Tampilkan postingan dengan label Kotadonok My Village. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kotadonok My Village. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Februari 2016

Waktu Kecil Di Kampung



SEKEDAR RENUNGAN
‘Mungkin’ tidak pantas membandingkan zaman dahulu kala dengan zaman sekarang ini. Akan tetapi, sebagai ‘renungan’, itu sangat pantas. Di era tahun 1975 ke bawah (1974, 1973, 1972 dst) kehidupan masyarakat di Lebong, di mana saja tempat tinggalnya, dalam keadaan harmonis, damai, sejahtera dan makmur (dalam sisi ekonomi keluarga).
Masing-masing keluarga sudah biasa memiliki simpanan padi di Tuwoa (rumah temat menyimpan hasil panen) yang biasanya di setiap Desa itu ada lokasinya. Rata-rata Tuwoa itu berukuran sekitar 3 X 5 meter. Dbangun dengan sederhana, tetapi kekuatan bahan bangunannya cukup bagus, walau terbuat dari Plupuak (bamboo yang dibelah dan dicacah), beratap rumbia atau ijuk dan ada yang sudah beratap seng. Lantainya terbuat dari papan.
Dari musim ke musim panen, Tuwoa Orang Rejang di Lebong (dan di daerah lain di Tanah Rejang), jarang yang kosong. Kendati sedikit isinya, tetapi tetap cukup. Yang lebih mengesankan lagi adalah, tidak pernah ada aksi pencurian padi di dalam Tuwoa. Walaupun pintunya hanya dikunci dengan kunci merek Diamond.

Masyarakat Rejang d Lebong memiliki manajemen usaha pertanian dengan baik, walau sederhana. Artinya, mereka mampu meminit waktu pengerjaan sawah, menggarap dan memelihara kebun dan melakukan pekerjaan tambahan sebagai sumbrer mata pencarian lain untuk memenuhi kebutuhan skundair keluarga masing-masing.

Sudah tidak asing lagi, anak0anak usia sekolah (khususnya SD) di Lebong sepanjang waktu banyak ditinggalkan di Kampung/desa. Sementara itu orang tua mereka menginap di sawah atau kebun/lading atau melakukan pencarian usaha sampingan lainnya. Anak-anak di rumah hanya ditinggalkan beras, dan ada garam secukupnya.

Yang paling indah dalam kehidupan zaman itu adalah bagaimana anak-anak usia SD ditinggal di kampong memenuhi kebutuhan makan, minum dan lainnya selama orangtua mereka di sawah, lading atau kebun.

Itulah, anak-anak seusia SD itu di zaman tersebut, sudah terbiasa mencari bahan lauk pauk dengan cari memancing ikan, memasang Tajua, menjala, menjaring, betekoa, nyeuyuk, mencar sayuran di pinggir-pinggir sungai. Kemudian mereka secara berkelompok mencari kayu baker dengan menggunakan pane atau bobot kecil.

Tidak ada yang terlihat mondar-mandir siang hari dan malam hari di jalanan kampong. Dan ketika malam tiba, mereka pergi ke rumah guru ngaji. Biaya mengaji diukur dengan beras, bukan uang atau dengan minyak tanah.

Demikianlah kenang-kenangan terindah di kampung swaktu kecil di masa itu. Dan sekarang apakah tradisi itu masih ada? Astaqfirullah……semoga tanah kelahiranku tetap jaya, subur dan makmur dengan masyarakatnya yang guyup bukan bersifat patembayan (materi)

Senin, 09 Maret 2009

Objek Wisata di Kotadonok

1. Danau Tes
Danau Tes merupakan tempat wisata sekaligus menjadi Pusat Pembang-kit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Tidak sama dengan tempat wisata lainnya, luas objek wisata Danau Tes + 750 Ha jarak tempuh-nya 25 km dari ibu kota kabupaten dapat di tempuh dengan ken-daraan umum, Danau Tes telah tersentuh oleh Penataan Pembangunan.

2. Sungai Ketahun
Terletak disepanjang Desa Suka Sari dan Talang Leak mempunyai air yang sangat jernih, keindahan Panorama Alam dan Luasnya sungai sepanjang 20 Km.

3. Keramat Taukem
Terletak di ujung sebelah utara Kotadonok berbatasan dengan wilayah Desa Tes. Di epat Taukem (Keramat Tepat Rukam) terdapat meriam kuno dengan sebuah peluru besi. Menurut kepercayaan masyarakat Kotadonok, bagi anak haram—anak yang dilahirkan dari hasil zina, tidak akan bisa mengangkat peluru besi sebesar buah kelapa itu.
4. Air Terjun Teluk Nusai
Air terjun ini memang masih asli, berada di areal persawahan Teluk Nusai di seberang desa Kotadonok. Untuk menjangkau lokasi air terjun itu, bisa ditempuh dengan dua alan. Pertama dengan naik perahu dengan lama tempuh sekitar 10—15 menit, atau melalui jembatan Tlang Macang dengan waktu sekitar 30 menit.

5. Air Panas Masteman
Air panas Masteman dinamakan demikian karena berada di kebun kopi milik Masteman (alm) sekitar 2 Km dari Kotadonok. Jalan ke lokasi harus ditempuh dengan jalan kaki, karena belum ada jalan yang dibangun. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit dari desa Sukasari.

6. Butau Gesea
Burau Gesea (batu hampir). Maksudn adalah batu yang seakan-akan hampir jatuh dari lereng bukit. Lokasinya berada di Danau Tes, mtepatnya di kawasan Teluk Lem yang sangat legendaris itu. Batu dengan ukuran sekitar sebesar mobil kijang itu, ternyata di atas permukaannya mampu menampung puluhan orang.

7. Jungut Benei
Jungut enei adalah muara Air Ketahun di Danau Tes yang kemudian membentuk pulau kecil yang terdiri dari pasir yang dihanyutkan oleh aliran Air Ketahun. Pulau pasir yang disebut Jungut Benei itu luasnya sekitar luasnya lapangan sepak bola. Hanya bentuknya yang bundar. Di atasnya, sampai tahun 1970 merupakan tempat penduduk Kotadonok melepas binatang piaraan mereka, seperti kerbau, itik atau bebek.
Di Jungut Benei banyak dijumpai burung belibis, burung cekuwok dan burung jenis lainnya yang mencari makan berupa ikan-ikan kecil di deaerah itu. Sering pula dijadikan oleh anak-anak desa Kotadonok untuk tempat bermain bola. Sayangnya sekarang sampai 2009, Jungut Benei tidak seperti dahulu kalau. Di samping penduduk Kotadonok tidak lagi memiliki binatang piaraan kerbau dan sapi.
Masyarakat yang mencari ikan sudah menggunakan peralatan penagkap ikan yang semi modern. Kalau dulu Jungut Benei dijadikan tempat berteduh dan persinggahan para pemancing, penjala dan penjaring ikan atau para pencari ikan di malam hari (nyuluak)

8. Desa Trans Mangkurajo
Desa Trans Mangkurajo dibuka tahun 1983 ketika Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir. Lokasinya berada di atas bukit Barisan, tepat berada di atas Desa Kotadonok dan Sukasari. (kedua desa inbi dulunya bernama Kotadonok). Jalan menuju lokasi desa Trans Mangkurajo memang mendaki dan berliku-liku. Dari kawasan desa itu dapat dilihat dengan jelas panorama alam desa Kotadonok dan alam bukit barisan lainnya. Termasuk kawasan Danau Tes yangpenuh pesona, cantik aduhai dipandang mata, apalagi kalau sempat untuk berperau di Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu.
Kemudian, di lembah Sawah Mangkurajo dapat dilihat dengan jelas dari lokasi eks PT Sebayur. Bagaimana keindahan alam pertanian di lembah Sawahmangkurajo. Walaupun digarap secra tradisionil, namun tetap menjadi tumpuan harapan masyarakat Kotadonok, Sukasari, Ujung Tanjung, Taba Anyar dan desa lainnhya di Lebong.

9. Sawah Mangkurjo
Lembah Bukit Barisan yang membujur dari Utara ke Selatan di provinsi Bengkulu ini sejak lama dikenal dengan nama Sawah Mangkurajo atau dalam bahasa Rejangnya disebut Saweak Krajo. Secara pasti kapan areal pertanian di daerah ini di buka belum diketahui. Hanya dalam beberapa cerita tokoh-tokoh Kotadonok menyebutkan sejak penjajahan kolonial Belanda, areal pertanian di daerah itu sudah dibuka.
Beberapa pelopor yang membuka usaha pertanian (sawah), kebun dan kolam di Sawah Mangkurajo antara lain H Aburuddin dengan anak-anaknya seperti Rahmatsyah, Hasyim, Zarah, Djahima dengan anak-anaknya, Saridin dan lainnya. Sedangkan pelopor lainnya seperti Dualim, Efek, Burudin dan sebagainya.
Lembah Sawah Mangkurajo yang bersuhu sangat dingin itu, sangat strategis. Dari Kotadonok berjarak sekitar 10 km, dari Tes—Taba Anyar sekitar 11 km, dari tambang emas Lebong Simpang sekitar 7 km, dari Pesisir (Arga Makmur) sekitar 20 km.
Saat ini penduduk yang bercocok tanam di Sawah Mangkurajo bukan hanya berasal dari desa Kotadonok, tapi juga dari Ujung Tanjung, Talang Leak, Turun Lalang, Tes, Manna (Kedurang) dan dari daerah lainnya. Keadaan tanahnya sangat subur, curah hujan cukup tinggi. Sumber air melimpah ruah. Dan daerah ini cocok untuk dijadikan wisata agro pertanian di Lebong.

10. Tlang Macang
Tlang Macang dahulu kala merupakan lokasi penyeberangan Air Ketahun bagi penduduk Topos dan sebaliknya yang ke pekan (pasar) di Kotadonok yang selalu ramai. Sebab, di Lebong Selatan waktu itu, hanya di Kotadonok ada pekan yang diadakan setiap hari Rabu.
Dulu untuk menyeberang Tlang Macang digunakan perahu yang menempuh jarak sekitar 30 meter. Kini, ketika Lebong menjadi kabupaten, sudah dibuat jembatan tempat penyeberangan. Rencananya akan dibangun jalan menuju desa Topos. Tapi, untuk membangun jalan permanen memang agak sulit, karena kondisi yang akan ilalui merupakan Tebing Tebo Dinding yang cukup curam.

11. Rumah Gubernur
Yang dimaksud dengan rumah gubernur itu adalah rumah pribadi atau keluarga gubernur Sumatera Selatan (1958—1959) Mohammad Husein—yang namanya diabadikan untuk Rumah Sakit Umum Palembang.

12. Rumah Pangeran
Rumah pangeran adalah rumah keluarga besar pangeran Kotadonok, Ali Kra dan Aliusar. Rumah itu sejak lama sudah tidak dihuni dan tidak pernah dirawat sebagaimana mestinya. Di rumah ini banyak cerita magic maupun mitos yang sangat populer di masyarakat Lebong.

13. Kubua Lai
Kubua Lai (Makam Besar) itu terletak di belakang rumah Supena (Pena), berupa gundukan tanah yang disekitarnya tumbuh pohon asam jawa da macang. Konon cerita, kubua lai itu dinamakan demikian karena orang yang meninggal dikuburkan dalam satu kuburan. Tentu, siapa yang meninggal di sana, tidak ada yang tahu persis. Karena kejadiannya sudah ada sejak desa Kotadonok ada.
From by http://anokjang.multiply.com ditulis sesuai realitas oleh Naim Emel Prahana si putra Rejang.

Sabtu, 28 Februari 2009

Ayah, Kampung dan Perjalanan







SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukitkemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Sabtu, 14 Februari 2009

Kotadonok 2009






Oleh Naim Emel Prahana

SUHU dingin masih tetap menyelimuti daerah Lebong pada umumnya, khususnya di beberapa desa yang berada di lereng bukit pegunungan Bukit Barisan, seperti Air Dingin, Rimbo Pengadsang, Tikuto, Talangratu, Trans Mangkurajo, Sawahmangkurajo dan Kotadonok. Curah hujang yang tetap tinggi memang secara permanent tidak menghambat aktivitas masyarakat. Namun, secara langsung mengurangi beberapa aspek kehidupan.
Secara umum Kutei Donok (Desa Donok/Tengah) yang sekarang lebih populer disebut Desa Kotadonok mengalami mengalami kemunduran dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun ada proses pembangunan infrastruktur, itupun tidak membawa desa dan masyarakat Kotadonok lebih maju dibandingkan desa-desa lain.

Pemukiman
Pertambahan jumlah rumah penduduk tidak signifikan, bahkan banyak rumah-rumah lama (tua) yang terbengkalai. Pertambahan bangunan rumah yang ada, masih memanfaatkan pekarangan rumah-rumah lama. Rumah-rumah yang dibangun 5 tahun terakhir pada uymumnya berukuran kecil dan sangat sederhana. Hal itu dimungkinkan karena tingkat kemiskinan di desa itu semakin meningkat. Terutama setelah Lebong menjadi kabupaten konservasi tahun 1999.
Penduduk Desa Kotadonok masih mengalami beberapa kesulitan, air bersih. Walau sumber air dari sungai-sungai kecil (bioa tik) masih melimpah ruah dari pegunungan yang melingkari Desa Kotadonok. Namun, kebersihan sumber air sangat tidak menjamin dari segi kesehatan. Bahkan, keberadaan PAM (perusahaan air minum) swasta tidak banyak membantu penduduk untuk memperoleh air bersih. Karena, biaya penyambungan dan taruifnya sangat mahal, tidak terjangkau oleh penduduk Kotadonok.
Lingkungan pemukiman penduduk di Kotadonok (Kotadonok I dan Kotadonok II/Sukasari) ternyata semakin kumuh. Sampah berserakan di depan rumah, di pinggir jalan, dan saluran air di sisi jalan banyak yang tersumbat akibat pembuangan sampah sembarangan oleh penduduk serta tertutup oleh timbunan tanah galian; baik ketika pembangunan (pengaspalan) jalan maupun longsor. Desa Kotadonok seperti desa yang tidak terurus. Berbagai kesulitan menghadang dan dialami oleh penduduknya.
Bangunan-bangunan bersejarah, seperti rumah kediaman pribadi mantan gubernur Sumatera Selatan, M Husein, rumah pangeran Kotadonok, Balai Desa, Balai Pertemuan, Masjid Nurul Iman dan deretan rumah-rumah tua di kawasan Peken (Pekan) Kotadonok, termasuk bangunan SDN 1 (SD tertua). Masyarakat atau penduduk Kotadonok yang mayoritas sukubangsa Rejang asli sebagaimana karakter umum sukubangsa Rejang tergoilong masyarakat yang pemalas dan terbecah belah akibat pandangan hidup dari pengaruh peradaban masyarakat luar (misalnya masyarakat kota).
Desa dan masyarakat pelopor kemajuan di Rejang Lebong itu, kini semakin memperihatinkan. Tradisi positif (adat istiadat) yang selama ini menyelamatkan masyarakat Kotadonok, kini sudah ditinggalkan. Baik dari kalangan tua maupun dari kalangan anak, remaja dan generasi muda pada umumnya. Akibat langsung kemunduran itu terjadi terhadap situasi dan kondisi lingkungan pemukiman yang dulunya asri, kini semberawut. Lahan-lahan kosong yang ditinggalkan menjadikan lingkungan desa itu semakin tidak teratur, tidak terawat dan tidak ada upaya pemeiliharaan.
Perebutan lahan pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan memicu sengketa antar keluarga dan kerabat. Penggerusan tebing-tebing dilakukan oleh keluarga-keluarga dengan status sosial lebih baik dibandingkan dengan penduduk lainnya. Penggerusan tebing-tebing untuk menambah luasnya pekarangan rumah tersebut mengakibatkan terjadinya pencaplokan tanah milik penduduk lainnya. Pencaplokan tanah milik penduduk lainnya pernah dilakukan oleh keluarga almarhum Kamaludin yang mencaplok tanah tebing milik keluarga H Aburuddin mengakibatkan tiang rumah tua milik H Aburudin berada di sisi tebing dan jurang. Setiap saat akan roboh karena pengerukan tanah.
Hal yang sama dilakukan pula oleh keluarga Zainab—Amin yang melebarkan luas pekarangan rumahnya dengan mengeruk tebing (tanah) milik keluarga Rahmat dan milik keluarga Meraiji. Solidaritas warga yang tinggi di Kotadonok, menyebabkan penyerobotan tanah seperti itu didiamkan saja. Akan tetapi, dari sisi negatrifnya, pengerukan tanah demikian akan membahayakan rumah yang berada di atas tebing, karena kemungkinan longsor mudah terjadi. Masalahnya kebanyakan rumah-rumah penduduk di Desa Kotadonok dibangun di atas tebing. Baik di sebelah kanan jalan maupun di sebelah kiri jalan.
Untuk menghindari kemungkinan longsor hebat, di desa Kotadonok perlu ditata ulang status tanah dan kepemilikannya. Terutama penataan atau penertiban ulang bangunan yang ada. Sekaligus memberikan manfaat atas perlestarian lingkungan pemukiman dan lingkungan alam.
Kemerosotan pembangunan, penataan dan lingkungan di Desa Kotadonok mulai terasa terjadi sekitar 20 tahun terakhir, apalagi desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang usianya relatif muda dan miskin pengalaman organisasi, sehingga tidak mampu membangun alam pedesaannya yang sudah lama ditata rapih. Saat ini di awal 2009 hampir semua penduduk Kotadonok mengeluhkan kepemimpinan kepala desa mereka. Sayangnya, semua keluhan itu berawal ketika memilih kepala desa yang salah dan akibat money politic saat berlangsungnya pemilihan kepala desa (pilkades).

Dikembalikan Seperti Semula
Banyaknya bangunan lama terbengkalai di desa Kotadonok membuat banyak pihak merasa prihatin, terutama orang Kotadonok yang tinggal di perantauan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya mengembalikan status lahan dan bangunan tua yang memiliki nilai sejarah pada posisi semula.
Bangunan yang harus dikembalikan posisi semulanya adalah Pasar (Pekan) Lama Kotadonok yang sejak 20 tahun silam telah dibangun rumah oleh keluarga almarhum Ramli dan Sairun. Padahal, tanah tempat bangunan rumah itu adalah tanah desa atau tanah marga. Beberapa kali masyarakat menggugat rumah almarhum Ramli yang kini ditempati anaknya, namun selalu gagal karena praktek suami kepada Tuai Kutei, Kepalo Sadei (barap) dan para tokoh masyarakat yang diundang untuk bermusyawarah.
Kemudian kompleks Pekan Kotadonok, lahannya juga sudah dibangun sekolah dasar (SD). Sehingga pemandangan yang ada sangat tidak bagus, apalagi di sekitarnya berdiri bangunan rumah-rumah tua yang dibangun ratusan tahun silam.
Jika keadaannya dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan terjadi konflik antara warga dengan pemilik bangunan rumah. Kekhawatiran itu sudah terlihat beberapa tahun terakhir ini. Terutama di kalangan generasi muda yang masih mencintai alam dan peradaban masyarakatnya yang asli di Kotadonok. Roh Kotadonok yang dulunya begitu terhormat di mata masyarakat luar, kini hanya tinggal kenangan. Kerinduan akan lingkungan perkampoungan dan alam yang asri seperti sampai tahun 1970 hanyalah sebuah impian yang tidak mungkin akan terjadi lagi dan tidak mungkin akan dinikmati anak cucu orang Kotadonok sekarang dan masa akan datang.
Apalagi setelah pemekaran desa Kotadonok menjadi Desa Kotadonok dan desa Sukasari. Desa Sukasari tidak memiliki nilai historis terhadap perjalanan sejarah sukubangsa Rejang di Lebong. Sebab, lokasi desa Sukasari sekarang ini, dulunya bernama Tlang Ja’ang (Talang Jarang). Seharusnya nama Sukasari itu tidak ada dan diganti dengan nama Tlang Ja’ang. Belum ada kata terlambat, sebab penggantian nama Sukasari tinggal keinginan dan kemauan pemerintah kabupaten Lebong.
Substansi nama Sukasari tidak ada sama sekali, sehingga ada kesan pemberian nama Sukasari itu adalah rencana yang terorganisir dan rapih untuk menghapus jejak masyarakat Rejang di Kotadonok. Sebab, tidak ada nilai filosofi sukubangsa Rejang. Tempo dulu sebutan-sebutan untuk beberapa kawasan di Kotadonok memiliki nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi.
Misalnya kawasan Bioa Tiket, Tlang Ja’ang, Pacua Telai, Trang Kekek, Skula Bu’uk, Umeak Peken, Sadei, Ujung Semapak, Bioa Tamang, pondok Lucuk, Tepat Taukem, dan kawasan Mesjid dan lainnya. Semua nama-nama kawasan itu memiliki makna dan nilai sejarah.

Selasa, 23 September 2008

Muara Aman


Diedit Naim Emel Prahana, Rabu, 30 Juli 2008.
Ibukota Kabupaten Lebong, Bengkulu
Oldies fhotos of Lebong Tandai 1932
Diposting oleh muara-aman di 14:08
Flashback situasi lebong tandai di tahun jayanya pertambangan emas yang dikelola penjajah belanda 1932.
The Lebong Donok seem in these fhoto mean lebong tandai which located near kota donok, whereas lebong donok now in lebong regency located near muara-aman (about 34 km from kota donok). Lebong Donok yang dimaksud dalam foto ini adalah daerah pertambangan emas Lebong Tandai berdekatan dengan desa Kota Donok. Daerah lebong donok sekarang ini di kabupaten lebong barada didekat muara aman yang berjarak 34 km dari Kota Donok Workers in a hut with bezinkvaten Workers pose behind a battery goudschuitjes for a smeltoven Study into gold quality with an assessment in a laboratory
The head office vacuum filter in a hut Tip trucks above the ore barge in stampmolen filled with ore at Lebong Donok Workers at a saw machine in a hut Pouring a skiff gold in a smeltove pump machines in a mine Redjang Lebong at Lebong Donok (1932) Stapelplaats for mijnhout, a track job for the transport of ore, and a shaft of Lebong Donok Sharpening drills in a workshop Stapelplaats voor mijnhout bij een mijnschacht van de Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong te Lebong Donok
Mine instalation at lebong donok Miners with filled ertslories in the lifttoren above a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok Ovens in a hut of a laboratory
Miners with filled ore tip trucks at the lift of a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok

Overview of the bldg. in the field
A water dam with door in a mine Redjang Lebong at Lebong Donok 1932
Boring in a mine Redjang Lebong at Lebong Donok (1932) He machine above a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok Electrische a train with tip trucks, with ore from a mine, a bridge concerning a river passes

He machine above a shaft of Redjang Lebong at Lebong Donok2
dody@polisriwijaya.ac.id dody@polisriwijaya.ac.id

OUR CURUP


Curup adalah sebuah ibukota kabupaten Rejang Lebong. Curup merupakan sebuah kota kecil di daerah pegunungan bukit barisan dan dikelilingi oleh gunung Kaba dan bukit Daun. Dahulu merupakan ibukota Kabupaten rejang Lebong namun dengan terpecahnya kabupaten ini menjadi beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Rejang Lebong (induk), Kabupaten Kepahiang (Kepahiang), Penduduk aslinya adalah suku Rejang. pernah menjadi ibukota Propinsi Sumatera selatan pada masa revolusi dibawah kepemimpinan Gubernur A.K. Gani. merupakan daerah penghasil Beras dan sayur-sayuran yang dikirim ke Palembang, jambi, Padang, lampung ingga jakarta. beberapa tempat wisatanya yang terkenal adalah Suban Air panas, pematang danau, Gunung Kaba, Air Terjun di Kepala Curup,dan situs situs peninggalan masaprasejarah.Daerah ini juga dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran bunga Rafflesia Arnoldi. kecamatan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Indonesia.

Kota Curup, ibukota Kabupaten Rejang Lebong terletak sekitar 85 Km di timur laut kota Bengkulu adalah sebuah kota kecil yang terletak di suatu lembah di kaki pegunungan Bukit Barisan. Kawasan lembah di tempat ini merupakan salah satu sumber air bagi Sungai Musi yang mengalir hingga ke kota Palembang. Kota pegunungan yang berhawa dingin ini dapat dicapai dengan bis selama tiga jam yang berangkat dari pusat pasar kota Bengkulu. Kondisi jalan antara Bengkulu dan Curup relatif cukup baik, jalan ini menanjak melewati hutan di kawasan 138 pegunungan Bukit Barisan. Dari ketinggian bukit terlihat pemandangan kota Bengkulu dan Samudera Indonesia yang membentang luas menyajikan panorama yang indah.
Kawasan di sekitar Curup merupakan lahan pertanian yang menghasilkan padi dan sayuran seperti wortel dan kubis yang dijual di pasar kota Curup.
Tempat-tempat penggilingan padi yang digerakkan dengan tenaga air dapat ditemui di kawasan persawahan di sekitar Curup. Penduduk di desa-desa di sekitar Curup ini masih tinggal di rumah adat panggung yang terbuat dari kayu.
Kota yang terletak ditengah-tengah antara kota Bengkulu dan Lubuk Linggau ini memiliki beberapa tempat menarik untuk dikunjungi. Tempat-tempat tersebut berada di sekitar Bukit Barisan antara lain: mata air panas dan air terjun yang berada di Suban, tempat ini dikenal dengan nama Lokasi Wisata Suban Air Panas.
Sarana yang dimiliki cukup lengkap yaitu kolam renang air panas, kamar pemandian air panas, kios cindramata dan fasilitas umum lainnya. Tempat ini cukup ramai dikunjungi orang pada akhir minggu. Dahulu, pada zaman Hindu kawasan ini digunakan sebagai tempat beribadah dan bersemedi bagi penganut agama Hindu.

Obyek Wisata
Dari Curup terdapat jalan menuju utara ke Muara Aman. Pada masa kolonial dulu tempat ini merupakan pusat penambangan emas. Jalan yang menuju ke Muara Aman ini akan melewati suatu kawasan wisata Danau Tes yang populer di kalangan wisatawan setempat. Danau cantik yang terletak di pegunungan Bukit Barisan ini merupakan danau terbesar di Bengkulu.
Obyek lainnya adalah Air Terjun Kepala Curup dengan ketinggian 100 meter dan Danau Bestari yang terletak dipinggir jalan negara antara Curup-Lubuklinggau dan menjadi tempat istirahat dengan udara yang sejuk. Bukit Kaba menjadi tempat yang pas bagi penggemar wisata petualangan, Anda dapat mendaki hingga ke puncak gunung Kaba (1.937 m) yang terletak 19 Km di timur Curup.
Dari pusat kota Curup, Anda dapat menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi menuju ke arah Lubuklinggau sejauh 16 Km hingga tiba di persimpangan yang menuju ke Posko pendakian ke Kawah Kaba. Gunung dalam bahasa Rejang sehari-hari dinamakan Bukit. Bukit Kaba ini memiliki dua kawah yang mengeluarkan gas belerang dan dikelilingi hutan lebat.

Minggu, 14 September 2008

Desa Kota Donok




Desa Kota Konok atau dalam bahasa Rejangnya (nama aslinya) Kutei Donok. Artinya Kutai atau Desa yang terletak di tengah. Memang lokasi Desa Kota Donok berada 45 Km dari Curup (ibukota kabupaten Rejang Lebong) dan sekitar 35 Km dari Kota Muara Aman (ibukota kabupaten Lebong). Desa Kota Donok berada di tengah-tengah bujuran Bukit Barisan atau berada di jalur Lembah Bioa Ketawen (Air Ketahun), membujur dari Timur ke Barat atau sebaliknya.
Kota Donok berada 5 Km dari ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes, sekitar 2,5 Km dari Desa Talangratu. Sementara desa-desa lain yang ada di sekitar Desa Kota Donok adalah Tapus (Topos)—sebuah desa tua.
Saat ini Kota Donok sudah dimekarkan menjadi 2 (dua) desa definitif. (1) Desa Kota Donok—desa induk, (2). Desa Sukasari (desa pemekaran). Kemudian ada dua Mangkurajo. Dusun itu merupakan tempat transmigrasi yang berada di lereng dan puncak Bukit Barisan yang dikenal dengan Tebo Buwea oleh orang Rejang. Sedangkan di lembah Tebo Buwea itu ada areal pertanian yang sudah dibuka sejak tahun 1920 zaman Hindia Belanda membuka kawasan tambang emas Lebong Simpang.
Jarak antara Kota Donok dengan Dusun Mangkurajo sekitar 3 Km dengan kondisi jalannya mendaki bukit. Sedangkan jarak dengan Sawah Mangkurajo sekitar 12 Km dan jarak dengan lokasi tambang emas Lebong Simpang (Lebong Sipang) sekitar 21 Km.

Kampug Orang Pintar
Sejak lama Desa Kota Donok dikenal dengan masyarakatnya yang lebih maju dan intelek di banding masyarakat desa lainnya di Lebong. Misalnya Gubernur Sumatera Bagian Selatan, Mochammad Husein adalah putra asli Desa Kota Donok. Demikian pula banyak para tokoh Bengkulu berasal dari Kota Donok, seperti keluarga Zulkarnain—yang sekarang seorang putranya Kurnia Utama alias Kukun menjadi tokoh muda Bengkulu.
Orang-orang Kota Donok sejak zaman dahulu kala banyak mengirimkan anak-anaknya bersekolah di Sumatera Barat, terutama di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Payakumbuh dan Padang. Di sisi lain, anak-anak Desa Kota Donok banyak yang menjadi polisi dan tentara. Sedangkan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) baru dimulai sekitar tahun 1975.
Tokoh masyarakat Bengkulu lainnya yang berasal dari Kota Donok antara lain, Drs Jamaan Nur. Kemudian yang berada di luar Bengkulu seperti di dunia pendidikan Zulkarnain Said (Padang), Drs Fachruddin Iman (Tanjungkarang), di panggung politik ada Alak Masjkoer (Bukittingi), di dunia perbankan ada Drs Rifai (Jakarta), Drs Sademan (Lampung) di militer ada Alfian (Medan), Joni Anwar (Tanjungkarang), Syaiful Nawas (Metro, Lampung) dan lainnya. Dan di bidang penulis dan seni budaya ada nama Naim Emel Prahana SH (Lampung). Dan, de luyen ne gimasiak dau anok sadei Kotadonok debijijai neak ratau, mulai kinei ijai tentra, plisi, PNS, pengusaha dan sebagaine.