Mitos
Rakyat Rejang Di Lebong
Danau
Tes dan sekitarnya serta masyarakat di Kotadonok, Lebong mempunyai cerita yang
cukup banyak. Mulai dari legenda, mitologi, misteri dan peninggalan zaman
purbakala, baik berupa megalitik maupun sisa-sisa sejarah masyarakat Rejang
tempoe doeloe yang masih terbengkalai. Tapi, sangat diketahui oleh
masyarakatnya. Salah satu adalah Butau Gesea (batu hampir atau nyaris, red).
Kenapa dinamakan Butau Gesea?
Karena
posisi batu yang permukaannya sekira lebar dan panjang satu meter kali dua
meter itu sangat aneh. Batu yang besarnya (secara ukuran umum) mencapai sebesar
mobil kijang kapsul lebih sedikit itu, kelihatannya hanya menempel sekian
sentimeter saja bagiannya yang tertanam di tanah. Padahal, batu itu berada di
lereng bukit yang terletak di Teluk Lem. Letak Butau Gesea berada beberapa
meter di atas Srawung Dung Ulau Tujuak (gua ular kepala tujuh) yang terkenal
itu.
Letak persisnya bila di horizontalkan dari seberang Teluk Lem (Teluk
Dalam) berada di seberang Pondok Lucuk (Rumah Runcing) tempat wisata di Kotadonok Kecamatan Lebong Selatan. Walaupun ukuran permukaan Butau Gesea itu tidak
lebar dan normalnya hanya bisa muat sekitar maksimal enam orang duduk bersila.
Tapi, kenyataannya permukaan batu itu mampu memuat lebih dari 20 orang di
atasnya, tanpa berdesak-desakan. Itulah keanehan kalau tidak boleh kita
menyebutkan suatu keajaiban. Biasanya, banyak orang berziarah ke Butau Gesea
itu, terutama dari kalangan orang rejang yang tinggal di luar Lebong dan
masyarakat dari etnis Tionghoa.
Cerita persisnya memang tidak ada. Tapi, semua masyarakat di sekitar Danau Tes, baik di Kotadonok, Tlang Ratau, Topos, Tlang Blau, Tanjung, Tabeak (Taba Anyar), Tran Tinging (Turan Tiging), Mubai, Tran Lalang (Turan Lalang) dan lainnya sangat mengenal cerita Butau Gesea. Masyarakat di Kotadonok mempercayai kalau Butau Gesea itu bukan batu sembarangan dan mempunyai nilai magisnya, apalagi di bawahnya di Teluk Lem di Danau Tes itu terdapat goa ular kepala tujuh yang cerita mitos maupun legendanya sangat tersohor ke berbagai pelosok. Selain itu, ada cerita lain di Teluk Lem itu, yaitu sering munculnya ikan mas besar berukuran sekitar lebar dan panjang tikea purun (tikar, red).
Cerita persisnya memang tidak ada. Tapi, semua masyarakat di sekitar Danau Tes, baik di Kotadonok, Tlang Ratau, Topos, Tlang Blau, Tanjung, Tabeak (Taba Anyar), Tran Tinging (Turan Tiging), Mubai, Tran Lalang (Turan Lalang) dan lainnya sangat mengenal cerita Butau Gesea. Masyarakat di Kotadonok mempercayai kalau Butau Gesea itu bukan batu sembarangan dan mempunyai nilai magisnya, apalagi di bawahnya di Teluk Lem di Danau Tes itu terdapat goa ular kepala tujuh yang cerita mitos maupun legendanya sangat tersohor ke berbagai pelosok. Selain itu, ada cerita lain di Teluk Lem itu, yaitu sering munculnya ikan mas besar berukuran sekitar lebar dan panjang tikea purun (tikar, red).
Menurut ceritanya, jika ikan itu muncul
dan terlihat oleh seseorang atau beberapa orang, dipercayai alamatnya adalah
Danau Tes minta korban atau ada orang yang akan meninggal dalam waktu dekat di
sekitar danau itu. Bahkan, sering berubah wujud menjadi sebatang kayu besar
tanpa ujung ( sangat panjang ), ada pula yang mempercayainya sebagai perubahan
wujud dari ular kepala tujuh itu sendiri. Jika Butau gesea itu dikelola oleh
pemerintah dan dijadikan salah satu objek wisata, akan mendatangkan pendapatan
daerah yang cukup besar, terutama mendatangkan pendapatan bagi masyarakat
sekitarnya. Sampai saat ini, belum ada yang berani mengambil foto Butau Gesea
itu. Sehingga dokumen fotonya masih kosong. Butau gesea itu nyata
keberadaannya, bisa dilihat dengan mata dan bisa diraba.
Di lokasi lain, di
Tempat Taukem (Keramat Rukam) dulunya diyakini sebagai pusat salah satu
kerajaan di Lebong terdapat pula benda purbakala berupa meriam besi dan peluru
besinya berbentuk bundar sebesar kelapa. Masyarakat di Lebong sangat percaya
kalau anak hasil zina yang datang ke sana
dan mencoba mengangkat peluru besi itu. Pasti tidak akan bisa mengangkatnya.
Tapi, kalau orang biasa (bukan anak hasil zina,red), besi peluru itu dengan
gampang bisa diangkat. Peninggalan itu, saat ini masih ada dan berada di bukit
sebelah kiri jalan menuju tes dari Kotadonok yang sekarang sudah ditumbuhi
hutan pinus yang lebat. Bioa Tebet di dalam kamus lisan masyarakat Rejang, nama
Danau Tes jarang dipergunakan, bahkan masih asing di telinga warga masyarakat
khususnya masyarakat di Topos, Tlang Blau, Tanjung, Rimbo Pengadang, Bioa Sengok (Air
Dingin), Tlang Ratau, Kotadonok, Tes, Taba Anyar, Turun Tiging, Mubai dan
Turun Lalang.
Masyarakat
Rejang di Lebong dan masyarakat Rejang di daerah lain hanya mengenal akrab nama
Bioa Tebet. Nama Bioa Tebet (Bioa berarti air, sungai, kali dan tebet berarti
dibendung, dam atau aliran sungai yang sengaja ditutup dengan maksud air aliran
airnya bisa tergenang, kolam). Oleh karenanya, dalam bahasa Rejang mengenai
‘tebet’ ada tingkatannya. Misalnya tebet titik (bendungan atau kolam kecil),
tebet lai (bendungan atau kolam besar). Tentang nama Bioa Tebet untuk Danau Tes
dalam bahasa Indonesianya erat kaitannya cerita rakyat Rejang tentang Si Pahit
Lidah (sering juga disebut dengan Si Lidah Pahit).
Konon cerita, Bioa Tebet
(Danau Tes) merupakan danau buatan secara sengaja dilakukan si Pahit Lidah
dikarenakan kemarahannya atas tipu daya masyarakat Kota Donok terhadap dirinya.
Sebenarnya masyarakat Kota Donok tidak menipu Si Pahit Lidah, melainkan untuk
mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah mencangkul kawasan di seberang Dusun Tes
(dusun berarti desa dalam pemahaman orang Rejang). Kawasan yang dicangkul Si
Pahit Lidah itu mulai dari Ujung Semapak pelabuhan perahu masyarakat Kotadonok
dan kawasan wisata di Desa Kotadonok sampai Baten Daet seberang Tes, Taba
Anyar dan Turun Tiging. Karena kekhawatiran masyarakat Kotadonok akan
pekerjaan Si Pahit Lidah yang nantinya akan menenggelamkan desa mereka. Maka
sepakatlah para anggota masyarakat dalam komunitas pengurus Kutei (Kutai, Desa)
untuk bagaimana mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah itu. Kalau dicegah dengan
kasar, masyarakat takut akibatnya. Dicarilah solusi, sehingga Si Pahit Lidah
mau menghentikan pekerjaannya itu. Solusi itu adalah dengan mengabarkan bahwa
anak Si Pahit Lidah meninggal dunia.
Tentu saja kabar itu tidak dipercayai oleh Si Pahit Lidah. Akan tetapi, karena keuletan utusan dari masyarakat Kota Donok menyampaikan pesan kepada Si Pahit Lidah, akhirnya terucaplah kata dari mulutnya, “Anakku mati ya!”. Tentu saja, ucapan itu menjadi kenyataan dan sadar akan ucapannya yang pahit itu, Si Pahit Lidah marah kepada masyarakatnya. Kemarahannya itu ia lampiaskan dengan mengayunkan cangkulnya, lalu tanah yang ia cangkul dilemparkan ke aliran Bioa Tawen (Air Ketahun) di dekat Desa Tes. Tentu saja aliran sungai itu tertutup dan airnya tergenang. Itulah singkat cerita terjadinya Bioa Tebet (Danau Tes) yang merupakan danau terbesar di provinsi Bengkulu.
Tentu saja kabar itu tidak dipercayai oleh Si Pahit Lidah. Akan tetapi, karena keuletan utusan dari masyarakat Kota Donok menyampaikan pesan kepada Si Pahit Lidah, akhirnya terucaplah kata dari mulutnya, “Anakku mati ya!”. Tentu saja, ucapan itu menjadi kenyataan dan sadar akan ucapannya yang pahit itu, Si Pahit Lidah marah kepada masyarakatnya. Kemarahannya itu ia lampiaskan dengan mengayunkan cangkulnya, lalu tanah yang ia cangkul dilemparkan ke aliran Bioa Tawen (Air Ketahun) di dekat Desa Tes. Tentu saja aliran sungai itu tertutup dan airnya tergenang. Itulah singkat cerita terjadinya Bioa Tebet (Danau Tes) yang merupakan danau terbesar di provinsi Bengkulu.
Kawasan- Kawasan di Danau
Tes Di Bioa Tebet itu, terdiri dari beberapa kawasan yang sangat dikenal oleh
masyarakat Rejang. Kawasan- kawasan itu sebagai berikut: Pertama, Kawasan Teluk
Lem Kawasan Teluk Lem oleh masyarakat dipercayai mempunyai cerita misteri yang
angker. Karena, di situ ada gua yang konon dijadikan rumah Ular Kepala Tujuh.
Letaknya berada di seberang areal wisata Pondok Lucuk. Di Teluk Lem, juga ada
batu yang penuh keajaiban yang disebut dengan Butau Gesea (Batu hampir jatuh)
kedua,
Jungut Benei Jungut Benei atau Tanjung Pasir merupakan pulau kecil dengan
permukaannya hanya pasir. Pulau kecil itu tidak begitu besar dan letaknya
berada di muara aliran Air Ketahun dengan Danau Tes (Bioa Tebet). Untuk
mencapai Jungut Benei bisa dilakukan dengan naik perahu atau jalan kaki dari
Tlang Macang terus ke Tanjung dan sampailah di Jungut Benei.
Di Jungut Benei
biasanya dimanfaatkan oleh satwa burung, seperti Blibis, dan burung sawah
lainnya dan bagi masyarakat yang suka mencari ikan, Jungut Benei sering
dijadikan tempat istirahat. Begitu pula bagi anak-anak atau remaja,
dimanfaatkan untuk mencari ikan dan menjerat burung atau tempat bermain yang
mengasyikkan. Apalagi di musim kemarau. Jungut Benei dikelilingi Bioa Tebet,
Tawen Blau, dan Bioa Ketawen. Di daratannya ditumbuhi rumput selet (sejenis
rumput yang tajam dan biasanya untuk makanan kerbau), pun dak (pohon dadak),
peak (bambu air), bakung (enceng gondok) dan pun sagau (pohon rumbia). Dari
Jungut Benei kita bisa memandang lepas ke arah Danau Tes sejauh mata memandang,
dapat melihat bagaimana komposisi rumah- rumah penduduk di Desa Kotadonok dan
Sukasari. Termasuk alam pegunungan di sekitarnya. Mengasyikkan sekali.
Gambar: Teluk Lem Daneu Tes
Ketiga,
Bioa Tamang merupakan kawasan di muara Bioa Tamang yang berada di paling ujung
rumah penduduk Desa Kotadonok (bukan ujung wilayah desa). Di kawasan ini,
selain tempat masyarakat mencari ikan, ada jalan raya ke arah Tes yang mendaki.
Seperti pendakian Tarahan di Lampung Selatan, Lampung. Daerah pendakian Bioa
Tamang dulu terkenal angker, beberapa kejadian mobil yang terjun ke Danau Tes.
Sekarang, nampaknya keangkeran daerah itu sudah jarang dibicarakan, karena,
masyarakat di desa Kotadonok masih mempercayai bahwa kalau berada di sekitar
Danau Tes jangan bicara Takabur. Keempat, Muara Bioa Putiak kawasan ini berada
di wilayah Desa Tes yang terdiri dari hutan Peak
(bambu air) dan rawa. Di daerah ini, juga sangat subur untuk lahan pertanian
padi sawah. Jika melintasi kawasan ini, dapat dilihat areal persawahan penduduk
Kotadonok dan Tes. Di muara Bioa Putiak itulah konon cerita adanya Siamang Bioa
yang suka menganggu penduduk naik perahu di kawasan muara sungai tersebut.
Kelima, Jungut Mutung kawasan Jungut Mutung itu berada di seberang pulau pasit atau dikenal dengan Jungut Benei. Daerah itu masih menyatu dengan kawasan Teluk Buluak yang dianggap masih angker karena beberapa satwa liar yang berada di kawasan tersebut.
Kelima, Jungut Mutung kawasan Jungut Mutung itu berada di seberang pulau pasit atau dikenal dengan Jungut Benei. Daerah itu masih menyatu dengan kawasan Teluk Buluak yang dianggap masih angker karena beberapa satwa liar yang berada di kawasan tersebut.
Jungut Mutung merupakan pinggir Danau Tes yang sedikit
menjorok ke tengah dan tanahnya terlihat merah. Pinggiran Jungut Mutung itu
sering dimanfaatkan penduduk untuk mencari ikan, terutama di malam hari.
Keenam, Tawen Blau Tawen Blau merupakan anak Danau Tes yang berada di kaki Desa
Kotadonok. Air Tawen Blau selalu berwarna kuning, sekelilingnya dipenuhi
tumbuhan rawa atau air seperti pohon peak, rumbia dan di Tawen Blau itu tempat
bermuaranya beberapa anak sungai atau setidak-tidaknya empat anak Sungai, di
antaranya Bioa Pacua Telai, Bioa Ujung Semapak dan lainnya (belum diketahui
namanya, hanya orang menyebut bioa tik (air atau sungai kecil). Konon cerita di
kawasan Tawen Blau ada seekor binatang yang menunggu, yaitu Buai Kotong (buaya
yang ekornya putus).
Buaya itu dipercayai bersarang di bawah pepohonan peak
yang berada di kawasan kuburan umum desa Kotadonok. Ketujuh, Ujung Semapak
Ujung Semapak boleh jadi sebagai kawasan pelabuhan (untuk perahu) masyarakat
Kota Donok yang memanfaatkan potensi Danau Tes. Rumah-rumah penduduknya
sebagian berada di atas permukaan air Danau Tes yang ada di pinggiran. Berupa
rumah- rumah bertiang tinggi. Di Ujung Semapak itu setiap pagi atau sore dapat
dilihat puluhan bahkan lebih perahu yang ditambatkan, juga jaring-jaring yang
dijemur atau peralatan penagkapan ikan lainnya milik warga dijemur di pinggir
air Danau Tes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar