Senin, 01 Februari 2016

Waktu Kecil Di Kampung



SEKEDAR RENUNGAN
‘Mungkin’ tidak pantas membandingkan zaman dahulu kala dengan zaman sekarang ini. Akan tetapi, sebagai ‘renungan’, itu sangat pantas. Di era tahun 1975 ke bawah (1974, 1973, 1972 dst) kehidupan masyarakat di Lebong, di mana saja tempat tinggalnya, dalam keadaan harmonis, damai, sejahtera dan makmur (dalam sisi ekonomi keluarga).
Masing-masing keluarga sudah biasa memiliki simpanan padi di Tuwoa (rumah temat menyimpan hasil panen) yang biasanya di setiap Desa itu ada lokasinya. Rata-rata Tuwoa itu berukuran sekitar 3 X 5 meter. Dbangun dengan sederhana, tetapi kekuatan bahan bangunannya cukup bagus, walau terbuat dari Plupuak (bamboo yang dibelah dan dicacah), beratap rumbia atau ijuk dan ada yang sudah beratap seng. Lantainya terbuat dari papan.
Dari musim ke musim panen, Tuwoa Orang Rejang di Lebong (dan di daerah lain di Tanah Rejang), jarang yang kosong. Kendati sedikit isinya, tetapi tetap cukup. Yang lebih mengesankan lagi adalah, tidak pernah ada aksi pencurian padi di dalam Tuwoa. Walaupun pintunya hanya dikunci dengan kunci merek Diamond.

Masyarakat Rejang d Lebong memiliki manajemen usaha pertanian dengan baik, walau sederhana. Artinya, mereka mampu meminit waktu pengerjaan sawah, menggarap dan memelihara kebun dan melakukan pekerjaan tambahan sebagai sumbrer mata pencarian lain untuk memenuhi kebutuhan skundair keluarga masing-masing.

Sudah tidak asing lagi, anak0anak usia sekolah (khususnya SD) di Lebong sepanjang waktu banyak ditinggalkan di Kampung/desa. Sementara itu orang tua mereka menginap di sawah atau kebun/lading atau melakukan pencarian usaha sampingan lainnya. Anak-anak di rumah hanya ditinggalkan beras, dan ada garam secukupnya.

Yang paling indah dalam kehidupan zaman itu adalah bagaimana anak-anak usia SD ditinggal di kampong memenuhi kebutuhan makan, minum dan lainnya selama orangtua mereka di sawah, lading atau kebun.

Itulah, anak-anak seusia SD itu di zaman tersebut, sudah terbiasa mencari bahan lauk pauk dengan cari memancing ikan, memasang Tajua, menjala, menjaring, betekoa, nyeuyuk, mencar sayuran di pinggir-pinggir sungai. Kemudian mereka secara berkelompok mencari kayu baker dengan menggunakan pane atau bobot kecil.

Tidak ada yang terlihat mondar-mandir siang hari dan malam hari di jalanan kampong. Dan ketika malam tiba, mereka pergi ke rumah guru ngaji. Biaya mengaji diukur dengan beras, bukan uang atau dengan minyak tanah.

Demikianlah kenang-kenangan terindah di kampung swaktu kecil di masa itu. Dan sekarang apakah tradisi itu masih ada? Astaqfirullah……semoga tanah kelahiranku tetap jaya, subur dan makmur dengan masyarakatnya yang guyup bukan bersifat patembayan (materi)

Tidak ada komentar: