SEKEDAR RENUNGAN
‘Mungkin’ tidak pantas membandingkan zaman dahulu kala dengan zaman
sekarang ini. Akan tetapi, sebagai ‘renungan’, itu sangat pantas. Di era tahun
1975 ke bawah (1974, 1973, 1972 dst) kehidupan masyarakat di Lebong, di mana
saja tempat tinggalnya, dalam keadaan harmonis, damai, sejahtera dan makmur
(dalam sisi ekonomi keluarga).
Masing-masing keluarga sudah biasa memiliki simpanan padi di Tuwoa
(rumah temat menyimpan hasil panen) yang biasanya di setiap Desa itu ada
lokasinya. Rata-rata Tuwoa itu berukuran sekitar 3 X 5 meter. Dbangun dengan
sederhana, tetapi kekuatan bahan bangunannya cukup bagus, walau terbuat dari
Plupuak (bamboo yang dibelah dan dicacah), beratap rumbia atau ijuk dan ada yang
sudah beratap seng. Lantainya terbuat dari papan.
Dari musim ke musim panen, Tuwoa Orang Rejang di Lebong (dan di daerah
lain di Tanah Rejang), jarang yang kosong. Kendati sedikit isinya, tetapi tetap
cukup. Yang lebih mengesankan lagi adalah, tidak pernah ada aksi pencurian padi
di dalam Tuwoa. Walaupun pintunya hanya dikunci dengan kunci merek Diamond.
Masyarakat Rejang d Lebong memiliki manajemen usaha pertanian dengan
baik, walau sederhana. Artinya, mereka mampu meminit waktu pengerjaan sawah,
menggarap dan memelihara kebun dan melakukan pekerjaan tambahan sebagai sumbrer
mata pencarian lain untuk memenuhi kebutuhan skundair keluarga masing-masing.
Sudah tidak asing lagi, anak0anak usia sekolah (khususnya SD) di
Lebong sepanjang waktu banyak ditinggalkan di Kampung/desa. Sementara itu orang
tua mereka menginap di sawah atau kebun/lading atau melakukan pencarian usaha
sampingan lainnya. Anak-anak di rumah hanya ditinggalkan beras, dan ada garam
secukupnya.
Yang paling indah dalam kehidupan zaman itu adalah bagaimana anak-anak
usia SD ditinggal di kampong memenuhi kebutuhan makan, minum dan lainnya selama
orangtua mereka di sawah, lading atau kebun.
Itulah, anak-anak seusia SD itu di zaman tersebut, sudah terbiasa
mencari bahan lauk pauk dengan cari memancing ikan, memasang Tajua, menjala,
menjaring, betekoa, nyeuyuk, mencar sayuran di pinggir-pinggir sungai. Kemudian
mereka secara berkelompok mencari kayu baker dengan menggunakan pane atau bobot
kecil.
Tidak ada yang terlihat mondar-mandir siang hari dan malam hari di
jalanan kampong. Dan ketika malam tiba, mereka pergi ke rumah guru ngaji. Biaya
mengaji diukur dengan beras, bukan uang atau dengan minyak tanah.
Demikianlah kenang-kenangan terindah di kampung swaktu kecil di masa
itu. Dan sekarang apakah tradisi itu masih ada? Astaqfirullah……semoga tanah
kelahiranku tetap jaya, subur dan makmur dengan masyarakatnya yang guyup bukan
bersifat patembayan (materi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar