rumah sakit ini menampung para pekerja perusahaan Mijnbouw maatschappij simau yang sakit. Kebanyakan pekerja itu sakit paru-paru (TBC) disebabkan kondisi dan alat kerja yang tidak menjamin keselamatan pekerja. Misalnya alat bor yang digunakan masih sangat manual, tanpa semprotan air, bentuknya seperti senapan mesin dan bagian belakang alat bor itu ditempelkan didada, pekerja bor beraktifitas tanpa masker sehingga debu yang keluar dari batu yang dibor langsung terhisap.
Paling lama 6 bulan pekerja ini sudah terserang penyakit. Kalaupun ada rumah sakit itupun tidak banyak membantu. Menurut cerita warga bagi pekerja bagian pengeboran yang sakit maka diberi 2 pilihan apakah akan dikirim pulang kekampung halamannya (kebanyakan pekerja dari pulau Jawa tepatnya Banten) atau tetap dirawat dirumah sakit itu sambil menunggu ajal tiba. Tak heran dibagian belakang rumah sakit terdapat lokasi kuburan yang sebagian besar adalah ‘korban’ perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau.
Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu.

Kamar Bola
Tempat ini khusus disiapkan oleh Belanda sebagai sarana hiburan bagi para pekerja tambang. Letaknya dikaki bukit barisan dibawah eks rumah sakit jaman Belanda. Kita dapat membayangkan waktu tahun 1900an ditempat ini sudah ada permainan yang yang sebenarnya permainan itu lazim dimainkan oleh kelas menengah Eropa waktu itu. Saat ini yang tersisa hanya gedungnya saja meja, stik dan bola billyard sudah tidak ada lagi. Tapi walaupun demikian bagi yang ingin mencoba bermain billyard dilokasi ini sambil membayangkan kehidupan waktu itu, kita masih bisa bermain billyard karena beberapa warga membangun sarana billyard sendiri.

Rumah Simau
Bangunan kayu ini mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, tapi dibuat seperti bedeng-bedeng terdiri dari 13 pintu, tingginya sekitar 12 meter dari tanah, panjangnya sekitar 70 meter. Ruangan bagian atas dan bawah bisa ditempati sebagai tempat tinggal. Dinamakan Rumah Simau atau Pondok Baru karena bangunan yang didirikan sekitar tahun 1940 ini merupakan bangunan terakhir yang didirikan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau, sebelum tambang ini dikuasai oleh Penjajah Jepang Tahun 1942-1945. Awalnya bangunan ini diperuntukkan bagi para pekerja perusahaan Belanda itu.
ingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya. Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara.

Pemakaman Belanda
Pemakaman ini berada disebelah selatan Desa Lebong Tandai yaitu sekitar 1 jam berjalan kaki, banyak orang asing khususnya Belanda yang bekerja di Perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau dikuburkan disini. Sebagian diantara orang asing itu meninggal karena dibunuh oleh pekerja kontrak yang tidak tahan dengan penderitaan. Menurut cerita disana dimakamkan juga tuan Smith yang dibunuh oleh seorang inang (perempuan) dengan cara ditusuk dengan paku yang telah dipipihkan sebagai senjata ke bagian leher tuan Smith. Ada juga orang Belanda yang meninggal karena kepalanya di bor oleh pekerja tambang.

Pemakaman China
Lokasinya berada sekitar 3 km dari arah Lebong Tandai menuju Desa Napal Putih. Berada disebuah bukit kecil disebelah kanan rel kereta Molek. Sampai sekarang setiap hari raya Tionghoa maupun acara keagamaan Konghucu, ahli waris masih melakukan upacara atau ritual keagamaan dilokasi ini. Beberapa diantara warga desa Lebong Tandai dan Napal Putih adalah keturunan Tionghoa.

Makam Pahlawan
Terletak dibelakang eks rumah sakit jaman Belanda. Mereka yang dimakamkan disini adalah para pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat dan sebagian memang tentara. Mereka gugur karena ledakan bom, saat Belanda bermaksud menguasai kembali lokasi tambang ini tahun 1947-1949. Rakyat yang tergabung dalam laskar-laskar itu diberi pangkat setelah gugur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan. Desa Lebong Tandai juga pernah dijadikan basis gerilya pada waktu perang mempertahankan kemerdekaan.

Gedung Bulu Tangkis Belanda
Bentuk bangunan masih relatif asli, dulu dipergunakan untuk tempat olahraga bagi para pekerja tambang. Saat ini hanya dipergunakan sebagai gudang oleh warga. Bangunan ini bersebelahan dengan bekas bioskop jaman Belanda.

Air Panas Alami
Lokasinya terletak dibawah jembatan sungai Kelumbuk sekitar 8 km dari Desa Napal Putih. Air panas ini mengandung belerang. Dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa airnya bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit. Tidak jauh dari air panas ini juga terdapat air terjun yang indah, masyarakat menyebutnya air terjun Kelumbuk.

Alat tambang kuno
Alat tambang peninggalan perusahaan Belanda Mijnbouw Maatschappij Simau masih cukup banyak, diantara bor manual dan lori. Belum terlambat jika pemerintah mengumpulkan barang-barang ini sebagai sebuah peninggalan sejarah. Bisa saja dibuat museum yang khusus menyimpan barang-barang kuno ini.

Sungai Lusang
Nama PT Lusang Mining diambil dari nama sungai ini. Sungai ini membelah desa Lebong Tandai, airnya cukup deras dan sangat jernih serta penuh dengan bebatuan besar. Sangat cocok jika dijadikan lokasi olahraga air seperti arung jeram. Beraneka macam ikan langka khususnya ikan Putih atau ikan Semah (disebut ikan putih karena warna sisiknya keputih-putihan) masih banyak terdapat disungai ini. Kelebihan ikan ini dibanding ikan lainnya adalah sisiknya bisa dikonsumsi karena terdiri dari tulang rawan.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.

Hutan TNKS
Hutan ini masih relatif terjaga, karena warga Lebong Tandai juga berperan sebagai penjaga hutan. Mereka sadar bahwa mata pencaharian mereka yaitu menambang emas sangat tergantung pada hutan ini. Karena jika hutan ini rusak maka akan berpengaruh pada sungai dan dam yang mereka gunakan untuk memutar Gelundung atau memutar turbin listrik. Selain itu, jika hutan ini gundul maka dapat mengakibatkan longsor, jika terjadi longsong maka akan tertimbunlah desa ini mengingat desa ini diapit oleh 2 bukit barisan yang masuk kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat).
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.

Kerajinan Perak
Kerajinan perak ini masih diusahakan secara sederhana dan dalam skala kecil. Bermacam-macam perhiasan yang terbuat dari perak seperti cincin, gelang dan kalung dapat dibeli atau dipesan disini. Yang berbeda disini adalah kita dapat langsung melihat proses sejak awal dari penambangan sampai proses perak dijadikan perhiasan. Pengrajin juga menjamin perhiasan perak yang dibuat disini walaupun dipakai sampai lama warnanya tidak akan berubah kehitam-hitaman. Karena kwalitas bahan perak benar-benar dijaga alias perak murni. Pemasaran perhiasan ini sebagian dijual ke luar Lebong Tandai dan sebagian dibeli oleh mereka yang berkunjung ke sini.
Umat, 18 April 2008. Sumber : Firnandes Maurisya

Lebong dan Masyarakat Adat


 LINK:http://rejanglang.htm

Jika mengacu pada sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan dengan istilah lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.
Intervensi kebijakan negara dengan regulasi UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang seragam membuat sistem kelembagaan lokal ini menjadi ‘perahu yang kehilangan darmaga’ demikian disebut oleh Bapak Salim Senawar Tokoh Masyarakat Adat Jurukalang Tapus, sehingga aplikasi sistem lokal ini kemudian dilakukan proses marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat, akan tetapi juga dilakukan melalui penghancuran secara terstruktur melalui sistem dan tata aturan kelembagaan adat, yang secara langsung secara struktural dan paktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola dan mengatur wilayah dan tertib sosialnya secara demokratis dan berkelanjutan.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
Secara umum dalam tertib sosial dan adat kesatuan masyarakat ini di ikat dengan tata cara Adat Beak Nyoa Pinang/Adat Rian Cao yang sangat menghormati informed consent and negotiated agreements dan di dalam pengelolaannya tenurial dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.
Sebagai bagian dari Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’ bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken) untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan  jenis kayu tertentu  seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai  kiyeu celako demikian jenis kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam. Ke 4 komunitas masyarakat tersebut mengenal kepercayaan bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam  mereka mengenal dengan tuweak celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.

Lebong dan Konservasi
Di Propinsi Bengkulu, secara administratif, wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) terdapat di 18 kecamatan, yaitu di Kabupaten Lebong, Kecamatan Lebong Utara, Lebong Atas, Lebong Tengah, Lebong Selatan, dan Rimbo Pengadang. Kabupaten Rejang Lebong, Kecamatan Curup, Selupu Rejang, Bermani Ulu, Sindang Kelingi, Padang Ulak Tanding. Kabupaten  Bengkulu Utara, Kecamatan Ketahun, Napal Putih, Putri Hijau, sedangkan di Kabupetan Muko-muko, Kecamatan Lubuk Pinang, Muko-muko Utara, Teras Terunjam, Pondok Suguh, Muko-muko Selatan. Dengan luasan di tiap kabupaten, yaitu Bengkulu Utara 72.171 Ha, Muko-muko 131.341 Ha, Lebong  109.548 Ha, dan  Rejang lebong 27.515 Ha.
Kabupaten Lebong merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No 39 Tahun 2003 dan berada di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 5 Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Dari total luas kawasan hutan tersebut diperkirakan laju kerusakan mencapai 50.999,82 Ha (40%) yang mengancam kelestarian lingkungan, bencana alam maupun berkurangnya pasokan untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes. Sebagian besar laju kerusakan ini diakibatkan oleh aktivitas ekonomi maupun aktivitas illegal logging.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Tanam Nasional dan Kawasan Lindungpun dikelola dengan prinsip-prinsip perlindungan alam yang ketat tapi dalam waktu yang bersamaan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap masyarakat yang bermukim didalam atau disekitar kawasan tersebut. Akibatnya perlindungan alam seolah-olah merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan harus dibenturkan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Konsep konservasi semacam ini mulai berkembangan di negara-negara Barat, dimulai ketika Yellow Stone ditetapkan sebagai tanam nasional tahun 1872 model ini dilakukan dengan pendekatan perlindungan alam yang ketat yang tidak memperkenalkan adanya kegiatan manusia baik untuk kebutuhan subsistem maupun untuk pemanfaatan sumber daya alam demi tujuan komersial.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan  guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik  ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Wacana yang dikembangkan oleh Pemerintahan Kabupaten Lebong untuk menjadikan Kabupaten Lebong sebagai Kabupaten Konservasi, disatu sisi secara luasan hutan yang dimiliki tanpa embel-embel kebijakan konservasi kabupaten ini sudah layak disebut sebagai kabupaten konservasi, tetapi ada persoalan lain bagi masyarakat,  terutama yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat adalah kelompok korban yang pertama akibat penetapan wilayah ini menjadi wilayah taman nasional. Sampai sekarang tidak upaya konkrit yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan baik oleh Balai Taman Nasional maupun oleh kelompok lainya untuk menengahi permasalahan ini. Hal ini berlangsung terus-menerus dan semakin membuat carut-marutnya pengelolaan Taman Nasional secara keseluruhan.
Persoalan ini muncul ketika penetapan kawasan ini dilakukan sepihak oleh pemangku kebijakan tanpa belibatkan secara utuh dan holistik masyarakat yang bersingungan dengan kawasan hutan, dalam struktur lokal mereka merupakan bagian yang terintegrasi ke dalam ekosistem hutan, bundle of right, tumpang tindih kepemilikan atas objek tanah yang sama menjadi problem utama disamping pertambahan jumlah penduduk yang berimplikasi langsung dengan kebutuhan akan lahan.  
Dari informasi masyarakat yang bersingungan langsung dengan Kawasan Taman Nasional dan Hutan Lindung diketahui bahwa akibat tidak partisipatifnya penetapan Taman Nasional masyarakat menyebabkan luasan kebun dan sawah yang berada di Taman Nasional semakin luas. Kondisi seperti akan terus berlangsung karena masyarakat tidak merasa memiliki Taman Nasional dan belum memandang arti penting keberadaanya selain menjadi penyebab kemiskinan karena kehilangan tanah sebagai satu-satu media pemenuhan kebutuhan untuk hidup.
Dalam mendukung di jadikannya Kabupaten Lebong ini Bupati Lebong telah membentuk team pemberantasan illegal logging dalam aktivitasnya mengaplikasikan metode konservasi alam klasik (classic nature conservation),  ini terlihat seringnya team ini melakukan represif terhadap masyarakat, Pembacokan antara Masyarakat dengan Kepala KESBANGLINMAS Kabupaten Lebong di Tapus, Pembongkaran pondok masyarakat di Mangku Rajo, Penyitaan Kayu tanpa melakukan investigasi lebih jauh.
Dari kejadian ini dapat ditarik kesimpulan ada pemahaman tentang bias konservasi di masing-masing pihak, Pemerintah melihat secara utuh bahwa kawasan konservasi ini harus dijaga dan jika mengacu pada konsef classic nature conservation faktor perusak utama kelestarian kawasan adalah manusia. Disatu sisi masyarakat adat mengangap bahwa ada banyak kearifan dan metode lokal yang membahas tentang konservasi Imbo Keramat, Hutan Sarang Macan, Larangan pada Spadan Sungai dll merupakan sistem lokal dalam mengelola atas konservasi kawasan.   
Dari analisas AKAR teridentifikasi beberapa kelemahan dalam pengelolaan, yang selanjutnya menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kerusakan di dalam kawasan Taman Nasional, Hutan Lindung dan Cagar Alam seperti perambahan hutan, penebangan liar, penyerobotan hutan, perburuan liar, dan penambangan emas. Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi: 1) Bentuk (form) bentang alam kawasan TNKS yang memanjang (narrow elongated shape), keadaan kawasan dengan garis dan daerah batas yang panjang dan luas membuka kemungkinan dan kesempatan yang luas bagi terjadinya tekanan dan gangguan dari luar kawasan ke pusat-pusat hutan yang merupakan zona inti. 2) Terjadi gangguan dan tekanan dari masyarakat sekitar kawasan yang didorong oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka, terlebih pada kondisi krisis saat ini. 3) Adanya aktivitas pertambangan di dalam kawasan TNKS. 4) Kerusakan hutan lindung dan hutan produksi yang merupakan daerah penyangga perluasan habitat dan sosial dari Taman Nasional. 5) Masih lemahnya koordinasi dengan pihak dan instansi terkait, terutama di tingkat daerah yang mendorong terjadinya benturan kebijaksanaan. 6) Pemekaran kabupaten, terutama kabupaten yang memiliki sumberdaya alam terbatas menjadi ancaman dan potensi dilakukannya eksploitasi TNKS.

Lebong, Masyarakat Adat dan Konservasi
1.                 Pemerintahan Kabupaten Lebong perlu memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan kepada masyarakat luas yang diatur secara khusus di dalam peraturan daerah yang dibuat secara partisifatif dengan melibatkan masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan kawasan konservasi, yang berasaskan:
•   Asas Kelestarian dan Keberlanjutan yang tidak hanya mengacu pada konsef konservasi alam klasik tetapi lebih jauh mengakomodir sistem lokal
•    Asas Pengakuan dan Kepemilikan Masyarakat Adat
•    Asas Keadilan dan Demokrasi
•    Asas Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Publik
•    Asas Holistik
•    Asas Kehati-hatian dini
•    Asas Eko-Efisiensi
•    Asas Perlindungan Optimal dan Keanekaragaman Hayati
•    Asas Pluralisme Hukum

2.  Secara konprehensif dan integralistik melakukan penataan antara kepentingan masyarakat adat/lokal, dunia usaha dan pemerintah dalam pemanfaatan, akses dan kontrol terhadap kawasan konservasi termasuk penyelesaian kontroversi tata batas kawasan, penyelesaian yang dimasud harus mengacu pada metode Pelaksanaan Implementasi Free, Prior and Informed Consent and Negotiated Agreements FPIC mempunyai implikasi pada berbagai hal baik secara politik, hukum maupun secara sosial, dimana secara politis implementasi FPIC menunjukan bahwa kekuasaan paling tinggi adalah suara rakyat. Sementara secara hukum adanya kesamaan hak (equality before law) di antara stekeholders dan secara sosial adanya hak dan otoritas masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya untuk mencegah konplik dan kontroversi di kemudian hari.
3.  Sistem pengelolaan dan managemen kawasan konservasi di Kabupaten Lebong harus berdasarkan nilai-nilai lokal (local wisdom) yang masih berkembangan dan dihormati oleh masyarakat adat sekaligus sangsi atas pelangarannya yang di akui dalam bentuk kebijakan daerah
4.   Mendorong Pemerintah Daerah dan para pihak terkait di Kabupaten Lebong untuk lebih memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa-desa tertinggal sebagai basis bagi pembangunan kabupaten Konservasi dengan cara membangun model-model percepatan pembangunan desa tertinggal
5.  Diperlukan kampanye multimedia sistematik yang diperuntukkan bagi para pihak untuk mempengaruhi paradigma pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat tersebut.


Tumpang Tindih Atas Kepemilikan Tanah (Bundle Of Rights)


Di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong”
 Posted by Tuntopos on 19/01/2011 in Tuntopos News | 0 Comment

Konflik pengelolaan lahan di Indonesia bukanlah barang baru lagi, pada Zaman Hindia Belanda pun hal ini telah berlansung dimulai semenjak ditetapkannya Agrarische Wet 1870 yang mengatur tentang Domainverklering (tanah Negara) oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian pada tahun 1927 ditetapkannya Bosch Ordonantie 1927 (mengatur masalah kehutanan) yang isinya mengikuti Domeinverklaring yakni penguasaan pemerintah terhadap sumber daya alam.
Didalam Bosch Ordonantie ini pemberlakuannya hanya di Jawa dan Madura sedangkan Agrarische Wet 1870 berlaku di daerah-daerah yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaan lansung Pemerintah Hindia Belanda dengan ditetapkannya batas hutan BW di setiap wilayah hutan di Indonesia.
Didalam doktrin Res Nullius yang memiliki ajaran bahwa kepemilikan terhadap bumi tidak bisa di kelompokkan didalam kepemilikan seseorang atau kelompok tertentu, dalam artian seluruh tanah berada pada posisi absente atau tanah tak berpenghuni dan tak berpunya, maka menjadi alasan yang jelas bagi pemerintah  hindia belanda untuk mencaplok seluruh kawasan hutan, tanah ulayat yang berada dan menjadi semacam identitias kelompok tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan milik Negara karena tidak memiliki alat bukti atau dapat dibuktikan secara tertulis didepan hukum Pemerintah Hindia Belanda (Domeinverklaring).
Pasca Indonesia merdeka,seiring dengan semangat kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan dan menasionalkan peraturan-peraturan yang ditinggalkan oleh pemerintah hindia belanda, namun secara substansi yang menyangkut arah pengaturan, kemudian penguasaan Negara dalam hal proses regeler khususnya pada permasalahan tanah dan penguasaan Negara kejadiannya hampir sama, dimana didalam agrarische wet 1870 yang mengatur tentang domainverklaring, maka didalam UUPA 1960, Domainverkalring Cuma berganti nama menjadi Hak Menguasai Negara.
Begitupun dengan penetapan kawasan hutan dan penguasaan serta pengaturan terhadap kawasan hutan berikut dengan proses peruntukannya, melalui UU 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang secara jelas mencabut Bosc Ordonantie 1927 yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, berusaha untuk menjamin keberadaan masyarakat adat beserta entititas pendukungnya, namun yang menjadi patokan dalam proses permasalahan tentang pengakuan hak masyarakat adat dalam UU ini masih mengikuti prilaku UU ibunya (Bosc Ordonantie 1927) yakni dimana  pengakuan Negara masih terbatas dalam bentuk yang terbatas yang menggantungkan diri didalam kebijakan umum pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Tentu mengenai proses pengakuan ini tetap menjadi semacam ancaman pokok yang melandasi seluruh konflik tenurial di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lebong, khususnya pada masyarakat eks marga juru kalang.
Dalam tinjauan sejarah masyarakat eks juru kalang dalam menempatkan posisi kepemilikan komunitas terhadap tanah yang sekarang menjadi kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat) adalah berdasarkan pada kebutuhan akan ruang penghidupan untuk masyarakat berladang, kebutuhan akan wilayah hunian, dan kebutuhan komunitas, dalam hal penempatan suatu kawasan sebagai tanah marga.
Pola penyebaran masyarakat adat Jurukalang hingga menjadi desa bermula dari tempat yang bernama Talang-Talang atau pemukiman-pemukiman penduduk yang berada di wilayah  perkebunan, dimana sekumpulan kecil orang-orang membangun pondok-pondok yang digunakan untuk menjaga kebun dari ancaman hama serta dilatarbelakangi juga oleh jarak wilayah perkebunan dengan desa asal yang memiliki jarak tempuh yang cukup jauh.
Maka dari proses pemukiman yang bernama talang ini pada  kemudian hari mengalami  perkembangan secara kuantitas jumlah jiwa yang menghuni suatu daerah talang sampai pada bertambahnya kuantitas lahan yang menjadi kawasan areal perkebunan masyarakat. Maka atas perkembangan tersebut, beberapa kelompok masyarakat yang berada di talang berinisiatif untuk menjadikan talang tersebut menjadi desa.
Pada tahun 1971 Pemerintahan Marga maka tanah marga yang selama ini menjadi milik mareka beralih menjadi tanah Negara, salah satunya adalah Bukit Dinding (Tebo Dinding) menjadi area Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), hal ini terjadi ketika diperbaharui kembali patok hutan BW oleh Pemerintah Indonesia.
Jika ditarik kebelakang lagi mengenai sejarah keberadaan hutan BW ini, maka pada pra kolonialis hadir ditanah Rejang, kondisi Masyarakat Rejang pada waktu itu merupakan satu kesatuan, yang egaliter tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya, dimana dalam proses pengolahan tanah atau kawasan setiap masyarakat memiliki hak yang sama dengan proses regelernya diserahkan kesetiap tetua yang dipercayai sebagai orang yang bijaksana, adil.
Kemudian pada masa kolonial, Pemerintah Kolonial dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda, memperbaharui seluruh sistem penguasaan tanah, termasuk dalam menetapkan batasan kawasan berdasarkan kebutuhan belanda dengan jalan memecah kesatuan masyarakat dalam bentuk marga-marga.
Pada zaman marga-marga ini, proses regelernya dibawah kondisi kompromis antara  kepentingan masyarakat adat dalam lingkup suatu marga dan kepentingan pemerintah kolonial dalam menjamin kekuasaannya di tanah jajahan.
Proses pengklasifikasian jenis hutan sudah mulai berlansung atas dasar kesepakatan antara Marga dengan Pemerintah Kolonial (Wedana), yang merupakan cikal bakal dari kelahiran dari hutan BW (Boscweissen) dengan menetapkan jenis hutan kedalam tiga bentuk yakni hutan marga, hutan rakyat dan hutan cadangan, dengan memberikan sedikit keluasan bagi masyarakat dengan jarak 500 meter setelah batas BW untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat.
Baru kemudian pada tahun 1983 Sistem Pemerintahan Marga dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Dengan pencabutan sistem marga ini berimbas secara lansung dengan proses pengelolaan kawasan hutan, dan pada tahun inipulalah bisa dikatakan bahwa seluruh klaim tanah adat, tanah marga, dihapus oleh Pemerintah Indonesia, kemudian menggantinya dengan patok Tata Guna Hutan Kesepepakatan (TGHK, 1984).
Dari laporan assesment yang dilakukan oleh Yayasan Akar pada wilayah Eks Marga Jurukalang ini, jika dipriodeisasikan proses pengelolaan masyarakat pada lahan yang diklaim oleh pemerintah sebagai Hutan Negara adalah sebagai berikut[1]:

1. Zaman Sebelum Penjajahan
Masyarakat sudah mulai membuka hutan untuk berkebun di daerah Bukit Pedinding dan Mudik Keligai dengan bertanam padi darat.  Pemukiman masyarakat masih berbentuk Kutai di pinggir Sungai Ketahun, pada waktu itu belum ada sistem pengairan irigasi tekhnis, masyarakat hanya mengandalkan hasil panen dari Padi Darat (Padi Siam) yang dipanen setahun sekali.  Kondisi hutan di sekitar Bukit Serdang masih memiliki kerapatan yang tinggi, maka dari kondisi ini pola interaksi masyarakat ke hutan tidak hanya sebatas berburu,dan meramu hasil hutan tapi mempunyai dimensi lain, kepercayaan terhadap gaib, dengan mengukuhkan bahwa hutan sebagai pusat pertahanan komunitas, dengan pandangan bahwaa perwujudan dari kedaulatan mereka berasal dari tanah yang mereka atur sendiri keberfungsiannya menurut system yang mereka miliki.
Masyarakat juru kalang pada masa ini memiliki mitologi sendiri tentang fungsi hutan yang berada di sekitar mereka yang mereka wariskan secara turun temurun (mitologi disini adalah perangkat khusus bagi masyrakat jurukalang untuk menyajikan kebijaksanaan tentang keselarasan alam dimana manusia juga berada didalamnya), yakni Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi[2]
2.  Zaman Penjajahan Belanda
Pada era tahun 1927 hingga 1932 Penjajah Belanda memasang patok BW di wilayah hutan masyarakat juru kalang, dan menetapkan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan lindung.  Pada masa ini masyarakat sudah mengenal tanaman kopi yang ditanam di kebun mereka (jenis kopi lokal/kopi rejang). Sebelumnya pemerintah hindia belanda mulai memberlakukan system domainverklaring melalui agrarische wet tahun 1870, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada dibawah pemerintah hindia belanda secara lansung dikuasai oleh pemerintah hindia belanda dalam proses regelernya.
Posisi ini mendudukkan masyarakat jurukalang pada posisi yang kompromis, dimana system kutai yang diganti oleh pemerintah hindia belanda dengan system kerasidenan (wedana), dan memposisikan dan membagi tanah masayrakat juru kalang ke dalam tiga cluster seperti yang telah diceritakan diawal tulisan ini.

3.  Zaman Penjajahan Jepang
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan pemukiman masih di pinggir sungai Danau Pada masa ini masyarakat sudah ada yang membuka hutan di sekitar pitok nutus (bukit pedinding) untuk berkebun.
Pada masa penjajahan jepang ini tidak banyak perubahan kebijakan pemilikan dan pengolahan tanah, karena pemerintah jepang sendiri masih menggunakan system hokum yang tellah di buat oleh pemerintah hindia belanda
4.  Zaman Orde Lama
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan Bukit Mangkurajo, pada era ini pembukaan lahan untuk penanaman tanaman kopi semakin meluas di daerah sekitar bukit serdang.

5.  Zaman Orde Baru
Pada masa ini pemukiman masyarakat semakin meluas di pinggir sungai ketahun, masyarakat sudah mulai bertanam padi sawah dengan pengairan berasal dari aliran DAS Ketahun dan beberapa sub DAS yang berada di sepanjang DAS Ketahun.  Pertanian masyarakat masih bertumpu di wilayah Hutan adat Jurukalang dengan alasan kesuburan tanahnya.
Pembukaan lahan di ke dua bukit ini semakin meluas, khususnya untuk bertanam kopi. Kemudian pada tahun 1995, desa ini mengalami musibah banjir yang mengakibatkan dusun terpecah menjadi dua yaitu dusun bawah dan dusun atas.  Banyak lahan persawahan masyarakat di pinggir sungai ketahun rusak dan tidak termanfaatkan, begitu juga beberapa lahan yang ada di sekitar desa yang mengakibatkan lahan tidur semakin luas.
Pada masa ini pemerintah merubah status Bukit Pedinding menjadi kawasan hutan lindung dan konservasi sebagai TNKS dan HL Rimbo Pengadang Reg.43 yang pada akhirnya memicu konflik tenurial wilayah kelola tradisional masyarakat.  Pada tahun 1997 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebagian hutan dan lahan budidaya masyarakat di Bukit Pedinding dan diikuti oleh program reboisasi dan rehabilitasi lahan melalui penanaman beberapa tanaman pelindung seperti sengon.

6. Zaman Sekarang
Pada masa sekarang, walaupun wilayah kelola tradisional mereka di bukit Pedinding telah diklaim menjadi hutan negara (TNKS), namun sebagian masyarakat masih tetap berkebun disana.  Ketidakjelasan tata batas dan kesuburan tanah menjadi Alasan mereka untuk tetap berkebun di sana. Di sisi lain tingkat pembukaan lahan pada kawasan hutan ini semakin luas untuk memenuhi kebutuhan lahan baru bagi masyarakat.
Apalagi volume tanah terlantar (lahan kritis/tidak produktif) semakin meningkat, pada posisi lain juga semenjak bergeraknya pola desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kabupaten lebong semakin memperketat pengawasannya terhadap kawasan hutan, dan kembali menggunakan streotif masyarakat perambah kepada masyarakat jurukalang