Sabtu, 04 Juni 2016

Ki Pati dan Ki Pandan



 TERSEBUTLAH kisah setelah Ki Karang Nio yang kemudian bergelar Sultan Abdullah kembali ke tanah Lebong dari Kerajaan Indrapura, tempat adik bungsunya Putri Serindang Bulan dijadikan permaisuri oleh raja Pagai bernama Setio Barat. Di Lebong Ki Karang Nio dinobatkan jadi raja menggantikan kedudukan ayahandanya Rajo Mawang.
            Diceritakan, ayahanda Ki Karang Nio bernama Rajo Mawang bertahta setelah menggantikan ayahandanya bernama Rajo megat bergelar Rajo Mudo Gunung Gedang. Sedangkan Rajo Megat menggantikan tahta dan kedudukan ayahandanya, Biku Sepanjang Jiwo yang dipanggil pulang oleh kerajaan Mojopahit ke Istana Pagar Ruyung. Rajo Mawang yang menggantikan tahta ayahandanya Rajo Megat mempunyai 7 orang anak, yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Jenain, Ki Geting, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan.
            Ki Karang Nio sebagai raja di Ulau Dues, Lebong —dekat Muara Aman sekarang, dikarunia dua orang anak masing-masing Ki Pati dan Ki Pandan. Pada waktu Ki Pati dan Ki Pandan masih kecil, keluarganya menerima kiriman dari Putri Serindang Bulan yang bergelar Sebei Lebong berupa bokoa iben ( tempat sirih ) berisi dua sabok ( selendang). Satu selendang  sutera yang sudah buruk berisi buah berukuran kecil bernama buah aman dengan rasanya sangat manis. Sedangkan sabok lainnya yang masih baru berisi buah abo yang berukuran besar. Tapi, rasanya masam. 
            Adapun bokoa iben yang dikirim Sebei Lebong dari kerajaan Indrapura yang menguasai pulau Pagai di muara Bioa Ketawen ( air Ketahun )—yang sekarang berada di Bengkulu Utara adalah barang bawaan Sebei Lebong alias Putri Serindang Bulan saat ia hendak dibunuh oleh saudara-saudaranya. Pada waktu menerima kiriman Putri Serindang Bulan, Ki Karang Nio memanggil dua putranya, Ki Pati alias Rio Patai dan adiknya Ki Pandan alias Tuan Rajo.
            Kenapa Ki Karang Nio tidak memanggil dua putrinya bernama Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari? Itu semua dilakukan oleh raja Ki Karang Nio berdasarkan, bahwa tahta kerajaan pada suatu saat nanti akan diserahkan kepada salah satu di antara putra mahkota; Ki Pati dan Ki Pandan. Dengan demikian Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari tidak dipanggil menghadap.
            Setelah kedua putranya yang masih kecil itu menghadap, berkatalah Ki Karang Nio dengan suara pelan, tapi berwibawa.
“ Hal anandaku berdua. Tahukah ananda dipanggil menghadap?” kata Ki Karang Nio kepada kedua putranya. Tentu saja, kedua putra raja Ki Karang Nio itu tak tahu menahu, apalagi soal kerajaan. Keduanya hanya menatap ayahandanya tanpa berkedip. Kemudian Ki Karang Nio meneruskan ucapannya.
“ Ketahuilah putraku, bahwa beberapa waktu lalu telah datang kiriman dari adik ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di pulau Pagai. Kiriman itu akan ayahanda perlihatkan kepada putrananda berdua,” jelas Ki Karang Nio sambil bersila di ruang pertemuan keluarga raja.
“ Barang apakah gerangan itu, wahai ayahanda raja,” tanya Ki Pati yang sering juga disebut dengan nama Rio Patai itu. Mendengar pertanyaan anak tertuanya itu, Ki Karang Nio hanya diam dan melirik ke arah Ki Pati. Kemudian, pandangannya dialihkan ke wajah putra keduanya, Ki Pandan alias Tuan Rajo. Dengan gerakan tangan, Ki Karang Nio meminta penasihatnya untuk mengambil bokoa iben yang dikirim oleh Putri Serindang Bulan. Setelah bokoa iben itu diserahkan oleh penasihat raja ke Ki Karang Nio, mata Ki Pati terbelakak.
            Sesaat kemudian Ki Pati tak sabaran ingin tahu apa isi bokoa iben itu. Lalu ia bertanya dengan rasa ingin tahu kepada Ki Karang Nio.
“Wahai ayahanda raja, bukalah tutup bokoa iben itu, agar hamba dapat melihatnya dengan jelas,” pinta Ki Pati. Kini, giliran Ki Karang Nio yang terbelakak mendengar permintaan anak tertuanya itu.
“Sabar, sabarlah wahai putrananda!” pinta Ki Karang Nio kepada Ki Pati. Namun, Ki Pati nampaknya makin gelisah, seakan-akan ia ingin memiliki semua isi bokoa iben itu. Gelagat Ki Pati itu sudah diketahui oleh Ki Karang Nio. Namun, ia tetap sabar, sebagai raja dihadapan anak-anaknya, ia harus mempunyai ketabahan dan kesabaran.
“ Ayahanda mengundang putrananda berdua di sini gunanya untuk memberikan kiriman Putri serindang Bulan kepada putrananda sebagai calon pewaris tahta kerajaan. Untuk itu, putrananda berdua harus memilih, yang mana yang disukai,” jelas Ki Karang Nio dihadapan anak-anaknya yang disaksikan beberapa penasihat kerajaan, hulubalang dan keluarga istana kerajaan.
Dengan perlahan, Ki Karang Nio membuka penutup bokoa iben itu yang disaksikan oleh kedua putra mahkota. Setelah diangkat isinya, Ki Karang Nio meletakkan kedua sabok dihadapannya, dengan maksud agar kedua putranya dapat melihat dengan jelas, sehingga dapat menentukan pilihan yang tepat tanpa ada penyesalan dibelakang hari.
“Nah, sekarang ayahanda meminta kepada putrananda berdua untuk memilih satu di antara kedua sabok yang ada isinya itu,” pesan Ki Karang Nio. Tak lama setelah ia mengucapkan kata-kata itu, Ki Pati langsung minta izin untuk memilih pilihannya. Ki Pati melihat sabok yang masih baru berumbai-umbai emas dan perak serta berisi buah abo berukuran besar, langsung menjatuhkan pilihannya.
“Wahai ayahanda raja, hamba memilih sabok berumbai emas berisi buah abo besar itu,” pinta Ki Pati. Ki Karang Nio hanya memandang putra tertuanya, lalu ia berkata; “Apakah tidak salah pilihan putrananda Ki Pati?” tanya Ki Karang Nio. Dengan tegas Ki Pati menjawab, “Tidak. Tidak ayahanda raja. Itulah pilihan hamba,” katanya.
“Apakah putrananda Ki Pati tak menyesal memilih sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu,” tanya Ki Karang Nio lagi. Ki Pati sudah berbulat tekad ingin memiliki sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu. Ia khawatir kalau-kalau adiknya, Ki Pandan akan memilih sabok yang sama. Oleh karena itu, Ki Pati mengajukan pilihan lebih awal sebelum ayahandanya selesai bicara.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang ayahanda ingin bertanya kepada Ki Pandan, relakah engkau memberikan sabok bagus dan buah abo besar itu kepada kakakmu?” tanya Ki Karang Nio kepada Ki Pandan. Ki Pandan hanya tersenyum, ia tak bisa bicara seperti kakaknya Ki Pati. Namun, dari raut wajahnya ia begitu ikhlas melihat kakaknya sudah menjatuhkan pilihan, berarti dirinya harus menerima sabok buruk yang berisi buah aman berukuran kecil.
“Tidak ayahanda raja, hamba hanya memilih sabok buruk itu saja,” kata Ki Pandan dengan suara yang senang. Mendengar kata-kata Ki Pandan, tersentaklah Ki Karang Nio, ia tahu putra keduanya itu sebenarnya belum dapat memilih apapun, karena usianya masih kecil. Tapi, hari itu Ki Pandan seakan-akan seperti orang dewasa. “Betulkah apa yang ayahanda dengar dari putrananda Ki Pandan?” tanya Ki Karang Nio.
“Betullah ayahanda raja!” jawab Ki Pandan. Maka, setelah pilihan kedua putranya dijatuhkan, Ki Karang Nio menyerahkan kedua benda itu kepada kedua putranya. Lalu, Ki Karang Nio berpesan, “ Wahai putrananda berdua, pilihan putrananda itu mempunyai arti masing-masing, jagalah barang-barang itu dengan baik untuk dimanfaatkan di kemudian hari,” pesan Ki Karang Nio.
            Ki Pati dan Ki Pandan kian hari kian tumbuh besar, keadaan kerajaan ayahandanya juga berkembang di berbagai bidang, seperti pertanian, perkebunan dan tatanan masyarakatnya. Barang pemberian ayahanda mereka yang dikirim oleh Sebei Lebong dari Indrapura tersimpan rapih di istana. Kedua putra mahkota itu tak lagi memikirkannya. Karena, keduanya memang sedang asyik bermain sesuai dengan bertambahnya umur putra mahkota itu.
            Pada suatu hari, Ki Pati dan Ki Pandan yang sudah tumbuh dewasa dipanggil ayahandanya. Keduanya bergegas menghadap sang raja. “Apa gerangan ayahanda memanggil kita,” tanya Ki Pati kepada adiknya Ki Pandan. Sang adik tak tahu, lalu ia berkata, “Wahai kakanda, tak usah kita memikirkan apa maksud ayahanda. Yang penting kita menghadap sekarang juga,” kata Ki Pandan.
            Maka, menghadap Ki Pati dan Ki Pandan dihadapan ayahanda rajanya di ruang tamu istana kerajaan di Kutei Belau Setaun. Dengan rasa hormat, kedua putra mahkota itu bersujud kepada ayahandanya. Di ruangan tamu istana sudah banyak yang berkumpul, termasuk ibundanya. Setelah keduanya duduk, berkatalah sang raja.
            “Ananda berdua, tahukah apa maksud ayahanda memanggil ananda?” tanya sang raja. Tentu saja Ki Pati dan Ki Pandan tidak tahu. Selang beberapa saat kemudiannya, sang raja pun berucap, “Tahukah ananda berdua, siapa yang duduk di samping ayahanda ini?” Kita Pati dan Ki Pandan menggelengkan kepala.
            “Mohon maaf ayahanda raja, siapakah gerangan ibunda tercinta ini,?” kata Ki Pandan dengan bahasa yang santun kepada ayahandanya. Mendengar ucapan itu, Sebei Lebong tersenyum. Dari sorot matanya terpancar rasa gembira yang luar biasa. Ia bergumam, "Inilah pewaris kerajaan di Kutei Belau Setaun!”
            Baiklah, kalau memang tak tahu, ayahanda akan jelaskan, bahwa ibunda yang berada di samping ayahanda ini tak lain adalah adik kandung ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di Pulau Pagai. “Jadi, ananda berdua harus memanggilnya dengan bibinda permaisuri dan segeralah bersujud memberi hormat,” pinta Ki Karang Nio kepada kedua putranya.
            Kedua putra Ki Karang Nio memang cerdas. Tanpa diperintah lagi, Ki Pati dan Ki Karang Nio yang tumbuh dewasa dan tampan menyujuti bibinda permaisuri Sebei Lebong itu dengan perasaan yang suka cita, karena baru bertemu saat itu.
            Oleh Sebei Lebong, kedua putra mahkota itu dielus-elusnya rambut mereka, kemudian diciumnya kening keduanya sebagai pemberian berkah kehidupan akan datang, agar keduanya tetap selamat dan sukses dalam mengarungi kehidupan dunia. Setelah kedua putra Ki Karang Nio mundur beberapa langkah dari hadapan Sebei Lebong, hanya berselang sejenak, Sebei Lebong berkata kepada Ki Karang Nio.
            “Kakanda raja, saya ingin bertanya, siapakah penerima kedua sabok yang dikirim beberapa tahun silam?” tanya Sebei Lebong.
            “Adindaku, sabok berumbai emas dan perak berisi buah abo dipilih dan diambil oleh ananda Ki Pati, sedangakn sabok berisi buah aman dipilih dan diambil oleh Ki Pandan,” jelas Ki Karang Nio. Mendengar pengungkapan itu, gembiralah hati Sebei Lebong. Tercengang. Namun, di hatinya timbul pertanyaan dan kegusaran. Akhirnya ia menjelaskan dihadapan keluarga istana Kutei Belau Setaun tentang sabok berisi buah abo dan buah aman yang sudah dipilih oleh putra mahkota kerajaan.
            “Wahai anandaku Ki Pati, engkau telah memilih sabok baru berumbai emas dan perak berisi buah abo yang besar, berarti engkau anandaku tidak memiliki tabiat orangtua dan berpaham. Engkau hanya menilik sesuatu itu dari luar saja, tidak melihat yang bathin, engkau mau yang kelihatannya bagus, mau yang enaknya saja seperti tabiat paman-pamanmu yang dahulu. Camkanlah di hati sanubarimu, hak anakku Ki Pati, bahwa engkau yang bertabiat seperti itu tidak patut menjadi raja,!” terang Sebei Lebong yang didengar semua keluarga kerajaan.
            Kemudian, kepada Ki Pandan, Sebei Lebong berkata pula, “Engkau, hai anakku Ki Pandan, sungguhpun engkau masih kecil, tetapi engkau bijaksana dan budiman. Tabiat anakku itu, sudah selayaknya engkau nanti menggantikan kedudukan ayahandamu di Lebong,” ujarnya lagi.
            Maka, tercenganglah semua yang hadir di ruang tamu kerajaan itu. Di samping telah memberi jalan penunjukan pewaris tahta kerajaan, penjelasan Sebei Lebong menimbulkan keretakan di dalam istana. Terutama  dari Ki Pati yang merasa tersingkir dan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi raja.
            Konon kabara ceritanya, Ki Pati setelah beberapa tahun dari kedatangan Sebei Lebong, ia meninggalkan istana di Kutei Belau Setaun pergi ke Pagar Bulan dan di sana Ki Pati mendirikan Kutei Karang Anyar ( kini berada di daerah Desa Semelako ) dan menjadikannya sebagai tempat tinggal. Ki Pati akhirnyameninggal dunia di Semelako serta makamnya dikenal dengan Keramat Semelako yang berada di dusun Beringin Kuning, Semelako.
            Ki Pati meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa barang pusaka kerajaannya seperti sebuah gading gajah, cikuk terbuat dari gading, sepasang keris bernama keris sepejam dan keris semayang mekar. Dan, tahta kerajaannya digantikan oleh anaknya yang tertua bernama Rio Cende yang juga mendirikan Kutei baru di teras Mambang, tidak jauh dari Semelako. Namun, berdasarkan cerita masyarakat, Kutei teras Mambang tidak bertahan lama, karena hilang akibat bencana alam banjir Bioa Ketawen.
            Rio Cende dan kelima saudaranya tenggelam, yang tidak tenggelam hanya dua saudara Rio Cende. Karena, pada waktu banjir besar itu sedang tidak berada di Teras Mambang. Kedua saudara Rio Cende yang selamat itu bernama Rio Bas dan Rio Pijar. Keduanya dikemudian hari meninggalkan daerah Renah Sekalawi (Lebong ). Rio Bas pergi ke Lais dan mendirikan Kutei Pagar Banyu di Ulu Palik, sedangkan Rio Pijar tetap tinggal di Lebong dengan mendirikan Kutei baru yang diberi nama  Kutei Usang yang melanjutkan petulai Suku VIII.
           
 Kesempulan
Dari cerita rakyat Ki Pati dan Ki Pandan di atas, dapat diambil pelajaran, bahwa menilai sesuatu benda atau seseorang janganlah hanya melihat pada luarnya saja. Tetapi, coba selami isi ( bathin ). Karena pemandangan dari sisi luar yang indah saja bisa membuat kita tertipu, karena ternyata di dalamnya busuk.

Tidak ada komentar: