Sajak Naim Emel Prahana
(padamu Tuhan)
I
hujan terus menetes
di balik kata-kataku
tiap gelombang menyapa bumi
menelanjangi pelayaran di separuh siang
hari-hari sungai kian telanjang
diterik dada matahari
mimpiku mengalir, berguling-guling
di selangkangan desah kaki sesampainya
pada penguasa matahari dan cahaya
saat itu kita membaca guratan-guratan
jalan nafas dan dunia berteriak
mengaku bukan pencuri
menuduh semua pencuri
seperti tetangga berebut dendam dan iri
mengalungi kedengkian dikemudian hari
mengikuti jejak ambisi
jalanku jalan siapa saja
inginku di jalan-Nya
meraih akhir sekali
nafsu terus memburu
sambil menggenggam angin
mencabut ilalang yang takut
karena kalut,
wajah mengkerut,
hati berkeluh
kesah
pada catatan waktu yang tak disimak
jadilah ombak gelisah rindu tak berumah
melukis wajah, siapa rupanya
hati ini?
II
sapa tinggal seuntai
ketika ditanya kepada siapa
semua memandang dan memalingkan muka
batu yang hitam kelam
kudiami jua tanah ini
dari kelahiran dan
kemiskinan ada di mana-mana
itulah kandang kita sekarang
aku pernah mendengar orang berucap :
tangan berulang
- menggapai
- diam dalam
- tubuh,
- luluhkan teguh
- di rapuh aliran
- di sungai-sungai
- menuju muara pembawa
- kata-kataku.
III
Tuhan, jalan ciptaMu yang satu
ketika sampai bumi berakar banyak
bersatu diraut bulan bintang
duka di ombak laut dan pantai
tak selesai dieja tulisan alam
timbul tenggelam dalam hati
jalanMu sering dilewatkan
dibuang dan dilupakan
kulukai waktu
menimbang penawaran
sesaat datangnya kematian
yang menggugat hutan pribadi
benang kusut politik cinta pun buram
melingkar di kediaman kita
ini tanah siapa,
siapa yang merebutnya
yang selalu datang
yang kembali datang
yang sedang pulang
yang sudah bertandang
orang-orang papa
seperti aku dihempas ombak
dalam irama pembangunan?
IV
Sesekali aku berhasil merebut malam
Mencari dirimu dalam hiruk pikuk
lelah dan tersudut
rasa terbakar jiwa tak berdaya
menempatkan waktu
di hamparan status
kapal tak pernah singggah di pelataran kampung
anak-anak menunggu berkaki telanjang
selalu dalam catatan harian ini.
Mimpi adalah kekhawatiran
mencari diri mencari ilmu
sedang dari sudut-sudut hunian
mengatakan; aku mengorbankan diri
meninggalkan ketenangan kampung
membina kebinasaan di sini
menjadi perambah kaum kumuh
dalam kecamuk filosofi gneuthi setion
diri
pribadi
kepribadian
berselingkuh di sajadah
malam yang terus membuka pintunya
bergema suara di auditorium kampus
dengan membelah darat
yang meresahkan air samudera
meliarkan angin jadi puting beliung
yang telah terbuka
sulit dilewati
apalagi pintu yang tertutup
menjauhkan diri dariMu
di balik pandainya kami berkata-kata
memainkan ambisi
membiarkan diam
toh kita nikahi juga.
V
Hamba tak berdaya atas diri sendiri
sebelum Kau menyuruh kembali
kutulis puisi ini
dalam bait-bait panjang
menatap tempat pendaratan
Kau telah menyuruh menulis catatan
untuk ditempatkan di persinggahan
untuk dibaca semua yang lewat
tapi, apa yang kubawa kehadapanMu?
agar kelak mengental sepanjang langkah
jalan di jalan bijak
kepada siapa lagi
surat ini kukirim
di dalamnya bercerita tentang:
- abang becak
- pesta orang miskin
- keramaian kota
- ombak menampar pantai menenggelamkan perahu nelayan
- anak cucu berebut warisan sejengkal
- semua lengkap seperti FirmanMu
- lapangan kosong
- rumah tak berjendela
- halaman terbakar
rumah siapa
siapa di rumah kita
di luar sepi
(hiruk pikuk memutuskan silaturrahmi)
di gang kampung
lonceng berdentang
sampai ke pegunungan membentang
kumainkan bidak catur
rugi untung diatur
musik yang membentur
selendang penari malam
tak pernah menerima cinta
mata dan kata
waktu sudah banyak terbuang!
VI
Mataku menatap mobil-mobil mewah
pengemudi yang gagah, pemiliknya wah
menuju pemakaman umum
membangkitkan satu pertanyaan
bayangan yang berjalan
menggerakkan bibir dan selendang
penari malam tercecer
di antara ketakutan hilangnya kemiskinan
malam terus menyebarkan gelapnya
beradu tubuh di larangan parkir
Engkau saja dilupakan
apalagi kata-kata dalam tulisan ini
inikah bagian dari cinta di bumi
membuang hutan belantara
memasukkan virus-virus berbahaya?
VII
Hanya kepadamu
bukan kepada siapa-siapa
bagian terpenting dari cintaku
biarlah mengalir di hutan tanpa kamar
walau dilarang di barak-barak
tetap kurobek langit kemarahan
dengan perasaan melepas rindu
tanpa batas
kubiarkan langkah ini hanyut
di kedalaman laut terdalam
terluas di bumi
aku berdiri dan duduk sendiri
di ujung paling sepi, tak ada gambar apapun
dan lebel-lebel mufakat
semuanya sepi sunyi
VIII
Kita sering tidak rela
Menjalani rutinitas waktu
Tempat hamparan hati
kata berlawanan
langkah bertentangan
tumpuan yang rapuh
digenggaman gelap gulita
lai, aku melihat diriku sendiri
memaknai kekejian teknologi
menghamba materi
standar keberhasilankah?
di saat warna memburu diri
dimakan zaman
berpulang ke ruang tanpa penghuni
waktu adalah uang
rindu kehilangan cinta
IX
Dan 20 surat cintaku ini
melayang mencari teduhnya kata-kata
ditumpukan dokumentasi
catatan yang kubagikan
dibutuhkan atau diacuhkan
dibuang pun cintaku adalah cinta
datang ditujuannya.
X
Cinta adalah kesadaran
kenyamanan dan ketenangan
di kebahagiaan pelabuhan
diakhir penyatuan tubuh dan ruh
berumah tiada berbeban
berpikir tiada menyindir
biarlah penenggak bir
menguasai malam kelam
XI
Atas nama surat cinta ini
amanah sepanjang hari
kutitipkan jalan ke sajadah
pembuang rangkuman gelisah
dari untaian dzikir dan doa kukirimkan
semua ruh untuk siapa saja
yang mulai menjelma dibibir
agar menjadi langkah
diberkati.
XII
20 surat cinta
kutulis dengan darah
kutulis tangan di atas sajadah merah
untuk gadis yang belum tersenyum
untuk di kau penghuni kamar gelap
untuk di kau gadis cacat yang berharap
untuk janda muda yang digubuk melarat
ambillah cintaku di dalam 20 surat cinta ini
kuberikan kuikhlaskan kurelakan
sampaikan kepada tante-tante
om-om perlente
yang sedang menguliti tubuhnya
berikan selembar surat ini
jalinan cinta perdamaian
jembatan cinta keselamatan
cinta tempat menyadarkan binatang-bintang liar
XIII
Seluruh sejarah ruhku
kukembalikan padaMu
padaMu, dari sekalian ajaranMu
kemudian untuk siapa saja
di mana saja muaranya
ya, kuberikan
semua tanpa menunggu eksekusi
apapun penghalangnya
tetap kukembalikan seluruhnya
tak ada tirai di balik cinta
curahan satu-satunya
yang berbaris panjang di cakrawala
menyala dan membakar mimpi
yang akan kuteruskan
walau listrik sering padam
XIV
kata adalah anak diam ke diamnya
dipangkuan kau dalam lagu
di pundak gunung di dasar laut
di perut bumi di rumah sepi
di surga dinantikan
bila terseok-seok
api neraka siap menjalar
XV
Penyesalan tak berarti
menaburkan kepergian hitam dihati
pada Kau ya pada siapa lagi
surat kutulis setiap pagi
di setiap doa dan dzikir mengalir
para penyair yang hilang suaranya
menyendiri dalam perlombaan
pengagum cinta abadi
melepas jerat hidup melarat
yang tetap melarat.
XVI
20 surat cinta ini
kubagikan kepada malaikat
kubuat pagar batas dengan setan
yang selalu mengikuti jejak kita
kubingkiskan pada mimpi siang
kutasbihkan pada keyakinan
kutinggalkan untuk anak cucu
kutindih bayang-bayang
agar pohon jadi rindang
biar batu jadi batunya
akan tanah sang guru
kembali ke kau
cinta adalah rambu-rambu kehidupan
XVII
Kau dan aku selalu ada
dalam kalimat pada hakekatnya
aku bukanlah penguasa langit dan bumi
yang sekehendak hati berbohong
dalam surat puisiku ini
kusimpan satu surat darinya
agar terbuka dipagi hari esok
untuk mengenali kembali diri sendiri
baris kedua dalam suratku
adalah jawaban-jawaban nisbi
dari pertanyaan-pertanyaan sepi
menuju ke baris ketiga dalam suratku
berupa seruan kepada penguasa
kupesankan bahwa suatu saat kelak
yang tak ada diadakan akan sirna
korban-korban kebohongan bangkit kembali
menyatakan kebenaran atas kebenaran
baris keempat dalam suratku
kubisikkan suara hati
untuk siapakah diri ini?
di antara buramnya jawaban
walau berteriak, siapa pendengarnya
tapi keyakinan kuyakinkan benar
karena Engkaulah sumber kebenaran
yang sering dilanggar
dengan sumpah dan alibi
sedangkan Kau diam
menatap tingkah polah
hamba-hambaMu
XVIII
Telah kubuka setiap hari
lembar demi lembar surat
bertanya kepada mata
telinga, mulut, hidung, rambut
tangan dan semua isi perut
tentang siapakah diriku ini
XIX
setiap hari yang kubawa
melangkah dan bertanya
bertanyalah, bertanya dan bertanyalah
wahai diri
bahwa jawaban ada padaNya
(bukan kepada kecantikan wanita bukan pada kenikmatan mobil mewah bukan berhamburan uang dan ke luar negeri bukan semuanya bukanlah jawabannya. Atau ketampanan seorang lelaki, gedung menyeramkan merobek langit menindih rakyat melarat. Yah, bukan di situ jawabannya. Karena kita masih bernafas, gunakan hati, mata dan hati-hatilah melangkah!)
XX
20 surat cinta
Akhirnya terkirim jua
Setelah habis waktu persidangan komisi
yang akan menanti keputusan
( dan mereka juga )
dipangkuan gaya kehidupan
tunggulah!
jangan menunggu aku
yang tak berdaya
yang hanya mengikuti
siap menuruti panggilanNya
ya, dihadapanNya
politikku tak bertaji
tak dapat dimainkan
seperti arena politik di negeri ini
Metro, Maret 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar