TERSEBUTLAH kisah setelah Ki Karang Nio yang kemudian bergelar Sultan Abdullah kembali ke tanah Lebong dari Kerajaan Indrapura, tempat adik bungsunya Putri Serindang Bulan dijadikan permaisuri oleh raja Pagai bernama Setio Barat. Di Lebong Ki Karang Nio dinobatkan jadi raja menggantikan kedudukan ayahandanya Rajo Mawang.
Diceritakan, ayahanda Ki Karang Nio
bernama Rajo Mawang bertahta setelah menggantikan ayahandanya bernama Rajo
megat bergelar Rajo Mudo Gunung Gedang. Sedangkan Rajo Megat menggantikan tahta
dan kedudukan ayahandanya, Biku Sepanjang Jiwo yang dipanggil pulang oleh
kerajaan Mojopahit ke Istana Pagar Ruyung. Rajo Mawang yang menggantikan tahta
ayahandanya Rajo Megat mempunyai 7 orang anak, yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain,
Ki Jenain, Ki Geting, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan.
Ki Karang Nio sebagai raja di Ulau
Dues, Lebong —dekat Muara Aman sekarang, dikarunia dua orang anak masing-masing
Ki Pati dan Ki Pandan. Pada waktu Ki Pati dan Ki Pandan masih kecil,
keluarganya menerima kiriman dari Putri Serindang Bulan yang bergelar Sebei
Lebong berupa bokoa iben ( tempat
sirih ) berisi dua sabok (
selendang). Satu selendang sutera yang
sudah buruk berisi buah berukuran kecil bernama buah aman dengan rasanya sangat manis. Sedangkan sabok lainnya yang
masih baru berisi buah abo yang
berukuran besar. Tapi, rasanya masam.
Adapun bokoa iben yang dikirim Sebei
Lebong dari kerajaan Indrapura yang menguasai pulau Pagai di muara Bioa Ketawen
( air Ketahun )—yang sekarang berada di Bengkulu Utara adalah barang bawaan
Sebei Lebong alias Putri Serindang Bulan saat ia hendak dibunuh oleh
saudara-saudaranya. Pada waktu menerima kiriman Putri Serindang Bulan, Ki
Karang Nio memanggil dua putranya, Ki Pati alias Rio Patai dan adiknya Ki
Pandan alias Tuan Rajo.
Kenapa Ki Karang Nio tidak memanggil
dua putrinya bernama Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari? Itu semua
dilakukan oleh raja Ki Karang Nio berdasarkan, bahwa tahta kerajaan pada suatu
saat nanti akan diserahkan kepada salah satu di antara putra mahkota; Ki Pati
dan Ki Pandan. Dengan demikian Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari tidak
dipanggil menghadap.
Setelah kedua putranya yang masih
kecil itu menghadap, berkatalah Ki Karang Nio dengan suara pelan, tapi
berwibawa.
“ Hal
anandaku berdua. Tahukah ananda dipanggil menghadap?” kata Ki Karang Nio kepada
kedua putranya. Tentu saja, kedua putra raja Ki Karang Nio itu tak tahu menahu,
apalagi soal kerajaan. Keduanya hanya menatap ayahandanya tanpa berkedip.
Kemudian Ki Karang Nio meneruskan ucapannya.
“
Ketahuilah putraku, bahwa beberapa waktu lalu telah datang kiriman dari adik
ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di pulau Pagai. Kiriman
itu akan ayahanda perlihatkan kepada putrananda berdua,” jelas Ki Karang Nio
sambil bersila di ruang pertemuan keluarga raja.
“ Barang
apakah gerangan itu, wahai ayahanda raja,” tanya Ki Pati yang sering juga
disebut dengan nama Rio Patai itu. Mendengar pertanyaan anak tertuanya itu, Ki
Karang Nio hanya diam dan melirik ke arah Ki Pati. Kemudian, pandangannya
dialihkan ke wajah putra keduanya, Ki Pandan alias Tuan Rajo. Dengan gerakan
tangan, Ki Karang Nio meminta penasihatnya untuk mengambil bokoa iben yang
dikirim oleh Putri Serindang Bulan. Setelah bokoa iben itu diserahkan oleh
penasihat raja ke Ki Karang Nio, mata Ki Pati terbelakak.
Sesaat kemudian Ki Pati tak sabaran
ingin tahu apa isi bokoa iben itu. Lalu ia bertanya dengan rasa ingin tahu
kepada Ki Karang Nio.
“Wahai
ayahanda raja, bukalah tutup bokoa iben itu, agar hamba dapat melihatnya dengan
jelas,” pinta Ki Pati. Kini, giliran Ki Karang Nio yang terbelakak mendengar
permintaan anak tertuanya itu.
“Sabar,
sabarlah wahai putrananda!” pinta Ki Karang Nio kepada Ki Pati. Namun, Ki Pati
nampaknya makin gelisah, seakan-akan ia ingin memiliki semua isi bokoa iben
itu. Gelagat Ki Pati itu sudah diketahui oleh Ki Karang Nio. Namun, ia tetap
sabar, sebagai raja dihadapan anak-anaknya, ia harus mempunyai ketabahan dan
kesabaran.
“ Ayahanda
mengundang putrananda berdua di sini gunanya untuk memberikan kiriman Putri
serindang Bulan kepada putrananda sebagai calon pewaris tahta kerajaan. Untuk
itu, putrananda berdua harus memilih, yang mana yang disukai,” jelas Ki Karang
Nio dihadapan anak-anaknya yang disaksikan beberapa penasihat kerajaan,
hulubalang dan keluarga istana kerajaan.
Dengan
perlahan, Ki Karang Nio membuka penutup bokoa iben itu yang disaksikan oleh
kedua putra mahkota. Setelah diangkat isinya, Ki Karang Nio meletakkan kedua
sabok dihadapannya, dengan maksud agar kedua putranya dapat melihat dengan
jelas, sehingga dapat menentukan pilihan yang tepat tanpa ada penyesalan
dibelakang hari.
“Nah,
sekarang ayahanda meminta kepada putrananda berdua untuk memilih satu di antara
kedua sabok yang ada isinya itu,” pesan Ki Karang Nio. Tak lama setelah ia
mengucapkan kata-kata itu, Ki Pati langsung minta izin untuk memilih
pilihannya. Ki Pati melihat sabok yang masih baru berumbai-umbai emas dan perak
serta berisi buah abo berukuran besar, langsung menjatuhkan pilihannya.
“Wahai
ayahanda raja, hamba memilih sabok berumbai emas berisi buah abo besar itu,”
pinta Ki Pati. Ki Karang Nio hanya memandang putra tertuanya, lalu ia berkata;
“Apakah tidak salah pilihan putrananda Ki Pati?” tanya Ki Karang Nio. Dengan
tegas Ki Pati menjawab, “Tidak. Tidak ayahanda raja. Itulah pilihan hamba,”
katanya.
“Apakah putrananda
Ki Pati tak menyesal memilih sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar
itu,” tanya Ki Karang Nio lagi. Ki Pati sudah berbulat tekad ingin memiliki
sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu. Ia khawatir kalau-kalau
adiknya, Ki Pandan akan memilih sabok yang sama. Oleh karena itu, Ki Pati
mengajukan pilihan lebih awal sebelum ayahandanya selesai bicara.
“Baiklah
kalau begitu. Sekarang ayahanda ingin bertanya kepada Ki Pandan, relakah engkau
memberikan sabok bagus dan buah abo besar itu kepada kakakmu?” tanya Ki Karang
Nio kepada Ki Pandan. Ki Pandan hanya tersenyum, ia tak bisa bicara seperti
kakaknya Ki Pati. Namun, dari raut wajahnya ia begitu ikhlas melihat kakaknya
sudah menjatuhkan pilihan, berarti dirinya harus menerima sabok buruk yang
berisi buah aman berukuran kecil.
“Tidak
ayahanda raja, hamba hanya memilih sabok buruk itu saja,” kata Ki Pandan dengan
suara yang senang. Mendengar kata-kata Ki Pandan, tersentaklah Ki Karang Nio,
ia tahu putra keduanya itu sebenarnya belum dapat memilih apapun, karena
usianya masih kecil. Tapi, hari itu Ki Pandan seakan-akan seperti orang dewasa.
“Betulkah apa yang ayahanda dengar dari putrananda Ki Pandan?” tanya Ki Karang
Nio.
“Betullah
ayahanda raja!” jawab Ki Pandan. Maka, setelah pilihan kedua putranya
dijatuhkan, Ki Karang Nio menyerahkan kedua benda itu kepada kedua putranya.
Lalu, Ki Karang Nio berpesan, “ Wahai putrananda berdua, pilihan putrananda itu
mempunyai arti masing-masing, jagalah barang-barang itu dengan baik untuk
dimanfaatkan di kemudian hari,” pesan Ki Karang Nio.
Ki Pati dan Ki Pandan kian hari kian
tumbuh besar, keadaan kerajaan ayahandanya juga berkembang di berbagai bidang,
seperti pertanian, perkebunan dan tatanan masyarakatnya. Barang pemberian
ayahanda mereka yang dikirim oleh Sebei Lebong dari Indrapura tersimpan rapih
di istana. Kedua putra mahkota itu tak lagi memikirkannya. Karena, keduanya
memang sedang asyik bermain sesuai dengan bertambahnya umur putra mahkota itu.
Pada suatu hari, Ki Pati dan Ki
Pandan yang sudah tumbuh dewasa dipanggil ayahandanya. Keduanya bergegas
menghadap sang raja. “Apa gerangan ayahanda memanggil kita,” tanya Ki Pati
kepada adiknya Ki Pandan. Sang adik tak tahu, lalu ia berkata, “Wahai kakanda,
tak usah kita memikirkan apa maksud ayahanda. Yang penting kita menghadap
sekarang juga,” kata Ki Pandan.
Maka, menghadap Ki Pati dan Ki
Pandan dihadapan ayahanda rajanya di ruang tamu istana kerajaan di Kutei Belau
Setaun. Dengan rasa hormat, kedua putra mahkota itu bersujud kepada
ayahandanya. Di ruangan tamu istana sudah banyak yang berkumpul, termasuk
ibundanya. Setelah keduanya duduk, berkatalah sang raja.
“Ananda berdua, tahukah apa maksud
ayahanda memanggil ananda?” tanya sang raja. Tentu saja Ki Pati dan Ki Pandan
tidak tahu. Selang beberapa saat kemudiannya, sang raja pun berucap, “Tahukah
ananda berdua, siapa yang duduk di samping ayahanda ini?” Kita Pati dan Ki
Pandan menggelengkan kepala.
“Mohon maaf ayahanda raja, siapakah
gerangan ibunda tercinta ini,?” kata Ki Pandan dengan bahasa yang santun kepada
ayahandanya. Mendengar ucapan itu, Sebei Lebong tersenyum. Dari sorot matanya
terpancar rasa gembira yang luar biasa. Ia bergumam, "Inilah pewaris
kerajaan di Kutei Belau Setaun!”
Baiklah, kalau memang tak tahu,
ayahanda akan jelaskan, bahwa ibunda yang berada di samping ayahanda ini tak
lain adalah adik kandung ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura
di Pulau Pagai. “Jadi, ananda berdua harus memanggilnya dengan bibinda
permaisuri dan segeralah bersujud memberi hormat,” pinta Ki Karang Nio kepada
kedua putranya.
Kedua putra Ki Karang Nio memang
cerdas. Tanpa diperintah lagi, Ki Pati dan Ki Karang Nio yang tumbuh dewasa dan
tampan menyujuti bibinda permaisuri Sebei Lebong itu dengan perasaan yang suka
cita, karena baru bertemu saat itu.
Oleh Sebei Lebong, kedua putra
mahkota itu dielus-elusnya rambut mereka, kemudian diciumnya kening keduanya
sebagai pemberian berkah kehidupan akan datang, agar keduanya tetap selamat dan
sukses dalam mengarungi kehidupan dunia. Setelah kedua putra Ki Karang Nio
mundur beberapa langkah dari hadapan Sebei Lebong, hanya berselang sejenak,
Sebei Lebong berkata kepada Ki Karang Nio.
“Kakanda raja, saya ingin bertanya,
siapakah penerima kedua sabok yang dikirim beberapa tahun silam?” tanya Sebei
Lebong.
“Adindaku, sabok berumbai emas dan
perak berisi buah abo dipilih dan diambil oleh ananda Ki Pati, sedangakn sabok
berisi buah aman dipilih dan diambil oleh Ki Pandan,” jelas Ki Karang Nio.
Mendengar pengungkapan itu, gembiralah hati Sebei Lebong. Tercengang. Namun, di
hatinya timbul pertanyaan dan kegusaran. Akhirnya ia menjelaskan dihadapan
keluarga istana Kutei Belau Setaun tentang sabok berisi buah abo dan buah aman
yang sudah dipilih oleh putra mahkota kerajaan.
“Wahai anandaku Ki Pati, engkau telah
memilih sabok baru berumbai emas dan perak berisi buah abo yang besar, berarti
engkau anandaku tidak memiliki tabiat orangtua dan berpaham. Engkau hanya
menilik sesuatu itu dari luar saja, tidak melihat yang bathin, engkau mau yang
kelihatannya bagus, mau yang enaknya saja seperti tabiat paman-pamanmu yang
dahulu. Camkanlah di hati sanubarimu, hak anakku Ki Pati, bahwa engkau yang
bertabiat seperti itu tidak patut menjadi raja,!” terang Sebei Lebong yang
didengar semua keluarga kerajaan.
Kemudian, kepada Ki Pandan, Sebei
Lebong berkata pula, “Engkau, hai anakku Ki Pandan, sungguhpun engkau masih
kecil, tetapi engkau bijaksana dan budiman. Tabiat anakku itu, sudah selayaknya
engkau nanti menggantikan kedudukan ayahandamu di Lebong,” ujarnya lagi.
Maka, tercenganglah semua yang hadir
di ruang tamu kerajaan itu. Di samping telah memberi jalan penunjukan pewaris
tahta kerajaan, penjelasan Sebei Lebong menimbulkan keretakan di dalam istana.
Terutama dari Ki Pati yang merasa
tersingkir dan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi raja.
Konon kabara ceritanya, Ki Pati
setelah beberapa tahun dari kedatangan Sebei Lebong, ia meninggalkan istana di
Kutei Belau Setaun pergi ke Pagar Bulan dan di sana Ki Pati mendirikan Kutei
Karang Anyar ( kini berada di daerah Desa Semelako ) dan menjadikannya sebagai
tempat tinggal. Ki Pati akhirnyameninggal dunia di Semelako serta makamnya
dikenal dengan Keramat Semelako yang berada di dusun Beringin Kuning, Semelako.
Ki Pati meninggal dunia dengan
meninggalkan beberapa barang pusaka kerajaannya seperti sebuah gading gajah,
cikuk terbuat dari gading, sepasang keris bernama keris sepejam dan keris
semayang mekar. Dan, tahta kerajaannya digantikan oleh anaknya yang tertua
bernama Rio Cende yang juga mendirikan Kutei baru di teras Mambang, tidak jauh
dari Semelako. Namun, berdasarkan cerita masyarakat, Kutei teras Mambang tidak
bertahan lama, karena hilang akibat bencana alam banjir Bioa Ketawen.
Rio Cende dan kelima saudaranya
tenggelam, yang tidak tenggelam hanya dua saudara Rio Cende. Karena, pada waktu
banjir besar itu sedang tidak berada di Teras Mambang. Kedua saudara Rio Cende
yang selamat itu bernama Rio Bas dan Rio Pijar. Keduanya dikemudian hari
meninggalkan daerah Renah Sekalawi (Lebong ). Rio Bas pergi ke Lais dan mendirikan
Kutei Pagar Banyu di Ulu Palik, sedangkan Rio Pijar tetap tinggal di Lebong
dengan mendirikan Kutei baru yang diberi nama
Kutei Usang yang melanjutkan petulai Suku VIII.
Kesempulan
Dari cerita
rakyat Ki Pati dan Ki Pandan di atas, dapat diambil pelajaran, bahwa menilai
sesuatu benda atau seseorang janganlah hanya melihat pada luarnya saja. Tetapi,
coba selami isi ( bathin ). Karena pemandangan dari sisi luar yang indah saja
bisa membuat kita tertipu, karena ternyata di dalamnya busuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar