PADA suatu
hari masyarakat di Lebong digemparkan oleh kabar adanya beberapa penculik yang
setiap hari mengintai anak-anak untuk dikorbankan dalam suatu upacara. Para
orangtua yang kebanyakan setiap harinya pergi ke sawah atau ke kebun, menjadi
khawatir akan keselamatan anak-anak mereka di dusun. Apalagi para orangtua yang
berbulan-bulan tidak pulang ke dusun, hanya tinggal di kebun atau sawah mereka.
Di kalangan
anak-anak pun kabar berita itu menyebar dan menakutkan. Mereka pergi ke sekolah
atau pulang sekolah selalu bergerombol, karena takut diculik. Tapi,
kegiatan-kegiatan anak-anak dusun di Lebong tetaplah seperti biasa. Banyak
kabar berita yang menyebutkan sekelompok penjahat yang suka menculik anak-anak
telah melakukan penculikan di beberapa Kutei atau dusun. Berita-berita itulah
yang meresahkan masyarakat di Lebong.
Konon,
sekelompok orang yang suka menculik itu oleh masyarakat disebut Jabolan ( penjahat ), yang beraksi
secara sembunyi-sembunyi. Namun, tak ada yang tahu, siapakah para penjahat itu.
Untuk apa mereka menculik anak-anak dusun yang tak bersalah serta tidak tahu
menahu masalah.
Karena
kabar beritanya sudah begitu meluas di tengah kehidupan masyarakat, maka
persoalan Jabolan itu akhirnya masuk juga ke agenda rapat para ketua-ketua adat
di Lebong. Mereka membahas, mengkaji dan mencari jalan ke luar, agar kalau
kabar Jabolan itu benar, anak mereka akan selamat, tidak mendapat gangguan.
Pada suatu
hari, berkumpullah beberapa orangtua, ketua-ketua adat, kepala kampung di rumah
Pangeran Lai ( pangeran=pangeran/pimpinan masyarakat, lai = besar ), guna
membahas kabar berita yang tak
menggembirakan yang beredar dan menyebar di tengah kehidupan masyarakat Lebong.
“
Bapak-bapak yang kami hormati, kami mengundang bapak-bapak datang ke sini hanya
untuk membicarakan kabar yang belum jelas yang selama ini tersiar luas,” kata
Pangeran Lai kepada hadiran yang hadir. Suasana di ruang rapat Balai Kampung
itu mencekam, semuanya duduk bersila dan melingkar di atas tikea paden ( tikea
= tikar, paaden = pandan), mendengar Pangeran Lai berbicara.
“ Jadi,
malam ini kita akan mencari jalan ke luarnya, mudah-mudahan bapak-bapak yang
hadir di sini dapat memberikan keterangan yang diperlukan,” ujar Pangeran Lai
yang biasa dipanggil Lai itu.
“ Nah,
siapa yang ingin bicara soal itu terlebih dahulu?” harap Pangeran Lai. Sejenak
para orangtua yang hadir terdiam. Sebagaian mereka asyik menghisap rokok daun
nipah kesukaan orang-orangtua di Lebong zaman dahulu kala itu. Suasana hening
dan agak mencekam itu, tiba-tiba mencair, karena ada yang bicara.
“Silakan…,!”
kata Pangeran meminta yang mengangkat tangan untuk mulai bicara.
“ Begini
sepasuak, soal kabar itu memang sudah lama terdengar, tapi di daerah ini belum
ada korban yang diculik,” kata Rio Bong. Semua yang hadir melirik Rio Bong
dengan seksama. Lalu, kata Rio Bong, “Kalau benar, tentunya kita perlu waspada,
kalau perlu kita giatkan petugas keamanan wilayah melakukan pengintaian pula,’
lanjut Rio Bong.
“ Ya,
mungkin jalan itulah yang terbaik, tetapi juga setiap anggota keluarga kita di
daerah ini harus membantu, terutama menyelidiki kelompok Jabolan itu, “ ujar
Blando Padea. Mendengar usulan Blando
Padea itu, yang hadir malam itu sepakat untuk menangkap pelaku penculikan yang
menyebutkan nama mereka dengan Jabolan.
Pangeran Lai
pun setuju, ia berjanji akan memberikan perhatian khusus, apalagi setelah ia
mendapat masukan dari penasihatnya, Manin bahwa, Jabolan itu benar-benar ada.
Oleh karenanya, kata Pangeran Lai, berita itu harus ditanggapi serius.
Pertemuan malam itu yang bersepakat dan sepaham mengatasi segala gangguan
keamanan jiwa masyarakat Lebong berakhir hingga waktu menjelang pagi hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar