Sabtu, 04 Juni 2016

Jabolan



PADA suatu hari masyarakat di Lebong digemparkan oleh kabar adanya beberapa penculik yang setiap hari mengintai anak-anak untuk dikorbankan dalam suatu upacara. Para orangtua yang kebanyakan setiap harinya pergi ke sawah atau ke kebun, menjadi khawatir akan keselamatan anak-anak mereka di dusun. Apalagi para orangtua yang berbulan-bulan tidak pulang ke dusun, hanya tinggal di kebun atau sawah mereka.
Di kalangan anak-anak pun kabar berita itu menyebar dan menakutkan. Mereka pergi ke sekolah atau pulang sekolah selalu bergerombol, karena takut diculik. Tapi, kegiatan-kegiatan anak-anak dusun di Lebong tetaplah seperti biasa. Banyak kabar berita yang menyebutkan sekelompok penjahat yang suka menculik anak-anak telah melakukan penculikan di beberapa Kutei atau dusun. Berita-berita itulah yang meresahkan masyarakat di Lebong.
Konon, sekelompok orang yang suka menculik itu oleh masyarakat disebut Jabolan ( penjahat ), yang beraksi secara sembunyi-sembunyi. Namun, tak ada yang tahu, siapakah para penjahat itu. Untuk apa mereka menculik anak-anak dusun yang tak bersalah serta tidak tahu menahu masalah.
Karena kabar beritanya sudah begitu meluas di tengah kehidupan masyarakat, maka persoalan Jabolan itu akhirnya masuk juga ke agenda rapat para ketua-ketua adat di Lebong. Mereka membahas, mengkaji dan mencari jalan ke luar, agar kalau kabar Jabolan itu benar, anak mereka akan selamat, tidak mendapat gangguan.
Pada suatu hari, berkumpullah beberapa orangtua, ketua-ketua adat, kepala kampung di rumah Pangeran Lai ( pangeran=pangeran/pimpinan masyarakat, lai = besar ), guna membahas  kabar berita yang tak menggembirakan yang beredar dan menyebar di tengah kehidupan masyarakat Lebong.
“ Bapak-bapak yang kami hormati, kami mengundang bapak-bapak datang ke sini hanya untuk membicarakan kabar yang belum jelas yang selama ini tersiar luas,” kata Pangeran Lai kepada hadiran yang hadir. Suasana di ruang rapat Balai Kampung itu mencekam, semuanya duduk bersila dan melingkar di atas tikea paden ( tikea = tikar, paaden = pandan), mendengar Pangeran Lai berbicara.
“ Jadi, malam ini kita akan mencari jalan ke luarnya, mudah-mudahan bapak-bapak yang hadir di sini dapat memberikan keterangan yang diperlukan,” ujar Pangeran Lai yang biasa dipanggil Lai itu.
“ Nah, siapa yang ingin bicara soal itu terlebih dahulu?” harap Pangeran Lai. Sejenak para orangtua yang hadir terdiam. Sebagaian mereka asyik menghisap rokok daun nipah kesukaan orang-orangtua di Lebong zaman dahulu kala itu. Suasana hening dan agak mencekam itu, tiba-tiba mencair, karena ada yang bicara.
“Silakan…,!” kata Pangeran meminta yang mengangkat tangan untuk mulai bicara.
“ Begini sepasuak, soal kabar itu memang sudah lama terdengar, tapi di daerah ini belum ada korban yang diculik,” kata Rio Bong. Semua yang hadir melirik Rio Bong dengan seksama. Lalu, kata Rio Bong, “Kalau benar, tentunya kita perlu waspada, kalau perlu kita giatkan petugas keamanan wilayah melakukan pengintaian pula,’ lanjut Rio Bong.
“ Ya, mungkin jalan itulah yang terbaik, tetapi juga setiap anggota keluarga kita di daerah ini harus membantu, terutama menyelidiki kelompok Jabolan itu, “ ujar Blando Padea. Mendengar  usulan Blando Padea itu, yang hadir malam itu sepakat untuk menangkap pelaku penculikan yang menyebutkan nama mereka dengan Jabolan.
Pangeran Lai pun setuju, ia berjanji akan memberikan perhatian khusus, apalagi setelah ia mendapat masukan dari penasihatnya, Manin bahwa, Jabolan itu benar-benar ada. Oleh karenanya, kata Pangeran Lai, berita itu harus ditanggapi serius. Pertemuan malam itu yang bersepakat dan sepaham mengatasi segala gangguan keamanan jiwa masyarakat Lebong berakhir hingga waktu menjelang pagi hari.

Tidak ada komentar: